Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 5)

Kapan tidak dianjurkan shalat tahiyyatul masjid

Shalat tahiyyatul masjid tidak dianjurkan dalam beberapa kondisi berikut ini.

Pertama, ketika seseorang keluar-masuk masjid berulang kali dalam waktu berdekatan.

Dalam kondisi semacam ini, sebagian ulama mengatakan bahwa yang disyariatkan baginya adalah cukup melaksanakan shalat tahiyyatul masjid sebanyak dua raka’at, dan tidak perlu diulang setiap kali masuk masjid. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah. Sebagian mereka memberikan alasan bahwa kalau dianjurkan shalat tahiyyatul masjid berulang-ulang setiap kali masuk masjid, tentu hal ini akan memberatkan (masyaqqah).

Sebagian ulama berpendapat bahwa tetap dianjurkan shalat tahiyyatul masjid dalam kondisi semacam ini. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, An-Nawawi Asy-Syafi’i, dan diikuti oleh ulama belakangan, Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahumullah. Mereka beralasan bahwa inilah yang lebih dekat dengan pemahaman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Wallahu Ta’ala a’alm, yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu cukup dua raka’at saja, dan tidak perlu diulang setiap kali keluar-masuk masjid. Hal ini karena seseorang yang keluar masjid sebentar, kemudian masuk masjid lagi, tidaklah dikatakan keluar masjid secara mutlak. Sebagaimana kondisi semacam ini tidaklah memutus i’tikaf orang-orang yang sedang i’tikaf. Adapun orang-orang yang keluar masjid dan tidak ada niat masuk masjid di waktu berdekatan, maka disyariatkan baginya untuk shalat tahiyyatul masjid kembali ketika masuk masjid di waktu berikutnya.

Ke dua, jika masuk masjid dan langsung duduk tanpa mendirikan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu.

Jika seseorang masuk masjid dan langsung duduk, maka tidak disyariatkan lagi shalat tahiyyatul masjid ketika jedanya sudah terlalu lama. Adapun jika jedanya sebentar, maka tetap disyariatkan shalat tahiyyatul masjid, meskipun sudah duduk.

Dalil dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِذْ جَاءَ رَجُلٌ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَصَلَّيْتَ؟ يَا فُلَانُ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah menunaikan shalat (dua raka’at), wahai Fulan?” Laki-laki itu pun menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangun dan shalatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Kandungan hadits ini adalah jika seseorang meninggalkan shalat tahiyyatul masjid karena tidak tahu atau lupa, maka disyariatkan untuk melaksanakannya selama jedanya tidak lama. Inilah pendapat yang terpilih.” (Al-Majmu’, 4: 53)

Adapun jika duduknya tersebut sudah lama, maka ulama mengatakan bahwa waktunya sudah terlewat, sehingga tidak disyariatkan lagi. Hal ini karena jika seseorang sudah duduk lama di masjid dan belum melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, menunjukkan bahwa dia telah berpaling dari shalat tersebut. Inilah pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala a’lam.

Ke tiga, ketika masuk masjid, shalat jamaah sedang berlangsung.

Dalam kondisi ini, juga tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid. Baik shalat jamaah yang sedang berlangsung adalah shalat wajib, atau shalat tarawih. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kami sebutkan sebelumnya,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.” (HR. Muslim no. 710)

Hal ini karena maksud dari disyariatkannya shalat tahiyyatul masjid untuk menghormati masjid sebagai tempat ibadah kaum muslimin dengan mendirikan ibadah shalat, apa pun jenis shalatnya. Sehingga maksud tersebut tercapai dengan mendirikan shalat apa pun, baik shalat wajib, shalat sunnah, shalat qadha’, sebagai pengganti dari shalat tahiyyatul masjid.

Ke empat, ketika masuk masjid ketika khutbah Jum’at, dan khutbah tersebut hampir selesai.

Dalam kondisi ini, dia menunggu sampai khutbah selesai, karena duduk sebelum mendirikan shalat tahiyyatul masjid itu perkara yang dibenci oleh syariat. Hal ini karena tidak memungkinkan baginya untuk shalat tahiyyatul masjid, karena sebentar lagi iqamah akan dikumandangkan.

Ke lima, jika masuk masjidil haram dalam rangka ingin thawaf.

Dalam kondisi ini, juga tidak dianjurkan shalat tahiyyatul masjid sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikianlah pembahasan beberapa hukum fiqh terkait shalat tagiyyatul masjid, semoga bisa dipahami dan bisa diamalkan.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51159-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-6.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 4)

Shalat tahiyyatul masjid ketika memasuki masjidil haram

Perlu diketahui bahwa terdapat dua keadaan ketika seseorang memasuki masjidil haram, yaitu:

Pertama, memasuki masjidil haram untuk melaksanakan ibadah thawaf.

Dalam kondisi ini, dia tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, baik thawaf tersebut dalam rangka ibadah haji atau ibadah umrah, atau dalam rangka thawaf sunnah. Hal ini karena ibadah thawaf tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap masjidil haram, sebagaimana hikmah di balik disyariatkannya shalat tahiyyatul masjid. 

Yang disyariatkan bagi orang yang hendak thawaf adalah dia melaksanakan thawaf, kemudian melaksanakan shalat sunnah thawaf di belakang maqam Ibrahim. Janganlah dia duduk, kecuali telah melaksanakan shalat sunnah thawaf. Dengan rangkaian ibadah tersebut, maksud dari shalat tahiyyatul masjid sudah tercapai dengan thawaf dan shalat sunnah thawaf, sehingga tidak disyariatkan lagi untuk shalat tahiyyatul masjid secara khusus. 

Inilah yang disyariatkan bagi orang-orang yang hendak thawaf. Adapun yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, baru thawaf, maka tindakan ini menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjidil haram, beliau mulai dengan thawaf, sebagaimana dalam riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu dan selainnya. 

Adapun jika seseorang mau duduk terlebih dahulu, baru thawaf, baik karena ingin istirahat terlebih dahulu; atau karena masih menunggu rombongan umrah yang lain; atau karena sebab-sebab yang lain; maka yang disyariatkan adalah dia melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Ke dua, memasuki masjidil haram untuk melaksanakan ibadah selain thawaf, misalnya untuk menunggu waktu shalat wajib, membaca Al-Qur’an, dzikir, mengahdiri majelis ilmu (pengajian), atau selainnya. 

Dalam kondisi ini, yang disyariatkan adalah melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, berdasarkan makna umum dari hadits di atas. 

Sebagian orang menyangka bahawa shalat tahiyyatul masjid itu gugur ketika memasuki masjidil haram, karena tahiyyah untuk masjidil haram adalah thawaf, bukan shalat tahiyyatul masjid. Ini adalah pemahaman yang keliru. Yang mungkin saja karena salah paham terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ – حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ، ثُمَّ طَافَ

“Perkara pertama yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai (di Makkah) adalah berwudhu, kemudian thawaf.” (HR. Bukhari no. 1614, 1641, dan Muslim no. 1235)

Maksud yang tepat dari hadits di atas adalah dianjurkan untuk memulai dengan thawaf, baik thawaf wajib atau thawaf sunnah, bagi yang memasuki masjidil haram. Dia tidak perlu shalat tahiyyatul masjid, kecuali jika memang tidak ada niat (keinginan) untuk thawaf karena ‘udzur (alasan) tertentu. 

Bukanlah maksud dari hadits ini bahwa shalat tahiyyatul masjid itu tidak disyariatkan secara mutlak ketika seseorang memasuki masjidil haram, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin. 

Selain itu, jika bentuk tahiyyah untuk masjidil haram adalah hanya dengan thawaf (tidak dengan shalat tahiyyatul masjid), maka ini adalah syariat yang memberatkan, yang tidak mungkin syariat Islam yang mudah ini menetapkannya. Lebih-lebih lagi jika seseorang berkali-kali memasuki masjidil haram dalam satu hari untuk shalat wajib atau yang lainnya. Bahkan, lebih-lebih lagi ketika di musim tertentu ketika jamaah di masjidil haram itu sangat ramai, seperti saat musim haji, atau di bulan Ramadhan, atau di waktu-waktu lainnya ketika jamaah sangat penuh berdesakan. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51157-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-5.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 1)

Disyariatkan bagi orang yang masuk masjid untuk mendirikan shalat dua raka’at. Shalat ini merupakan salah satu adab ketika seseorang memasuki masjid, untuk mengagungkan Allah Ta’ala, dan untuk memuliakan tempat pelaksanaan ibadah (makna dari “tahiyyah” adalah penghormatan).

Diriwayatkan dari Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714) [1]

Hukum shalat tahiyyatul masjid: wajib atau sunnah?

Sebagaimana kaidah yang populer dalam ilmu ushul fiqh, bahwa hukum asal perintah adalah wajib dilaksanakan, kecuali jika ada dalil lain yang memalingkannya dari hukum wajib. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kalimat perintah (“shalatlah”). Meskipun demikian, jumhur (mayoritas) ulama memahami bahwa hukum shalat tahiyyatul masjid itu sunnah, bukan wajib, karena dijumpai dalil-dalil lain yang memalingkan hukum perintah di atas dari wajib menjadi sunnah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama fatwa sepakat bahwa perintah dalam masalah ini menunjukkan hukum mustahab (sunnah).” (Fathul Baari, 1: 537)

Ibnu Daqiq Al-‘Iid rahimahullah berkata, “Jumhur ulama berpendapat tidak diwajibkannya dua raka’at shalat tahiyyatul masjid.” (Ihkaamul Ahkaam, 2: 467)

Sebagian ulama bahkan mengklaim bahwa ini adalah ijma’ ulama. Sebagaimana perkataan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah, ”Sesungguhnya hal itu (disunnahkannya shalat tahiyyatul masjid) adalah ijma’ kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 233)

Akan tetapi, klaim ijma’ dalam masalah ini perlu ditinjau kembali karena sebagian ulama dari madzhab Dzahiriyyah berpendapat bahwa hukum shalat tahiyyatul masjid itu wajib. [2]

Dawud Adz-Dzahiri rahimahullah adalah ulama yang memunculkan pendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid itu wajib, meskipun pendapat tersebut tidak disetujui oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Setelah Dawud Adz-Dzahiri rahimahullah, pendapat wajib tersebut kemudian diikuti oleh Asy-Syaukani rahimahullah (dalam Nailul Authar, 3: 79)Ash-Shan’ani rahimahullah (dalam Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam) [3]Siddiq Hasan Khan rahimahullah (dalam Raudhah An-Nadhiyyah), dan ulama kontemporer yang juga berpendapat wajib adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (dalam Al-Ajwibah An-Naafi’ah). [4]

Di antara landasan (pegangan) jumhur ulama untuk memalingkan perintah hadits di atas menjadi sunnah adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Busr rahimahullah, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

“Seseorang datang dengan melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum’at, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berkhutbah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Duduklah, kamu benar-benar telah mengganggu (orang lain).” (HR. Abu Dawud no. 1121, An-Nasa’i no. 1399, dan lain-lain, hadits ini shahih)

Sisi pendalilan dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk duduk, dan tidak memerintahkannya untuk shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Seandainya shalat tersebut wajib, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk shalat terlebih dahulu sebelum duduk.

Adapun ulama yang mengatakan wajib, mereka pun berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu di atas, karena hukum asal perintah adalah wajib. Selain itu, mereka kuatkan pendapat mereka dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِذْ جَاءَ رَجُلٌ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَصَلَّيْتَ؟ يَا فُلَانُ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah menunaikan shalat (dua raka’at), wahai Fulan?” Laki-laki itu pun menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangun dan shalatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875)

Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk shalat tahiyyatul masjid setelah dia duduk, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan khutbah untuk bertanya dan memerintahkannya shalat tahiyyatul masjid. Apalagi, jamaah diperintahkan (diwajibkan) untuk mendengarkan khutbah. Dan kewajiban ini tidaklah ditinggalkan kecuali dengan kewajiban yang semisal.

Wallahu Ta’ala a’lam, pendapat yang kami pegangi adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa shalah tahiyyatul masjid hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib. Meskipun demikian, argumentasi yang disampaikan oleh ulama yang mengatakan wajib juga argumentasi yang kuat, yang menunjukkan ditekankannya pelaksanaan shalat tahiyyatul masjid ini. Sehingga tidak selayaknya kita meremehkannya.

Setelah membawakan dalil masing-masing pihak dalam perbedaan pendapat ini, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah cenderung memilih pendapat yang mengatakan wajib.

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

“Yang benar bahwa pendapat yang mengatakan wajib adalah pendapat yang kuat, karena kuatnya sisi argumentasinya. Dan karena sebab diwajibkannya adalah karena memasuki masjid. Sehingga tidak ada pertentangan antara hal ini (wajibnya shalat tahiyyatul masjid, pent.) dan dengan hadits yang menunjukkan bahwa selain shalat lima waktu adalah sunnah. Akan tetapi jika dikatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu sunnah mu’akkad (sunnah yang ditekankan pelaksanaannya, pent.), pendapat ini pun tidak jauh (dari kebenaran). Dan ilmu itu hanyalah di sisi Allah Ta’ala.” (Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 105) [5]

[Bersambung]

***

@Rumah Lendah, 23 Dzulqa’dah 1440/20 Juli 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50988-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-1.html

Hukum Shalat Tahiyyatul Masjid

Dari Abu Qatadah As Sulami radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat sebelum duduk”

Dalam riwayat lain:

إذا دخَلَ أحدُكم المسجدَ، فلا يجلسْ حتى يركعَ ركعتينِ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka jangalah duduk hingga ia shalat dua rakaat” (HR. Bukhari no. 444, Muslim no. 714).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ ، فَجَلَسَ ، فَقَالَ لَهُ : ( يَا سُلَيْكُ ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا)، ثم قال: (إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Sulaik Al Ghathafani datang di hari Jum’at ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berkhutbah. Sulaik pun duduk. Maka Nabi bersabda: wahai Sulaik, berdirilah kemudian shalat dua rakaat dan percepatlah shalatnya”. Kemudian setelah itu Nabi bersabda: “Jika kalian mendatangi masjid di hari Jum’at ketika imam sudah berkhutbah, maka shalatlah dua raka’at dan percepatlah shalatnya” (HR. Muslim no. 875).

Dari hadits-hadits di atas, sebagian ulama mengatakan shalat tahiyyatul masjid hukumnya wajib. Karena hadits-hadits di atas menggunakan bentuk perintah dan larangan duduk sebelum shalat dua rakaat.

Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi, Syaikh Muhammad Ali Farkus, dan ulama lainnya.

Namun jumhur ulama berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya hadits Dhimam bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, tentang seorang badui yang bertanya kepada Nabi:

فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟» قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»

“Dia bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat 5 waktu sehari-semalam. Orang tadi bertanya lagi: apakah ada lagi shalat yang wajib bagiku? Nabi menjawab: tidak ada, kecuali engkau ingin shalat sunnah” (HR. Bukhari no. 47, Muslim no. 11).

Hadits ini menafikan adanya shalat yang hukumnya wajib selain shalat 5 waktu. Maka shalat tahiyyatul masjid tidak sampai wajib hukumnya. Dan beberapa dalil lainnya yang menyimpangkan dari hukum wajib.

Ini adalah pendapat ulama 4 madzhab dan juga dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah. Bahkan ternukil ijma dari beberapa ulama. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقَ أَئِمَّة الْفَتْوَى عَلَى أَنَّ الْأَمْر فِي ذَلِكَ لِلنَّدْبِ, وَنَقَلَ اِبْن بَطَّالٍ عَنْ أَهْل الظَّاهِر الْوُجُوب, وَاَلَّذِي صَرَّحَ بِهِ اِبْن حَزْم عَدَمه

“Para imam fatwa telah bersepakat bahwa perintah dalam hadits-hadits ini maksudnya penganjuran. Ibnu Bathal menukil pendapat dari madzhab Zhahiri bahwa mereka berpendapat hukumnya wajib, yang secara lugas menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm” (Fathul Baari, 1/538-539).

Ini pendapat yang lebih rajih, shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah, wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50474-hukum-shalat-tahiyyatul-masjid.html