Serba-serba Haji (20): Paspor, KTP & Surat Nikah

MAT Kelor lupa tidak membawa ID Card saat keliling Madinah. Malam itu dia menikmati betul keindahan Madinah pada malam hari. Gunung yang disorot lampu dari bawah seakan bagai gunung salju yang berharap dipuji.

Lumayan ramai juga kota ini di malam hari. Paling ramai adalah pusat kuliner dan toko fashion. Mat Kelor ada di toko baju gamis, mencari model yang tepat untuk dipakai saat pulang nanti. Saat memilih baju, dia melihat dompet yang jatuh di lantai toko. Diambilnyalah untuk diberikan kepada kasir. Celakanya, Mat Kelor malah dianggap copet atau pencuri. Nasib sial.

Saat diinterogasi polisi, tak ada yang keluar dari mulut Mat Kelor kecuali kata: “Wallahi, ana man khair.” Maksud dia: “Wallahi, ana (saya) man (orang) khair (baik).” Polisinya tak segera paham karena susunan katanya salah, tapi akhirnya juga paham dengan senyuman tipis. Saya diam saja karena ingin tahu cara Mat Kelor menyelesaikan masalah dan karena takut dilibat-libatkan. Untung akhirnya ada pekerja dari Indonesia di toko itu. Dialah yang menerjemahkan bahasa Indonesianya Mat Kelor.

Ditanya ID card, tak bawa. Ditanya Paspor, ada di muassasah haji. Untung saja ada kebiasaan unik Mat Kelor, yakni kemana-mana membawa surat nikah, biar selalu sadar bahwa sudah menikah katanya. Surat nikah itu yang diserahkan ke polisi. Setelah dibuka-buka, polisi geleng kepala karena surat nikah tidak termasuk jenis ID atau identitas diri. Polisi minta KTP atau paspor. Semua panik.

Mat Kelor berkata pada karyawan toko yang asal Banjarmasin itu: “Mas, kasih tahu pada polisi ini. Paspor itu yang tanda tangan cuma satu. KTP juga satu. Surat nikah ini yang tanda tangan banyak orang, ada pak lurah, ada pak mugin, KUA, ada dua saksi dan ada saya dan isteri. Jadi, surat nikah lebih kuat daripada KTP dan paspor.” Polisi Arab manggut-manggut mendengar penjelasan karyawan tadi. Mat Kelor dilepas.

Saya tertawa dan karyawan toko itu juga tertawa sambil berkata: “Baru kali ini saya mendengar alasan logis kehebatan surat nikah dibanding paspor dan KTP.” Mat Kelor agak kesel juga dengan polisi itu. Dia berkata: “Ada alasan lain dik. Surat nikah saya itu berlaku bukan hanya 5 tahun, tapi dunia akhirat dik.” Kami semakin tertawa. Mat Kelor tak jadi beli gamis di toko itu. Isyarat awal sudah kurang bagus katanya. Saya manut saja. Kami akhirnya keluar toko. Mat Kelor berterimakasih pada pemuda Banjarmasin itu: “Syukran.” Apa jawab pemuda itu?

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

 

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (19): Unta Tak Punya Perasaan?

ISLAM mengajarkan kasih sayang pada binatang. Manusia sering menganggap binatang itu tak punya akal dan perasaan. Tak pernahkan melihat sapi meneteskan air mata saat disembelih? Tak pernahkah menyaksikan ayam dan kambing mengamuk melawan yang mengganggu diri dan keluarganya?

Mat Kelor punya pengalaman yang layak didengarkan. Kisah nyata saat ke Jabal Magnet bersama rombongan berhenti di kandang peternakan unta. Ingin coba merasakan nikmatnya air susu unta yang masih segar, fresh from the “source”nya. Semua penumpang turun menyaksikan pemilik unta memeras susu unta itu. Ternyata tak langsung main peras. Dielus-elus dulu punggungnya, si unta memberikan isyarat siap, lalu diperas, mengucur deras itu susu. Subhanallah. Semua membutuhkan cara dan kasih sayang.

Mat Kelor maju ingin mencoba memerasnya. Dia mengelus unta itu, si unta melirik. Dia memeras susu unta itu, untanya menendangnya. Semua rombongan tertawa terbahak-bahak. Ada yang bilang: “Walau pun unta, dia tahu hukum oy, belum ijab kabul tak mau dipegang.” Ada yang nyeletuk pula: “Hahaha, tangan pemilik dan tangan tamu terasa beda oleh unta. Unta juga punya perasaan.” Suasana jadi ramai, tapi semua anggota rombongan sudah merasakan nikmatnya susu unta.

Cerita lucu dan gojlokan ternyata tak berhenti di sana. Dalam perjalanan lanjutan di dalam mobil, Mat Kelor tetap menjadi bahan pembicaraan dan candaan. Mat Kelor hanya diam. Sesekali tersenyum tipis. Lalu dia berkata ringan: “Jangan terlalu keras sindir-sindir saya. Kita semua kan saudara sepersusuan. Yakni sama-sama menyusu pada satu unta. Sesama saudara dilarang saling buka aib dan malu.” Semua tertawa lagi, lalu diam.

Sayapun diam dan berupaya mengambil hikmah: semua ada caranya, semua ada aturannya, kasih sayang diperlukan siapa saja, senasib seperjuangan jangan saling olok dan bertengkar. Untung saya tidak ikut minum susu unta itu. Hahaaa.

 

INILAH MOZAIK