Menyelesaikan Masalah dengan Sholat

DALAM hidup kita, tentu kita akan mendapatkan masalah silih berganti. Seakan adu siapa yang menang atau kalah antara kita dengan masalah yang ada. Tak jarang kita merasa masalah yang ada sangat pelik. Kita menilai masalah yang ada mustahil bisa dipecahkan.

Hakikatnya setiap masalah yang datang, tentu Allah jadikan untuk kita sesuai dengan kemampuan kita. Tinggal kita bagaimana dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang datang.

Bagi Allah Azza Wa Jalla, Pemilik langit dan bumi beserta segala isinya, (bahkan Allah lah yang memiliki hati-hati yang sedang dirundung masalah) tentulah mudah mewujudkan segala sesuatu. Karena di Tangan-Nya segala urusan. Allah hanya firmankan Kun fayakun. Maka jadilah apa yang Allah kehendaki. Dia menguasai setiap urusan.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu,”(QS Al-Baqarah: 45). Firman Allah ini mengabarkan kepada kita tentang solusi praktis namun dahsyat untuk setiap masalah. Dan sarana meminta pertolongan ini, adalah permintaan tolong kepada yang Maha Kuasa.

Di dalam sholat terdapat banyak sekali kandungan doa. Sebab shalat sendiri adalah doa. Doa yang di antaranya adalah pengakuan kemahakuasaan Allah, pengakuan bahwa diri kita lemah dan penuh dosa, ketergantungan kita kepada Allah, serta ragam permintaan yang kita tujukan kepada Allah.

Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud, selalu mendirikan shalat apabila sedang ada masalah yang dihadapi beliau. Dari Hudzaifah radliyallahu anhu, ia berkata, “Bila kedatangan masalah, Nabi shalallaahu alaihi wasallam mengerjakan shalat”.

Hadits ini mempunyai korelasi dengan hadits lainnya. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Nabi shalallaahu alaihi wasallam bersabda, “Seorang hamba akan menjadi paling dekat dengan Rabb-nya saat ia sedang sujud. Maka, perbanyaklah doa (di dalamnya)” (HR. Muslim). Kedekatan kita kepada Allah akan menjamin perlindungan dan pertolongan Allah kepada kita. Mustahil Allah akan menolong hambaNya sedang kondisi hambaNya jauh dari Allah.

Maka aturlah strategi dalam menghadapi apapun masalah yang mendera kita, dengan pertama-tama melakukan shalat. Buat diri kita semakin mendekat kepada Allah.

Ketahuilah, apabila kita meyakini sepenuh hati bahwa Allah pemegang segala urusan, bahwa Allah Maha Kuasa, yakin dengan Laa hawla walaa quwwata illa billah, maka jangan berkecil hati. Jangan anggap masalah akan sulit dan kita tak akan sanggup. Segera lakukan shalat.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faidah shalat, “Shalat termasuk faktor dominan dalam mendatangkan maslahat dunia dan akhirat, dan menyingkirkan keburukan dunia dan akhirat. Ia menghalangi dari dosa, menolak penyakit hati, mengusir keluhan fisik, menerangi kalbu, mencerahkan wajah, menyegarkan anggota tubuh dan jiwa, memelihara kenikmatan, menepis siksa, menurunkan rahmat dan menyibak tabir permasalahan. [*]

Tata Cara Sujud Dalam Shalat

Sujud adalah salah satu rukun salat. Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

Ath Thabari dalam Tafsir-nya menyebutkan:

ارْكَعُوا) لله في صلاتكم (واسْجُدُوا) له فيها)

“(Rukuklah) kepada Allah dalam shalat kalian dan (sujudlah) di dalam salat kalian” (Tafsir Ath Thabari)

Dalam ayat ini rukuk dan sujud mewakili penyebutan salat, menunjukkan rukuk dan sujud adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari salat. Kemudian dalam hadis yang dikenal dengan hadis Al Musi’ Shalatuhu, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, disebutkan di sana:

ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا

“...Kemudian sujudlah sampai tuma’ninah. Kemudian bangun sampai duduk dengan tuma’ninah. Kemudian sujud sampai tuma’ninahز” (HR. Bukhari no. 6251, Muslim no. 397)

Dan ijma’ para ulama bahwa sujud adalah rukun salat, tidak sah salat jika sujud ditinggalkan. Imam An-Nawawi mengatakan:

ِوَالسْجُوْدُ فَرْضٌ، بِنَصٍّ الكِتَابِ والسُنَّنِ والإِجْمَاع

“Sujud hukumnya wajib berdasarkan nash Alquran, sunnahm dan ijma.” (Al Majmu’, 3/421)

Dan dalam setiap rakaat wajib ada dua kali sujud sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah di atas.

Cara Turun Sujud

Para ulama berbeda pendapat mengenai cara turun sujud dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: kedua lutut dahulu baru kedua tangan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah.

Dari Alqamah dan Al Aswad rahimahumallah:

ِحَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِي صَلَاتِهِ أَنَّهُ خرَّ بَعْدَ رُكُوعِهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَمَا يَخِرُّ البَعِيْرُ، ووَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْه

Aku mengingat cara shalat Umar (bin Khathab) bahwa beliau turun sujud setelah rukuk dengan bertumpu pada lututnya sebagaimana unta yang meringkuk. Beliau meletakkan lututnya lebih dahulu dari tangannyaز” (HR. Ath Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar, 1419, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati Shalatin Nabi, 2/717)

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah.

Pendapat kedua: kedua tangan dahulu baru kedua lutut. Ini adalah pendapat ulama Malikiyyah dan juga salah satu pendapat Imam Ahmad.

Dari Nafi’ rahimahullah, ia berkata:

كَانَ إِبْنُ عُمَرَ يُضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Ibnu Umar dahulu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnyaز” (HR. Al Bukhari secara mu’allaq di hadits no. 803, Ibnu Khuzaimah no. 627, dishahihkan Al Albani dalamIrwaul Ghalil, 2/77)

Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.

Wallahu a’lam, pendapat kedua nampaknya yang lebih kuat, karena terdapat hadis:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Jika kalian sujud maka jangan turun sujud seperti meringkuknya unta. Hendaknya ia letakkan tangannya sebelum lutunya.” (HR. Abu Daud no. 840, Al Baihaqi no. 2739, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati Shalatin Nabi 2/720)

Dan riwayat-riwayat yang menyatakan tangan dahulu sebelum lutut lebih banyak dan lebih bagus kualitasnya. Namun tentunya masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang longgar.

Tujuh Anggota Sujud

Anggota sujud adalah bagian-bagian tubuh yang menjadi tumpuan ketika melakukan sujud, dengan kata lain tujuh anggota tubuh ini menempel ke lantai ketika sujud. Ini disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ؛ عَلَى الجبهةِ – وأشارَ بيدِه إلى أنفِه – واليدينِ، والرُّكبتينِ، وأطرافِ القدَمينِ

Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR. Bukhari no. 812, Muslim no. 490)

Maka tujuh anggota sujud tersebut adalah:

  1. Kening dan hidung
  2. Tangan kanan
  3. Tangan kiri
  4. Lutut kanan
  5. Lutut kiri
  6. Kaki kanan
  7. Kaki kiri

Namun para ulama khilaf mengenai hidung. Karena tambahan riwayat وأشارَ بيدِه إلى أنفِه (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya) hanya terdapat dalam riwayat dari jalan Abdullah bin Thawus dari Thawus. Sufyan Ats Tsauri mengatakan:

و زادنا فيه ابن طاووس فوضع يده على جبهته, ثم أمرها على أنفه حتى بلغ طرف أنفه, و كان أبي يعد هذا واحد

“Ibnu Thawus menambahkan kepada kami dengan memegang keningnya lalu menggerakkan tangannya ke bawah hingga ke ujung hidungnya kemudian berkata: ‘Ayahku (Thawus) menganggap ini satu bagian’.” (Al Umm, 1/113).

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan,

“Sebagian ulama menganggap bahwa yang kuat adalah pendapat bahwa tafsiran tersebut (yaitu hidung termasuk bagian dari kening) bukan berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun dari perbuatan Thawus atau anaknya. Oleh karena itu maka tidak wajib sujud dengan menempelkan hidung, namun hukumnya mustahab (sunnah) saja. Ini pendapat jumhur ulama” (Mafatihul Fiqhi fid Diin, 73)

Tata Cara Sujud

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, tata cara sujud dapat diringkas menjadi beberapa poin berikut:

  1. Kening dan hidung menempel ke lantai. Sebagaimana hadis Ibnu Abbas radhiallahu’anhu di atas.
  2. Kedua tangan menempel ke lantai dan diletakkan sejajar dengan bahu. Sebagaimana dalam hadis dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu: … ثم سجَدَ فأمكَنَ أنفَه وجبهتَه، ونحَّى يدَيْهِ عن جَنبَيْهِ ووضَع كفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ …“… kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sujud dan meletakkan hidungnya serta keningnya. Dan beliau melebarkan tangannya di sisi tubuhnya dan meletakkan telapak tangannya sejajar dengan bahunya… (HR. Abu Daud no. 734, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
  1. Punggung lurus, kedua lengan diangkat dan tidak menempel ke lantai. Berdasarkan hadis dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:اعتدِلوا في السُّجودِ، ولا يبسُطْ أحدُكم ذراعَيْهِ انبساطَ الكلبِ“Hendaknya lurus ketika sujud. Dan jangan kalian merebahkan lengan kalian sebagaimana yang dilakukan anjing.” (HR. Bukhari nol 822, Muslim no. 493)
  1. Lengan atas dibuka sehingga jauh dari badan. Sebagaimana dalam hadis dari Al Barra bin Azib radhiallahu’anhu, NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:إذا سجَدْتَ فضَعْ كفَّيْكَ وارفَعْ مِرْفَقَيْكَ“Jika engkau sujud maka letakkan kedua tanganmu di lantai dan angkat sikumu.” (HR. Muslim no. 494)Sebagaimana dalam juga hadis Abdullah bin Buhainah radhiallahu’anhu, ia berkata:

    أن النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا صلَّى فرَّج بين يديهِ، حتى يبدوَ بياضُ إبْطَيه

    Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau melebarkan kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau.” (HR. Bukhari no. 390, Muslim no. 495)

  1. Lutut menempel ke lantai. Sebagaimana hadis Ibnu Abbas radhiallahu’anhu di atas.
  2. Paha jauh dari perut. Ulama ber-ijma’ tentang disunnahkannya hal ini. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan:الحديث يدلُّ على مشروعية التفريج بين الفخِذين في السُّجود، ورفْعِ البطن عنهما، ولا خلافَ في ذلك“Hadis menunjukkan tentang disyariatkannya melebarkan paha ketika sujud dan menjauhkan perut dari paha. Tidak ada khilaf dalam masalah ini.” (Nailul Authar, 2/297)
  1. Jari-jari kaki mengarah ke arah kiblat. Berdasarkan hadis dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha rahimahullah,أنَّه كان جالسًا مع نفَرٍ مِن أصحابِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فذكَرْنا صلاةَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال أبو حُمَيدٍ السَّاعديُّ: أنا كنتُ أحفَظَكم لصلاةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: رأَيْتُه إذا كبَّرَ جعَلَ يدَيْهِ حِذاءَ مَنْكِبَيْهِ، وإذا ركَعَ أمكَنَ يدَيْهِ مِن رُكبتَيْهِ، ثم هصَرَ ظهرَه، فإذا رفَع رأسَه استوى حتَّى يعودَ كلُّ فَقَارٍ مكانَه، فإذا سجَد وضَع يدَيْهِ غيرَ مفترشٍ ولا قابضِهما، واستقبَلَ بأطرافِ أصابعِ رِجْلَيْهِ القِبلةَ“Ia pernah duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka mereka pun menyebutkan kepada kami tentang tata salat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Abu Humaid As Sa’idi berkata: “Aku paling hafal tata cara salat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku pernah melihat Nabi jika bertakbir maka beliau jadikan tangannya sejajar dengan pundaknya. Jika beliau rukuk maka tangan beliau memegang lututnya, kemudian beliau luruskan punggungnya. Ketika beliau i’tidal maka sampai semua tulang kembali pada tempatnya. Jika beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya, tidak terlalu direnggangkan dan juga tidak terlalu dirapatkan. Dan jari-jari kakinya dihadapkan ke arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 828)
  1. Kedua tumit dirapatkan. Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu’anha:فقدت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وكان معي على فراشي ، فوجدته ساجداً ، راصّاً عقبيه ، مستقبلاً بأطراف أصابعه القبلة“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal sebelumnya beliau bersamaku di tempat tidur. Kemudian aku mendapat beliau sedang sujud, dengan menempelkan dua tumitnya, menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat.” (HR. Muslim no. 486)

Inilah pendapat yang rajih karena dalilnya sahih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Al Albani.

Adapun sebagian ulama berpendapat disunnahkan merenggangkan tumit, mereka berdalil dengan hadis:

وإذا سجدَ فرَّجَ بين فَخِذيهِ غيرَ حاملٍ بطنَه على شيءٍ مِن فخِذيه

Jika Nabi sujud beliau merenggangkan pahanya tanpa menyentuhkan perutnya pada apapun dari pahanya (menjauhkan perutnya dari pahanya),” (HR. Abu Daud no. 735)

Hadis ini derajatnya dhaif. Selain itu hadis ini tidak berbicara mengenai merenggangkan tumit melainkan merenggangkan paha.

Bacaan Sujud

Ada beberapa bacaan yang sahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sujud:

Bacaan pertamasubhaana rabbiyal a’la (Maha Suci Allah Rabb-ku Yang Maha Tinggi)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

فكان يقولُ في سُجودِه: سُبحانَ ربِّيَ الأعلى، قال: ثم رفَعَ رأسَه

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya mengucapkan: subhaana rabbiyal a’la. kemudian mengangkat kepalanya (untuk duduk).” (HR. Ahmad no. 3514, dihasankan Al Albani dalam Ashl Sifatu Shalatin Nabi, 3/809)

Bacaan kedua: subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh (Maha Suci Allah Rabb para Malaikat dan ruh)

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يقولُ في ركوعِه وسُجودِه، سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، ربُّ الملائكةِ والرُّوحِ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika rukuk dan sujud mengucapkan: ‘Subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh.” (HR. Muslim no. 487)

Bacaan ketigaAllahumma laka sajadtu (Ya Allah, kepada-Mu lah aku sujud)

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu ia berkata:

إذا سجَد قال: اللهمَّ لك سجَدْتُ، وبك آمَنْتُ، ولك أسلَمْتُ، سجَد وجهي للذي خَلَقَه وصوَّرَه، وشقَّ سَمْعَه وبصَرَه، تبارَكَ اللهُ أحسَنُ الخالقي

Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sujud beliau mengucapkan: ‘Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi khalaqahu, wa shawwarahu, wa syaqqa sam’ahu, wa basharahu. Tabarakallahu ahsanul khaliqiin’ [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu juga aku beriman, kepada-Mu juga aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta].” (HR. Muslim no. 771)

Cara Bangkit dari Sujud Menuju Berdiri

Ulama khilaf dalam hal ini menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: kedua tangan naik lebih dahulu sebelum kedua lutut, kecuali jika kesulitan maka baru bertumpu pada kedua tangan. Ini pendapat Hanafiyah dan Hanabilah.

Dari Jabir radhiallahu’anhu, ia berkata:

رَمقْتُ ابنَ مَسعودٍ فرأيتُهُ يَنهَضُ علَى صدورِ قَدميهِ، ولا يَجلِسُ إذا صلَّى في أوَّلِ رَكْعةٍ حينَ يَقضي السُّجودَ

Aku pernah mengikuti Ibnu Mas’ud dan aku melihat beliau bangkit dari duduk dengan bertopang pada kedua kakinya. Dan beliau tidak duduk (istirahat) di rakaat pertama ketika selesai sujud.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 1/394)

Pendapat kedua: kedua lutut naik lebih dahulu sebelum kedua tangan. Ini pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah.

Dianjurkan Memperbanyak Doa ketika Sujud

Setelah membaca dzikir sujud yang disebutkan diatas, dianjurkan untuk memperbanyak doa ketika sujud. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقَْربُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدِ مِنْ رَبِّهِ َوهُوَ سَاجِدً . فَأَكْثِرُوْا الدُعَا

Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu.” (HR. Muslim, no.482)

Larangan Membaca Alquran ketika Sujud

Diantara larangan yang perlu diperhatikan ketika sujud adalah larangan membaca ayat Alquran ketika sedang sujud. Sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:

وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Aku dilarang untuk membaca Alquran ketika rukuk dan sujud. Adapun rukuk maka itu waktunya mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan sujud maka itu waktunya bersungguh-sungguh untuk berdoa agar diijabah oleh Allah” (HR. Muslim no. 479)

[Adapun membaca doa saat rukuk tidak mengapa. Bukhari membawakan doa: سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللّهُمَّ اغْفِرْلِي  [Mahasuci Engkau ya Allah, wahai Rabb kami dan aku memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku.] (HR. Bukhari (I/99) [no. 794] dan Muslim (I/350) [no. 484]. Bukhari memasukkan hadis tersebut dalam ‘Babud Du’a’i fir ruku’ (Bab Doa dalam Rukuk).

Al Hafiz Ibnu Hajar memberikan komentar terhadap bab yang dikhususkan oleh Imam Bukhari, “Ada yang mengatakan, ‘Hikmah mengkhususkan rukuk dengan menyebut kata doa tanpa menyebut kata tasbih, padahal hadisnya hanya satu, bahwa Bukhari bermaksud untuk memberi isyarat bantahan terhadap orang yang menganggap berdoa ketika rukuk adalah makruh, seperti Imam Malik rahimahullah. Sedangkan mengenai tasbih, tidak ada perbedaan pendapat mengenainya. Dengan alasan tersebut, Bukhari lebih memfokuskan dengan penyebutan doa untuk tujuan tersebut.’” (Syarah Hisnil Muslim, oleh Syaikh Majdi bin Abdul Wahab Al Ahmadi)ed]

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga mengatakan:

نَهاني رَسولُ اللَّهِ – ولا أقولُ : نَهاكُم – أن أقرأَ راكعًا ، أو ساجِدًا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kamu – aku tidak mengatakan: melarang kalian – untuk membaca Alquran ketika rukuk atau sujud.” (HR. Ibnu Abdil Barr dalam Al Istidzkar, 1/475, beliau lalu mengatakan: “Ini adalah lafaz yang mahfuzh dari hadis”)

 

Demikian beberapa uraian ringkas mengenai sujud dalam salat. Semoga bermanfaat.

Penerjemah: Yulian Purnam

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44588-tata-cara-sujud-dalam-shalat.html

Salat sebagai Penjaga, Pelindung, dan Penyembuh

SESUNGGUHNYA gerakan rukuk dan sujud memiliki manfaat sangat besar terhadap kesehatan tubuh secara umum dan terutaman kesehatan paru-paru. Gerakan rukuk dan sujud yang dilakukan berulang-ulang dapat mengusir ragam penyakit dari paru-paru.

Karena ketika tubuh dibungkukkan dalam gerakan rukuk, sekat-sekat paru-paru membuka sehingga darah mengalir secara sempurna ke sana. Sementara dalam posisi sujud darah mengalir lancar menuju bilik pertama paru-paru yang membutuhkan asupan darah.

Dalam keadaan rukuk dan sujud darah mengalir ke semua bagian paru-paru, yang kemudian memasukkan oksigen untuk menggantikan karbon dioksida. Para ahli medis menyebutkan bahwa agen kanker dapat mencapai paru-paru diakibatkan oleh kurangnya oksigen yang memasuki paru-paru.

Sama halnya, dalam sujud pun berlangsung proses serupa, yakni kadar udara dalam paru-paru berkurang digantikan oleh udara yang masuk ketika sujud.

Dan dalam buku “Buku Pintar Mukjizat Kesehatan Tubuh” dikemukakan bahwa posisi dua tangan di sisi dada memudahkan proses pengosongan udara sehingga paru-paru bisa mendapatkan pasokan oksigen yang lebih banyak untuk dialirkan ke seluruh bagian tubuh bersama darah.

Dengan demikian, salat sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia baik fisikal maupun mental, juga akal. Berkat salat yang kita lakukan secara rutin, kita memiliki kekuatan melakukan berbagai aktivitas.

Juga salat merupakan penjaga, pelindung, dan sekaligus obat penyembuh. Setiap orang bisa merasakan semua faedah itu jika melakukan salat secara rutin pada waktunya, dan juga sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasulullah saw. Dan, kerjakanlah salat secara iklas dan khusyuk. [Chairunnisa Dhiee]

 

 

Salat Sangat Berpengaruh Terhadap Rezeki

SELAIN kedudukan ibadah salat yang amat tinggi di sisi Allah, efek positif dari salat juga langsung menyentuh kehidupan manusia. Bukankah kita mendengar Firman Allah swt,
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS.Al-Ankabut: 45).

Salat yang benar akan membentuk diri manusia untuk antiterhadap perbuatan buruk dan kejam. Tapi di samping itu, salat juga memiliki hubungan erat dengan urusan rezeki. Coba kita perhatikan dua ayat berikut ini,

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah- mudahan mereka bersyukur.” (QS.Ibrahim: 37)

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS.Thaha: 132).

Pada ayat pertama, Nabi Ibrahim meninggalkan keluarganya ditempat yang gersang di sekitar Mekah agar mereka melaksanakan salat. “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat.”

Setelah ungkapan ini ia sampaikan, baru kemudian Ibrahim berdoa agar Allah memberikan rezki kepada keluarganya: Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Pada ayat kedua, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengajak keluarganya melakukan salat: Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.

Setelah berfirman mengenai perintah salat ini, Allah melanjutkan tentang masalah rezki: Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu.

Dua ayat ini selalu meletakkan urusan rezeki setelah urusan salat. Seakan ingin menjelaskan bahwa salatlah dengan baik, maka rezki akan datang setelahnya. Sering kita menunda salat karena ada urusan bisnis yang belum selesai. Sering kita mempercepat salat kita karena ada pembeli yang datang. Sering kita melalaikan salat hanya karena ada orang penting yang harus kita temui.

Coba pikirkan, kenapa kita harus mempercepat salat demi pembeli sementara kita sedang menghadap Sang Pengatur Rezki?

Kenapa kita harus menunda salat demi bertemu klien sementara Allah-lah Sang Pemegang urusan itu? Kenapa kita harus bertemu orang penting dan melupakan pertemuan dengan zat yang segala urusan ada ditangan-Nya?

Mari kita perbaiki cara berpikir kita agar tidak lagi mendahulukan sesuatu yang penting dan melalaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Semoga Allah menerima salat-salat kita.[]

 

INILAH MOZAIK

Sholat Sebagai Pokok Agama

SHOLAT wajib adalah amal shalih utama dalam agama kita. Dari Muadz bin Jabal radliyallahu anhu, Nabishallallahu alaihi wa sallambersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa apabila penopang suatu bangunan runtuh, tentu bisa dipastikan bangunan tersebut pun ikut runtuh. Demikian pula keadaan sholat pada diri seseorang. Apabila ia mengabaikan sholat, pastilah agama baginya ikut runtuh.

Sholat pula amalan yang kelak pertamakali dihisab di akhirat. Apabila baik keadaan sholatnya, maka baiklan seluruh amalannya. Namun apabila rusak sholatnya, maka rusak pulalah keadaan amalan selain sholat. Bagaimana mungkin keadaan amal saleh seseorang akan baik sementara ia tidak menegakkan syariat berupa beribadah kepada Allah (sholat)?

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Taala berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi dan An-Nasai).

Melaksanakannya dengan khusyu’ dan pada waktunya merupakan tanda keislaman dan keimanan seseorang. Apalagi bagi seorang laki-laki mukim yang sehat, melaksanakan shalat berjamaah di masjid atau musholla setempat adalah sebuah kewajiban agama. Hal ini karena sholat adalah ciri utama agama Islam. Maka pemeluk

Banyak keutamaan tentang shalat. Keutamaan tentang shalat dimulai sejak dari bersuci atau berwudhu di rumah, kemudian berjalan mendatangi masjid, berdoa saat keluar rumah dan saat masuk masjid, hingga keutamaan berdoa diantara adzan dan iqamat. Serta keutamaan shaff pertama.

Orang-orang yang telah meninggal mendahului kita, mereka menginginkan kembali hadir di dunia untuk melakukan amalan shaleh terutama bersujud (sholat) kepada Allah. Karena semasa hidupnya orang seperti ini telah meninggalkan sholat, atau pun meremehkan sholat dengan menunda-nunda pelaksanaannya. Kelak pun orang yang meninggalkan sholat akan ditempatkan di (neraka) Saqar.

Orang-orang di dalam surga saling menanyakan tentang keadaan orang-orang yang berdosa. Firman Allah, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat,” (QS. Al Mudatstsir: 42-43).

Mari, mulai saat ini, kita berazzam memperbaiki diri dengan memulainya dari shalat. Kita perbaiki shalat kita. Baik cara atau kaifiyahnya, maupun waktu pelaksanaannya. Jangan sampai kita menunda-nunda shalat sehingga di akhir waktu. [*]

INILAH MOZAIK

Shalatnya Orang-Orang Lalai

Sebagai fondasi agama, shalat menjadi ibadah terpenting di dalam Islam. Jangankan tidak melakukannya, melalaikannya pun menjadi sebuah pelanggaran. “Maka, celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”(QS al-Maun: 4- 5).

Dalam menafsirkan ini, Imam Ibnu Katsir menukil salah satu pendapat ulama generasi tabiin, yakni Atha ibnu Dinar. Dia memuji Allah SWT yang telah menyebut lalai dari shalat dan bukan lalai dalam shalat. Mereka lalai karena tidak menunaikannya pada awal waktu. Mereka menangguhkannya sampai akhir waktu terus-menerus sehingga menjadi kebiasaan.

Dalam menunaikan shalat, ada kalanya mereka tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Kondisi lainnya, mereka melakukan shalat tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Adakalanya juga mereka tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya. Menurut Atha, pengertian lalai dalam ayat tersebut mencakup semua itu.

Meski demikian, dia memberi catatan, orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti dia mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh ayat ini. Barang siapa yang menyan- dang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah bagiannya. Jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya.

Salah satu tujuan adanya perintah shalat, yakni untuk mengingat Allah SWT. Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.(QS Thaha: 14). Imam Al Ghazali berkata, lalai adalah lawan dari ingat. Karena itu, barang siapa lalai dalam seluruh shalatnya, tidaklah mungkin ia mendirikan shalat untuk mengingat-Nya. Di sisi lain, Allah SWT berfirman, Dan janganlah engkau termasuk dalam golongan orang-orang lalai. (QS al-Araf: 205).

Ayat tersebut bermakna larangan yang memiliki makna lahir sebagai pengharaman. Tak hanya cukup di situ, Allah SWT pun berkata, Hingga kalian mengerti apa yang kalian katakan.(QS an-Nisa: 43).Keadaan ini menjadi sebab dilarangnya orang mabuk untuk shalat. Kondisi ini pun berlaku kepada orang-orang yang lalai serta orang yang pikirannya timbul dan tenggelam.Dia selalu waswas dalam shalatnya. Pikirannya dipengaruhi oleh dunia meski berada dalam rukuk dan sujud.

Maka dari itu, amat benar perkataan Rasulullah SAW, Sesungguhnya shalat hanya kemantapan hati dan kerendahan diri. Nabi SAW juga membatasi sabdanya dengan alif dan lam serta dengan kata `innama’. Maksudnya, menetapkan dan menguatkan.

Begitu juga sabda Rasulullah SAW, Barang siapa shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, ia tidaklah bertambah dari Allah kecuali jauhnya. Menurut Imam Al Ghazali, shalatnya orang lalai itu tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Tidak heran jika Nabi SAW bersabda, Betapa banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya selain kelelahan dan kepayahan. Bukankah Nabi SAW juga bersabda, Tidaklah seorang hamba mendapatkan sesuatu dari shalatnya selain apa yang disadari oleh akalnya.

Al-Ghazali menghimpun sikap-sikap batin dalam enam ungkapan. Kehadiran hati, pemahaman (makna), sikap mengagungkan, rasa takut, rasa harap, dan rasa malu. Kehadiran hati adalah kosongnya hati dari segala sesuatu selain dari apa yang dia kerjakan dan ucapkan. Jadi, ilmu tentang perbuatan dan perkataan selalu mengiringi keduanya.Pikiran pun tidak beredar selain kepada keduanya.

Pemahaman terhadap makna perkataan merupakan sesuatu yang berada di balik kehadiran hati, yaitu mengandungnya hati atas ilmu tentang makna lafal.Betapa banyak makna-makna halus yang dipahami oleh orang yang mengerjakan shalat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.

Sikap mengagungkan adalah sesuatu yang berada di balik kehadiran hati dan pemahaman serta meningkatkan keduanya. Rasa takut meningkatkan sikap mengagungkan, yakni rasa takut yang ditumbuhkan oleh pengagungan dan pemuliaan. Rasa harap adalah hasrat untuk mendapat pahala dari Allah SWT.

Penyeimbangnya adalah rasa takut terhadap siksaan dari Allah atas kelalaiannya dalam menjalankan syariat-Nya.Terakhir, rasa malu bermakna merasa diri berkekurangan dalam menjalankan syariat dan merasa banyak dosa.

Lantas, apa penyebab hadirnya sikap batin ini? Al Ghazali melanjutkan, kehadiran hati dise- babkan oleh perhatian. Ia tidak hadir pada apa yang tidak kita perhatikan. Hati itu tercipta demikian dan tunduk kepada hal tersebut. Ketika dia tidak hadir dalam shalat, ia sedang beredar pada urusan-urusan dunia yang menarik perhatian.

Pemahaman disebabkan oleh pemusatan hati untuk memahami makna. Cara memperolehnya, yak ni dengan pemusatan pikiran disertai dengan kesiagaan penuh untuk menghalau segala bisikan ketika shalat.Caranya, berlepas diri dari berbagai sebab yang memancing bisikan setan.

Sikap mengagungkan disebabkan oleh dua keadaan hati.Pertama, pengenalan tentang kemuliaan dan keagungan Allah Azzawa Jalla. Kedua, pengenalan tentang kehinaan dan kerendahan diri serta kejadian diri sebagai hamba yang ditundukkan dan dipelihara.

Rasa takut timbul dari keadaan jiwa yang lahir dari pengenalan terhadap kekuasaan Allah dan keberpengaruhan-Nya dan keterlaksanaan kehendak-Nya.Tanpa disertai dengan menyombongi-Nya. Adapun rasa harap lahir dari pengenalan tentang kelembutan Allah, kemurahan-Nya, kemerataan pemberian-Nya, dan kecermatan ciptaan-Nya. Sementara itu, rasa malu muncul karena adanya perasaan kekurangan dalam beribadah dan mengetahui ketidakmampuan diri untuk menegakkan hak-hak Allah Azza wa Jalla.Wallahu ‘alam.

Lanjut Salat atau Selamatkan Diri saat Gempa?

TERDAPAT kaidah umum yang disampaikan para ulama fiqh. Kaidah itu menyatakan, “Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).” Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fiqh, kaidah ini sering disebutkan. Diantara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah, “Janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. al-Anam: 108)

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini, “Memaki tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah Taala . Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian, dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya.” (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 265).

Karena pertimbangan inilah, pelaksaan kewajiban yang sifatnya muwassa (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas. Shalat wajib termasuk wajib muwassa (waktunya longgar). Shalat isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk barat, hingga tengah malam. Sehingga, kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.

Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya, hukumnya haram. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang shalat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah. Mempertahankan shalat, itu maslahat, sehingga jamaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya. Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jamaah. Mana yang harus didahulukan? Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, dari pada mempertahankan maslahat. Apalagi shalat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.

Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan Shalat

Karena itulah, para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, dari para shalat wajib. Kita simak keterangan mereka,

[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri ulama Hanafiyah “Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan shalat dan apa yang membolehkannya wajib membatalkan shalat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang shalat” (Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75)

[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam ulama Syafiiyah wafat 660 H.

Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam, beliau menjelaskan, “Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam, dari pada pelaksanaan shalat. Karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam, lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan shalat. Disamping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian shalatnya diqadha.” (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66).

Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain. Dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan shalat wajib. Tentu saja, menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan shalat.

[3] Keterangan al-Buhuti ulama hambali (wafat 1051 H),

“Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan shalat, baik shalat wajib maupun sunah. Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena shalat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha, berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah.” (Kasyaf al-Qina, 1/380).

Karena itulah, bagi mereka yang sedang shalat jamaah, kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan shalat namun segera dibatalkan. Karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari. Terlebih, shalat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.

Demikian. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Rasulullah Larang Buka Telapak Tangan Ketika Salam

FENOMENA salam dengan membuka tangan. Salam ke kanan, membuka tangan kanan, salam ke kiri dengan membuka tangan kiri. Ada juga salam ke kanan membuka tangan kanan, namun ketika salam ke kiri, telapak tangan tidak dibuka.

Saya pernah bertemu dengan orang yang mempraktikkan semacam ini, dan ketika saya tanya, beliau menjawab,

“Ketika salam ke kanan, tangan kanan dibuka, dengan harapan terbukalah pintu surga. Salam kiri tetap ditutup, tertutuplah pintu neraka.” Itu alasannya, dan beliau sama sekali tidak menyebutkan dalil.

Sebenarnya kebiasaan semacam ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau ingatkan dan beliau melarangnya.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu,

“Ketika kami salat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kami mengucapkan “Assalamu alaikum wa rahmatullah Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua kanan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan,

“Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya. (HR. Muslim 430, Nasai 1185, dan yang lainnya).

Larangan ini menunjukkan bahwa membuka telapak tangan ketika salam, termasuk kesalahan dalam salat. Jika ini telah ditegaskan salah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, layakkah dilestarikan dan dipraktikkan?

Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK

Shalat, Obat Hati dan Bekal Rohani

SHALAT yang khusyu’  mewujudkan ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap Zat Yang Mahasuci. Di dalam shalat, mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah Mahakaya lagi mulia. Kepada-Nyalah, seseorang berkenan memohon ijabah dan mencurahkan segala sesuatu, baik dalam hal cahaya hidayah, limpahan rahmat, maupun ketenangan.

Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbarui semangat dan sekaligus sebagai peyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan diri. Ia adalah pelipur lara dan pengaman dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa terasing.

Dengan shalat, kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan-tekanan orang lain, dan kekejaman pada durjana. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang beriman, jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS: Al- Baqarah: 153 )

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ketika menghadapi persoalan genting, beliau berlindung melalui shalat. Ruku dan sujud dalam shalatnya dilakukan secara khusyu’  , membawa rasa dekat kepada Allah. Bersama Allah pula, beliau merasa berada di suatu tempat atau sandaran yang kokoh, sehingga merasakan aman tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan, dan memperoleh perasaan damai, sabar terhadap segala bentuk ujian dan cobaan, serta rela terhadap takdir Allah atas dasar kesetiaan sejati dan kejujuran, dan memperkokoh cita-cita yang besar dalam kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya bagi hamba-Nya yang beriman dan bekerja secara jujur tanpa pamrih.

Shalat itu membersihkan jiwa dan menyucikan dari sifat-sifat buruk, khususnya sifat-sifat yang dapat mengalahkan cara hidup materialis, seperti: menjadikan dunia itu lebih penting daripada segala-galanya, mengomersialkan ilmu, dan mencampakkan rohaninya. Kasus semacam ini dicontohkan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ayat,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً

إِلَّا الْمُصَلِّينَ

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ

Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” ( QS:Al–Ma’aarij :19-23)

Dalam ayat lain,

 “… Sesunguhnya shalat itu mencegah dari [ perbuatan-perbuatan ] keji dan mungkar…”  ( Al-Ankabuut : 45 )

Orang yang benar-benar melaksanakan shalat, dari shalat yang satu ke shalat lain, merasakan sempitnya waktu di dalam bersimpuh di bawah kekuasaan Allah. Ia memohon kepada-Nya untuk ditunjukkan jalan yang lurus dalam keadaan pasrah dan khusyu’  . Begitulah seterusnya dalam menyambut shalat berikutnya, sehingga terasa taka da putus-putusnya hubungan dengan-Nya, dan tidak putus-putusnya pula mengingat Allah, diantara shalat yang satu dengan yang lain, sehingga tak sempat lagi melakukan maksiat. Demikianlah Allah menaungi hamba-Nya yang memelihara shalatnya karena merindukan perjumpaan dengan-Nya dan sama sekali tidak mungkin menjauhkan-Nya.

Bagi siapa saja yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalatnya benar-benar karena Allah, melatih dirinya menentang dan mengalahkan arus kesibukan hidup, tidak mendahulukan kepentingan materi, dengan demikian jiwanya mampu menaklukkan ujian dunia beserta kesenangannya, begitu pula dalam menumpuk-numpuk harta.

Allah berfirman,

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak [pula] oleh jual beli dari mengingat Allah, dan [dari] mendirikan shalat, dan [dari] membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang [di hari itu] hati dan penglihatan menjadi gonjang.”  (QS: An-Nuur : 37 )

Dalam shalat terdapat bekas dan kesan pendidikan lainnya. Misalnya, mendidik jiwa seseorang, yang dengan shalat itu, ia mampu merasakan wujud dari kesatuan umat di kalangan kaum muslimin diseluruh penjuru dunia yang mengarahkan sasaran shalat mereka ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah al-Haram. Perasaan persatuan ini juga menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi sesame kaum muslimin dalam kehidupan atau tanah air yang satu, yang terhimpun di dalam masjid setiap shalat.

Setiap shalat, mereka selalu memperhatikan tibanya waktu shalat dan menjaga atau berusaha keras untuk menunaikan secara tepat pada waktunya, sesuai dengan ketentuan syara. Mereka juga menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan-kesibukan demi terlaksananya kewajiban-kewajiban terhadap Rabb-Nya.

Juga menyangkut tertibnya shalat berjamaah yang barisnya lurus di belakang imam tanpa adanya celah kosong ( antara makmum yang satu dan makmum lainnya, di kanan dan di kirinya ), hal ini berarti mengembalikan kaum muslimim pada perlunya Nizham  ( tertib organisasi ).

Adapun yang berkaitan dengan disiplin terhadap imam yaitu tidak mendahuluinya, menunjukkan adanya ketaatan mutlak dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintah-perintahnya.

Kemudian berkaitan dengan imam yang lalai ( dalam bacaan, misalnya ) diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah) ini menunjukkan keharusan  makmum menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Demikian juga pada shalat berjamaah, agar diperhatikan dalam pengisian shaf , yaitu agar tidak didasarkan atas status social jamaah, juga tidak memandang  kekayaan atau pangkat walaupun dalam shaf  terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak ( al-musaawah) tanpa mempedulikan tingginya kedudukan maupun tuanya umur.

Shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang terwujud dalam gerakan-gerakan pada setiap rakaatnya, yaitu pada shalat fardhu, lima kali sehari (17 Rakaat) secara seimbang. Hal ini menunjukkan suatu olahraga fisik pada waktu yang teratur, dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakan-gerakannya.*/Ziyad Makareem, dari buku Berjumpa Allah lewat Shalat karya Syekh Mustafa

 

HIDYATULLAH

Shalat, Obat Hati dan Bekal Rohani

SHALAT yang khusyu’  mewujudkan ubudiah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap Zat Yang Mahasuci. Di dalam shalat, mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah Mahakaya lagi mulia. Kepada-Nyalah, seseorang berkenan memohon ijabah dan mencurahkan segala sesuatu, baik dalam hal cahaya hidayah, limpahan rahmat, maupun ketenangan.

Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbarui semangat dan sekaligus sebagai peyucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan diri. Ia adalah pelipur lara dan pengaman dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan dan senjata bagi yang merasa terasing.

Dengan shalat, kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan-tekanan orang lain, dan kekejaman pada durjana. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang beriman, jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS: Al- Baqarah: 153 )

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ketika menghadapi persoalan genting, beliau berlindung melalui shalat. Ruku dan sujud dalam shalatnya dilakukan secara khusyu’  , membawa rasa dekat kepada Allah. Bersama Allah pula, beliau merasa berada di suatu tempat atau sandaran yang kokoh, sehingga merasakan aman tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan, dan memperoleh perasaan damai, sabar terhadap segala bentuk ujian dan cobaan, serta rela terhadap takdir Allah atas dasar kesetiaan sejati dan kejujuran, dan memperkokoh cita-cita yang besar dalam kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya bagi hamba-Nya yang beriman dan bekerja secara jujur tanpa pamrih.

Shalat itu membersihkan jiwa dan menyucikan dari sifat-sifat buruk, khususnya sifat-sifat yang dapat mengalahkan cara hidup materialis, seperti: menjadikan dunia itu lebih penting daripada segala-galanya, mengomersialkan ilmu, dan mencampakkan rohaninya. Kasus semacam ini dicontohkan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ayat,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً

وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً

إِلَّا الْمُصَلِّينَ

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ

Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” ( QS:Al–Ma’aarij :19-23)

Dalam ayat lain,

 “… Sesunguhnya shalat itu mencegah dari [ perbuatan-perbuatan ] keji dan mungkar…”  ( Al-Ankabuut : 45 )

Orang yang benar-benar melaksanakan shalat, dari shalat yang satu ke shalat lain, merasakan sempitnya waktu di dalam bersimpuh di bawah kekuasaan Allah. Ia memohon kepada-Nya untuk ditunjukkan jalan yang lurus dalam keadaan pasrah dan khusyu’  . Begitulah seterusnya dalam menyambut shalat berikutnya, sehingga terasa taka da putus-putusnya hubungan dengan-Nya, dan tidak putus-putusnya pula mengingat Allah, diantara shalat yang satu dengan yang lain, sehingga tak sempat lagi melakukan maksiat. Demikianlah Allah menaungi hamba-Nya yang memelihara shalatnya karena merindukan perjumpaan dengan-Nya dan sama sekali tidak mungkin menjauhkan-Nya.

Bagi siapa saja yang memelihara waktu-waktu shalat dan tujuan shalatnya benar-benar karena Allah, melatih dirinya menentang dan mengalahkan arus kesibukan hidup, tidak mendahulukan kepentingan materi, dengan demikian jiwanya mampu menaklukkan ujian dunia beserta kesenangannya, begitu pula dalam menumpuk-numpuk harta.

Allah berfirman,

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak [pula] oleh jual beli dari mengingat Allah, dan [dari] mendirikan shalat, dan [dari] membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang [di hari itu] hati dan penglihatan menjadi gonjang.”  (QS: An-Nuur : 37 )

Dalam shalat terdapat bekas dan kesan pendidikan lainnya. Misalnya, mendidik jiwa seseorang, yang dengan shalat itu, ia mampu merasakan wujud dari kesatuan umat di kalangan kaum muslimin diseluruh penjuru dunia yang mengarahkan sasaran shalat mereka ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah al-Haram. Perasaan persatuan ini juga menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi sesame kaum muslimin dalam kehidupan atau tanah air yang satu, yang terhimpun di dalam masjid setiap shalat.

Setiap shalat, mereka selalu memperhatikan tibanya waktu shalat dan menjaga atau berusaha keras untuk menunaikan secara tepat pada waktunya, sesuai dengan ketentuan syara. Mereka juga menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan-kesibukan demi terlaksananya kewajiban-kewajiban terhadap Rabb-Nya.

Juga menyangkut tertibnya shalat berjamaah yang barisnya lurus di belakang imam tanpa adanya celah kosong ( antara makmum yang satu dan makmum lainnya, di kanan dan di kirinya ), hal ini berarti mengembalikan kaum muslimim pada perlunya Nizham  ( tertib organisasi ).

Adapun yang berkaitan dengan disiplin terhadap imam yaitu tidak mendahuluinya, menunjukkan adanya ketaatan mutlak dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintah-perintahnya.

Kemudian berkaitan dengan imam yang lalai ( dalam bacaan, misalnya ) diharuskan bagi makmum untuk mengingatkannya (dengan membaca subhanallah) ini menunjukkan keharusan  makmum menegur atau mengingatkan pemimpinnya jika lalai atau melakukan kesalahan.

Demikian juga pada shalat berjamaah, agar diperhatikan dalam pengisian shaf , yaitu agar tidak didasarkan atas status social jamaah, juga tidak memandang  kekayaan atau pangkat walaupun dalam shaf  terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak ( al-musaawah) tanpa mempedulikan tingginya kedudukan maupun tuanya umur.

Shalat pun memberikan kesan kesehatan, yang terwujud dalam gerakan-gerakan pada setiap rakaatnya, yaitu pada shalat fardhu, lima kali sehari (17 Rakaat) secara seimbang. Hal ini menunjukkan suatu olahraga fisik pada waktu yang teratur, dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dalam gerakan-gerakannya.*/Ziyad Makareem, dari buku Berjumpa Allah lewat Shalat karya Syekh Mustafa

 

HIDAYATULLAH