Benarkah Sholat Orang yang Sudah Menikah Itu Lebih Utama?

Salah satu tujuan menikah adalah untuk menyalurkan hasrat kepada jalan yang dihalalkan oleh syariat. Selain itu, pasangan suami istri yang melakukan hubungan badan setelah menikah juga dapat dinilai ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Bahkan, dalam keyakinan beberapa masyarakat sholatnya orang yang menikah itu lebih utama daripada yang belum menikah. Lantas, benarkah sholat orang yang sudah menikah itu lebih utama?

Dalam literatur kitab hadis, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan bahwasanya Nabi pernah bersabda 2 rakaat sholatnya orang yang sudah menikah itu lebih utama daripada 70 rokaatnya orang yang masih belum menikah. Hal ini karena orang yang telah menikah dinilai lebih fokus daripada yang belum menikah. Namun, ulama menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis munkar.

Sebagaimana dalam kitab At-Taysiir Bi Syarh al-Jaami’ as-Shaghiir, juz 2, halaman 70 berikut,

 ( ركعتان من المتزوج أفضل من سبعين ركعة من الأعزب ) لأن المتزوج مجتمع الحواس والأعزب مشغول بمدافعه الغلمة وقمع الشهوة فلا يتوفر له الخشوع الذي هو روح الصلاة …. وقال هذا حديث منكر

Artinya : “Dua rokaat dari seseorang yang menikah itu lebih utama daripada 70 rokaatnya orang yang belum menikah. Karena orang yang telah menikah telah terkumpul semua indranya, sementara yang belum manikah masih disibukkan untuk mengekang syahwatnya, maka dia tidak dapat memperoleh khusu’ yang merupakan ruh sholat…. Pengarang berkata hadis ini adalah hadis munkar.”

Selain itu, banyak juga para ulama yang menyatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis maudhu’ atau palsu karena rawinya dikenal sebagai pembohong di kala itu. Sebagaimana dalam keterangan kitab Faidh al-Qadir, juz 4, halaman 50 berikut,

وفي الميزان عن ابن معين أنه أحد الكذابين ثم أورد له هذا الخبر وقال البخاري : مجاشع بن عمرو منكر مجهول وحكم ابن الجوزي بوضعه 

Artinya : “Dalam kitab Miizaan dari Ibn Mu’in dinyatakan bahwa perawi ‘Uqaily termasuk salah satu pembohong kemudian mendatangkan hadits tersebut. Imam Bukhori berkata Mujaasyi’ Bin ‘Amr diinkari dan tidak diketahui. Dan Ibn al-Jauzi menghukumi hadis tersebut sebagai hadis maudhu’ (palsu).”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, Nabi pernah bersabda 2 rokaat sholatnya orang yang sudah menikah itu lebih utama daripada 70 rokaatnya orang yang masih belum menikah. Namun, ulama menilai hadis ini sebagai hadis munkar, ada juga yang menilainya sebagai hadis maudhu’.

Demikian penjelasan mengenai benarkah sholatnya orang yang sudah menikah itu lebih utama. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Memakai Pakaian Curian Menurut Ulama 4 Mazhab

Pada suatu kesempatan, ada seseorang yang bertanya kepada penulis mengenai hukum mengenakan pakaian haram saat shalat. Pasalnya ia pernah menunaikan shalat dengan mengenakan pakaian haram. Dikatakannya haram karena ia mengenakan pakaian tersebut tanpa seizin pemiliknya (ghasab). Lantas apakah hukum shalat memakai pakaian curian  menurut ulama 4 mazhab? Apakah shalat tersebut sah?

Perlu diketahui bahwa pakaian haram tidak hanya tertentu kepada pakaian hasil ghasab melainkan semua pakaian yang berstatus haram. Baik haram secara dzat seperti pakaian sutra (bagi laki-laki) maupun haram secara perolehan seperti pakaian curian dan pakaian yang dibeli dengan uang haram.

Hukum Shalat Memakai Pakaian Curian

Pertama, menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, shalat dengan mengenakan pakaian haram atau curian hukumnya sah tapi haram. Sebab, dalam pandangan mereka shalat dan status haram-halalnya pakaian adalah dua hal yang berbeda. Mereka tidak mensyaratkan pakaian yang dikenakan shalat harus halal. Selama pakaian yang dikenakan suci, maka shalat yang dilakukan sah-sah saja.

Hal ini sebagaimana paparan Syekh Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu juz I halaman 740;

‌‌الصلاة في الثوب الحرام: يصح الستر مع الحرمة عند المالكية والشافعية، وتنعقد الصلاة مع الكراهة التحريمية عند الحنفية: بما لا يحل لبسه كثوب حرير للرجل

Shalat dengan mengenakan pakaian haram: menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, sah-sah saja menutup aurat dengan pakaian yang haram dikenakan seperti pakaian sutra bagi laki-laki. Namun keabsahan itu disertai keharaman. Sedangkan menurut Hanafiyyah, sah tapi makruh tahrim.

Sementara menurut Hanabilah, shalat dengan mengenakan pakaian haram hukumnya tidak sah apabila dilakukan dalam keadaan tahu dan sadar bahwa pakaian tersebut benar-benar pakaian haram. Akan tetapi, kalau yang bersangkutan tidak tahu atau tidak sadar bahwa    dikenakan adalah pakaian haram, maka hukum shalatnya sah.

Hal ini juga disampaikan Syekh Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu juz I halaman 740;

وقال الحنابلة: لا تصح الصلاة بالحرام كلبس ثوب حرير، أو صلاة في أرض مغصوبة ولو منفعتها أو بعضها، أو صلاة في ثوب ثمنه كله أو بعضه حرام أو كان متختماً بخاتم ذهب، إن كان عالماً ذاكراً

Hanabilah mengatakan, tidak sah shalat dengan mengenakan pakaian haram seperti sutra (bagi laki-laki) atau shalat di tanah ghasab. Tidak sah pula shalat dengan mengenakan pakaian yang dibeli dengan uang haram (baik keseluruhan atau sebagiannya) dan shalat dengan memakai cincin emas (bagi laki-laki). Dengan catatan, itu semua dilakukan dalam keadaan tahu    sadar (ingat).

Lebih lanjut beliau mengemukakan pandangan Hanabilah tersebut;

فإن جهل كونه حريراً أو غصباً، أو نسي كونه حريراً أو غصباً، أو حبس بمكان غصب أو نجس، صحت صلاته؛ لأنه غير آثم.

Namun, kalau yang bersangkutan tidak tahu atau tidak sadar bahwa yang dikenakan adalah pakaian yang terbuat dari sutra atau pakaian ghasab maka shalatnya sah karena pada saat itu dia tidak berdosa. Demikian pula sah shalatnya seseorang yang di penjara di tempat hasil ghasab atau tempat yang najis.

Sampai disini bisa disimpulkan, secara garis besar pandangan ulama 4 mazhab terkait hukum shalat dengan mengenakan pakaian haram terbagi menjadi dua; (pandangan pertama) mutlak sah tapi haram; (pandangan kedua) bisa sah dan bisa tidak sah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.

Demikian penjelasan mengenai hukum mengenakan atau memakai pakaian haram atau hasil curian menurut ulama 4 mazhab. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Agar Hati Bersih, Dibaca Saat Sujud dalam Shalat

Dalam kitab An-Nujum Az-Zahirah fi Al-Azkar, Habib Zain bin Sumaith menyebutkan bahwa di antara cara membersihkan dan menyucikan hati adalah membaca doa berikut saat sujud dalam shalat. Lafaz doanya adalah sebagai berikut,

يَا اَللهُ يَا اللهُ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

“Yaa allohu, yaa allohu, yaa ‘aliyyu, yaa ‘aliyyu, ahsin ‘aaqibatanaa fil umuuri kullihaa, wa ajirnaa min khizyid dunyaa wa ‘adzaabil aakhiroh.”

“Ya Allah, ya Allah, wahai Dzat Yang Maha Tinggi, wahai Dzat Yang Maha Tinggi, baguskanlah akhir seluruh urusan kami, dan selamatkanlah kami dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat.”

Habib Zain bin Sumaith berkata sebagai berikut;

عن الحبيب علوي بن عبد الرحمن المشهور نفع الله به قال: مما يعين على تصفية القلب الاتيان بهذا الدعاء في السجود بلا عدد معلوم: يَا اَللهُ يَا اللهُ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

Dari Habib ‘Alawi bin Abdurrahman-semoga Allah memberikan kemanfaatan dengannya-, dia berkata; Di antara perkara yang bisa menyucikan hati adalah membaca doa ini di dalam sujud tanpa hitungan tertentu; Yaa allohu, yaa allohu, yaa ‘aliyyu, yaa ‘aliyyu, ahsin ‘aaqibatanaa fil umuuri kullihaa, wa ajirnaa min khizyid dunyaa wa ‘adzaabil aakhiroh (Ya Allah, ya Allah, wahai Dzat Yang Maha Tinggi, wahai Dzat Yang Maha Tinggi, baguskanlah akhir seluruh urusan kami, dan selamatkanlah kami dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).

BINCANG SYARIAH

Bacaan Doa dari Alquran yang Boleh Dibaca Saat Sujud Sholat

Sujud merupakan waktu yang tepat untuk memanjatkan doa

Meskipun kita tidak boleh membaca Alquran dalam sujud, kita dapat membaca doa-doa yang terdapat dari Alquran dalam sujud.

Melansir laman askthescholar.net, ulama asal Kanada Syekh Ahmad Kutty mengatakan pandangan tersebut merupakan pandangan mayoritas ulama. Membaca doa tidak sama dengan membaca Alquran. 

Menggunakan doa yang disebutkan dalam Alquran  dapat dilakukan kapan saja termasuk dalam keadaan junub (karena haid atau janabah). 

Pada hal seperti itu, tidak ada larangan untuk berdoa dengan doa yang terdapat dalam Alquran. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan demikian: 

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَشَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتَارَةَ وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ 

Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Rasulullah ﷺ membuka tirai penutup, sedangkan manusia bershaf-shaf di belakang Abu Bakar, maka beliau bersabda, ‘Wahai manusia, tidak tersisa dari pemberi kabar kenabian melainkan mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang Muslim atau diperlihatkan kepadanya. Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca Alquran dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu’.”  

Membaca Alquran  dalam sujud sama saja dengan menurunkan status Alquran. Sementara berbicara tentang doa, tidak ada yang bisa mengalahkan permohonan yang disebutkan Alquran. Fakta bahwa Allah ﷻ menyebutkannya adalah untuk kita gunakan.

Doa terbaik, menurut para ulama, adalah doa-doa yang disebutkan dalam Alquran  dan tradisi kenabian. Oleh karena itu, kita dapat dengan bebas menggunakannya setiap saat.  

Itulah sebabnya kebanyakan ulama tidak menemukan hal yang tidak diinginkan atau salah dalam menggunakan doa-doa tersebut saat melakukan sujud.      

Berikut adalah beberapa doa dari Alquran yang dapat digunakan siapa saja tanpa hambatan saat sujud:

Pertama, QS Al Baqarah ayat 201

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

“Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirat hasanah, waqina adzabannar.”

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

Kedua, QS Al Isra ayat 24

رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

Rabbirhamhuma kama rabbayani shaghira

 “Ya Tuhanku, sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku masih kecil.”  

Ketiga, QS Ali Imran ayat 8  

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wahablana minladunka rahmatan innaka antal wahhab.

 “Ya Tuhan kami, janganlah membuat hati kami menyimpang dari jalan yang lurus setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami dengan benar.”

Keempat, QS Al Hujurat ayat 7

 اَللَّهُمَّ حَبِّبْ اِلَيْنَا اْلإِيْمَانَ، وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوْبِنَا، وَكَرِّهْ اِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ

Allâhumma habbib ilaynal imân, wa zayyinhu fî qulûbinâ, wa karrih ilaynal kufra wal fusûqa wal ‘ishyân 

“Ya Tuhan kami, berilah kami semangat untuk mencintai iman dan menghiasi hati kami dengannya dan membenci kekafiran, kemaksiatan.”    

Ibnu Al Mundzir mengatakan, “Seseorang dapat berdoa yang berkaitan dengan urusan kebutuhan yang sah dari perang ini dan kata berikutnya.”  

Mengomentari pernyataan di atas, Ibn Qudamah berkata, “Itu adalah pendapat yang dikonfirmasi oleh makna nyata dari hadits-hadits dari Nabi Muhammad ﷺ. Nabi bersabda, “Maka biarkan dia berdoa untuk apa pun yang ingin dia minta. Allah.” (HR Bukhari dan Muslim) 

 عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ كَيْفَ تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ 

Dari sebagian sahabat Nabi ﷺ berkata, “Nabi ﷺ pernah bertanya kepada seorang laki-laki: “Bagaimana kamu berdoa dalam shalat?” laki-laki tersebut menjawab, “Aku membaca tasyahud dan mengucapkan; “Allahuma inni as’alukal jannata wa a’uudzubika minannaar (Ya Allah, aku memohon kepada Engkau surga dan berlindung kepada Engkau dari api neraka).  

Maaf kami tidak dapat memahami dengan baik gumam Anda dan gumam Mu’adz (ketika berdo’a).” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Seputar itulah kami bergumam (ketika berdoa).”  

Jelas dari riwayat di atas bahwa Nabi menyetujui laki-laki yang berdoa dalam sholat.  

“Berdasarkan hadits-hadits dan dalil-dalil ini, kami merasa masuk akal untuk memilih pandangan mayoritas, yang menyatakan bahwa kami boleh menggunakan doa-doa dari Alquran  dan sunnah. Jika kita mau, kita juga bisa memilih sholat kita, sambil menyesuaikan dengan anjuran Rasulullah,” ujar dia.

Kita bebas berdoa untuk kebaikan di dunia dan akhirat tanpa batas, sumber kehidupan yang halal, atau pasangan nikah yang saleh, atau kebebasan dari kekhawatiran dan kecemasan.

Namun, sebaiknya kita menghindari meminta kenyamanan dan aset duniawi yang berlebihan. Tuntutan tersebut tidak sesuai dengan semangat dan jiwa ibadah. 

Kata-kata Imam Az Zarkasyi layak dikutip di sini, ‘Larangan membaca Alquran  dalam sujud tidak dapat diterapkan pada seseorang yang menggunakan doa dari Alquran jika dilakukan tanpa niat membaca Alquran.” 

Imam Al Qalyuubi dan Amirah dalam kitab Syarah mereka serta Imam As Sawi di Bughyat al-Salik juga mendukung pandangan ini.

Sumber: askthescholar

KHAZANAH REPUBLIKA

Inilah Tutorial Shalat Bagi Orang yang Sakit

Shalat merupakan ibadah paling sakral dalam Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Shalat wajib bagi setiap muslim, kendati pun dalam keadaan sakit. Nah berikut tutorial shalat bagi orang sakit. 

Di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang sistematis dan simbol yang sangat agamis, serta wujud permohonan seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karena itu, shalat memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukannya.

Kewajiban itu sebagai suatu bukti kelayakan seorang hamba ketika hendak mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tidak sembarang pakai, juga tidak sembarang gerakan dan ucapan.

Semuanya harus dilakukan dengan penuh hati-hati disertai kesadaran diri bahwa ia sedang berusaha untuk bisa dekat dengan-Nya. Tentu, semua yang dipakai tidak hanya sebatas suci, namun harus layak dan pantas ketika digunakan untuk menghadap kepada-Nya.

Di antara kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat adalah harus suci dari hadas kecil dan besar, menutup aurat, dilakukan di tempat yang suci dan menghadap kiblat. Setelah semua itu terpenuhi, ia diperbolehkan melakukan shalat.

Namun, shalat yang dilakukan tidak sekadar gerakan biasa dan bacaan biasa pula, ia harus melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan ketentuan shalat, dan membaca beberapa bacaan yang sudah menjadi ketentuannya.

Tutorial Shalat Orang Sakit

Lantas, bagaimana praktik shalat bagi orang-orang yang sedang sakit? Apakah harus melakukan semua itu? Atau ada opsi lain baginya?

Sahabat Bincang Syariah yang dirahmati Allah, dalam ajaran Islam tidak ada istilah paksaan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemeluknya.

Islam merupakan ajaran yang santun, tidak memberatkan, tidak pula memaksa. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلا وُسْعَهَا

Artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (kemampuannya).” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Islam mewajibkan shalat bagi semua pemeluknya, baik laki-laki, maupun perempuan. Namun, Islam tidak membebani mereka dengan melakukan semua syarat dan rukunnya ketika tidak mampu untuk menyempurnakan semua itu, seperti orang sakit.

Dalam Islam, mereka tetap memiliki kewajiban shalat, namun tidak dituntut untuk menyempurnakan semua rukuannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وإلا فَأَوْمِئْ

Artinya, “Shalatlah kamu dengan cara berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan cara duduk. Jika tidak mampu, maka dengan cara berbaring. Jika tidak mampu, maka tidur terlentang.” (HR. Abu Hurairah).

Hadits ini merupakan salah satu pedoman bagi orang-orang sakit yang tidak bisa memenuhi semua syarat dan rukunnya.

Misalnya, di antara syarat shalat adalah harus berdiri, maka mereka yang tidak mampu tidak usah risau, karena juga boleh melakukan dengan cara duduk, bahkan bisa juga melakukan sambil berbaring jika sakitnya benar-benar parah.

Tata Cara Shalat Duduk

Sahabat Bincang Syariah, duduk dalam shalat merupakan pengganti dari salah satu rukun shalat, yaitu berdiri. Dalam hal ini, para ulama tidak memberikan ketentuan perihal posisi duduk tersebut, sehingga seseorang boleh duduk dengan cara iftirasy (duduk sebagaimana tasyahhud awwal), bisa juga duduk di atas kursi, namun yang utama adalah duduk iftirasy.

Nah, sahabat Bincang Syariah, orang yang shalat dengan cara duduk di atas kursi, tetapi masih mampu rukuk dan sujud sebagaimana mestinya, maka wajib melakukan rukuk dan sujud. Sebab, bagi orang yang mampu rukuk dan sujud, tidak cukup hanya sebatas isyarat membungkuk dengan tetap duduk di kursi.

Bahkan jika duduk di lantai dengan posisi apapun, ia malah mampu melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna. Tetapi jika duduk di kursi tidak dapat turun dari kursi untuk sujud di lantai, maka ia wajib duduk di lantai dan tidak diperbolehkan duduk di kursi.

Kewajiban duduk di lantai berlaku bagi orang yang dapat melakukan sujud dengan sempurna, dengan alasan tidak mampu bangun untuk berdiri agar dapat duduk di kursi. Sebab baginya, duduk di kursi justru meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna).

Dengan demikian, orang yang terakhir ini disebut meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna) demi mendapatkan posisi rukun pengganti (duduk di kursi), padahal antara duduk di kursi dan di lantai tidak berbeda, sebab keduanya sama-sama rukun pengganti berdiri.

فَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ وَهَكَذَا 

Artinya, “Kemudian, jika seseorang mampu berdiri sampai kadar bacaan Al-Fatihah, kemudian lemah (tidak mampu) dalam kadar bacaan surat, maka ia wajib berdiri sampai bacaan Al-Fatihah-nya sempurna.

Kemudian duduk ketika membaca surat, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rukuk dan seterusnya,”(Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyyah Kubro: 1357 H/1983 M], juz II, halaman 21).

Kesimpulannya, orang sakit yang tidak bisa shalat dengan cara berdiri, maka boleh baginya untuk melakukan shalat duduk, baik di lantai atau di atas kursi.

Syarat dan rukunnya sebagaimana shalat pada umumnya, yaitu diawali dengan takbiratul ihram dan niat, kemudian membaca surat Al-Fatihah, dilanjut dengan membaca surat pendek.

Setelah itu rukuk. Praktiknya, jika bisa rukuk dengan sempurna, maka harus dilakukan dengan sempurna. Jika tidak, maka sudah cukup baginya dengan sekadar menundukkan kepala. Setelah itu berdiri semula dan diteruskan dengan sujud.

Sedangkan praktik sujud bagi orang yang sakit, jika bisa melakukan sujud dengan sempurna, maka harus dilakukan dengan sempurna. Jika tidak, maka cukup baginya untuk menundukkan kepala, namun harus lebih rendah dari rukuk yang dilakukan sebelumnya.

Ketika Tidak Mampu Duduk

Lantas, bagaimana jika seseorang yang hendak melaksanakan shalat tidak mampu untuk berdiri dan duduk?

Sahabat Bincang Syariah tidak perlu risau nih ya, karena dalam Islam sudah ada cara dan solusinya masing-masing. (Baca juga: Pengertian Shalat untuk Menghormati Waktu)

Sesuai dengan hadis riwayat Bukhari sebelumnya, jika seseorang tidak mampu untuk berdiri dan duduk, maka diperbolehkan untuk tidur sambal tidur menyamping (yang utama menyamping pada sisi kanan). Dan jika tidak mampu melakukan shalat dengan cara tidur menyamping, maka diperbolehkan untuk tidur terlentang.

Tata Cara Shalat Tidur Menyamping

Adapun tata cara shalat dengan tidur menyamping sebagai berikut:

  1. Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka boleh menyamping ke kiri, namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  2. Bertakbir dan bersedekap sama seperti saat mengerjakan shalat pada umumnya.
  3. Sedangkan untuk rukuknya, cukup dengan menundukkan kepala sedikit, dan kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  4. Untuk cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak daripada ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  5. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.
Tata Cara Shalat Tidur Terlentang
  1. Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya, sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  2. Bertakbir dan bersedekap sama seperti saat mengerjakan shalat pada umumnya.
  3. Untuk rukuknya, cukup dengan menundukkan kepala sedikit, dan kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  4. Sedangkan untuk cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak daripada ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  5. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

Sahabat Bincang Syariah rahimakumullah, demikian tata cara atau tutorial shalat orang sakit. Semoga bermanfaat dan bisa melakukan ibadah dengan sempurna.

BINCANG SYARIAH

Waspada Kasus Jamaah Haji Meninggalkan Sholat Tanpa Merasa Bersalah

Masih banyak jamaah haji belum bisa melaksanakan ibadah sholat dengan baik, menjadi problem tersendiri dalam penyelenggaraan haji. Hal itu disampaikan Direktur Pascasarjana Prof Dr Akhyak saat menyampaikan tausiyahnya subuhnya pada peserta bimbingan teknis (Bimtel) Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, di Masjid Al-Mambrur Asrama Haji Pondok Gede, Rabu (18/5/2022).

“Problemnya jamaah haji kita itu banyak yang punya uang. Namun ilmu ibadah syariahnya itu masih banyak yang kurang. Jadi banyak jamaah haji yang belum bisa sholat, ini menyedihkan,” katanya.

Prof Akhyak menuturkan, begitu minimnya pengetahuan sholat jamaah secara praktik maupun ilmu, sehingga banyak jamaah tinggal sholat lima waktu tanpa beban. Padahal menjaga sholat lima waktu wajib bagai umat Islam sebagai rukun Islam nomor 2.

“Saya tanya bahkan sholat lima waktunya itu kadang sholat kadang tidak, inikan repot. Tapi dia bisa haji karena dia punya uang,” katanya.

Menurutnya, hal ini menjadi problem tersendiri dan tantangan bagi para petugas haji Indonesia, bagaimana bisa memberikan bimbingan tentang ilmu syariat kepada para jamaah haji. Sesuai amanah undang-undang pemerintah melalui petugas penyelenggara ibadah haji memberi pelayanan bimbingan dan perlindungan kepada jamaah. 

“Ini problem tersendiri tantangan bagi kita semua,” katanya.

Pada kesempatan subuh ini, dia juga mendoakan agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima semua amal ibadah kita yang dikerjakan pada hari ini. Terutama ibadah sholat subuh berjamaah di masjid. 

“Semoga sholat kita diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allahumma taqobbal sholatana,” 

Dia juga mendoakan, semoga kita ditakdirkan menjadi muslim yang selalu taat kepada Allah. Salah satunya dapat menjaga shalat lima waktu kapan pun dan di mana pun.

“Berbahagialah bagi orang yang malam ini melakukan sholat tahaju, berbahagialah bagi teman-teman yang malam ini bisa melakukan sholat sunah-sunah di mana saja. Apakah di masjid maupun di maktab, atau di ruangnya masing-masing,” katanya. 

Karena hal itu kata dia sesungguhnya yang harus dijaga oleh umat Islam, khususnya petugas ibadah haji. Kerena, sebagai petugas harus juga memberikan bimbangan agar jamaah dapat mengerjakan ibadah dengan baik. 

“Jadi itu modal utama menjadi petugas, menurut saya sholat menjadi modal utama kita. Dan kita akan menemukan jamaah haji yang belum tentu dapat melaksanakan ibadah sholat dengan baik,” katanya.

IHRAM

Tata Cara Mengqadha Shalat yang Terlewat

Shalat lima waktu adalah kewajiban setiap Muslim, bahkan merupakan rukun Islam. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim yang mukallaf (sudah terkena beban syariat) meninggalkan shalat lima waktu dan tidak boleh melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya. Namun apa yang dilakukan seorang Muslim jika ia meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya? Adakah qadha shalat? Kita simak pembahasan ringan berikut ini.

Hukum mengqadha shalat yang terlewat

Mengqadha shalat artinya mengerjakan shalat di luar waktu sebenarnya untuk menggantikan shalat yang terlewat. Apakah wajib mengqadha shalat? Para ulama merinci menjadi dua keadaan:

1. Tidak sengaja meninggalkan shalat

Dalam keadaan tidak sengaja meninggalkan shalat, seperti karena ketiduran, lupa, pingsan, dan lainnya, maka para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya mengqadha shalat yang terlewat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من نام عن صلاة أو نسيها؛ فليصلها إذا ذكرها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “orang yang hilang akalnya karena tidur, atau pingsan atau semisalnya, ia wajib mengqadha shalatnya ketika sadar” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/95, Asy Syamilah).

Dan tidak ada dosa baginya jika hal tersebut bukan karena lalai, karena shalat yang dilakukan dalam rangka qadha tersebut merupakan kafarah dari perbuatan meninggalkan shalat tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat” (HR. Muslim no. 684).

Dari sini juga kita ketahui tidak benar anggapan sebagian masyarakat awam, bahwa jika bangun kesiangan di pagi hari maka tidak perlu shalat shubuh karena sudah lewat waktunya. Ini adalah sebuah kekeliruan!

2. Sengaja meninggalkan shalat

Para ulama berselisih panjang mengenai orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja apakah keluar dari Islam ataukah tidak? Silakan simak artikel “Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir” untuk memperluas hal ini.

Dan para ulama juga berselisih pendapat apakah shalatnya wajib diqadha ataukah tidak. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan shalatnya tidak wajib di-qadha. Imam Ibnu Hazm Al Andalusi mengatakan:

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka ia tidak akan bisa mengqadhanya sama sekali. Maka yang ia lakukan adalah memperbanyak perbuatan amalan kebaikan dan shalat sunnah. Untuk meringankan timbangannya di hari kiamat. Dan hendaknya ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Beliau juga mengatakan:

بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون: 4] {الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ} [الماعون: 5] وقَوْله تَعَالَى: {فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا} [مريم: 59] فَلَوْ كَانَ الْعَامِدُ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُدْرِكًا لَهَا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمَا كَانَ لَهُ الْوَيْلُ، وَلَا لَقِيَ الْغَيَّ؛ كَمَا لَا وَيْلَ، وَلَا غَيَّ؛ لِمَنْ أَخَّرَهَا إلَى آخَرِ وَقْتِهَا الَّذِي يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا. وَأَيْضًا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِكُلِّ صَلَاةِ فَرْضٍ وَقْتًا مَحْدُودَ الطَّرَفَيْنِ، يَدْخُلُ فِي حِينٍ مَحْدُودٍ؛ وَيَبْطُلُ فِي وَقْتٍ مَحْدُودٍ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا بَعْدَ وَقْتِهَا؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا صَلَّى فِي غَيْرِ الْوَقْتِ؛ وَلَيْسَ هَذَا قِيَاسًا لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، بَلْ هُمَا سَوَاءٌ فِي تَعَدِّي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1] . وَأَيْضًا فَإِنَّ الْقَضَاءَ إيجَابُ شَرْعٍ، وَالشَّرْعُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ

“bukti benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta’ala: ‘celakalah orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya‘ (QS. Al Maun: 4-5). Dan juga firman Allah Ta’ala: ‘dan kemudian datanglah setelah mereka orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat dan mereka akan menemui kesesatan‘ (QS. Maryam: 59). Andaikan orang yang sengaja melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya bisa mengqadha shalatnya, maka ia tidak akan mendapatkan kecelakaan dan kesesatan. Sebagaimana orang yang melalaikan shalat namun tidak keluar dari waktunya tidak mendapatkan kecelakaan dan kesesatan.

Selain itu, Allah Ta’ala telah menjadikan batas awal dan akhir waktu bagi setiap shalat. Yang menjadikannya sah pada batas waktu tertentu dan tidak sah pada batas waktu tertentu. Maka tidak ada bedanya antara shalat sebelum waktunya dengan shalat sesudah habis waktunya. Karena keduanya sama-sama shalat di luar waktunya. Dan ini bukanlah mengqiyaskan satu sama lain, melainkan merupakan hal yang sama, yaitu sama-sama melewati batas yang ditentukan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang melewati batasan Allah sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri‘ (QS. Ath Thalaq: 1).

Selain itu juga, qadha shalat adalah pewajiban dalam syariat. Dan setiap yang diwajibkan dalam syariat tidak boleh disandarkan kepada selain Allah melalui perantara lisan Rasulnya” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Cara mengqadha shalat

Dari sisi waktu, mengqadha shalat harus dilakukan segera ketika teringat dari lupa atau tersadar dari hilang akalnya. Tidak boleh ditunda-tunda, harus segera dikerjakan sesegera mungkin. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نامَ عن صلاةٍ فليصلِّها إذا ذَكرَها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” (HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Bagaimana jika shalat yang terlewat lebih dari satu? Apakah diqadha sekaligus atau setiap shalat di qadha pada waktunya, semisal shalat zhuhur diqadha pada waktu zhuhur, shalat ashar pada waktu ashar, dst.? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab pertanyaan ini:

يصليها جميعا لان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لما فاتته صلاة العصر في غزوة خندق قضىها قبل المغرب وهكذا يجب على كل انسان فاتته الصلوات ان يصليها جميعا و لا يأخرها

“dikerjakan semuanya sekaligus. karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika terlewat beberapa shalat pada saat perang Khandaq beliau mengerjakan semuanya sebelum Maghrib. Dan demikianlah yang semestinya dilakukan setiap orang yang terlewat shalatnya, yaitu mengerjakan semuanya sekaligus tanpa menundanya” (Sumber: klik disini).

Dalam hadits di atas juga Nabi mengatakan فليصلها  dhamir ها mengacu pada kata صلاة sebelumnya. Ini menunjukkan shalat yang dikerjakan dalam rangka qadha sama persis seperti shalat yang ditinggalkan dalam hal sifat dan tata caranya. Misalnya, jika seseorang terluput shalat shubuh karena tertidur, maka ia wajib mengqadha dengan mengerjakan shalat yang sama dengan shalat shubuh.

Dan tidak ada lafal niat khusus yang perlu diucapkan dalam mengqadha shalat. Niat adalah perbuatan hati, tidak perlu dilafalkan. Andaikan niat mengqadha shalat perlu dilafalkan, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah mengajarkannya kepada kita. Lebih luas mengenai pelafalan niat, silakan simak artikel “Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah”.

Dengan demikian, ketika seseorang baru teringat bahwa ia telah melewatkan shalat, atau baru terbangun dari tidur sedangkan waktu shalat sudah terlewat, yang ia lakukan adalah segera berwudhu, lalu mencari tempat shalat yang bersih dan suci, menghadap kiblat kemudian mengerjakan shalat dengan tata cara dan sifat yang persis sebagaimana shalat yang ia tinggalkan. Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, maka setelah salam, ia kembali berdiri untuk meng-qadha shalat selanjutnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/25855-qadha-shalat.html

Shalat adalah Kebutuhan Kita

Segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala yang telah memberikan banyak kenikmatan kepada hamba-Nya. Kenikmatan berupa dilapangkan dada untuk beriman dan mengesakan-Nya. Kenikmatan berupa diwajibkannya salat sebagai rasa tunduk terhadap kebesaran-Nya dan rasa khusyuk terhadap keagungan-Nya. Allah mewajibkan salat setelah mewajibkan untuk mengesakan-Nya dan mengimani rasul-Nya. Barang siapa yang menjaga salat maka  dia akan diberikan cahaya, petunjuk, dan keselamatan pada hari kiamat. Barang siapa yang tidak menjaga salat maka dia akan mendapati kegelapan, kesesatan, dan kehancuran pada hari kiamat.

Keutamaan salat ini terkandung juga di dalam kalimat syahadat, asyhadu allaa ilaha illallah. Kalimat yang dengannya terbentuk agama Islam ini. Kalimat yang dengannya berdiri tegak kiblat kita. Kalimat ini adalah identitas umat muslim dan merupakan kunci menuju kehidupan akhirat yang penuh dengan keselamatan.

Salat merupakan perkara terpenting bagi seorang muslim. Pada hakikatnya salat merupakan barometer keimanan dan keselamatan. Barang siapa yang sungguh-sungguh menjaga salat, maka salat itu akan menjaga agamanya. Barang siapa yang menyia-nyiakan salat, maka secara otomatis amalan-amalan dia yang lain pun akan ikut terbengkalai.

Salat merupakan tiang dan penopang agama. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah salat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sedangkan syariat lain selain salat, maka itu seperti tali dan kayu penguat atau yang semisalnya. Seperti permisalan sebuah rumah yang terbuat dari ilalang yang tidak membutuhkan tiang pancang, maka rumah tersebut tidak ada apa pun yang bisa kita manfaatkan darinya. Sehingga tolak ukur diterima atau tidaknya semua amalan, bergantung erat dengan diterima atau tidaknya salat kita. Jika Allah menolak salat kita, maka gugur juga amalan kita yang lain.

Syariat salat adalah yang pertama kali diwajibkan di dalam agama ini. Salat merupakan identitas terakhir yang akan mengategorikan seseorang masih beragama Islam atau bukan. Seorang muslim akan lurus agamanya dan baik amalannya jika dia melaksanakan salat sesuai yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Salatlah kamu sekalian dengan cara sebagaimana kamu melihat aku shalat” (HR. Bukhari).

Baca Juga: Keutamaan Shalat Dan Beribadah Di Raudhah

Tidak dapat dipungkiri, salat merupakan penyejuk mata bagi seorang mukmin. Tempat dimana orang-orang yang khusyuk di dalamnya mendapatkan kelezatan jiwa. Hal itu merupakan karunia yang Allah berikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Walaupun Allah memerintahkan kita untuk beribadah, dan memberitakan bahwa tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya, namun bukan berarti Allah membutuhkan ibadah kita. Tidak ada manfaat yang Allah ambil dari ibadah kita kepada-Nya dan Allah pun tidak menginginkan ibadah kita. Hal itu dikarenakan Allah Mahakaya, Mahasempurna, dan Mahakuasa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد

“Hai manusia, kamulah yang membutuhkan kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).

Salat adalah kebutuhan seorang hamba

Salah satu tips untuk meningkatkan semangat kita di dalam melaksanakan kewajiban salat adalah dengan memperbaiki niat. Ketika seseorang berpikir bahwa salat merupakan kewajiban saja tanpa melihat salat sebagai kebutuhan, sering kali dia akan melaksanakan salat sebatas untuk menggugurkan kewajiban saja. Dia merasa terbebani dengan kewajiban salat tersebut.

Harus kita ketahui, semua manfaat dan buah dari ibadah yang kita lakukan itu akan kembali kepada diri kita sendiri. Hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk lemah, miskin, dan tak sempurna. Allah Ta’ala  berfirman,

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (QS. An-Naml: 40).

Begitu pun, jika seluruh manusia kufur kepada Allah, tidak beribadah kepada-Nya, menelantarkan perintah-perintah-Nya, dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka hal itu tidak membahayakan Allah sama sekali. Akan tetapi, kemudaratan dan bahayanya  akan kembali kepada manusia itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu’” (QS. Yunus: 108).

Beberapa ayat dan hadis yang menjelaskan keutamaan salat menunjukkan bahwa salat adalah kebutuhan manusia. Salat bukan kebutuhan Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُون

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah salat! Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allâh (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Ankabût: 45).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ

“Salat (fardhu) yang lima waktu itu seperti sebuah sungai yang airnya mengalir melimpah di depan pintu rumah salah seorang di antara kalian. Ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ

“Barang siapa yang menjaga salat lima waktu, maka salat itu akan menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti, dan juga tidak mendapat keselamatan. Dan pada hari kiamat, orang yang tidak menjaga salatnya itu akan bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf” (HR. Ahmad).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas dapat kita simpulkan bahwa salat kita, ibadah kita, semuanya kembali untuk diri kita sendiri. Walaupun Allah memerintahkan kita untuk beribadah, bukan berarti Allah Ta’ala membutuhkan ibadah kita. Allah Mahakaya, Mahasempurna, dan tidak membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya.

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk serius dan perhatian terhadap salatnya. Salat merupakan penghubung antara dirinya dan Rabbnya. Setiap muslim harus memperhatikan setiap rukunnya, kewajibannya, sunnah-sunahnya, dan apa-apa yang berkenaan dengannya. Menjalankan salat dengan penuh kekhusyukan dan ketenangan. Sehingga salatnya diterima oleh Allah dan ia memperoleh balasan yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

“Tidaklah seorang muslim yang ketika waktu salat telah tiba kemudian dia membaguskan wudunya, khusyuknya, dan salatnya, melainkan hal itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lalu, selama tidak melakukan dosa besar. Dan itu (berlaku) pada seluruh waktu” (HR. Muslim).

***

Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

Kitab Ta’dzim as-salaat (Memuliakan Salat) karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin AL-Bardr Hafidzahumallah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71471-shalat-adalah-kebutuhan-kita.html

Saat Kita Lupa dan Ragu Jumlah Rakaat Shalat, Ini yang Harus Dilakukan

Lupa adalah sifat bawaan manusia seperti bunyi maqolah al-insan mahallul khatha’ wan nisyan. Begitu akutnya lupa bagi manusia, sehingga fiqih pun memberikan ruang istimewa bagi mereka yang benar-benar lupa. Misalkan lupa makan atau minum ketika berpuasa, maka hal itu dianggap sebagai rezeki dan tidak membatalkan puasa. Hadits Rasulullah saw mengatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلَا يُفْطِرْ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقَهُ

Barang siapa yang lupa, lalu makan atau minum ketika berpuasa, maka janganlah membatalkan puasanya, karena hal itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya. Bahkan dalam Lubbul Ushul Imam Zakariya Al-Anshari dalam muqaddimahnya mengatakan bahwa:

وَالأَصَحُّ إِمْتِنَاعُ تَكْلِيْفِ الْغَافِلِ وَالْمُلْجَأِ، لاَ الْمُكْرَهِ.

Demikianlah syariat memberikan jalan keluar bagi mereka yang lupa. Lupa biasa terjadi pada sesuatu yang sering dilakukan. Begitulah manusia, semakin sering melakukan sesuatu semakin tinggi kemungkinan terjadi lupa. Karena jika tidak melakukan sesuatu pastilah ia tidak lupa, begitu logikanya. Hanya orang yang melaksanakan shalatlah yang lupakan rukuk atau sujud. Dan hanya orang yang wudhu yang akan terancam lupa membasuh muka atau tangan.

Lalu bagaimanakah jika hal ini benar-benar terjadi? Jikalau memang seseorang benar-benar lupa mengerjakan satu rukun tertentu, dan ia sama sekali tidak ingat dan tidak ada orang yang mengingatkannya maka ibadah itu hukumnya tetap syah.

Namun jika ia teringat kembali dan meyakini adanya kelalaian itu hendaklah ia memperbaikinya. Misalkan seseorang lupa meninggalkan satu atau dua rakaat dalam shalatnya, sedangkan ia telah mengucap salam sebagai tanda finish dalam shalat. Maka jikalau ingatan itu datang dalam waktu dekat hendaklah ia menambah rakaat yang ditinggalkannya dan mengakhirinya dengan sujud sahwi. Tetapi jikalau ingatan itu baru datang setelah beberapa lama (misalkan baru teringat setelah baca dzikir) maka orang tersebut wajib mengulangi shalatnya kembali.  Begitu keterangan dalam Majmu’

اذا سلم من صلاته ثم تيقن انه ترك ركعة او ركعتين اوثلاثا او انه ترك ركوعا اوسجودا اوغيرهما من الاركان سوى النية وتكبرة الاحرام فان ذكر السهوقبل طول الفصل لزمه البناء على صلاته فيأتى بالباقى ويسجد للسهو وان ذكر بعد طول الفصل لزمه استئناف الصلاة

Apabila seseorang telah salam (usai shalatnya) kemudian ia baru teringat bahwa ia telah melupakan (meninggalkan) satu atau dua atau tiga rakaat atau ia lupa telah meninggalkan rukuk atau sujud atau rukun lainnya kecuali niat dan takbiratul ihram, maka ia cukup menambahi (menyusuli) apa yang telah dilupakannya itu dengan sujud sahwi, jikalau ingatan itu segera datang. Tetapi jikalau ingatan itu datangnya setelah beberapa lama maka hendaklah ia mengulangi shalatnya kembali.

Berbeda ketika seseorang lupa meninggalkan satu rukun tertentu (ruku’ atau baca Fatihah) maka ketika ia ingat dan ia belum melakukan rukun yang sama pada rekaat setelahnya, hendaklah ia segera mengganti rukun yang ditinggalkan itu. Dan apabila ia lupa, maka itulah apapun yang dilakukannya sudah cukup dan dianggap sah karena memang lupa. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

ولو سها غير مأموم فى الترتيب بترك ركن كأن سجد قبل الركوع أو ركع قبل الفاتحة لغا مافعله حتى يأتي بالمتروك فان تذكر قبل بلوغ مثله أتى به والا فسيأتى بيانه… وإلا أي وان لم يتذكر حتى فعل مثله فى ركعة أخرى أجزأه عن متروكه ولغا ما بينهما هذا كله ان علم عين المتروك ومحله… 

Ragu di tengah-tengah Shalat
Lupa berbeda dengan ragu-ragu. Jikalau yang terjadi adalah keragu-raguan, maka perlu meninjau masalahnya secara detail. Ketika seseorang mengalami keraguan di tengah-tengah shalatnya, apakah dia sudah melakukan satu fardhu tertentu (ruku,misalnya) atau belum. Maka masalah ini perlu diperinci lagi, jika keraguan terjadi sebelum orang itu melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’) tersebut pada rakaat setelahnya, maka ia harus kembali untuk melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’).

Namun jika keraguan itu datang setelah ia melakukan fardhu yang sama yang ditinggalkannya (ruku’) pada rakaat setelahnya, cukuplah baginya meneruskan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sebagai pengganti satu rukun yang ditinggalkannya itu. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

… أو شك هو أي غير المأموم فى ركن هل فعل أم لا كأن شك راكعا هل قرأ الفاتحة أوساجدا هل ركع أواعتدل أتى به فورا وجوبا ان كان الشك قبل فعله مثله أي مثل المشكوك فيه من ركعة أخرى

Ragu Setelah Shalat Selesai
Begitu juga ketika terjadi keraguan setelah shalat, apakah shalat yang telah dikerjakan itu telah lengkap ataukah ada rukun tertentu yang tertinggal, maka shalat semacam itu secara fiqih tetap dianggap syah dan tidak perlu mengulanginya kembali. Kitab Khasiyah Qulyubi wa Umairah menjelaskan

ولوشك بعد السلام فى ترك فرض لم يؤثر على المشهور – لان الظاهر وقوع السلام عن تمام

Jikalau setelah salam (selesai shalat) seseorang ragu dalam meninggalkan/ melaksanakan satu fardhu tertentu, maka hal itu tidak berpengaruh (tetap sah) menurut pendapat yang mashur. Karena dalam kenyataannya ia telah melakukan salam dan (shalat dianggap) sempurna.

Dengan kata lain, lupa dan ragu adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula cara penyelesaiannya. Hukum lupa segera dicabut ketika datang ingatan. Selama seseorang dalam kondisi lupa ia akan terbebas dari tuntutan syariah, dan ketika ia teringat kembali, maka orang tersebut kembali terkena tuntutan syariah.

Seperti contoh berpuasa, ketika seseorang lupa bahwa ia sedang menjalankan puasa, maka ia terbebas dari tuntutan syari’ah boleh makan dan minum. Namun ketika ia teringat kembali bahwa ia puasa, maka ia wajib menahan semuanya dan kembali berpuasa. Sedangkan ragu-ragu bisa hilang karena adanya keyakinan. Dan tidak ada keraguan yang dibarengi dengan keyakinan.

MANDANI

Fikih Seputar Berbaliknya Imam Selesai Salat

Di antara adab bagi seorang imam salat jamaah setelah selesai salat adalah imam disunahkan berbalik menghadap kepada makmum. Salah satu dalilnya hadis dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika setelah selesai salat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami.” (HR. Bukhari no. 845)

Demikian juga hadis dari Al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ ، يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Dahulu kami salat bermakmum bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kami senang berada di sebelah kanan beliau, karena beliau menghadapkan wajahnya kepada kami setelah salat.” (HR. Muslim no. 709).

Syekh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri menjelaskan, “Setelah salat, imam berbalik ke arah makmum dengan cara berputar ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri. Semua ini hukumnya sunah.” (Shifatul Wudhu was Shalah, hal. 27)

Baca Juga: Hukum Melakukan Salat di Belakang Imam yang Melakukan Salat Wajib Sebelum Waktunya

Kapan berbaliknya?

Disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إلَّا مِقْدَارَ ما يقولُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah duduk sejenak setelah salat, kecuali sekadar bacaan ‘Allohumma antas salam wa minkas salam tabarokta dzal jalali wal ikrom.’” (HR. Muslim no. 592)

Ini menunjukkan bahwa imam berbalik ke arah makmum adalah setelah membaca doa di atas.

Boleh berputar ke kanan atau ke kiri

Imam berbalik ke arah makmum dianjurkan dengan cara berputar ke arah kanan, sebagaimana dalam hadis Al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu. Perkataan,

أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ ، يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

“Dan kami senang berada di sebelah kanan beliau, karena beliau menghadapkan wajahnya kepada kami setelah salat.”

menunjukkan ini yang paling sering Rasulullah lakukan. Namun, juga boleh kadang-kadang berputar ke arah kiri. Sebagaimana dalam hadis dari Hulb Ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu,

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَؤُمُّنا فينصرفُ على جانبَيه جميعًا ، على يمينِه ، وعلى شمالِه

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami, setelah salat beliau biasa berputar (ke arah kami) melalui dua sisinya. Terkadang ke sisi kanan, dan terkadang ke sisi kiri.” (HR. Abu Daud no. 1041, At-Tirmidzi no. 301, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih At-Tirmidzi)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

كان صلى الله عليه وسلم إذا سلم استغفر ثلاثاً، وقال: “اللهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، ومنكَ السلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ” ولم يمكث مستقبِلَ القِبلة إلا مقدارَ ما يقولُ ذلك ، بل يُسرع الانتقالَ إلى المأمومين ، وكان ينفتِل عن يمينه وعن يساره

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setelah salam beliau istigfar 3x. Beliau lalu mengucapkan, ‘Allohumma antas salam wa minkas salam tabarokta dzal jalali wal ikrom.’ Beliau tidak duduk berdiam menghadap kiblat, kecuali sekadar mengucapkan itu saja. Kemudian, beliau bersegera menghadap para makmum. Terkadang beliau memutar badan ke sisi kanan dan terkadang ke sisi kiri.” (Zaadul Ma’aad, 1: 295).

Bolehkah makmum pergi sebelum imam berbalik?

Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Sebagian orang berkata, tidak boleh makmum keluar dari masjid selama imam belum berbalik, apakah perkataan ini benar?”

Syekh menjawab, “Ada ihtimal bahwa pendapat tersebut benar. Namun, yang lebih tepat, pendapat tersebut tidak benar. Hukumnya mustahab bagi makmum untuk berdiam diri selama imam belum berbalik. Lebih utama demikian. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنِّي إمَامُكُمْ، فلا تَسْبِقُونِي بالرُّكُوعِ ولَا بالسُّجُودِ، ولَا بالقِيَامِ ولَا بالانْصِرَافِ

“Sesungguhnya aku adalah imam kalian. Maka, janganlah kalian mendahului aku ketika rukuk, sujud, berdiri, ataupun al-inshiraf  (berpaling).” (HR. Muslim no. 426)

Pendapat yang masyhur dalam memahami hadis ini adalah bahwa al-inshiraf di sini maknanya adalah salam, bukan berbalik ke hadapan makmum. Pendapat yang masyhur adalah salam, sebagaimana perkataan Tsauban,

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا انْصَرَفَ مِن صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا

“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau insharafa (salam) dari salatnya, beliau istigfar 3x.” (HR. Muslim no. 591)

Insharafa di sini maknanya salam.

Adapun mengenai berbaliknya imam, maka yang lebih utama para makmum bersabar (tidak pergi) sampai imam berbalik kepada mereka. Ini yang lebih utama. Namun, jika makmum berdiri sebelum imam berbalik, maka dalam pendapat yang tepat, itu tidak mengapa. Karena inshiraf dalam hadis maknanya adalah salam” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, hal. 937)

Ikhwati fillah, coba direnungkan, masalah memutar badan saja ada dalilnya dan ada ilmunya. Maka sudahlah, jangan sibukan diri para perkara yang kurang bermanfaat. Karena banyak ilmu yang belum kita pelajari. Sibukan diri dengan ilmu, agar hidupmu berjalan di atas ilmu dan menggapai rida Rabbmu.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71018-fikih-berbaliknya-imam-selesai-shalat.html