Serba-serbi Haji (5): Mengapa Aku Berbeda?

NAFASNYA terengah-engah, Mat Kelor pulang dari melempar jumroh sangat terlambat dibandingkan yang lain. Teman-temannya khawatir sekali dia kesasar karena ini adalah haji pertama kalinya baginya dan dia tak paham bahasa Arab. Rupanya dia pulang membawa seorang lelaki yang juga memakai baju ihram. Tatapan lelaki ini kosong. Mat Kelor berkata: “Dia terpisah dari rombongannya dan sedikit bermasalah.”

Mat Kelor akhirnya bercerita bahwa lelaki itu menangis sendirian di tempat jumroh. Ketika ditanya mengapa, lelaki itu menjawab: “Orang lain begitu mudah melihat setan, sehingga bersemangat melempar jumrah. Sementara sejak tadi saya belum melihat satu pun setan, makanya saya belum mau melempar sama sekali. Mengapa saya berbeda dengan mereka. Begitu buruknya penglihatan saya.”

Mat Kelor mendadak menjadi ustadz. Dia bertutur: “Cobalah renungkan, adalah setan dalam hatimu yang mengajakmu berbuat dosa, menganjurkanmu untuk bakhil, membisikkanmu bahwa kamu lebih baik ketimbang orang lain?” Lelaki tadi itu langsung menjawab: “Banyak dan sering datang begitu.” Mat Kelor melanjutkan petuah: “Lempar dia supaya keluar dari dirimu. Tapi jangan lempar dirimu sendiri, lemparlah tugu jumrah itu sebagai simbol. Namun iringkan dengan niatmu bahwa kamu melempar setan dan tak mau bersamanya. Maka, setan itu akan pergi dari dirimu.”

Tiba-tiba, lelaki itu bangkit dan lari ke depan tugu sambil berteriak “Bismillaah Allahu Akbar. Kulempar syetan demi menggapai ridla Dzat Yang Maharahman.” Semangat sekali, sampai sebagian batunya mendarat di kepala orang hitam tinggi besar yang ada di hadapannya. Lelaki kulit hitam itu menoleh dan membentak: “Aku bukan syetan.” Lalu kami pulang. Dia kuajak bersama, akan ku kasih bubuk daun kelor biar segar dan fit kembali.

Selamat Pak Mat Kelor. Teruslah berbagi cerita. Inapirasi tak selalu datang dari para sarjana. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (3): Fanatik Butuh Alasan Ilmiah

AWALNYA saya tidak begitu perhatian pada perilaku Mat Kelor dalam kaitannya dengan makanan. Baru pada hari ketiga saya sadari mengapa ruang makan selalu saja agak ramai kalau dia datang. Dia antri dengan taat dan rapi di antara jamaah haji yang juga antri makan. Saat sampai di meja prasmanan, selalu saja ada yang tertawa senyum-senyum.

Apa pasalnya? Pertama, Mat Kelor selalu berkata: “Kok selalu ayam goreng ya, kapan bebek gorengnya?” Kedua, tiap hari bertanya pada pramusaji: “Mengapa telur ayam terus, kapan telur bebek?” Para jamaah bertanya-tanya dalam hati mengapa Mat Kelor selalu bertanya tentang bebek. Mengapa dia fanatik betul dengan bebek. Tak ada yang berani bertanya karena takut menyinggung rasa.

Pak Edi, saudara saya yang rutin haji tiap tahun, memberanikan diri bertanya. Saya hanya pendengar saja karena tak enak sesama Madura bertanya hal pribadi yang sangat tak umum. Pak Suliman (nama Asli Mat Kelor), mengapa Anda fanatik telor bebek dan bebeknya sekalian. Mengapa tak suka ayam dan telur ayam?”

Mat Kelor menjawab: “Saya berusaha hidup syar’i Bapak. Semua harus ikut syari’ah. Begini ini adalah fanatik yang diharuskan demi agama. Ayam itu tidak syar’i, bebek itu syar’i. Lihatlah saat ayam jantan bercinta dengan ayam betina, dua-duanya langsung pergi mencari makan. Lihatlah bebek, setelah bercinta pastilah mereka mandi wajib, menenggelamkan tubuhnya dalam air. Karena itu telur bebek adalah produk halal, sementara telur ayan adalah haram karena tak pakai mandi wajib.”

Kami semua tertawa ngakak. Fanatiknya Mat Kelor tak beralasan dan tak ilmiah. Mengapa dia juga tidak bertanya siapa yang menikahkan ayam dan bebek itu. Namun, semangat Mat Kelor perlu diacungi jempol. Jangan dipatahkan. Dia butuh diajari dan dibimbing. Fanatik tanpa dasar itu berbahaya. Semangat tanpa pengetahuan itu bisa membuat derita, derita pada diri sendiri dan derita pada orang lain. Teruslah belajar dan buka wawasan. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (2): Pentingnya Pengetahuan Haji

KALI ini adalah kisah tentang jamaah haji bernama Mat Kelor, tetangga Mat Tellor kemaren itu. Mat Kelor ini bernama asli Suliman. Orangnya lugu dan lucu penuh jenaka. Tak jarang jamaah lain dibuat ketawa oleh caranya mengenalkan dirinya kepada orang-orang non Indonesia. Pasti dia berkata: “My name is Suliman, Es Yu El Ai Em E En, from Madura. I am a trader of Moringa or Kelor.”

Sesama Maduranya saya ketawa ngakak, apalagi saat dia promosi kelor dalam bahasa Arab yang penuh dengan kata “hadza” yang berarti “ini” atau bermakna “anu.” Dia berani tampil. Tapi saat ditanya oleh kyai tentang ibadah hajinya, dia gelagapan. Kiai bertanya: “Mas, kamu ini apa haji tamattu’?” Mat Kelor menjawab dalam logat Madura kentalnya: “Abbeee, bukan Pak Kiai, saya haji Suliman.” Kiai ngakak, Suliman tersinggung.

Kiai itu sesungguhnya bertanya jenis haji yang dilakukan apakah tamattu’, ifrad atau qiran. Suliman tak paham itu. Yang dia paham adalah tentang nama latin kelor dan manfaatnya untuk kesehatan. Iya, setiap orang punya penguasaan yang baik akan bidangnya sendiri-sendiri. Namun bab rukun Islam harusnya semua muslim mengetahui dasar pokoknya.

Sulaiman paham kesalahannya lalu minta maaf kepada kiai serta memberikan beliau moringa oleifera powder dan moringa om seed yang kaya manfaat itu. Pahamkah istilah itu? Belajarlah ke PT. Alami Moringa Plantation yang didirikan oleh, salah satunya, Suliman, Es Yu El Ai Em E En.

Sebentar lagi Suliman akan menjadi haji. Saya bertanya tentang nama hajinya siapa, karena kebiasaan orang Madura mengubah nama saat haji demi keberkahan katanya. Suliman menjawab bahwa Namanya dia ubah dan tambahi sedikit menjadi Haji Sulaiman Muhib Al-Qiluri. Mantap, tanpa Madura, Indonesia kehilangan sebagian kelucuannya. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Serba-serbi Haji (1): Keluguan Orang Tradisional

MAT Tellor nama boomingnya, nama panggilannya setelah sukses menjadi juragan segala macam telor. Dari namanya sudah letahuan bahwa asalnya adalah dari Madura. Nama aslinya SARIDIN yang katanya bermakna sari atau inti agama. Orang ini membuat heboh bandara Jeddah musim haji ini.

Mengapa heboh? Jelas bukan karena tindakan kriminal. Mat Tellor yang pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan hanya di langgar tradisional sangatlah kecil kemungkinan berbuat tak benar. Alumni langgar desa adalah manusia lugu yang setia sepenuh hati akan ajaran dan petuah guru. Mereka tak terkontaminasi ajaran media sosial yang membuat banyak pilihan membingungkan.

Mat Tellor semenjak masuk bandara tiba-tiba jalannya berubah, tak lagi tegak melainkan selalu membungkuk sopan dan satu tangannya yang kanan diturunkan seakan mau membuat garis di lantai. Tangan kirinya memegang jidat dekat ubun-ubunnya. Awalnya semua menduga beliau sakit pinggang atau terkena penyakit ayan tiba-tiba.

Ada orang yang berani bertanya, seorang wartawan ALAMI NEWS sepertinya, ada apa dengan dirinya. Beliau menjawab: “Lihatlah betapa banyak orang alim di sini, semua bersorban. Negara Arab memang negara orang alim. Makanya saya tak berani jalan tegak, saya perlakukan mereka bagai saya memperlakukan kiai-kiai saya di desa.” Rupanya Mat Tellor tak dapat informasi bahwa di Saudi, polisi, petugas imigrasi dan bahkan petugas kebersihan adalah biasa bergamis dan bersurban.

Mat Tellor mencium tangan petugas kebersihan yang bersurban dan bahkan sepertinya menyelipkan beberapa lembar uang rupiah yang dibawanya. Untuk mendapat berkah katanya. Petugas kebersihan itu tersenyum bahagia dan berterimakasih serta bertanya-tanya dalam bahasa Arab yang dijawab oleh Mat Tellor dengan “aamiiin” karena dikira doa.

Ada banyak hikmah dalam kisah ini. Salah satunya adalah bahwa di masyarakat tradisional, baju itu punya makna. Bergamis dan bersorban hampir pasti dianggap alim, minimum relijius. Padahal ya belum tentu. Bagi yang bergamis dan bersorban, sesuaikan nilai hidup dengan anggapan banyak orang agar masyarakat tak merasa tertipu.

Hikmah lainnya adalah bahwa orang Madura itu lugu dan lucu. Tanpa Madura, Indonesia kehilangan humor. Humor Madura teraktual kali ini adalah humor tentang dari Pak Mahfud MD. Apa iya? Tunggu kisah berikutnya. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK