Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)

3. Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar

Ketauhilah, bahwa prinsip hamdalah dan istighfar adalah prinsip harian seorang muslim, bukan hanya prinsip tahunan usai kita melakukan ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah aktivitas dzikir pagi dan sore. Seorang muslim disyariatkan mengucapkan sayyidul istighfar setiap pagi dan sore, yang di antara kalimatnya adalah

أبوء لك بنعمتك علي وأبوء بذنبي

“…aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepada-ku dan aku mengakui dosaku…” (HR. Al-Bukhari: 6306 dan yang lainnya).

Kedua prinsip hidup yang agung ini membuat sirnanya penyakit-penyakit amal, seperti `ujub, sombong, riya’, dan sum`ah. Selain itu juga berdampak mendorong seorang hamba untuk banyak intropeksi diri (muhasabah), mudah menerima masukan, mudah kerjasama dengan orang lain karena mudah mengakui kenikmatan Allah yang didapatkan melalui orang lain. Ia mudah berterimakasih kepada orang lain, mengapa? Karena ia mudah bersyukur kepada Allah dengan cara berterimakasih kepada orang lain, yang menyampaikan nikmat-Nya kepadanya dengan cara berbuat baik kepadanya.

Dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia’ (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).

Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat dari kedua prinsip ini, hamdalah dan istighfar, dengan mengatakan

و العبودية مَدَارها على قاعدتين هما أصلها: حبّ كامل و ذلّ تام

“Ibadah itu berkisar di atas dua pondasi,keduanya adalah cinta yang sempurna kepada Allah serta  kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah” (Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 17).

Apa hubungan keduanya dengan hamdalah dan istighfar?  Berikut penjelasannya

  1. Cinta yang sempurna kepada Allah, ini didapat dengan banyak mengingat kenikmatan Allah, lalu mengakui kelebihan orang lain dan berterima kasih atas jasanya -karena itu hakikatnya adalah nikmat Allah, sehingga tumbuh cinta, syukur kepada Allah dan memuji-Nya (hamdalah).
  2. Kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah, didapatkan dengan banyak muhasabah menghitung-hitung  kesalahan, kekurangan dan aib diri, sehingga terhindar dari `ujub  dan sombong, berapapun besarnya prestasi ibadah, ilmu, dan amal. Hal ini mendorong seseorang untuk banyak-banyak beristighfar.

Kita memohon kepada Allah Ta`ala agar setelah kita merasakan lezatnya beribadah pada bulan Ramadhan dan kebahagiaan pada Hari Raya `Iedul Fithri, Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang bahagia karena bertambah ketakwaan kita sebagai buah puasa dan menjadi orang yang berbahagia dengan memiliki ciri khas bahagia yang disebutkan Ulama, yaitu

إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر 

“Jika mendapatkan kenikmatan bersyukur, jika mendapatkan cobaan bersabar, jika berdosa istighfar.”

4. Tidak tertipu dengan amal keta’atan yang telah dilakukan.

Ilustrasi

Untuk bisa menjadi orang yang beribadah dengan baik tidaklah mudah jika tidak dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Barangkali setiap kita pernah memiliki tekad kuat untuk melakukan suatu bentuk ibadah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyyah, namun tiba saat melakukannya, muncullah halangan yang tidak terduga atau tidak ada halangan namun sulit untuk khusyu’, padahal shalat wajib yang kita lakukan sebelumnya bisa khusyu’ kita lakukan.

Atau shalat rawatibnya juga bisa khusyu’, namun bisa jadi tidak bisa langgeng melakukannya. Seandainya bisa langgeng melakukan shalat rawatib tersebut, yakinkah kita bahwa shalat-shalat sunnah tersebut pasti diterima oleh Allah Ta’ala? Dari ilustrasi di atas nampak bahwa kelemahan kita sebagai makhluk Allah dan ketergantungan kita kepada-Nya tidak akan pernah berhenti walau sekejap mata pun. Kita selalu butuh pertolongan-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan,

apalagi jika kita berusaha mengingat-ingat dosa yang sudah kita perbuat, dosanya sudah jelas, namun diampuninya belum tentu.

Pertanyaan besar

Sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan, “Jika demikian keadaan kita, pantaskah kita membanggakan ibadah-ibadah yang telah berhasil kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan yang telah berlalu tersebut?”

Taruhlah seorang hamba mampu beribadah non stop!

Sebagus apapun amal seseorang, bahkan seandainya seluruh hidup-nya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidaklah layak hal itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan dan dipamerkan, sehingga menyebabkan munculnya sikap hati yang salah, karena ia silau melihat amalnya.

Jika seorang hamba merenungkan keagungan Allah dan besar hak-Nya atas diri hamba tersebut, betapapun kuatnya seseorang melakukan ibadah, betapapun banyaknya seseorang beramal salih, pastilah ia akan memandang kecil ibadah itu pada hari Akhir kelak karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لو أن رجلا يُجَرّ على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هَرٍمًا في مرضاة الله عز وجل لحَقّرَه يوم القيامة

Seandainya seorang hamba disungkurkan wajahnya sejak dia lahir sampai mati, hingga tua renta dalam (peribadatan) menggapai keridhoan Allah `Azza Wa Jalla, niscaya dia akan memandang kecil ibadahnya tersebut pada hari Kiamat” (HR. Imam Ahmad , lihat As-Silsilah Ashahihah 1/730).

5. Mengiringi keta’atan pada bulan Ramadhan dengan keta’atan sesudahnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

من عمل طاعة من الطاعات وفرغ منها فعلامة قبولها أن يصلها بطاعة أخرى،  وعلامة ردها أن يعقب تلك الطاعة بمعصية، ما أحسن الحسنة بعد السيئة تمحها وأحسن الحسنة بعد الحسنة تتلوها، وما أقبح السيئة بعد الحسنة تمحقها…..سلوا الله الثبات على الطاعات إلى الممات، وتعوذوا به من تقلب القلوب

“Barangsiapa yang melakukan suatu keta’atan dan telah selesai darinya, maka tanda diterimanya amal tersebut adalah ia menyambungnya dengan keta’atan yang lainnya. Sedangkan tanda tertolaknya keta’atan tersebut adalah ia irirngi keta’atan itu dengan maksiat. Duhai,betapa indahnya kebaikan sesudah keburukan, (sehingga) kebaikan itu menghapus keburukan tersebut. Betapa baiknya suatu kebaikan yang dilakukan mengiiringi kebaikan sebelumnya. Betapa buruknya keburukan yang dilakukan sesudah kebaikan, (sehingga) keburukan itu menghancurkan kebaikan tersebut……Mohonlah keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah sampai meninggal dunia dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati” (Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 393).

Penutup

Renungankanlah!

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد

و ليس العيد لمن تجمل باللباس و المركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب 

Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya adalah untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya adalah untuk orang yang diampuni dosa-dosanya

Suatu saat, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fithri, lalu berkatalah beliau,

إنْ كان هؤلاء تُقبل منهم صيامهم، فما هذا فِعلُ الشاكرين، وإنْ كانوا لم يُتقبَّلْ منهم صيامهم فما هذا فعلُ الخائفين.

“Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya,maka bukanlah demikian sikap hamba Allah yang bersyukur, namun jika mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula sikap hamba Allah yang takut kepada-Nya”.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26182-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-2.html

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Bismillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Sobat! Rabbuna, Rabbul `Alamin telah menganugerahkan kepada kita kenikmatan berupa perjumpaan dengan bulan Ramadhan yang penuh barakah dan kebaikan, maka:

  1. Barangsiapa yang banyak menelantarkan bulan Ramadhan dan banyak melakukan kesalahan di dalamnya, bertaubatlah dan sibukkan diri dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai ganti keburukan yang terlanjur dia lakukan, mulailah lembaran hidup baru. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani:وأتبع السيئةَ الحسنةَ تمحها“Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya.”
  2. Adapun barangsiapa yang telah Allah mudahkan beramal salih di saat bulan Ramadhan, maka pujilah Allah dan mohonlah kepada-Nya agar amal shalih Anda diterima oleh-Nya, serta mohonlah kelanggengan dalam amal salih sehingga bisa terus melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99).

Itulah tips secara umum bagi seorang hamba dalam meninggalkan bulan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal. Adapun lebih lanjut, berikut ini beberapa tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa, semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan, semoga bermanfaat!

1. Bersyukur

Seorang hamba Allah yang baik, tentulah berusaha senantiasa mengingat nikmat-nikmat-Nya agar ia senantiasa bersyukur kepada-Nya sehingga meningkatlah kecintaan kita kepada-Nya. Saudaraku yang seiman! Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat Allah bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan. Bukankah banyak dari saudara-saudara kita tidak bisa lagi mendapatkan nikmat ini?

Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat taufik dari Allah sehingga kita bisa melakukan berbagai macam keta’atan kepada-Nya di bulan Ramadhan yang telah berlalu.

Bahkan saudaraku, kita wajib bersyukur -sebelum itu semua- bahwa kita dianugerahi kenikmatan bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan dan keluar darinya dalam keadaan beriman.

Saudaraku seiman! Kita semua butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah yang telah memberi taufik-Nya kepada kita, sehingga kita bisa menyelesaikan berbagai macam ibadah pada bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Hati seorang hamba yang muwaffaq (yang mendapatkan taufik) benar-benar menghayati bahwa karunia kemudahan beramal shalih selama Ramadhan itu berasal dari Allah, maka layaklah kita berucap sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam,

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Iapun (Nabi Sulaiman) berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (An-Naml:40).

Bukankah prinsip hidup kita adalah لا حول ولا قوة إلا بالله , “Tidak ada daya dan upaya (makhluk) kecuali dengan pertolongan Allah?” La haula wala quwwata illa billah adalah sebuah kalimat yang menggambarkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala dan mengandung pengakuan bahwa tidak ada satupun pencipta dan pengatur alam semesta ini kecuali Allah, tidak ada satupun yang bisa menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki sesuatu terjadi dan bahwa tidak mungkin seorang hamba menghendaki sesuatu kecuali hal itu dibawah kehendak Allah.

Maka nampaklah dalam kalimat yang agung ini, ketidakberdayaan makhluk di hadapan Rabbnya, bahwa keburukan apapun tidak akan mungkin dihindari melainkan jika Allah menjauhkannya darinya. Demikian pula, tidaklah mungkin seorang hamba bisa mendapatkan atau melakukan sebuah kebaikan, seperti keimanan, shalat, puasa, mencari rezeki yang halal dan yang lainnya kecuali dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla.

Di sinilah nampak dengan jelas letak kewajiban bersyukur kepada Allah dalam setiap kebaikan yang didapatkan oleh seorang hamba dan dalam setiap amal salih yang berhasil dilakukan oleh seorang hamba. Amalan salih sebesar apapun akan menjadi kecil di sisi kebesaran dan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla dan kekuatan hamba sebesar apapun akan menjadi lemah di sisi kekuatan Rabbus samawati wal ardh, Tuhan semesta alam.

2. Istighfar

Tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa dan semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan adalah beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba butuh memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam melakukan semua bentuk peribadatan karena bagaimanapun baiknya peribadatan yang kita lakukan pasti ada kekurangan. Demikianlah selayaknya kondisi seorang hamba setiap selesai melaksanakan ibadah, agar beristigfar kepada Allah atas segala kekurangan yang terjadi.

  • Tidakkah kita ingat bahwa setelah shalat disyari’atkan untuk istighfar 3 kali? Dalam sebuah hadits disebutkan,أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثاًRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah selesai shalat biasa beristighfar tiga kali” (Shahih Muslim: 591).
  • Tidakkah kita tahu bahwa setelah ibadah wuquf di Arafah dalam ibadah haji Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk Istighfar? Allah Ta’ala berfirman:ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:199).
  • Tahukah Anda hikmah disyari’atkan zakat fithri -di masyarakat kita dikenal dengan zakat fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam haditsعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ  مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ“Diriwatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu termasuk sedekah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
    Zakat fithri disyari’atkannya pada akhir Ramadhan setelah sekian banyak ketaatan sudah dilakukan oleh seorang hamba selama dua pertiga bulan Ramadhan. Ini isyarat bagi kita agar setelah kita melakukan berbagai macam ketaatan sesudah Ramadhan, tidak tertipu dengan ketaatan yang telah berhasil kita lakukan, bahkan justru mengingat kekurangan-kerungan kita dalam beribadah.
  • Tidakkah kita sadar setelah melaksanakan dua pertiga keta’atan pada bulan Ramadhan berupa shalat wajib,puasa, shalat Tarawih, baca Al-Qur’an dan lainnya, kemudian saat lailatulqadar, apakah yang kita ucapkan?اللهم إنك عفوٌّ  تُحبُّ العفوَ فاعفُ عني“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai maaf, maka maafkanlah kesalahanku” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, lihat: Shahih At-Tirmidzi).
  • Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan Rasul-Nya untuk beristigfar setelah menyelesaikan mayoritas tugas akbarnya menyampaikan risalah dakwah,sebagaimana dalam surat An-Nashr! Allah berfirman,إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ(1)Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا(2)dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا(3)maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

Ulama menjelaskan bahwa demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bagaimana selayaknya kondisi seorang hamba tiap selesai melaksanakan ibadah, tidak tertipu dengan ibadah yang dilakukan, bahkan disyari’atkan bagi kita untuk menutup amal salih dengan istighfar.

Setiap hari hendaknya kita beristighfar kepada Allah dari segala dosa yang kita lakukan. Syari’at istighfar ini tidak hanya dilakukan setelah ibadah yang terkait dengan penunaian hak Allah, namun juga termasuk keta’atan lain berupa ihsan kepada sesama manusia dan membantu manusia dalam kebaikan. Hikmahnya adalah agar tidak ada perasaan ujub atau merasa berbangga dengan jasa dan prestasi kebaikan, menganggap suci diri, sombong, dan silau dengan amal yang telah dilakukan, baik amal tersebut terkait dengan pemenuhan hak Allah maupun terkait dengan hak manusia.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26151-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-1.html

Sunnah-Sunnah Setelah Ramadhan

Sungguh suatu kenikmatan kita bisa berkesempatan untuk bertemu dengan Ramadhan. Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dimana kita melaksanakan ibadah yang mulia, yaitu berpuasa. Puasa memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah orang yang berpuasa akan mendapatkan pengampunan dosa. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  yang menyebutkan bahwa Allah berjanji pada hamba-Nya yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu,Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

 

Setelah berlalu bulan Ramadhan, jangan sampai semangat beribadah kita menjadi kendor karena perjalanan kita masih panjang dan masih perlu banyak bekal untuk bisa mendapatkan nikmat di kehidupan akhirat nanti. Oleh karena itu, sebagai seorang muslimah harus tetap bersemangat beribadah walaupun bulan Ramadhan sudah berlalu dan bersemangat dalam menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah.  Amalan-amalan yang disunnahkan setelah bulan Ramadhan tersebut diantaranya adalah:

Shalat ‘Id (Hari Raya)

Shalat ‘Id merupakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah setelah kita mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah yang agung, yaitu puasa Ramadhan. Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk melaksanakan shalat tersebut baik muslim maupun muslimah. Disunnahkan bagi muslimah untuk menghadirinya dengan tidak memakai wangi-wangian maupun pakaian yang penuh hiasan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hendaknya mereka (para wanita) berangkat dengan tidak memakai wewangian.” (H.R. Bukhari/324 dan Muslim/2051)

 

Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fithri dan Idul Adha para gadis, wanita haidh dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haidh tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memberikan pinjaman untuknya.”  (H.R. Al Bukhari no. 324 dan Muslim no. 890)

 

Memperbanyak puasa sunnah

Salah satunya adalah puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ayyamul bidh setiap bulannya pada bulan Hijriyah, puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, puasa Asyura, puasa Daud dan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Berpuasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan karena puasa ini menyempurnakan puasa Ramadhan yang telah dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshariy,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

 

Berikut ini faedah yang akan didapatkan jika seseorang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal yang disebutkan oleh Ibnu Rajab (Latha’if Al Ma’arif, hal. 244),

  • Puasa enam hari di bulan Syawal akan menyempurkan pahala berpuasa setahun penuh
  • Puasa enam hari di bulan Syawal sebagaimana shalat sunnah rawatib, yaitu amalan sunnah yang akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada di dalam amalan wajib
  • Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
  • Allah berjanji akan mengampuni dosa hambaNya yang telah lalu bagi yang melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, yaitu puasa enam hari di bulan Syawal

 

Akad Nikah

Hal ini berdasarkan perkataan A’isyah radhiyallahu ‘anha, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Muslim).

Iktikaf

Bagi orang yang terbiasa melakukan iktikaf, namun karena ada udzur yang menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan iktikaf di bulan Ramadhan, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan iktikaf di bulan Syawal sebagai bentuk qadha sunnah.

A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan iktikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau berkata kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak iktikaf di bulan itu, dan beliau iktikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal. (HR. Al Bukhari & Muslim).

Wallahu a’lam.

Penulis : Annisa Nurlatifa Fajar (Ummu Tsurayya)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10320-sunnah-sunnah-setelah-ramadhan.html