Kata Ahli Fiqih Soal Sholat dengan Celana Sobek di Lutut

Sholat tetap sah asalkan memenuhi lima syarat sahnya sholat.

Beredar unggahan seorang pria yang mengaku ingin melaksanakan sholat di masjid. Namun, penampilan pria tersebut disorot warganet lantaran pakaiannya yang dinilai tidak pantas untuk sholat.

Pria tersebut mengenakan celana jins yang sobek di bagian lututnya. Ia mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam dengan manset tangan terpisah.

arena tidak ada sarung yang tersedia di masjid tersebut, pria itu akhirnya memiliki ide menggunakan manset yang ia pakai untuk menutupi lututnya. Manset di tangannya itu ia ikatkan di lututnya sehingga bisa menutupi bagian celana yang sobek.

Hal ini kemudian menuai reaksi dan komentar warganet. Perdebatan muncul soal sah atau tidaknya sholat pemuda tersebut dengan pakaian yang dinilai kurang pantas.

Lantas, apakah sholat pemuda tersebut sah dengan mengenakan pakaian seperti demikian? Pakar fikih di Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Zarkasih menanggapi perihal sah atau tidaknya sholat pemuda tersebut.

Ia terlebih dahulu menjelaskan terkait lima syarat sahnya sholat, di antaranya menghadap kiblat, menutup aurat, suci dari hadas, suci dari najis di badan, pakaian dan tempat, dan mengetahui masuk waktu sholat.

“Jika kesemua ini terpenuhi, maka sholatnya sah walaupun pakaiannya terlihat kurang rapi. Yang jadi standar itu tidak ada najis dan tertutup auratnya, walaupun bukan pakaian mewah atau baju koko,” kata Ustadz Ahmad Zarkasih melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Senin (1/11).

Adapun terkait anak muda yang melakukan sholat dengan mengenakan celana sobek yang telah ditutupi bahan lain tersebut, Ustadz Ahmad mengatakan sholatnya sah. Sebab, menurutnya, auratnya itu tidak terbuka. Bahkan, keinginan dan langkah pemuda tersebut untuk sholat pun dikatakannya sebagai sebuah kebaikan.

“Tentu ini adalah kebaikan bagi orang tersebut, yang mana ia masih mau melaksanakan sholat, padahal pandangan masyarakat kepada orang-orang dengan pakaian seperti itu tidak baik,” lanjutnya.

Ustadz Ahmad lantas mengingatkan agar tidak selalu memandang seseorang dari penampilan atau pakaiannya saja. Sebab, bisa saja seseorang memiliki hati yang terikat pada Allah meski dengan pakaian seperti demikian.

“Justru masyarakat dan warganet yang memandang ini sebagai keburukan dan mempertanyakannya adalah pihak-pihak yang mesti dikasihani. Sangat mesti dikasihani karena sempit sekali pandangan mereka, hanya bisa memandang orang lain dari penampilan saja. Nyatanya orang yang dipandang buruk itu punya hati yang terikat dengan Allah SWT,” katanya.  

Ustadz Ahmad juga memberikan penjelasan terkait sholatnya seseorang dalam perjalanan. Ketika tengah melakukan perjalanan, tidak jarang seorang Muslim melakukan sholat dengan pakaian seadanya. Menurut Ustadz Ahmad, yang terpenting dari pakaian yang dikenakan itu adalah bersih dari najis dan menutup aurat serta pantas digunakan olehnya.

Menurutnya, baik di perjalanan atau tidak, Muslim memang seharusnya menutup aurat dalam berpakaian. Pakaian yang menutup aurat bukan hanya digunakan saat hendak sholat, sebab aurat adalah aib yang harus ditutupi.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pandemi Covid-19 Turun ke Level 1, MUI: Salat Normal Lagi, Tapi Tetap Jaga Prokes

Pandemi covid-19 di Indonesia terus mengalami penurunan. Berbagai kebijakan terkait pelonggaran atur telah dibuat pemerintah, seiring dengan turunnnya tren ke level 1. Salah satunya adalah pelaksanaan salat yang boleh digelar berjamaah secara normal  atau dengan shaf rapat.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengingatkan shaf salat kembali normal hanya untuk daerah zona hijau atau PPKM level 1.

” Yang sudah area hijau atau PPKM 1 dan tidak banyak orang luar melintas, maka sebaiknya rapatkan (shaf, red),” kata KH Cholil Nafis.

“Tentu dengan protokol kesehatan (prokes), tapi rapatkan shaf salat seusai salat bisa direnggangkan kembali,” katanya.

Ia menerangkan, dipersilakannya umat Islam merapatkan lagi shaf salat berjamaah sesuai Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Salat Jumat dan Jamaah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid 19 serta Fatwa MUI 14/2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.

Dijelaskan bahwa tata cara beribadah selama masa pandemi covid-19 menyesuaikan kondisi wilayah tersebut. “Sebab dalam Fatwa MUI sudah dijelaskan bahwa perubahan cara ibadah itu tergantung situasi covid-19 setempat,” papar KH Cholil Nafis

Namun, dirinya tetap mengimbau jamaah selalu menerapkan prokes secara ketat dalam pelaksanaan ibadah salat berjamaah.

“Tentu pakai masker. Yang saya sampaikan masker itu lebih bisa menjaga untuk penularan covid-19, dan jaga kebersihan cuci tangan, dan seterusnya,” pungkas dia.

ISLAM KAFFAH

Bolehkah Menunda Sholat Karena Pekerjaan?

Peneliti Hukum Majelis Ulama Al-Azhar Al-Sharif, Syekh Abu Al-Yazid Salama, menjawab pertanyaan terkait dengan hukum menunda sholat karena pekerjaan.

Dilansir dari laman Elbalad pada Rabu (6/10),  Syekh Abu al-Yazid Salama mengatakan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim meninggalkan sholat di luar waktunya kecuali dengan alasan yang tepat. Sementara bekerja bukanlah alasan untuk meninggalkan sholat di luar waktunya.

Waktu sholat tidak membutuhkan durasi yang begitu lama. Untuk itu para pekerja dapat berinisiatif agar tetap sholat dengan cara bergantian dengan teman kantor yang lain.

Kemudian Sekretaris Fatwa di Dar Al Iftaa, Sheikh Ahmed Wissam menambahkan, sholat adalah rukun Islam yang paling penting. Pelaksanaannya harus dilakukan tepat waktu.

Dia menyatakan, siapa pun yang meninggalkan sholat wajib hingga melampaui waktunya, maka dia harus menggantinya kapan pun dia mampu.

Wissam melanjutkan, sementara orang yang menunda sholat karena malas maka dia berdosa. Maka sebagai penghapus dosanya, dia dapat mengganti sholat dan banyak memohon ampunan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Inilah 13 Keutamaan Sholat Subuh Tepat Waktu

Sholat Subuh tepat waktu memiliki banyak keutamaan dan ternyata punya dampak positif bagi kehidupan seorang Muslim di dunia. Sayangnya, masih ada Muslim yang meninggalkan sholat Subuh tepat waktu karena kesulitan bangun atau terbiasa bangun siang.

Keutamaan pertama ialah, sholat Subuh membawa rezeki yang luas. Dari Sokhr bin Wada’ah Al-Ghamidy, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah berkahilah umatku di waktu paginya.”

Karena ini pulalah, Sokhr berkata, “Nabi Muhammad SAW biasa mengutus (memberangkatkan) pasukan perang di pagi hari. Sokhr al-Ghamidy adalah pedagang dan ia mengirim atau membuka dagangannya pada pagi hari sehingga hartanya bertambah banyak.” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)

Kedua, kehidupan akan dipenuhi keberkahan.

Ketiga, jiwa menjadi tenang.

Keempat, memperoleh pahala yang besar.

Kelima, akan dilindungi Allah SWT dan ini sudah dijamin-Nya.

Keenam, orang-orang yang sholat Subuh disaksikan oleh para malaikat. Mereka juga mendapat kehormatan, karena para malaikat meninggikan nama-nama orang yang senantiasa sholat Subuh di hadapan Allah SWT.

Ketujuh, didoakan dan dimintakan ampunan oleh para malaikat untuk orang-orang yang senantiasa menjaga sholat Subuh. Kedelapan, sholat Subuh punya posisi yang agung dalam Islam karena sholat ini adalah momen yang paling dekat dengan Allah SWT dan menandakan kedekatan seorang Muslim dengan Allah SWT.

Kesembilan, sholat Subuh itu lebih dari dunia dan seisinya. Kesepuluh, sholat Subuh secara berjamaah akan menjadi cahaya yang sempurna bagi orang-orang mukmin di Hari Kiamat Kelak. Rasulullah SAW dalam sabdanya, mengatakan, kabar gembiran bagi orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid ialah memperoleh cahaya sempurna di Hari Kiamat.

Kesebelas, diselamatkan dari api neraka. Keduabelas, akan terjaga imannya dan terhindar dari kemunafikan. Ketigabelas, mendapat perlindungan dari azab, siksaan, dan murka Allah SWT.

IHRAM

Bolehkah Pasien Penderita Covid-19 Tidak Shalat?

Shalat merupakan rukun Islam. Dalam fiqih Islam, wajib hukumnya melaksanakan shalat. Shalat termasuk perintah yang qathi. Untuk itu, shalat tak boleh ditinggalkan. Pelbagai ayat Al-Qur’an telah menerangkan kewajiban shalat. Lantas bagaimana dengan pasien penderita Covid-19? Bolehkah tidak shalat pasien penderita  Covid-19?

Syahdan, shalat adalah kewajiban bagi seorang muslim. Perintah untuk melaksanakan shalat tertera dalam pelbagai ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S al-Baqarah ayat 34;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya; Dan dirikan kamulah sholat, tunaikan kamu zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk

Dan juga firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4: 103

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya; Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Nah, terkait hukum pasien penderita Covid-19, bolehkah tidak shalat? Para ulama menjelaskan tak ada keadaan apapun yang membuat kewajiban shalat gugur. Untuk itu, sejatinya orang yang sakit tidak dicabut kewajibannya untuk melaksanakan shalat.

Namun, dalam hukum Islam, orang yang sakit diberikan pelbagai kemudahan atau keringan dalam melaksanakan shalat. Keringanan itu guna memudahkan pasien penderita Covid-19 untuk melaksanakan shalat.

Menurut Syekh Muhammad Abdus Sami, Aminul Fatwa Darul Ifta Mesir mengatakan kewajiban shalat tak gugur bagi seseorang dalam keadaan apapun. Baik dia sehat atau sakit. Akan tetapi, bagi orang yang sakit ada keringanan hukum.

Ia mengatakan;

أن الدين الحنيف راعى أحوال الناس، فيمكن للمصلي على سيبل التسير الصلاة جالساً فى حالة صعوبة القيام لها، وأيضاً يجوز الصلاة نائماً على السرير فى حالة المشقة للحركة، وعلى هذا فلا تسقط الصلاة عن أى إنسان.

Artinya; Sesungguhnya agama yang benar ini (Islam) memelihar ia akan keadaan manusia. Maka sebagai kemudahan dalam hukum, dibolehkan bagi orang yang ingin shalat sebagai tapi tak mampu berdiri, ia boleh duduk sebagai kemudahan baginya, dan juga boleh shalat dalam keadaan memejamkan mata sebagai kemudahan karena sulit untuk bergerak. Dan atas keadaan apapun, tak ada kewajiban menggugurkan/meninggalkan shalat.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh  Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husain, As Syafii dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar,bagi orang yang sakit (lemah) ada kemudahan dalam melaksanakan shalat. Bila tak mampu berdiri, ia boleh duduk. Bila tak mampu duduk, ia boleh shalat dalam keadaan berbaring.

Syekh Taqiyuddin berkata dalam Kifayatul al-AkhyarJilid I, halaman 103;

(والقيام مع القدرة)اعلم ان القيام او ما يقوم مقامه عند العجز كالقعود والاجطجاع, ركن في الصلاة الفرض

Artinya; berdiri bagi yang mampu, ketahuilah bahwa berdiri atau memperbuat ia apa yang ia bisa ketika dalam keadaan lemah (tidak mampu) seperti duduk atau berbaring. Demikian itu (berdiri atau duduk dan berbaring) adalah rukun dalam shalat fardu.

Ada pun argumen keringanan shalat  bagi orang dalam keadaan sakit, Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatul al Akhyar, mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Baginda Nabi bersabda;

  عن عمران بن حُصين رضي الله عنهما قال (( كانت بي بواسير فسألت رسول الله صلى الله عليه السلام عن الصلاة: قال لي النبي صلى الله عليه وسلم: ((صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جنبٍ))؛ رواه البخاري

Artinya; Aku menderita penyakit wasir lalu aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengenai salat. Beliau bersabda, “Salatlah kamu sambil berdiri; Jika tidak bisa, salatlah sambil duduk; Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring ke arah kanan. (H.R Bukhari)

Dan ada juga hadis riwayat Imam Nasai;

وزاد النسائي فان لم تستطع فمستلقيا لا يكلف الله  نفسا الا وسعها

Artinya; Jika tak sanggup (baca; berdiri, duduk, berbaring arah kanan) maka ia shalat dalam posisi telentang, Allah tak memberatkan seorang hamba, kecuali menurut kemampuannya.

Imam Nawawi Al Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain, pun berpendapat bahwa orang yang sakit diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah shalat. Keringanan hukum itu diberikan syariat sebab sakit yang ia derita. Bila dipaksakan akan berakibat fatal pada jiwanya.

Imam Nawawi mencontohkan keringanan shalat bagi penderita penyakit beser (salasul baul). Dalam Kitab Nihayatuz Zain halaman 58 ia berkata;

وكذا لو كان به سلس بول, ولو قام سال بوله ولو قعد لم يسل, او قال طبيب ثقة لمن بعينه ماء إن صليت مستلقيا امكنت مداواتك فله ترك القيام في الجميع ويفعل مقدوره ولا إعادة عليه

 Artinya; dan seperti itu pula jika ada orang yang menderita penyakit beser, jika ia shalat dalam keadaan berdiri, maka akan menetes kencingnya, tapi jika ia shalat duduk maka kencingnya tak menetes, maka shalatlah ia dalam keadaan duduk. Atau berkata dokter yang terpercaya, bagai orang yang kena air akan berakibat fatal, atau jika berbaring maka itu dapat menyembuhkan penyakit, maka seluruh shalat fardu boleh  baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri. Ia boleh memperbuat dalam shalat semampunya, dan  shalatnya sah dan itu tak wajib diulangi di lain waktu.

Pada sisi lain, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al- Kaff menjelaskan secara terperinci pengertian dari “keadaan lemah (tidak mampu)”.  Dalam Kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Ia mengatakan yang dimaksud dengan “lemah” ialah adanya kesulitan yang parah pada diri seseorang. Jika itu dilakukan akan berakibat fatal bagi dirinya. Lebih dari itu, bisa berujung pada kebinasaan diri.

Syekh Al Kaff at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, halaman214 mengatakan;

ضابط العجز ; ان تلحقه مشقة شديدة , بحيث يخاف منها محذور التيمم, كزيادة مرض او بطء الشفاء, او حدوث شين فاحش في عضو ظاهر  او كانت مشقة لا تحمل عادة

Artinya;  Defini lemah (tidak mampu) bahwa seseorang dalam keadaan sangat sulit, dengan sekira-kira ditakutkan  akan membawa kepada uzur (kebinasaan), seperti bila dilakukan akan menambah penyakit, atau penyembuhan penyakit yang bertambah lambat, atau dalam keadaan kesulitan yang payah, yang diluar batas kebiasaan,.

Terkait orang shalat orang dalam keadaan sakit, Habib Syekh Al kaff menjelaskan secara panjang lebar pelbagai alternatif yang bisa dilakukan pasien tersebut. Bila para ulama di atas hanya menjelaskan keringanan shalat hanya sebatas berbaring atau telentang, Syekh Ahmad Al Kaff justru menambahkan pelbagai keringanan lain.

Menurut kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Orang sakit; shalat sambil berdiri, bila tak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk; dan bila tak mampu sujud, cukup dengan isyarat kepalanya saja—ketika sujud, maka kepala lebih rendah dari rukuk—, bila sanggup shalat duduk, maka shalat ia dengan berbaring ke arah kanan dan menghadap kiblat.

Kemudian, jika tak bisa berbaring ke arah kanan, maka ia shalat dalam keadaan telentang, dengan posisi  kedua kakinya menghadap kiblat. Dan bila tak jua mampu untuk telentang, maka cukup dengan menggerakakn kelopak mata. Terakhir bila tanpa jua sanggup menggerakakan kelopak mata, maka cukup bagi yang sakit dengan isyarat hati. Dalam hatinya ia menggerakkan rukun shalat. Itulah kemudahan bagi orang yang sakit dalam shalat.

Begini tulis Habib Syekh Al Kaff;

فإن عجز صلى ميتلقيا على قفاه, و يئميئ برأسه عند ركوعه وسجوده, فإن عجز او مأبأ بأجفانه, فإن عجز اجرى اركان الصلاة

Artinya; jika ia tak sanggup shalat dalam keadaan itu (berdiri, duduk, berbaring) maka shalatlah dalam keadaan telentang menggerakan ia akan kepala ketika sujud dan sujudnya, maka jika telentang pun tak mampu, maka shalatlah ia dengan menggerakkan kelopak matanya. Pun ketika itu semua ia tak mampu melakukannya, maka shalat ia dalam hati, dan berniat ia menggerakkan anggota shalat.

Demikian keterangan tentang  hukum Shalat Pasien Penderita Covid-19. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Shalat Batal karena Keluar Suara saat Menguap?

Ust, mau tanya, kalau orang angop (menguap, red), pas lagi Sholat terus keluar suara haaah, itu batal ngga ya shalat nya?

Matur suwun Ustdz…

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Sedikit suara yang keluar ketika menguap di dalam shalat, ada dua macam:

Pertama, di luar kendali dan keinginan.

Maksudnya suara alami yang keluar ketika menguap, batuk, dan yang semisalnya.

Suara menguap yang seperti ini tidak merusak keabsahan shalat.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن تخرج الحروف من فيه بغير اختياره مثل أن يتثاءب فيقول: هاه، أو يتنفس أو يسعل فينطق في السعلة بحرفين وما أشبه هذا، أو يغلط في القراءة فيعدل إلى كلمة من غير القرآن، أو يجيئه البكاء فيبكي ولا يقدر على رده، فهذا لا تفسد صلاته.

“Mengeluarkan suara huruf dari mulutnya, namun di luar kendali, seperti mengucapkan “Haah” atau suara keluar karena bernafas, batuk sampai keluar suara dua huruf, atau semisalnya, atau salah membaca ayat sampai keluar bacaan selain Quran, atau menangis yang tidak kuasa ia tahan, hal-hal seperti ini tidak membatalkan shalat.”

Kedua, suara yang masih dalam kendali dan keinginannya, seperti menambah-nambah suara menguap bersin atau batuk, ini dua pendapat ulama tentang hukumnya:

– Ada ulama yang berpendapat: shalat batal.

– Ada ulama yang berpendapat: shalat tidak batal.

Imam Al-Mardawi (salah seorang ulama Mazhab Hambali) menerangkan dalam kitab Al-Inshaf,

 .. أو نفخ فبان حرفان، فهو كالكلام، وهذا المذهب وعليه الأصحاب. واختار الشيخ تقي الدين: أن النفخ ليس كالكلام، ولو بان حرفان فأكثر، فلا تبطل الصلاة به، وهو رواية عن الإمام أحمد… انتهى.

“Meniupkan nafas saat shalat sampai membentuk suara dua huruf, ini dihukumi seperti kalam (berbicara). Pendapat ini dipegang oleh para ulama Mazhab Hambali. Syaikh Taqiyuddin memilih pendapat, bahwa hembusan nafas tidak termasuk kalam, meskipun sampai mengeluarkan dua huruf atau lebih. Ini tidak membatalkan shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad.”

Kesimpulannya: sebaiknya orang yang sedang shalat menghindari segala yang berpotensi membatalkan shalat. Jika sampai sengaja mengeluarkan suara dua huruf atau lebih dengan menguap atau menghela nafas, sebaiknya memilih sikap hati-hati, ia ulangi shalatnya.

Wallahu a’lam bis showab.

Referensi :

Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 444160

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/37218-shalat-batal-karena-keluar-suara-saat-menguap.html

Ingin Dijaga Allah SWT Agar Rajin Sholat? Baca Doa Berikut

Sholat merupakan amalan wajib yang paling utama

Doa merupakan akhlak seorang Muslim terhadap Allah SWT. Akhlak berdoa juga dianjurkan untuk meminta keteguhan dan keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Fikih Shalat menjelaskan, meminta keteguhan dalam beribadah juga bagian dari ikhtiar seorang Muslim dalam pengabdian kepada Allah SWT. Dalam Alquran, pentingnya menjaga keteguhan ibadah juga disampaikan.

Dan berikut doa agar teguh dan istiqomah dalam beribadah sebagaimana yang tertera dalam Alquran surat Ibrahim ayat 40:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Rabbij’alni muqima as-shalaati wa in dzurriyyati Rabbana wa taqabbal dua’i.”

Yang artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanklah doaku.”  

Pentingnya sholat memang begitu ditekankan dalam Alquran. Sejumlah ayat di Alquran menyebutkan betapa amalan ibadah shalat begitu pentinya. 

Perintah sholat salah satunya diabadikan Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 43: 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ “Wa aqimusshalata wa atuzzakata warka’u ma’a ar-raakiin.” 

 “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Menjawab Adzan Saat Sedang Shalat, Apakah Shalat Batal?

Menjawab kumandang adzan merupakan sebuah kesunnahan bagi setiap orang yang mendengarnya. Namun, apakah kesunnahan ini berlaku secara umum bagi setiap orang yang mendengar adzan? Masihkah disunnahkan menjawab adzan saat sedang shalat?

Adzan merupakan salah satu ibadah sunnah yang dilakukan untuk memberi tahu bahwa telah masuk waktu shalat. Menjawab Adzan, di kalangan Hanafiyah, dihukumi wajib, sedangkan madzhab-madzhab yang lain menghukumi sunnah. Bagi seseorang yang hendak melakukan sholat disunnahkan untuk menunggu adzan selesai. Ini dimaksudkan untuk dapat melakukan kedua ibadah tersebut dengan sempurna. Hal ini sebagaimana  keterangan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz 1 hal. 555,

 قال الشافعية : وإذا دخل المسجد، والمؤذن قد شرع في الأذان، لم يأت بتحية ولا بغيرها، بل يجيب المؤذن واقفاً حتى يفرغ من أذانه ليجمع بين أجر الإجابة والتحية

Artinya : “Kalangan madzhab Syafi’i mengatakan: jika seseorang masuk ke masjid sedangkan muadzin (orang yang adzan) mengumandangkan adzan, maka dia hendaknya tidak melakukan shalat sunnah tahiyyatul masjid atau yang lain, akan tetapi menjawab adzan dalam keadaan berdiri sampai adzan selesai. Ini dilakukan untuk mendapatkan pahala menjawab adzan dan sekaligus pahala shalat tahiyyatul masjid.”

Kesunnahan menjawab adzan rupanya tidak berlaku di setiap kondisi, sebab menjawab adzan saat sedang shalat hukumnya makruh, namun tidak sampai membatalkan shalat, kecuali apabila jawabannya berupa redaksi  “sadaqta wa bararta” dalam adzan subuh maka tidak dihukumi makruh.  Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Maraqil ubudiyah ‘ala matni bidayatil hidayah berikut,

واشتغل بجواب المؤذن، فلو أجبته في الصلاة كره ذلك الجواب ولم تبطل صلاتك إلا اذا قلت صدقت وبررت الخ. اه‍

Artinya : “Dan menyibukkan diri seseorang dari menjawab muadzin (orang yang adzan). Dimakruhkan bagi seseorang menjawab adzan di dalam sholat, tetapi tidak sampai membatalkan sholatnya kecuali apabila menjawab dengan redaksi ‘sadaqta wa bararta’maka tidak dihukumi makruh.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa menjawab adzan saat sedang shalat hukumnya makruh, namun tidak sampai membatalkan shalat. Tetapi, apabila jawabannya berupa redaksi  “sadaqta wa bararta” dalam adzan subuh maka tidak dihukumi makruh. Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Salah, Perhatikan Waktu-Waktu Makruh untuk Sholat

Ada waktu-waktu makruh untuk mendirikan sholat.

Untuk sholat lima waktu, umat Muslim dianjurkan mengerjakannya di awal waktu. Adapun untuk sholat sunah, umat Islam dianjurkan untuk mengerjakannya sesuai dengan syariat yang berlaku dengan memperhatikan waktu-waktu yang makruh untuk mendirikan shalat.

Imam Syafii dalam Fikih Manhaji setidaknya merangkum tiga waktu sholat yang hukumnya makruh tahrimiy (lebih dekat pada haram). Pertama, ketika tepat tengah hari (kecuali hari Jumat). Kedua, setelah waktu subuh lewat hingga tinggi matahari kira-kira satu tombak. Ketiga, setelah waktu sholat Ashar utama hingga terbenamnya matahari.

Dalam sebuah hadits, Uqbah bin Amir berkata: “Ada tiga waktu kami dilarang oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakan sholat dan menguburkan jenazah. (Yaitu) ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika tepat tengah hari hingga matahari agak condong ke barat, dan ketika matahari mulai terbenam hingga sempurna terbenamnya,”.

Waktu bola matahari mulai terlihat (baazhighah) yaitu waktu tengah hari yang biasanya unta yang tadinya bersimpuh mulai beranjak dari tempatnya karena tanah sangat panas. Keadaan ini menjadi metafora dari saking teriknya matahari, ketika akan terbenam matahari akan menguning.

Makruhnya mengerjakan sholat dalam waktu-waktu tersebut adalah apabila dikerjakan tanpa sebab sebelumnya. Sedangkan makruhnya menguburkan jenazah apabila itu dikerjakan dengan sengaja pada waktu tersebut. Berbeda halnya apabila penguburan dilakukan tanpa kesengajaan.

KHAZNAH REPUBLIKA

Hukum Takbir Setelah Salam dalam Shalat

Pertanyaan:

Apa hukumnya takbir setelah salam pada salat fardhu?

Jawaban:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ’ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ‘amma ba’du

Terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dan selainnya dari Tsauban Radhiyallahu’anhu, ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا انصرف من صلاته، استغفر ثلاثًا، وقال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت ذا الجلال والإكرام. قال الوليد: فقلت للأوزاعي: كيف الاستغفار؟ قال: تقول: أستغفر الله، أستغفر الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar tiga kali, dan beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Al-Walid berkata, ‘Aku berkata kepada Al-Auza’i, ‘Bagaimana cara beristighfar?’ Ia berkata, ‘Ucapkan: Astaghfirullah, astaghfirullah”” (HR. Muslim no. 591).

Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, mereka ditanya,

“Apakah disyariatkan bagi orang yang salat setelah salam membaca, ‘Allahu akbar‘ sebelum beristighfar tiga kali, berdasarkan pada lafaz (takbir) pada hadis ibnu abbas Radhiyallahu ’anhuma,

كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Aku mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir’ (Muttafaq ‘alaih). Jika tidak boleh demikian, maka apa yang dimaksud dengan takbir pada hadis tersebut?”

Al Lajnah Ad Daimah menjawab,

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan zikir-zikir yang lain.

Adapun takbir yang disebutkan dalam hadis tersebut, yang dimaksud adalah bacaan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’, yang dibaca setelah shalat sebanyak 33 kali. Dan demikianlah cara mengkompromikan hadis-hadis yang membahas hal tersebut.”

Di dalam syarah Sunan Abu Dawud karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, disebutkan,

“Abu Dawud membawakan lafaz hadis ini – yaitu hadis takbir setelah salat – maksudnya adalah bertakbir dan berzikir dengan mengeraskan suara. Karena dalam satu riwayat disebutkan ‘takbir’ dalam lafaz hadisnya, dan disebutkan ‘zikir’ di riwayat yang kedua. Dan zikir itu lebih umum daripada takbir. Karena zikir itu mencakup takbir dan juga yang selain takbir.

Dan Abu Dawud setelah membawakan riwayat pertama, beliau juga membawakan riwayat dari Ibnu Abbas,

كان يعلم انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Dia mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir.’

Maksudnya adalah orang yang terlambat mendatangi shalat jamaah, dia akan mendengar takbir yang diucapkan imam. Dan penyebutan ‘takbir’ tidak disebutkan bahwasanya itu diucapkan setelah salam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam membaca, ‘Astaghfirullah, astaghfirullah’, kemudian dilanjutkan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’. Inilah yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu takbir diucapkan bersamaan dengan tasbih dan tahmid.

Maka yang terdapat pada riwayat adalah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم، استغفر ثلاثًا، ثم قال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت يا ذا الجلال والإكرام

‘Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian).’

Kemudian riwayat kedua menyebutkan lafadz ‘zikir’ yang mencakup takbir dan selain takbir. Makna lafaz ‘zikir’ tersebut sesuai dengan yang terdapat pada riwayat-riwayat lainnya. Ini semua menunjukkan bahwa setelah salat, hendaknya berzikir. Yang diawali istighfar, kemudian ‘Allahumma antassalam wa minkas salam ….’ Dan pada riwayat ini terdapat penyebutan ‘takbir’ yang takbir ini dimaknai sebagai takbir yang ucapkan bersama dengan tasbih dan tahmid setelah salat” (selesai nukilan dari Syarah Sunan Abu Daud).

Kesimpulannya, amalan yang dibaca langsung setelah salat fardhu adalah membaca istighfra 3 kali, sebagaimana yang telah kita ketahui. Sedangkan takbir yang dibaca langsung setelah salam pada salat fardhu merupakan amalan yang tidak ditemukan petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahua’lam

***

Penerjamah: Rafif Zufarihsan

Artikel: Muslim.or.id