Serial Fikih Muamalah (Bag. 12): Bolehkah Membuat Syarat Tambahan Saat Melangsungkan Sebuah Akad?

Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bersama beberapa syarat yang harus dipenuhi saat berlangsungnya sebuah akad. Pada pembahasan kali ini, akan kita bahas hakikat syarat tambahan yang terjadi dalam sebuah akad dan bagaimana hukumnya dalam syariat Islam.

Kapan sebuah syarat dikatakan sebagai syarat tambahan?

Syarat tambahan hakikatnya adalah sebuah kewajiban dan kelaziman yang terjadi saat terbentuknya sebuah akad. Di mana syarat ini di luar syarat-syarat asli yang telah kita bahas sebelumnya.

Syekh Musthofa Az-Zarqa’ rahimahullah memberikan pengertian tentang syarat tambahan ini dengan,

“Sebuah kewajiban pada tindakan lisan (akad) yang tidak wajib dipenuhi apabila akadnya dilafalkan secara mutlak (syarat tersebut tidak wajib dipenuhi apabila tidak disebutkan dalam akad).” (Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-Aam, 1: 506)

Ciri-ciri syarat tambahan

Syarat tambahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama: Ia merupakan kelaziman tambahan di luar kelaziman asli akad.

Jika seseorang mengatakan, “Aku jual mobil ini kepadamu dua ratus juta dengan pembayaran yang bisa dicicil selama setahun, asalkan kamu berikan kepadaku sebuah jaminan.” Lalu, pihak kedua menerimanya, maka akad tersebut terwujud dengan tambahan adanya gadai atau jaminan. Tidak sah akadnya, kecuali dengan terpenuhinya syarat tersebut.

Kedua: Syarat tambahan yang berlangsung dan terjadi saat berlangsungnya sebuah akad, menjadi bagian dari akad tersebut dan diikutkan dalam lafal akadnya.

Ketiga: Sesungguhnya syarat tambahan ini berupa perkara yang akan datang. Sesuatu yang belum terjadi, namun akan terjadi. Maka, tidak termasuk darinya menyaratkan sesuatu yang memang sudah ada di waktu akad, seperti seseorang yang membeli seekor unta sedangkan unta tersebut sedang hamil, kemudian ia menyaratkan agar janinnya tersebut diikutkan dalam pembelian.

Hal semacam ini tidak dianggap sebagai syarat konkret dan nyata, namun merupakan syarat metaforis.

Keempat: Syarat tambahan merupakan sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi, maka syarat yang mustahil terjadi tidak masuk di dalamnya.

Seseorang yang mengatakan, “Aku beli kambing ini darimu dengan syarat ia bisa terbang ke langit.” Maka, syarat semacam ini tidaklah sah karena perkataannya tersebut mengindikasikan ketidaktertarikannya untuk menyelesaikan akad tersebut.

Contoh syarat yang kemungkinan besar bisa terealisasi di masa mendatang adalah seorang calon istri yang menyaratkan agar calon suaminya tidak membawanya pergi dari daerahnya ketika mereka menikah nantinya.

Hukum syarat tambahan pada sebuah akad menurut mazhab Syafi’i

Mazhab Syafii berpendapat bahwa pada asalnya, hukum membuat syarat-syarat tambahan pada sebuah akad adalah terlarang.

Tidak boleh bagi kedua belah pihak untuk membatasi dan mengikat sebuah akad dan kontrak dengan memberikan syarat-syarat tambahan, kecuali jika syarat ini memiliki dalil dari syariat, atau ada kesepakatan dari ulama (ijma’) perihal kebolehannya.

Di antara syarat tambahan yang diperbolehkan:

Pertama: Menyaratkan adanya barang jaminan pada jual beli dengan pembayaran tertunda. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗ

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Kedua: Syarat jelasnya tempo pembayaran saat melakukan jual beli dengan pembayaran tertunda. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ketiga: Syarat membayar utang saat dalam kondisi lapang. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Keempat: Menyaratkan adanya spesifikasi tertentu pada barang yang akan dibeli harus dengan adanya persetujuan dari kedua pihak. Seperti memberikan syarat saat akan membeli seekor kambing dengan spesifikasi kambing tersebut merupakan penghasil susu. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Kelima: Menyaratkan adanya hak memilih (khiyar) pada sebuah akad.

Sebagaimana perkataan seseorang, “Aku beli mobil ini seharga dua ratus juta dan beri aku waktu tiga hari untuk bisa memilih apakah jadi membelinya atau tidak.” Lalu, pihak yang lainnya menyetujuinya.

Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hibban bin Munqad yang pernah tertipu dalam sebuah jual beli,

إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا.

“Apabila kamu sedang menjual atau membeli, maka katakanlah, ‘Jangan menipu!’ Jika kamu membeli sesuatu, maka engkau mempunyai hak pilih selama tiga hari. Jika kamu rela, maka ambillah. Akan tetapi, jika tidak, maka kembalikan kepada pemiliknya.”   (HR. Ibnu Majah no. 1921)

Keenam: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil juga harta hamba sahaya yang sedang dijual atau sebagian hartanya dari pihak penjual saat ia membeli budak tersebut. Hal ini diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

ومَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وله مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إلَّا أنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ

“Barangsiapa membeli seorang budak yang memiliki harta, maka harta itu milik penjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)

Ketujuh: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil hasil panen kurma dari pohonnya yang baru saja dikawinkan.

Hukum asalnya, hasil panen dari pohon kurma yang telah dikawinkan tersebut adalah milik penjual. Namun, apabila pembeli menyaratkannya, maka diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلَّذِي بَاعَهَا إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

“Barangsiapa membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka hasilnya bagi orang yang menjualnya, kecuali pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)

Kedelapan: Membuat syarat tambahan yang sesuai dengan keadaan akad (kontrak).

Syarat yang bisa menguatkan sebuah akad dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatannya. Seperti menyaratkan adanya persaksian dalam sebuah akad dan menguatkannya dengan ditulis serta hal-hal lainnya yang dibutuhkan dalam sebuah akad.

Kesemuanya itu demi terciptanya kemaslahatan akad dan orang yang melaksanakannya, tanpa adanya pertentangan dengan syariat. Syarat tambahan semacam ini diperbolehkan dengan mengiaskannya kepada syarat-syarat tambahan yang memang sudah ada dalilnya dari syariat kita.

Kesembilan: Menyaratkan dengan sesuatu yang mengandung makna kebaikan.

Contohnya adalah seorang penjual budak yang menyaratkan kepada pembelinya untuk membebaskan budak yang ia beli. Sebagaimana hadis Barirah di mana ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membelinya sedang pemiliknya menyaratkan agar Barirah dibebaskan, dan hak wala-’nya menjadi hak mereka. (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504)

Hal semacam ini diperbolehkan karena Islam menjunjung tinggi pembebasan perbudakan dan perbuatan baik, sehingga terbukalah peluang-peluang tersebut. Wallahu a’lam bisshawab

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81710-serial-fikih-muamalah-bag-12-bolehkah-membuat-syarat-tambahan-saat-melangsungkan-sebuah-akad.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna

Mencari nafkah atau berusaha memperoleh harta merupakan salah satu tujuan syariat ini. Islam telah mengajak dan mendesak umatnya untuk bekerja dan berusaha di banyak ayat dan hadis (sebagaimana yang sudah kita bahas pada pembahasan sumber harta dan ajakan untuk berinvestasi). Islam tidak hanya mendesak dan mengajak umatnya untuk bekerja saja. Namun, Islam juga merinci berbagi cara untuk mencari nafkah dan berusaha yang diperbolehkan oleh syariat. Secara umum pembahasan ini terbagi menjadi 2 bagian:

Pertama: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan sempurna.

Kedua: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan tidak sempurna.

Pada pembahasan kali ini yang akan kita bahas adalah sebab-sebab memperoleh kepemilikan sempurna. Adapun sebab-sebab memperoleh kepemilikan tidak sempurna, maka akan kita bahas pada artikel selanjutnya.

Apa itu kepemilikan sempurna?

Sebagaimana yang sudah kita bahas pada artikel Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi”, kepemilikan sempurna dapat disimpulkan sebagai hak untuk memiliki fisik sebuah harta beserta manfaatnya.

Agama Islam memberikan hak kepemilikan sempurna bagi siapa pun. Bahkan, jika pemiliknya masih berupa janin di dalam perut ibunya. Jika sebuah benda (harta) telah menjadi hak milik sempurna seseorang, maka harta tersebut tidak boleh dirampas dan diambil dari tangan orang tersebut, kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat.

Sebab dan cara untuk memperoleh kepemilikan sempurna

Pertama: Memanfaatkan harta mubah (yang belum dimiliki seseorang)

Maksudnya adalah sesuatu yang hukum asalnya boleh dimanfaatkan oleh seseorang. Contohnya: rerumputan di padang rumput, kayu bakar di hutan, air yang mengalir di sungai dan di lautan, serta hewan buruan yang ada di darat dan laut.

Kesemuanya itu bisa diperoleh dengan 2 cara. Pertama, hanya dengan dimanfaatkan dan diambil langsung, maka itu sudah menjadi hak milik kita. Atau kedua, harta tersebut tidak bisa kita manfaatkan, kecuali dengan berusaha dan mengeluarkan keringat, seperti memperbaiki dan menghidupkan tanah tandus mati yang tak terawat.

Apa yang bisa kita peroleh dengan sekadar mengambilnya saja jumlahnya sangatlah banyak, bisa berupa air, rumput, harta karun, barang tambang, ataupun hewan buruan. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

المسلمونَ شركاءُ في ثلاثةٍ : في النارِ ، والكلأِ ، والماءِ

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu api, padang rumput, dan air.” (HR. Abu Dawud no. 3477 dan Ahmad no. 23132)

Hukum ini berlaku apabila benda-benda tersebut belum diakuisisi oleh seseorang. Adapun jika telah diakuisisi, maka benda tersebut berubah menjadi hak miliknya. Hanya saja masih tersisa sebuah syubhat (ketidakjelasan), di dalam hadis dijelaskan bahwa kesemuanya itu adalah kepemilikan bersama dan bukan materi yang bisa diakuisisi oleh seseorang. Berdasarkan syubhat ini, jika ada seseorang yang mencuri sejumlah air yang sudah disimpan oleh seseorang dengan jumlah yang melebihi nishab mencuri, maka ia tidak boleh dipotong tangannya. Hal ini karena ada sebuah kaedah fikih yang berbunyi,

الحدود تدرأ بالشبهات

“Hukuman-hukuman (had) itu bisa gugur karena syubhat (ketidak jelasan).” (Al-Madkhal fii Al-Fiqhi Al-Islami Hal. 359)

Sebagaimana juga saat seseorang sangat membutuhkan air untuk mencegah kematian dari dirinya, maka ia diperbolehkan untuk mengambil air yang dimiliki orang lain walaupun dengan kekerasan, apabila orang yang memiliki air tersebut jumlah airnya melebihi kebutuhannya.

Memanfaatkan dan menghidupkan tanah yang dimaksudkan oleh ahli fikih adalah memanfaatkan dan memperbaiki tanah yang tidak diketahui pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya, baik itu dengan dijadikan sawah, ladang, kebun, atau dibangun di atasnya sesuatu sehingga tanah tersebut bisa menghasilkan. Di antara dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا 

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” (QS. Hud: 61)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن أحْيا أرْضًا مَيْتةً، فلَه فيها أجْرٌ، وما أكَلَتِ العافيةُ منها، فهو له صَدَقةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala dari hal tersebut. Dan segala apa yang dimakan oleh makhluk dari tanamannya, maka itu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi no. 1379, Nasa’i no. 5757 dan Ahmad no. 14839)

Kedua: Akad yang memindahkan kepemilikan

Yaitu akad-akad yang menjadikan pindahnya kepemilikan atas sebuah harta antara seseorang dengan yang lainnya, dan ini hanya berlaku pada harta mutaqawwim (harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syariat untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya).

Sehingga akad-akad ini tidak boleh dilakukan pada harta yang mubah yang belum dicapai dan dimiliki oleh seseorang, seperti burung yang masih terbang di langit dan ikan yang masih berada di lautan, sebagaimana juga tidak berlaku pada harta yang haram dimanfaatkan, seperti: miras, babi, dan lain sebagainya.

Akad ini ada banyak macamnya, bisa berupa akad jual beli, akad pemberian, akad wasiat, ataupun yang lainnya.

Ketiga: Apa yang terlahir, keluar, ataupun keuntungan dari harta yang sudah kita miliki

Baik itu sebuah produk, keuntungan, pertumbuhan, dan lain sebagainya, kesemuanya itu menjadi hak milik bagi pemilik harta yang keluar darinya semua itu. Contohnya, jika hewan ternak melahirkan, maka peranakannya menjadi hak bagi pemilik induk betinanya, karena terdapat sebuah kaidah fikih,

النتاج تبع الأم في الملكية

“Hewan peranakan itu mengikuti induknya dalam hal kepemilkan.”

Sehingga jika si A memiliki kuda jantan dan si B memiliki kuda betina, lalu dari keduanya terlahir seekor anak kuda, maka anak kuda tersebut menjadi hak si B.

Keempat: Peninggalan

Secara istilah memiliki 2 makna:

Pertama, peninggalan seseorang untuk orang lainnya (warisan)

Agama ini sangat memperhatikan pembagian warisan dengan melihat kedekatan seseorang kepada si mayit. Semakin dekat hubungan seseorang dengan si mayit, maka bagiannya dari warisan semakin besar. Allah Ta’ala sendiri yang telah menjelaskan dan mengatur pembagian tiap pewaris di dalam Al-Qur’an secara mendetail. Ia berfirman,

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 11)

Kedua, jaminan dan kompensasi

Secara istilah, jaminan dan kompensasi artinya adalah apa yang ditanggung oleh seseorang jika ia menghilangkan atau merusakkan harta orang lain, baik itu dengan mengembalikan benda yang semisalnya (jika benda tersebut mudah didapatkan yang semisal atau sejenis di pasaran), ataupun dengan mengembalikan uang senilai harga barang (jika benda tersebut adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan dan tidak ada yang sejenis atau semisal di pasaran).

Landasan wajibnya kompensasi adalah firman Allah Ta’ala,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58)

Serta hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban dalam urusan rumah tangga suaminya dan anaknya. Sungguh setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5200 dan Muslim no. 1829)

Jika seseorang yang merusak atau menghilangkan benda orang lain wajib untuk membayar kompensasi, maka kepemilikan harta kompensasi tersebut otomatis berpindah dari si pelaku kepada korban.

Di dalam permasalahan kompensasi ini para ulama memberikan beberapa persyaratan:

Syarat pertama: Perkara yang mewajibkan adanya kompensasi ini haruslah sesuatu yang membahayakan dan merugikan. Ini tidak hanya berlaku pada perbuatan tangan saja, namun mencakup juga perkataan yang merugikan dan perangai yang buruk, seperti penipuan, pemalsuan, dan sumpah palsu.

Syarat kedua: Hendaknya bahaya dan kerugian tersebut terjadi dengan cara penyerangan dan pelanggaran yang melebihi hak dan aturan yang berlaku, dan disertai kezaliman ataupun rasa permusuhan. Adapun perbuatan yang masih dalam batas wajar yang diperbolehkan syariat, maka hal itu meniadakan kompensasi.

Contohnya, jika seseorang menyewa sebuah kendaraan untuk mengangkut benda tertentu, kemudian ia menaruh di atasnya apa yang masih dalam batas wajar beban muatan kendaraan tersebut atau bahkan kurang darinya. Kemudian kendaraan tersebut rusak, maka orang yang menyewa tersebut tidak wajib membayar kompensasi. Karena orang yang menyewa sebuah kendaraan, maka ia boleh dan berhak untuk membawa beban yang masih dalam batas kewajarannya atau kurang darinya.

Ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari syarat ini. Contohnya, seseorang yang tidur kemudian ia membalikkan badannya dan menindih barang orang lain sehingga barang tersebut rusak, maka ia wajib membayar kompensasi. Contoh lainnya, jika seseorang tidak sengaja menginjak dan merusakkan benda orang lain, maka ia juga wajib membayar kompensasi.

Syarat ketiga: Hendaknya kesalahan tersebut merupakan perbuatan langsung pelakunya atau ia merupakan sebab terjadinya perbuatan tersebut.

Maksudnya, seseorang dituntut membayar kompensasi jika dirinya sendirilah yang merusak atau menghilangkan sesuatu tanpa adanya perantara orang lain. Adapun orang yang menjadi sebab, seperti seseorang yang menggali sebuah lubang di jalanan umum. Lalu seekor hewan milik orang lain jatuh ke dalam lubang tersebut, maka ia juga diwajibkan untuk membayar kompensasi.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77435-serial-fikih-muamalah-bag-6.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup dan memenuhi kebutuhannya ketika sendirian. Manusia membutuhkan sebuah lingkungan dan komunitas agar bisa saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, seorang manusia, khususnya yang beragama Islam, sangatlah butuh untuk mempelajari hal-hal mendasar, aturan-aturan, dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi dan transaksi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ   ۖ وَ إِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra’: 7)

Keteledoran dan ketidakperhatian seseorang terhadap ilmu interaksi dan transaksi menyebabkan terjadinya perdebatan, perpecahan, dan permusuhan di antara masyarakat. Jika saja seorang muslim bisa berinteraksi dengan baik terhadap saudaranya, tentu saja ia akan hidup dalam rasa aman, tenteram, dan penuh ketenangan, jauh dari rasa permusuhan dan perpecahan.

Sayangnya, interaksi dan transaksi antara seseorang dengan yang lainnya di masa kini telah dipenuhi dengan kecurangan, kedustaan, dan pengkhianatan. Sehingga pada akhirnya komunitas masyarakat yang ada dipenuhi dengan kerusakan, akhlak yang buruk, dan rusaknya daerah yang ditempati.

Tidak diragukan lagi, solusi dan jalan keluar satu-satunya akan permasalahan ini adalah dengan mengikuti hukum-hukum yang bersumber dari Islam, berpegang pada akhlak yang baik, dan kembali mempelajari konsep-konsep dasar berinteraksi dan bertransaksi (muamalah) yang sesuai dengan syariat ini.

Apakah fikih muamalah itu?

Sebelum menjelaskan makna ‘fikih muamalah’ secara keseluruhan, tentu sebelumnya akan lebih baik bila memahami terlebih dahulu satu-persatu kata yang tersusun pada ‘fikih muamalah’.

Yang pertama: kata ‘fikih’ (الفقه). Fikih secara bahasa artinya adalah pemahaman, keilmuan, dan kecerdasan. Sehingga fikih tidak terbatas pada pengetahuan perihal hukum-hukum syar’i saja. Akan tetapi, masuk di dalamnya pengungkapan alasan sebuah hukum, sumber-sumbernya, dan tujuan-tujuannya. Semua itu akan membantu seorang mujtahid dalam menyimpulkan sebuah hukum fikih dari konteks dalil-dalil syar’i yang ada. Ilmu fikih berpengaruh besar terhadap kualitas seorang muslim dalam mempraktekkan hukum-hukum tersebut. Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,

فمن فقه أسباب هذه الأمور التي أمر ونهي، بماذا أمر ونهي، ورأى زين ما أمر وبهاءه وشين ما ما نهي تعاظم ذلك عنده وكبر في صدره شأنه، فكان أشد تسارعا فيما أمر، وأشد هربا وامتناعا مما نهي…

“Barang siapa yang memahami alasan dari hal-hal yang diperintahkan dan dilarang, serta menyadari keindahan dan keagungan sebuah perintah dan menyadari keburukan apa-apa yang dilarang, maka akan menjadi besar rasa hormat dan pengagungannya kepada kedua hal tersebut, sehingga ia akan semakin bersemangat dan bergegas di dalam menjalankan perintah dan semakin berlari menjauh menghindari apa-apa yang dilarang.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1: 79).

Sedangkan definisi “fikih” menurut istilah adalah, “Pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i yang diperoleh dan digali dari dalil-dalinya yang terperinci.”

Yang kedua: katamuamalah’ (المعاملات). Secara bahasa maknanya adalah: berinteraksi, berkumpul, berteman, dan bergaul dengan seseorang. ‘Muamalah’ seringkali digunakan untuk ‘Tindakan jual beli dan yang semisalnya’.

Secara istilah, ‘muamalah’ memiliki beberapa makna, namun yang terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Syubair dalam kitabnya Al-Muamalah Al-Maaliyah Al-Muashirah yaitu,

“Hukum-hukum syar’i yang mengatur tingkah laku dan tindakan manusia dalam perkara jual beli.”

“Fikih muamalah” secara keseluruhan memiliki makna,

“Pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, yang mana pengetahuan tersebut juga menggali tujuan hukum tersebut, sebab-sebabnya dan sumber-sumbernya, serta mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan tujuan utama syariat Islam, sehingga mampu mengintegrasikan hukum-hukum yang ada dengan kejadian-kejadian dan kasus terkini.”

Perspektif Islam terhadap fikih muamalah

Jika ditelisik lebih lanjut, agama Islam memiliki perspektif khusus terhadap fikih muamalah. Perspektif tersebut menguatkan identitas dan kemandirian fikih Islam serta menegaskan bahwa fikih Islam itu berlaku sepanjang zaman dan di semua tempat. Di antara perspektif Islam terhadap fikih muamalah adalah:

Pertama: Islam tidak menciptakan bentuk-bentuk transaksi baru di dalam masyarakat.

Saat Islam pertama kali datang di tengah bangsa Arab, mereka telah terlebih dahulu mengenal berbagai bentuk transaksi, baik itu bersifat jual beli, kerjasama, ataupun saling membantu. Mereka telah mengenal jual beli uang di muka, utang piutang, gadai, sewa menyewa, jaminan, atau bahkan kongsi (partnership).

Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh As-Saaib bin Abi As-Saaib Al-Makhzumi radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembukaan kota Mekah,

كنتَ شَريكي فنعم الشَّريكُ ، كنتَ لا تُداري ، ولا تُماري

“Dahulu kala, Engkau adalah mitraku (di masa jahiliyyah), dan Engkau merupakan sebaik-baik mitra, Engkau tidak pernah mengatur dan tidak pula mendebat.” (HR. Abu Dawud no. 4836)

Hadis di atas menujukkan bahwa bangsa Arab sebelum Islam datang sudah mengenal sistem kerja partnership (mitra usaha).

Lihat juga bagaimana sistem mempekerjakan orang yang dilakukan oleh Khadijah radhiyallahu anha, istri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hisyam rahimahullah menceritakan,

وكانت خديجة بنت خويلد امرأة تاجرة ذات شرف ومال . اتستأجر الرجال في مالها وتضاربهم إياه ، بشيء تجعله لهم

“Khadijah bintu Khuwailid adalah seorang pedagang wanita yang terpandang lagi banyak harta. Dia mempekerjakan pria-pria untuk menjualkan barang dagangannya dan kemudian memberikan sebagian keuntungannya untuk mereka.”

Sikap Islam terhadap berbagai bentuk transaksi adalah sikap yang kritis, reformis, dan memudahkan. Jika di dalamnya terdapat kemaslahatan, maka akan disetujui dan diperbolehkan. Namun jika di dalamnya terdapat sebuah bahaya atau hal-hal yang mengarah pada bahaya ataupun bertentangan dengan prinsip takwa, maka akan diharamkan dan dilarang.

Kedua: Dalam hal transaksi, Islam datang dengan kaidah dan aturan yang ringkas dan menyeluruh. Tidak terlalu mendalami perkara yang mendetail.

Di antara beberapa kaidah tersebut adalah:

Kaidah Pertama: Asas keridaan dan kerelaan diri.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(QS. An-Nisa’: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidak halal mengambil harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Ahmad no. 20695)

Kaidah Kedua: Asas memenuhi akad (janji).

Allah Ta’ala berfirman,

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَوۡفُوۡا بِالۡعُقُوۡدِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (yang telah diikrarkan).” (QS. Al-Ma’idah: 1)

Akad (janji) bersifat umum, mencakup akad jual beli, sewa menyewa, kerjasama, wakaf, dan lain sebagainya.

Kaidah Ketiga: Larangan dari jual beli yang tidak pasti dan tidak jelas statusnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli gharar (tidak jelas statusnya).” (HR. Muslim)

Baik itu yang tidak jelas statusnya dalam bentuk akadnya, seperti menjual satu barang dengan dua akad yang berbeda, ataupun yang tidak jelas barang dagangannya, seperti menjual barang yang tidak diketahui bentuknya dan yang semisalnya.

Dan berbagai kaidah-kaidah umum lainnya. Jika seorang mujtahid dan seorang faqih perhatian terhadap kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berijtihad dan mampu mengurai kasus-kasus baru yang belum ada penjelasannya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Ketiga: Islam mengaitkan muamalah dengan keyakinan (akidah) dan moral.

Kaitannya dengan akidah adalah semua harta benda yang ada di tangan manusia semuanya adalah milik Allah Ta’ala. Manusia hanya diberikan amanah untuk mengelolanya saja. Karena Allah Ta’ala-lah yang menciptakan segala sesuatu, baik yang ada di langit maupun di bumi. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Kedudukan manusia terhadap harta hanyalah sebatas wakil saja, bukan pemilik. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap harta harus sesuai dengan kelayakan tindakan seorang wakil yang diberikan amanah, tidak boleh semena-mena dan bijak di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ

“Dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (QS. Al-Hadid: 7)

Kaitannya dengan moral adalah fikih muamalah tidak bisa dipisahkan dari moral, baik dari segi wasilah maupun tujuannya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Kaidah syariat yang tidak boleh diacuhkan dan dihilangkan: bahwasannya tujuan dan keyakinan merupakan acuan di dalam perilaku (jual beli) dan kebiasaan, sebagaimana ia juga menjadi acuan di dalam perkara ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Keyakinan, niat dan akidah seseorang lah yang akan menjadikan sesuatu itu halal ataupun haram, sah ataupun tidak, menjadi sebuah ketaatan ataupun kemaksiatan.”

Di dalam memanfaatkan harta, seorang muslim dituntut untuk memperlakukan yang lainnya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Keempat: Islam selalu mengiringi dan mengikat muamalah (transaksi) dengan tujuan-tujuan syariat.

Yaitu, merealisasikan kemaslahatan dan mencegah keburukan bagi seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Di sisi realisasi kemaslahatan, Islam sangat menganjurkan pengikutnya untuk mencari rezeki, memudahkan, dan memperbolehkan berbagai macam transaksi yang menunjang tercapainya rezeki yang halal.

Dari sisi pencegahan, salah satu contohnya adalah Islam melarang penyalahgunaan harta. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)

Sebagaimana Islam juga mewajibkan jaminan (ganti rugi) bagi mereka yang merusak dan menghilangkan harta orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ

“Tangan bertanggungjawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad di dalam musnadnya no. 19753 dan Abu Dawud no. 3143)

Wallahu a’lam bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/75624-serial-fikih-muamalah-bag-1.html