9 Golongan dalam Salat, di Mana Posisi Anda?

MENGAPA sampai saat ini kita merasa bahwa ibadah salat kita tak banyak memberi dampak positif terhadap kondisi sosial bangsa kita? Barangkali, karena setiap kita masih dalam tahap-tahap awal dalam upaya mendirikan salat.

Mari kita nilai kualitas salat kita, nanti akan terjawab kenapa kita seringkali tidak mendapat pertolongan Allah. Hal ini juga dapat menjelaskan secara keseluruhan, mengapa saat ini umat Islam tidak lagi menjadi umat yang agung seperti dulu.

 

Golongan pertama

Kita bisa lihat hari ini sudah banyak umat Islam yang tidak salat, bahkan banyak juga yang tidak tahu cara salat yang benar; mereka telah jatuh kafir. Imam Malik berkata bahwa jatuh kafir kalau tidak salat tanpa sebab. Imam Syafi’i berkata jatuh fasik – (pun masuk neraka juga) kalau ia masih yakin sembahyang itu fardu.

Golongan kedua

Orang yang mengerjakan salat secara lahiriah saja, bacaan pun masih tak betul, taklid buta, main ikut-ikut orang saja tanpa percaharian yang sungguh-sungguh. Belajar salat seadanya. Ilmu tentang salat tidak dianggap penting. Golongan ini tertolak bahkan berdosa besar dan hidup dalam kondisi durhaka kepada Allah Taala.

Golongan ketiga

Orang yang mengerjakan salat, bahkan tahu ilmu tentang salat, tetapi tak mampu melawan nafsu terhadap godaan dunia yang kuat. Jadi mereka ini kadang salat, kadang tidak. Kalau ada waktu dan mood baik; ia salat, kalau sibuk bekerja atau menjamu tamu, ada hajatan, pesta ria, berziarah, bepergian, letih dan penat, maka ia tak salat orang ini jatuh fasik.

Golongan keempat

Orang yang salat, kalaupun ilmunya tepat, fasih bacaannya, tapi tak khusyuk kalau diperiksa satu persatu bacaannya, lafaznya banyak yang tak dia mengerti, pikirannya tak terpusat atau tak berfokus sepenuhnya pada salat yang dilaksanakannya karena tak mengerti apa yang dia baca. Cuma main hafal saja. Jadi pikirannya terus terfokus pada dunia dan alam sekelilingnya. Pikirannya mengembara dalam salat, orang ini lalai dalam salat. Neraka Wail bagi orang jenis ini.

Golongan kelima

Orang yang salat cukup lima waktu, tepat ilmunya, memahami setiap bacaan salat, fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tapi tak dihayati maksud dalam salat itu. Pikirannya masih melayang mengingatkan hal dunia, karena faham saja tetapi tidak dihayati. Golongan ini dikategorikan sebagai salat awamul muslimin.

Golongan keenam

Golongan ini lebih baik sedikit dari golongan yang ke lima tadi, tapi main tarik tali di dalam salatnya, sesekali khusyuk, sesekali lalai. Bila teringat sesuatu di dalam salatnya, teruslah terbawa, berkhayal dan seterusnya. Bila teringat Allah secara tiba-tiba, maka insaf dan sadarlah kembali, mencoba dibawa hatinya serta pikirannya untuk menghayati setiap kalimat dan bacaan di dalam salatnya. Begitulah sampai selesai salatnya. Ia merintih dan tak ingin jadi begitu, tapi terjadi juga. Golongan ini adalah golongan yang lemah jiwa. Nafsunya bertahap mulhamah (artinya menyesal akan kelalaiannya dan mencoba perbaiki kembali, tapi masih tak sanggup karena tidak ada kekuatan jiwa). Golongan ini terserah kepada Allah. Yang sadar dan khusyuk itu mudah-mudahan diterima oleh Allah, mana yang lalai itu moga-moga Allah ampunkan dosanya, namun tidak ada pahala nilai sembahyang itu. Artinya salatnya tidak berdampak apa-apa. Allah belum lagi cinta akan orang jenis ini.

Golongan ketujuh

Orang yang mengerjakan salat tepat ilmunya, memahami secara langsung bacaan dan setiap lafaz di dalam salatnya. Hati dan pikirannya tidak terbawa dengan keadaan sekelilingnya sehingga pekerjaan atau apa pun yang dilakukan atau yang dianggap diluar sembahyang itu tidak mempengaruhi salatnya. Meskipun ia memiliki harta dunia, menjalankan kewajiban dan tugas keduniaan seperti bisnis dan sebagainya namun tidak mempengaruhi salatnya. Hatinya masih dapat memuja Allah di dalam salatnya. Golongan ini disebut orang-orang saleh atau golongan abrar ataupun ashabul yamin.

Golongan kedelapan

Golongan ini seperti juga kaum tujuh tetapi ia memiliki kelebihan sedikit yaitu bukan saja mengerti, dan tak tergoda dunia di dalam salatnya, malahan dia dapat menghayati setiap makna bacaan salatnya itu, pada setiap kalimat bacaan fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tasbihnya pada setiap sujudnya dan setiap gerak geriknya dirasakan dan dihayati sepenuhnya. Tak teringat langsung dengan dunia walaupun sedikit. Tapi namun ia masih tersadar dengan alam sekelilingnya. Pemujaan terhadap Allah dapat dirasakan pada gerak dalam salatnya. Inilah golongan yang dinamakan kaum Mukkarrabin (yang hampir dekat dengan Allah).

Golongan kesembilan

Golongan ini adalah golongan yang tertinggi dari seluruh golongan tadi. Yaitu bukan saja ibadah salat itu dijiwai di dalam salat malahan ia dapat mempengaruhi di luar salat. Kalau ia bermasalah langsung ia salat, karena ia yakin salat menjadi pemecah segala masalah. Salat telah menjadi pendingin hatinya. Ini dapat dibuktikan di dalam sejarah, seperti salat Ali ketika panah terpacak dibetisnya. Untuk mencabutnya, ia lakukan salat dulu, maka di dalam salat itulah panah itu dicabut. Mereka telah yakin dengan salatnya. Makin banyak salat semakin terasa lezat, dengan salatlah cara ia lepaskan kerinduan dengan Tuhannya. Dalam salatlah ia mengadu kepada Tuhannya. Alam sekelilingnya langsung tidak ia hiraukan. Apa yang terjadi di sekelilingnya langsung tak dipedulikannya. Hatinya hanya pada Tuhannya. Golongan inilah yang disebut golongan Siddiqin. Golongan yang benar dan haq.

Setelah kita nilai keseluruhan sembilan tingkat salat tadi, maka dapatlah kita nilai salat kita di tingkat yang mana. Maka ibadah salat yang dapat mengembangkan jiwa, mengembangkan iman, menjauhkan dari yang buruk, dapat mencegah mazmumah (sifat tercela yang dapat membinasakan kita), menanamkan mahmudah (akhlak yang diridai Allah) yang melahirkan disiplin hidup, melahirkan akhlak yang agung adalah golongan tujuh, delapan dan sembilan saja. Salat yang berkualitas, sedangkan golongan yang lain jatuh pada kufur, fasik dan zalim.

Jadi dimanakah tahap salat kita? Perbaikilah diri kita mulai dari sekarang. Jangan tangguhkan lagi. Pertama-tama pertanyaan yang akan ditujukan kepada kita di akhirat nanti adalah salat atau salat kita.[Almanar]

Berjamaah Menuju Jannah

Setelah serangan mematikan bertubi-tubi dilancarkan musuh-musuh Islam terhadap kedaulatan Islam dan kaum muslimin dimana dinamika internal yang silih berganti bergejolak juga mewarnai perjalanan sejarah Ummat Islam dalam menuntaskan perannya sebagai ummat pilihan Alloh di era akhir zaman, akhirnya khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924 dengan dihapuskannya kesultanan Turki Utsmani oleh seorang ketururunan Yahudi bernama Musthapa Kemal. Semenjak itu, kaum muslimin memasuki era yang membingungkan karena konsep kehidupan berjama’ah yang dikenal Islam adalah satu bentuk kehidupan yang tertata dibawah seorang Imam Mumakkan (berkuasa penuh memimpin ummat). Akibatnya, jangankan mengemban misi rahmatan lil ‘alamiin sedangkan untuk mempertahankan eksistensi dan menjalankan tugas-tugas internal saja, kaum muslimin sudah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan yang sangat hebat.

Musthapa Kemal tentunya tidak bekerja seorang diri bersama kelompoknya, disamping ia adalah seorang perwira tinggi militer yang amat memahami kerja-kerja tersistem dan terorganisasi dengan baik maka ia juga disokong sepenuhnya oleh gerakan Yahudi Internasional baik yang bergerak tertutup maupun institusi-institusi terbuka yang dimiliki jaringan Zionisme yang telah menguasai dunia ekonomi dan perbankan. Langkah-langkah revolusioner Musthapa Kemal hanyalah menyamakan irama dan derap langkah konspirasi Yahudi bagi terwujudnya impian mereka akan Israel Raya ditanah yang dijanjikan Tuhan versi mereka, yakni negara Yahudi di bumi Syam (khususnya Palestina).

Jadi Musthapa Kemal sebenarnya bekerja dengan sistem yang dalam Islam disebut sebagai Jama’ah. Sedangkan ia hanyalah icon pendobrak dan pemersatu yang menghancurkan sistem kehidupan Islam yang tersisa dari perjalanan sejarah Ummat Islam. Maka sangat disayangkan jika kaum muslimin justru melupakan hakekat ini, sehingga sistem Jama’ah semakin ditinggalkan kecuali pada hal-hal parsial saja atau paling maksimal adalah munculnya klaim berjama’ah namun ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ditambah lagi musibah munculnya fanatisme kelompok (quyyud hizbiyyah) yang semakin menjerat ummat pada posisi saling berhadapan dengan penuh persaingan dan ambisi saling menjatuhkan sesamanya. Dimana fenomena berbahaya ini telah ditangkap oleh seorang da’i dari Jama’ah Islamiyah Libanon (salah satu wilayah Syam) yakni ustadz Fathi Yakan rohimahulloh dengan istilah beliau yakni Aids Haroki. Wallohul Musta’an!

Tragedi keruntuhan Khilafah Islamiyah juga sekaligus menandakan masuknya kaum muslimin dalam kejatuhan kehidupan tanpa Jama’atul Muslimin sementara musuh kemanusiaan, yakni kaum Yahudi justru berhasil membangun kehidupan berjama’ah (sesuai versi mereka). Ketiadaan Jama’atul Muslimin dalam pengertian dan kriteria Syar’i  juga setidaknya telah dibuktikan secara ilmiah dihadapan para Masyaikh di Jamiyyatul Islamiyah Madinah Munawarroh oleh Ustadz Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir ,MA  dalam tesis masternya yang mendapat nilai imtiyyaz (Excellent). Padahal Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ Dan aku memerintahkan kepada kalian lima hal yang Alloh memerintahkan aku dengan kelima hal tersebut, yaitu: berjama’ah, mendengarkan, mematuhi, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh. Barangsiapa keluar dari jama’ah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya hingga ia kembali lagi…” Mereka bertanya: “ Wahai Rasululloh, sekalipun dia sholat dan puasa ?” Rasululloh menjawab: “ Sekalipun dia puasa, sholat  dan mengaku (dirinya) muslim.”  (HR. Ahmad, 4/202)

Tauhid dan Jama’ah adalah Kesatuan

Pembicaraan tentang Jama’ah membutuhkan kajian yang serius dan mobilisasi umum (keterlibatan semua unsur), oleh karena persoalan Jama’ah merupakan batu pondasi pertama untuk mewujudkan suatu ide (wacana) pikiran menjadi nyata dan kongkrit. Tanpa jama’ah, maka ide pikiran apapun tak akan pernah bisa menjadi eksis dan bertahan kekal. Barangkali kita masih ingat dengan perkataan Imam besar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rohimahulloh saat beliau melihat kefaqihan Laits bin Sa’ad, ilmunya dan periwayatan haditsnya. Lalu beliau mengucapkan perkataannya yang amat masyhur: “ Laits bin Sa’ad lebih faqih dari Malik, hanya saja para shahabatnya tidak ada yang menjadi penerusnya.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi suatu ide pemikiran serta kelangsungannya. Tanpa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim, maka suatu ide pemikirian tidak akan bisa eksis dan bertahan. Maka jika kita memahami hal ini, kemudian berpikir sejenak mengenai prikehidupan nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam dan kita mengkaji secara seksama dari permulaan dakwah beliau hingga kemenangan diinnyaserta apa yang diserukan beliau kepada manusia, niscaya kita akan melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa yang pertama diserukan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam adalah Tauhid dan Jama’ah.

Dahulu, apabila seseorang menjawab seruan nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam dan masuk menjadi muslim muwahhid maka dia memutuskan segala pertaliannya yang sebelumnya. Dia keluar secara psychis maupun phisiknya dari segala ikatan lama, baik ikatan keluargaatau kabilah atau ikatan apapun selainnya dan bergabug pada jama’ah yang baru (yakni jama’atul muslimin) dan terikat dengannya secara total dalam hal loyalitas, pembelaan, menjalankan perintah, empati maupun simpatinya. Gambaran ini tercermin pada sabda nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam:

Permisalan seorang mukmin dalam berkasih sayang dan berlemah lembut serta kecintaan diantara mereka adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tak dapat tidur.”

Jika prikehidupan orangorang Islam adalah demikian maka tidaklah aneh syiar seorang muslim yang benar (dalam aqidah dan manhajnya) adalah intima’ dibawah syiar (Firqoh An Naajiyah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak kisah generasi pertama yang berkaitan dengan konsepsi pemikiran kaum Sunni dalam permasalahan aqidah. Mereka menulis didalamnya apa yang disebut Kitaabul Aqoo’id. Dimana kitab-kitab tersebut disusun dengan satu maksud dan tujuan untuk menjelaskan konsep pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana seharusnya dan untuk menolak i’tiqod-i’tiqod yang menyelisihinya dari berbagai aliran pemikiran, yang oleh sebagian orang jsutru dianggap sebagai bagian dari Diinulloh (padahal samasekali bukan), yakni aqidah golongan Mu’tazilah, golongan jabariyah, golongan Syia’ah, golongan Khawarij dan golongan-golongan yang beraqidah sesat lainnya.

Namun demikian, masalah jama’ah masih belum diterangkan secara terperinci dalam kitab-kitab tersebut, oleh karena jama’ah yang perlu mendapatkan penjelasan pada era kehidupan mereka adalah masalah Imam Mumakkan dan sejauh mana kesyar’ian pembrontakan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Imam Mumakkan itu yang didorong sikap baghyun (sikap aniaya dan durhaka) dan fasik. Demikian pula sejauh mana kesyar’ian Imam Mafdhul (Imam yang kalah keutamaannya) dengan adanya Imam Afdhol (yang ebih unggul keutamaannya). [1] jadi wajar kalau kaum muslimin sekarang mengalami kebingungan dalam mengimplementasikan konsep Jama’ah dalam kehidupan yang nyata-nyata dikalahkan oleh musuh-musuh Islam, baik dari kalangan Kuffar Internasional maupun penguasa lokal yang murtad.

Tsauroh Suriah menjanjikan Kembalinya Jama’atul Muslimin

Jika bahasan diatas cukup mengerenyutkan dahi dan menyesakkan dada hingga mampu meneteskan air mata, fenomena yang kita tangkap dari apa sedang terjadi di Suriah saat ini insya Alloh akan mampu memberi harapan baru bagi kembalinya kehidupan berjama’ah yang hakiki dan syar’i bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Namun semua cita-cita butuh biaya dan pengorbanan maksimal serta dedikasi total. Hanya orang malas dan tolol saja yang terus-menerus berteriak tentang apa yang diinginkannya namun tidak mau beranjak dari kenyataan pahit yang melingkupinya.

Tragedi yang dilanjutkan dengan perlawanan total kaum muslimin di Suriah telah memperlihatkan kwalitas Ahlus Syam yang gagah perwira sebagaimana yang disebutkan berbagai keutamaan mereka dalam hadits-hadits nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Ratusan ribu orang dari berbagai strata sosial dan usia yang telah dibantai rezim Basyar Asad an Nushoiry dengan dibantu Republik Syiah Iran, Negara Komunis China dan Rusia serta milisi-milisi bersenjata Syiah dari berbagai negara seperti Irak, Libanon, Yaman bahkan kaum Syiah di Indonesia ikut membuka pendafataran Relawan Combatan (tempur) dan non Combatan untuk berperang membela rezim jahat dimana kejahatannya melampui kekejian yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Namun jihad kaum muslimin Syam semakin menampakkan ketahanan dan daya juang yang amat luar biasa sehingga Alloh Azza wa Jalla berkenan menggerakkan hati-hati kaum Mujahidin dari kurang lebih 29 negara di dunia padahal mereka juga sedang sibuk berjihad melawan para thughyaan di negri mereka sendiri. Mereka kini hadir di Suriah dengan seluruh dedikasi dan kemampuan tempurnya dalam mengokohkan Jihad di bumi Syam.

Dan yang paling menggembirakan hati setiap orang mukmin, seruan revolusi Suriah telah bermetamorfose pada penegakkan Khilafah Islamiyah bagi dunia Islam. Hal inilah kemudian yang diantispasi kaum Kuffar sedunia dengan gembong-gembongnya dari kalangan munafik dan zindiq di seluruh negri kaum muslimin, mereka bukan saja mendatangkan segala kekuatan bersenjatanya ke Suriah dan sekitarnya namun juga membrangus segenap potensi dan kekuatan Jihad di negri-negri mereka dengan issu terorisme. Mereka meratifikasi konvensi PBB dalam bentuk undang-undang anti terorisme yang pada asal dan muaranya adalah menghancurkan kekuatan Islam.

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfaal: 30)

Wallohu Ta’ala A’lamu bis showwab.

Ngruki,  Sya’ban 1434

Abu Fatih Abdurrahman S.

Red : Abdul Aziz Al Makassary

[1] Syekh Abu Qotadah Al Filisthiny fakkalohu asroh, Al Jihad wal Ijtihad.

 

 

sumber: BumiSyam,com

Keutamaan Sholat berjamaah selama 40 Hari Berturut-turut Tanpa Terlewatkan Takbirotul Ihrom Bersama Imam

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ   النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbir pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).

BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH YANG TERKANDUNG DI DALAM HADITS INI:

1. Hadits ini menerangkan tentang dua keutamaan besar bagi orang yang melaksanakan sholat berjama’ah selama 40 (empat puluh) hari tanpa terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam. Dua keutamaan besar tersebut ialah: Selamat dari siksa Api Neraka di akhirat, dan selamat dari kemunafikan di dunia.

2. Yang dimaksud dengan selamat dari kemunafikan ialah sebagaiman dijelaskan oleh Al-‘Allamah al-Thiibi rahimahullah, ia berkata: ”Ia dilindungi (oleh Allah) di dunia ini dari melakukan perbuatan kemunafikan dan diberi taufiq untuk melakukan amalan orang-orang yang ikhlas. Sedangkan di akhirat, ia dilindungi dari adzab yang ditimpakan kepada orang munafik dan diberi kesaksian bahwa ia bukan seorang munafik. Yakni jika kaum munafik melakukan sholat, maka mereka sholat dengan bermalas-malasan. Dan keadaannya ini berbeda dengan keadaan mereka.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi I/201).

3. Dua keutamaan besar dari sholat berjamaah tersebut akan didapatkan oleh setiap muslim dan muslimah yang memenuhi beberapa syarat berikut ini:

  • Melaksanakan sholat dengan niat ikhlash karena mengharap ridho Allah semata.
  • Melaksanakan sholat sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
  • Melaksanakan sholat dengan berjama’ah, baik di masjid maupun musholla.
  • Menjaga sholat berjama’ah selama 40 hari (siang dan malamnya).
  • Mendapatkan takbiratul ihromnya imam secara berturut-turut, tanpa tertinggal atau terlambat (masbuq) sama sekali. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu:مَنْ وَاظَبَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لا تَفُوْتُهُ رَكْعَةٌ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ”Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman, no. 2746).

4. Seorang muslim yang pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam karena adanya udzur (halangan) syar’i, dan bukan merupakan kebiasaannya terlambat dari sholat berjamaah, maka ia bukanlah termasuk orang munafik.

5. Bagi siapa saja yang ingin meraih 2 keutamaan besar tersebut namun ia pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam, maka hendaknya ia memulai lagi dengan hitungan baru, dengan memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, orang-orang yang pernah terlambat dari takbirotul ihrom bersama imam karena adanya udzur (halangan) syar’i seperti sakit, berada di negeri kafir atau di daerah yang penduduknya tidak ada yang sholat, maka diharapkan baginya meraih 2 keutamaan besar tersebut, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhori 1, Muslim 1907)

Demikian beberapa pelajaran penting dan faedah ilmiyah yang dapat dipetik dari hadits ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan Taufiq dan bimbingan-Nya kpd kita semua agar dapat menjalankan setiap amal ibadah yang mendatangkan pahala besar dan keridhaan-Nya, serta menyelamatkan kita dari segala keburukan dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Amiin. 

 

sumber: Abu Fawaz

10 Alasan Kenapa Laki-Laki Harus Shalat Berjamaah Di Masjid

Memang ada ikhtilaf ulama apakah Wajib Ain bagi laki-laki hukumnya shalat  berjamaah di masjid atau hukumnya sunnah saja. Akan tetapi pendapat terkuat hukumnya wajib. Dengan beberapa alasan berikut:

 

1. Allah yang langsung memerintahkan dalam al-Quran agar shalat berjamaah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

، فلا بد لقوله { مع الراكعين } من فائدة أخرى وليست إلا فعلها مع جماعة المصلين والمعية تفيد ذلك

“makna firman Allah “ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’, faidahnya yaitu tidaklah dilakukan kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.”[1]

 

2. saat-saat perang berkecamuk, tetap diperintahkan shalat berjamaah. Maka apalagi suasana aman dan tentram. Dan ini perintah langsung dari Allah dalam al-Quran

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’ 102)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

ففي أمر الله بإقامة الجماعة في حال الخوف : دليل على أن ذلك في حال الأمن أوجب .

 

“pada perintah Allah untuk tetap menegakkan shalat jamaah ketika takut (perang) adalah dalil bahwa shalat berjamaah ketika kondisi aman lebih wajib lagi.”[2]

 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan,

وفي هذا دليل على أن الجماعة فرض على الأعيان إذ لم يسقطها سبحانه عن الطائفة الثانية بفعل الأولى، ولو كانت الجماعة سنة لكان أولى الأعذار بسقوطها عذر الخوف، ولو كانت فرض كفاية لسقطت بفعل الطائفة الأولى …وأنه لم يرخص لهم في تركها حال الخوف

“Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah,  Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama… dan Allah tidak memberi keringanan bagi mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ketakutan (perang).“[3]

 

3.Orang buta yang tidak ada penuntut ke masjid tetap di perintahkan shalat berjamaah ke masjid jika mendengar adzan, maka bagaimana yang matanya sehat?

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).”[4] 

Dalam hadits yang lain yaitu, Ibnu Ummi Maktum (ia buta matanya). Dia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».

“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.”[5]

 

4.wajib shalat berjamaah di masjid jika mendengar adzan

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.” [6]

 

5.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman kepada laki-laki yang tidak shalat berjamaah di masjid dengan membakar rumah mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.”[7]

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

وفي اهتمامه بأن يحرق على قوم تخلفوا عن الصلاة بيوتهم أبين البيان على وجوب فرض الجماعة

“keinginan beliau (membakar rumah) orang yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid merupakan dalil yang sangat jelas akan wajib ainnya shalat berjamaah di masjid”[8]

 

6.tidak shalat berjamaah di masjid di anggap “munafik” oleh para sahabat.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata:

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

Menurut pendapat kami (para sahabat), tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.”[9] 

 

7.shalat berjamaah mendapat pahala lebih banyak

Dalam satu riwayat 27 kali lebih banyak

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”[10]

diriwayat yang lain 25 kali lebih banyak:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.”[11]

Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.

 

8.keutamaan shalat berjamaah yang banyak

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

“Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.”[12]

 

9. tidak shalat berjamaah akan dikuasai oleh setan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”[13]

 

10.amal yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik maka seluruh amal baik dan sebaliknya, apakah kita pilih shalat yang sekedarnya saja atau meraih pahala tinggi dengan shalat berjamaah?

Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.”[14]

 

Khusus bagi yang mengaku mazhab Syafi’i (mayoritas di Indonesia), maka Imam Syafi’i mewajibkan shalat berjamaah dan tidak memberi keringanan (rukshah).

Imam Asy Syafi’i  rahimahullah berkata,

وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر

Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.[15]

Berikut ini beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid.
1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
1 4 . Menjawab imam saat mengucapkan sami’allah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Qur’an.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat.[16]

 

Masih banyak dalil-dalil lainnya mengenai wajib dan keutamaan shalat berjamaah di masjid.

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

 

Makalah Kajian di Mustek

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

www.muslimafiyah.com (Foto: Arrahmah.com )

Pria yang Meninggalkan Shalat Jama’ah Sungguh Merugi

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’ain.

Sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat ini. Jika kita sedikit memalingkan pandangan ke masjid-masjid, kita akan menyaksikan bahwa rumah Allah yang ada sangat sedikit sekali dihuni oleh jama’ah ketika mu’adzin meneriakkan hayya ‘ala shalah. Berlatar belakang inilah, dalam risalah yang ringkas ini kami berusaha mendorong setiap orang yang membaca tulisan ini untuk melakukan shalat yang memiliki banyak keutamaan yaitu shalat berjama’ah. Semoga Allah selalu memberi hidayah dan taufik kepada kita sekalian.

Pertama: Shalat Jama’ah Memiliki Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” [1]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً

Shalat jama’ah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala  50 shalat.” [2]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.” [3]

Kedua: Dengan Shalat Jama’ah Akan Mendapat Pengampunan Dosa

Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berjalan untuk menunaikan shalat wajib yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”[4]

Ketiga: Setiap Langkah Menuju Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, MalaikatAkan Senantiasa Mendo’akannya

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.  Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats. ” [5]

Keempat: Melaksanakan Shalat Jama’ah Berarti Menjalankan Sunnah Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan Sunnahnya

Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat.” [6]
Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib sendirian atau melaksanakan shalat jama’ah namun di rumah (bukan di masjid) sehingga tidak nampaklah syi’ar Islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang yang betul-betul meremehkannya … , maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syi’ar shalat berjama’ah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.” [7]

Catatan: Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah ini ditujukan bagi kaum pria, sedangkan wanita lebih utama shalat di rumahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma’ kaum muslimin).

Semoga dengan risalah yang singkat ini dapat mendorong kita untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Semoga masjid-masjid kaum muslimin dapat terisi terus dengan banyaknya jama’ah.

Pembahasan ini masih akan dilanjutkan dengan hukum shalat jama’ah. Semoga Allah memudahkan urusan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****

Panggang, Gunung Kidul, 1 Robi’ul Akhir 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Endnote:
[1] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Kewajiban Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 43-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras Apabila Seseorang Meninggalkannya]
[2] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Syarh Shohih Al Bukhari li Ibni Baththol, 2/271, Maktabah Ar Rusyd
[4]  HR. Muslim. [Muslim: 3-Kitab Ath Thoharoh, 4-Bab Keutamaan Wudhu dan Shalat Sesudahnya]
[5] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Wajibnya Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 50-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Keutamaan Menunggu Shalat]
[6] HR. Muslim. [Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 45-Bab Shalat Jama’ah adalah Sunanul Huda]
[7] Dalil Al Falihin Li Thuruqi Riyadhis Sholihin, 6/402, Asy Syamilah