Mengenal Nama dan Sifat Allah

Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.

Ilmu Tentang Alloh Adalah Pokok dari Segala Ilmu

Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19). Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata, “Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah Daaris Sa’aadah).

Hampir Setiap Ayat Dalam Al-Qur’an Menyebutkan Nama dan Sifat Alloh

Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17)

Hal ini semua disebabkan karena nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya, hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari bermaksiat kepada Alloh.

Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh

Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (Faathir: 28)

Orang yang paling mengenal dan paling mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15)

Sebab, ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara manusia.

Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan

Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba, penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir, dengan sanad yang shahih)

Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”

Syirik merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada. Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling menguatkan)

Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?

Nama Alloh Semuanya Husna

Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 180)

Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah (kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua hamba-Nya.

Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib.

Adapun sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menghafal dan memahaminya akan masuk syurga.

Demikianlah, semoga kita benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.

***

Penulis: Abu Ibrohim M. Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Keimanan terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala merupakan salah satu unsur pembentuk iman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Tidaklah seorang hamba mengenal Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. 

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Dalam mengenal dan menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, ahlus sunnah menempuh beberapa metode berikut ini.

Pertama, dengan menetapkan makna (sifat) yang terkandung dalam nama Allah Ta’ala. 

Kaidah penting berkaitan dengan masalah ini adalah bahwa setiap nama Allah Ta’ala itu adalah nama sekaligus mengandung sifat Allah Ta’ala yang mulia. Misalnya, nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” menunjukkan sifat Allah Ta’ala memiliki rahmah (kasih sayang) kepada hamba-Nya. Nama Allah Ta’ala “Al-Hakiim” menunjukkan sifat al-hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Nama Allah Ta’ala ‘Al-‘Aziiz” menunjukkan sifat al-‘izzah (perkasa). Demikian pula, nama Allah Ta’ala “Al-‘Aliim” menunjukkan sifat al-‘ilmu. Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lainnya. 

Aqidah ahlus sunnah ini bertentangan dengan aiqdah mu’tazilah yang menetapkan dan meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat. Menurut mu’tazilah, Allah Ta’ala memiliki nama Al-‘Aliim, akan tetapi Allah tidak memiliki ilmu. Allah Ta’ala memiliki nama As-Samii’, akan tetapi Allah Ta’ala tidak memiliki as-sam’u (pendengaran) dan demikian seterusnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa aqidah mu’tazilah tersebut adalah aqidah yang batil. Nama Allah Ta’ala berbeda dengan nama makhluk. Karena nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya. Atau, ada orang bernama Alim, namun dia orang yang tidak berpendidikan.

Ke dua, dengan menetapkan sifat yang Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.  

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyebutkan secara langsung sifat-sifat-Nya. Misalnya, di antara sifat Allah adalah Allah Ta’ala memiliki wajah (al-wajhu). Sifat ini Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, 

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)

Allah Ta’ala juga berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)

Contoh lain berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala memiliki dua tangan (yadain), Allah Ta’ala mengatakan,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, “Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad [38]: 75)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah itu terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 64) 

Ke tiga, dengan mengambil turunan dari kata kerja yang disebutkan oleh dalil.

Metode ke tiga dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala adalah dengan mengambil turunan kata dari kata kerja (fi’il) yang disebutkan oleh dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, di antara sifat Allah adalah mutakallim (berbicara). Sifat ini diambil dari firman Allah Ta’ala,

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4]: 164)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “kallama” (berbicara), kemudian diambillah sifat al-mutakallim dari kata kerja tersebut. 

Contoh lain, berkaitan dengan sifat al-majii’ (datang), Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا ؛ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Jangan (berbuat demikian), apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr [89]: 21-22)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “jaa’a” (datang), kemudian diambillah sifat al-majii’ dari kata kerja tersebut.  

Contoh lain adalah sifat Allah an-nuzuul (turun ke langit dunia). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ 

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan fi’il “yanzilu” (turun), kemudian diambillah sifat an-nuzuul dari kata kerja tersebut.  

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55106-metode-menetapkan-sifat-sifat-allah-taala.html

Metode Rasulullah dalam Mengajarkan Sifat-Sifat Allah

Sahabat muslim, dalam artikel ini kita akan membahas bagaimana metode dakwah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam mengajarkan perkara aqidah

Mengenal nama dan sifat Allah Ta’ala

Di antara perkara penting yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan adalah masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena pokok dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengenalkan Rabb alam semesta, melalui pengenalan terhadap nama dan sifat-Nya. 

Dalam memperkenalkan dan mengajarkan sifat-sifat Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh beberapa metode sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. 

Metode pertama, penjelasan melalui perkataan (qaul)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengajarkan sifat-sifat Allah Ta’ala melalui perkataan beliau. Misalnya, berkaitan dengan sifat kalaam (Allah Maha berbicara), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَسَيُكَلِّمُهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، لَيْسَ بَيْنَ اللَّهِ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ

“Tidaklah salah seorang di antara kalian kecuali akan diajak berbicara oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Tidak ada penerjemah di antara Allah dan kalian.” (HR. Bukhari no. 6539, 7512 dan Muslim no. 1016)

Dalam hadits di atas, jelaslah bahwa di antara sifat Allah Ta’ala adalah beliau Maha berbicara. 

Demikian pula ketika beliau menjelaskan sifat nuzul (turun ke langit dunia), beliau jelaskan dengan perkataannya, 

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ 

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808) 

Metode ke dua, penjelasan melalui perbuatan (fi’il)

Contoh penjelasan melalui perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berkaitan dengan sifat al-‘uluw (Dzat Allah ada di atas), beliau jelaskan dengan isyarat jari telunjuk beliau yang mengarah ke atas. Sebagaimana hadits yang panjang tentang haji Wada’ ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat, 

قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ. ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Mereka (para sahabat) yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa Engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasihat.”  Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, ‘Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).’” (HR. Muslim no. 1218)

Sehingga hal ini adalah penjelasan dari beliau bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat al-‘uluw malalui perbuatan beliau yang mengarahkan jarinya ke arah atas ketika meminta persaksian Allah Ta’ala. 

Dan pada masa haji wada’, banyak sekali shahabat radhiyallahu ‘anhum yang hadir, baik sahabat yang termasuk ulama (kibaarus shahaabah) dan yang bukan, yang ilmunya masih pas-pasan karena baru saja masuk Islam. Namun, di depan mereka semua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya ke arah atas, yang tentu saja dipahami bahwa Allah ada di atas. Dan kalau itu tidak menunjukkan sifat al-‘uluw, tentu akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan.

Demikian pula, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menyampaikan khutbah, ada seorang sahabat yang menghadap ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berkata, 

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَوَاشِي وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا

“Wahai Rasulullah, harta benda telah habis dan jalan-jalan terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami!”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, 

فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا

“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan.” (HR. Bukhari no. 1013, 1014 dan Muslim no. 897)

Perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengangkat kedua tangan ke arah atas, menunjukkan sifat al-‘uluw Allah Ta’ala.

Metode ke tiga, penjelasan melalui qaul dan fi’il sekaligus

Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan perkataan, kemudian Nabi kuatkan dengan perbuatan beliau. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} [النساء: 58] إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى {سَمِيعًا بَصِيرًا} [النساء: 58] قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ إِبْهَامَهُ عَلَى أُذُنِهِ، وَالَّتِي تَلِيهَا عَلَى عَيْنِهِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا وَيَضَعُ إِصْبَعَيْهِ.

“Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini (yang artinya), “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa’: 48) sampai pada firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 

Abu Hurairah berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya ke telinga, sementara jari setelahnya pada mata.” Abu Hurairah melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut seraya meletakkan kedua jarinya tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 4728, sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dalam hadits di atas, Rasulullah menjelaskan sifat as-sam’u (Maha mendengar) dan al-bashar (Maha melihat) dengan perkataan beliau. Kemudian beliau kuatkan dengan perbuatan beliau, yaitu meletakkan ibu jarinya ke telinga dan jari telunjuk ke mata, untuk menunjukkan bahwa Allah benar-benar Maha mendengar dan melihat. Yang perlu dicatat, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah maksudnya hendak menyamakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat makhluk. 

Metode ke empat, penjelasan dengan melakukan persetujuan (al-iqrar)

Di antaranya adalah pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan sebagai ujian keimanan baginya sebelum dimerdekakan oleh tuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan itu,

أَيْنَ اللَّه ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاء قَالَ : مَنْ أَنَا ؟ قَالَتْ : أَنْتَ رَسُول اللَّه قَالَ : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَة

“Di manakah Allah?” Budak perempuan tersebut menjawab, “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi, ”Siapakah aku?” Jawab budak perempuan, ”Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mukminah (perempuan yang beriman).“ (HR. Muslim no. 1227)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, kemudian membenarkan atau menyetujui jawaban budak perempuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa aqidah “Allah ada di atas” itu adalah aqidah yang shahih. 

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, 

جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّا نَجِدُ: أَنَّ اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ وَالأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ، وَسَائِرَ الخَلاَئِقِ عَلَى إِصْبَعٍ، فَيَقُولُ أَنَا المَلِكُ، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الحَبْرِ، ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ}

“Seorang rahib (Yahudi) datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata, “Ya Muhammad, Kami mendapatkan bahwa Allah Ta’ala memegang langit dengan jari-Nya, bumi dengan jari-Nya, pohon-pohon dengan jari-Nya, air dan binatang-binatang dengan jari-Nya, dan seluruh makhluk dengan jari-Nya seraya berkata, “Akulah Raja (Penguasa)!” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa hingga nampak gigi serinya sebagai pembenaran terhadap perkataan rahib tersebut. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az Zumar: 67)” (HR. Bukhari no. 4811 dan Muslim no. 2786)

Dalam hadits di atas, rahib Yahudi mengatakan bahwa Allah memiliki jari-jemari, kemudian dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 55-56 (cetakan ke empat tahun 1427, penerbit Daar Ibnul Jauzi KSA) dengan beberapa tambahan contoh.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53872-metode-rasulullah-dalam-mengajarkan-sifat-sifat-allah.html

Mengetahui Sifat-Sifat Allah

Salah satu kitab kuning yang membahas tentang aqidah ini adalah ‘Aqidah Al-Awwam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuki Al-Maliki, yang ditulis pada tahun 1258 H. Kitab ini terdiri dari beberapa bab (pasal). Bab pertama membahas tentang Sifat-sifat yang wajib dimiliki Allah, sifat jaiz (boleh) dan mustahil bagi Allah. Jumlahnya ada 41 sifat yang terdiri atas 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat jaiz bagi Allah.

Karena itu, menurut pengarang kitab ini, wajib hukumnya bagi orang mukallaf (orang yang terbebani hukum syariat) untuk mengetahui sifat-sifat Allah tersebut. Ke-20 sifat wajib bagi Allah adalah : wujud (ada; (QS Thaha:14, Al- Rum:8, Al-Hadid:3), qodim (terdahulu), baqa’ (kekal; QS Ar Rohman: 26-27 dan Al-Qashas : 4), Mukhalafatuhu li al-Hawaditsi (berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya; (QS As Syuro;11, Al-Ikhlas:4), Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri; QS Thoha:111, Al-Faathir:15 dan Al-Ankabut:6), Wahdaniyah (Maha Esa; QS Al-Ikhlash:1-4, Az Zumar:4), Qudrah (Maha Berkuasa; QS An-Nur:45, Al-Faathir:44), Iradah (Maha Berkehendak; QS An-Nahl;40, Al-Qashash:68), ‘Ilmu (Maha Mengetahui; QS.Ali Imran:26, Asy-Syuura:94-50, Al-Mujadalah:7), Hayyu (Maha Hidup; QS Al-Furqon:58, Al-Mu’min:65, Thaha:111), Sama’ (Maha Mendengar; (QS.Al-Mujadalah:1, Thaha:43-46)), Bashar (Maha Melihat; (QS Al-Mujadalah:1, Thaha : 43-46), Kalam (Maha Berbicara; QS. An Nisa:164, Al-A’raaf:143). Kemudian Qodirun (Berkuasa), Muridun (Berkendak), ‘Aliman (Mengetahui, Berilmu), Hayyan (Hidup), Sami’an (Mendengar), Bashiran (Melihat), Mutakalliman (Berbicara).

Ke-20 sifat tersebut terbagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu Nafsiyah (jiwa, sifat wujud), salbiyah (meniadakan: Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Lilhawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyah), Ma’any (karena sifat ini menetapkan pada Allah makna Wujudnya yang menetap pada Zat-nya yang sesuai dengan kesempurnaannya. Sifat Ma’ani ini ada tujuh yaitu sifat berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat dan berbicara. Sedangkan yang terakhir adalah sifat Ma’nawiyah, yang bernisbat pada sifat ma’ani yang merupakan cabang dari sifat ma’nawiyah. Disebut ma’nawiyah karena sifat itu menetap pada sifat ma’ani, yaitu bahwa Allah Maha berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat, dan berbicara.

Sementara itu, lawan dari sifat wajib adalah mustahil. Ke-20 sifat mustahil bagi Allah itu adalah ‘Adam (tidak ada); Hudust (baru); Fana (rusak); Mumatsilah lilhawaditsi (sama dengan makhluknya); A’damu Qiyamuhu binafsihi (tidak berdiri sendiri); Ta’dud (berbilang); A’juzn (dlaif; lemah); Karahah (terpaksa); Jahlun (bodoh); Mautun (mati); Shomamun (tuli); ‘Umyun (buta); Bukmun (bisu); Kaunuhu A’jizan (Dzat yang lemah); Kaunuhu Kaarihan (Dzat yang terpaksa); Kaunuhu Jaahilan (Dzat yang bodoh); Kaunuhu Mayyitan (Dzat yang mati); Kaunuhu Ashomma (Dzat yang tuli); Kaunuhu A’maa (Dzat yang buta); Kaunuhu Abkamu (Dzat yang bisu).

Sedangkan sifat Jaiz (boleh) bagi Allah Ta’ala adalah sesuatu yang akan diciptakan tergantung pada Allah, apakah akan diciptakan atau tidak. Pengarang Nadhom (Al-Marzuky) berkata : Dengan karunia dan keadilanNya, Allah memiliki sifat boleh (wenang) yaitu boleh mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Keterangan ini berdasarkan firman Allah: “Dan Tuhanmu menetapkan apa yang Dia kehendakidan memilihnya, tidak ada pilihan bagi mereka” (QS Al-Qashash:68 dan Al-Baqarah:284).

Pasal kedua kitab ini membahas tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul serta jumlah Nabi dan Rasul. Adapun sifat itu adalah sifat wajib, mustahil dan boleh (jaiz). Sifat wajib itu adalah Fathonah (cerdas) lawannya adalah baladah (bodoh), Siddiq (jujur) lawannya Kidzib (bohong), Tabligh (menyampaikan risalah atau wahyu) lawannya adalah Kitman (menyembunyikan atau menyimpan) dan Amanah (dapat dipercaya) lawannya Khianat (tidak dapat dipercaya).

Dan sifat Jaiz pada haknya para Nabi dan Rasul adalah adanya sifat-sifat (yang bisa terjadi) pada manusia yanag tidak menyebabkan terjadinya pengurangan pada martabat (kedudukan) mereka (Nabi dan Rasul) yang tinggi.

Dari keterangan ini, maka lengkaplah aqidah yang perlu diketahui setiap orang Islam tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-rasulnya yang berjumlah 50 sifat, yaitu sifat Wajib bagi Allah (20), mutahil (20), Wajib bagi Rasul (4), sifat mustahil bagik rasul (4) dan sifat Jaiz bagi Allah dan Rasul (masing-masing 1 sifat).

 

REPUBLIKA