Mahar Rasulullah Saat Menikahi Sayyidah Khadijah

Sayyidah Khadijah binti Khuwailid bin Asad merupakan istri pertama Nabi Saw. Menurut kebanyakan para ulama, Nabi Saw menikah dengan Sayidah Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun, dan usia Sayidah Khadijah empat puluh tahun.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdatu al-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

قال الزبير: كانت خديجة تدعى في الجاهلية الطاهرة امها فاطمة بنت زائدة بن الاصم والاصم اسمه جندب بن هرم بن رواحة بن حجر بن عبد معيص بن عامر بن لؤي تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم في خمس وعشرين سنة من مولده في قول الجمهور زقال ابو عمر وكانت اذ تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم بنت اربعين سنة

Al-Zubair berkata; Siti Khadijah di masa jahiliyah disebut dengan thahirah atau perempuan suci. Ibunya adalah Fathimah binti Za-idah bin Al-Asham, dan Al-Asham namanya adalah Jundub bin Haram bin Rawahah bin Hajar bin Abd Mu’ish bin ‘Amir bin Luay. Rasulullah Saw menikahi Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun menurut pendapat kebanyakan para ulama. Abu Umar berkata; Sementara Siti Khadijah ketika dinikahi Rasulullah Saw berusia empat puluh tahun.

Adapun mengenai mahar Rasulullah Saw saat beliau menikahi Sayidah Khadijah, sebagaimana disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta berkualitas, sepuluh perhiasan dan dua puluh delapan budak. Husain Al-Nuri berkata sebagai berikut;

وَ هُوَ قَدْ خَطَبَهَا مِنْ أَبِيهَا خُوَيْلِدٍ عَلَى مَا تُحِبُّ مِنَ الْمَالِ ثُمَّ نَهَضَ وَرَقَةُ ، وَ كَانَ إِلَى جَانِبِ أَخِيهِ خُوَيْلِدٍ وَ قَالَ : يَزِيدُ مَهْرُهَا الْمُعَجَّلُ دُونَ الْمُؤَجَّلِ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِينَارٍ ذَهَباً ، وَ مِائَةَ نَاقَةٍ سُودِ الْحَدَقِ حُمْرِ الْوَبَرِ ، وَ عَشْرَ حُلَلٍ ، وَ ثَمَانِيَةً وَ عِشْرِينَ عَبْداً وَ أَمَةً ، وَ لَيْسَ ذَلِكَ بِكَثِيرٍ عَلَيْكُمْ . قَالَ لَهُ أَبُو طَالِبٍ : رَضِينَا بِذَلِكَ . فَقَالَ خُوَيْلِدٌ : قَدْ رَضِيتُ ، وَ زَوَّجْتُ خَدِيجَةَ بِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه و آله فَقَبِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و آله عَقْدَ النِّكَاحِ

Abu Thalib melamar Sayidah Khadijah kepada bapaknya, Khuwailid, berdasarkan mahar yang dikehendaki oleh Sayidah Khadijah. Kemudian waraqah berdiri di samping saudaranya, Khuwailid, sambil berkata; Mahar Khadijah yang disegerakan, bukan ditunda, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta yang matanya hitam dan bulunya merah, sepuluh perhiasan, dan dua puluh delapan budak, dan itu tidak banyak bagi kalian. Abu Thalib berkata kepada Waraqah; Kami ridha dengan mahar itu. Khuwailid kemudian berkata; Aku ridha dan aku menikahkan Khadijah dengan Muhammad Saw, dan beliau menerima akad nikah tersebut.

Sementara dalam satu riwayat yang bersumber dari Ibn Hammad disebutkan bahwa mahar Rasulullah Saw saat menikahi Sayidah Khadijah adalah dua belas uqiyah emas. Riwayat ini juga disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail berikut;

وَ عَن ابن حماد أنه قال : بلغني أن رسول الله صلى الله عليه و آله تزوج خديجة على اثنتي عشرة أوقية ذهباً

Dari Ibnu Hammad, dia berkata; Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw menikahi Sayidah Khadijah dengan mahar dua belas uqiyah emas.

BINCANG SYARIAH

Khadijah binti Khuwailid, Istri Tercinta Nabi Muhammad (1)

Siti Khadijah berjuang bersama Rasulullah SAW syiarkan Islam

Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah, di sebuah keluarga yang mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya. Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai At-Thahirah (seorang wanita yang suci).

Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum Quraisy lainnya.

Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah SAW, sesuatu yang menarik perhatian Khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak beliau.

Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam.

Sesampainya di negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah. Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan Rasulullah sungguh berlipat ganda, sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk beliau dari hasil penjualan tersebut.

Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah. Dan menyampaikan pesannya untuk beliau.

“Wahai anak pamanku, aku senang kepadamu karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang baik, dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada Rasulullah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Begini Kesetiaan Rasulullah pada Khadijah

CARA Rasulullah ﷺ berumah tangga sangat penuh keteladanan. Sejak pertama kali membina keluarga, beliau berinteraksi dengan akhlak mulia dan kepedulian sosial pada istrinya. Tak mengherankan, saat Rasulullah ﷺ khawatir dengan kondisi dirinya pasca menerima wahyu, Khadijah sebagai istri shalihah menenangkan, Tidak, demi Allah, engkau tidak akan diabaikan oleh Allah selamanya, karena sesungguhnya engkau telah menyambung hubungan silaturahmi, menolong yang lemah, memberi orang yang membutuhkan, melayani tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar menghiasi rumah tangganya dengan akhlak mulia dan berusaha bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan sosialnya. Istrinya pun mendukung. Dirinya tak merasa berat menginfakkan harta yang melimpah ruah untuk kepentingan dakwah. Bahkan, hartanya sampai ludes demi perjuangan suaminya menegakkan agama Islam.

Ada kejadian yang mengharukan. Di saat Nabi ﷺ diperintah menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Khadijah menyuruhnya istirahat sejenak. Lantas beliau ﷺ berkata padanya, “Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah habis.” (Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 97). Kata-kata yang kuat ini membuat Khadijah bersemangat. Bahwa hari-harinya ke depan akan diprioritaskan untuk kepentingan akhirat.

Rumah tangga yang dibangun bersama Khadijah adalah rumah tangga yang dipenuhi dengan perjuangan dan pengorbanan. Dinamika dakwah benar-benar hidup di dalamnya. Maka, wajar ketika ditinggal wafat (bulan Ramadhan, tahun 10 kenabian), beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Sampai-sampai tahun kepergiannya dalam sejarah dicatat sebagai Tahun Duka Cita. Beliau betul-betul merasakan kehilangan. Saat-saat bersama istri tercinta, selalu abadi dalam kenangan. (Shafiyur Rahman Mubarakfuri, al-Rahīq al-Makhtūm, 104).

Sepeninggal Khadijah, beliau ﷺ masih konsisten dengan visi dan misi rumah tangganya (seperti saat bersama Binti Khuwailid). Dalam kehidupan keluarga, ayah Fathimah ini dikenal sangat memahami perasaan istri-istrinya.

Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ berkata kepada Aisyah: “Sungguh aku tahu saat kamu ridha, atau marah padaku. Jika kamu ridha padaku, kau mengatakan, ‘Tidak, demi Tuhannya Muhammad.’ Sedangkan ketika marah, kau mengatakan, ‘Tidak. Demi Tuhannya Ibrahim.’” (HR. Muslim). Dengan mengetahui perasaan istrinya, dapat membantu beliau bersikap dengan sebaik-baiknya.

Tak sekadar itu, ketika melihat kesalahan istri di depan umum, beliau ﷺ tak meluapkan emosi, tapi malah menghadapi dengan sabar dan memahami kecemburuan istrinya. Ummu Salamah pernah bercerita: “(Suatu saat) Aku menghidangkan makanan beserta piring kepunyaanku kepada Rasulullah ﷺ dan para Sahabatnya. Kemudian beliau ﷺ bertanya (pada Sahabatnya), ‘Siapa yang membawa makanan ini?’. Mereka menjawab, ‘Ummu Salamah.’. Lalu datanglah Aisyah (dipenuhi kecemburuan) sembari membawa batu dan memecahkan piringnya. Tanpa komentar apa-apa, beliau ﷺ langsung mengumpulkan pecahan piring, kemudian berkata pada para Sahabatnya: ‘Makanlah! Ibu kalian sedang cemburu.’ Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil piring Aisyah lalu dikirim ke Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah kepada Aisyah. (HR. Bukhari, Abu Daud). Begitu simpelnya, hingga permasalahan pun bisa diatasi.

Pada suatu kesempatan, beliau ﷺ memberi nasihat pada para sahabatnya: “Pergauilah istri dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu hendak meluruskannya, maka akan pecah. Jika kamu biarkan, maka akan tetap bengkok. Maka pergauilah istri dengan baik.” (HR. Bukhari). Yang penting dicatat dalam hal ini, pergaulan baik dengan istri sudah dilakukan setiap hari di rumah tangganya sebelum menasihati para Sahabat.

Sebagai suami beliau ﷺ juga CURHAT, bahkan mengajak istri bermusyawarah. Nabi Muhammad ﷺ bermusyawarah dengan istri-istrinya dalam permasalahan yang penting. Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ pernah bermusyawarah dengan Ummu Salamah pada perjanjian Hudaibiah (6 H), ketika para Sahabatnya tak mengindahkan perintah Rasul ﷺ untuk menyembelih dan mencukur rambut. Akhirnya Ummu Salamah mempunyai ide bagus: tidak usah pakai omongan, tapi langsung saja dipraktikkan di hadapan mereka. Akhirnya mereka pun mengikuti (Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 335).

Bila memang dibutuhkan, beliau ﷺ juga tak segan-segan menampakkan cinta dan kesetiaan pada istrinya. Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada Aisyah pada Hadits yang panjang mengenai Ummu Zar`: “Aku dan dirimu bagaikan Abu Zar` dan Ummu Zar`.” Maksudnya: Aku dan kamu seperti mereka berdua dalam hal cinta dan kesetiaan.

Lalu Aisyah berkomentar, “Sungguh Engkau lebih baik bagiku dari Abu Zar` dan Ummu Zar`.” (HR. Bukhari, Muslim).

Masih terkait dengan kesetiaan, -meski Khadijah sudah lama meninggal-, beliau ﷺ juga masih setia dan mengenangnya. Sampai-sampai hati Aisyah dirundung cemburu akibat nama Khadijah sering disebut./* Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menikahi Khadijah, Muhammad: Aku tidak Memiliki Apa-Apa…

Usia Muhammad sudah melewati 20 tahun. Ia mulai membawa dagangan orang lain ke luar kota. Dengan kesuksesan berniaga, menikah jadi hal yang memungkinkan.

Sebelum bertemu Khadijah, Muhammad menyukai Fakhitah binti Abi Thalib yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Ummu Hani. Muhammad meminta izin pamannya untuk menikahi Fakhitah. Namun Abi Thalib punya rencana lain. Fakhitah sudah lebih dulu dilamar Hubayrah, putra dari saudara ibu Abi Thalib. Muhammad mencoba meminta izin untuk kedua kali, namun hasilnya tetap nihil. Muhammad menerima keputusan Abi Thalib dengan lapang hati.

Di sisi lain, seorang pebisnis kaya di Mekkah mendengar kredibilitas Muhammad sebagai Al-Amin, ialah Khadijah putri Khuwailid. Satu ketika, Khadijah meminta Muhammad mendagangkan barang milik Khadijah ke Suriah. Muhammad menerima tawaran Khadijah itu disertai tawaran ditemani seorang budak bernama Maysarah.

Di Suriah, Muhammad berhasil menjual barang titipan Khadijah dengan hasil dua kali lipat. Sampai di Mekkah, Muhammad melaporkan perniagaan itu. Khadijah sendiri lebih tertarik dengan penyampai laporan ketimbang isi laporannya.

Meski berusia 15 tahun di atas Muhammad, Khadijah sadar ia masih cantik. Khadijah lalu meminta bantuan temannya, Nufaysah (Nufaisah) binti Muniyah.

Nufaysah lalu datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa pemuda itu belum menikah. ”Aku tidak memiliki apa-apa untuk berumah tangga,” jawab Muhammad.

Nufaysah lalu mengatakan ada seorang wanita yang tertarik kepada Muhammad, Khadijah. Setelah ditanya apakah Muhammad bersedia menikahi Khadijah, Muhammad mengiyakan.

Setelah itu, Khadijah meminta Nufaysah untuk bertemu. Kepada Muhammad, Khadijah menyampaikan perasaannya. ”Putra pamanku, aku mencitaimu karena kebaikanmu padaku. Engkau selalu terlibat dalam urusan masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau bisa diandalkan, luhur budi, dan jujur bertutur kata.”

Kemudian kedua keluarga bertemu. Ayah Khadijah, Khuwailid, telah meninggal sehingga keluarga Khadijah diwakili pamannya, Amr putra Asad. Keluarga Muhammad diwakili Hamzah. Kesepakatan dicapai, Muhammad memberi mahar 20 ekor unta betina.

Dari pernikahan selama sekitar 25 tahun bersama Khadijah, Muhammad dikaruniai enam anak. Anak pertama, seorang laki-laki bernama Qasim. Lalu lahir empat putri yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Anak ke enam mereka adalah anak laki-laki, Abdallah. Kedua anak laki-laki Muhammad wafat saat masih anak-anak.

Di hari pernikahannya, Muhammad membebaskan budak yang ia miliki sebagai warisan dari ayahnya, Barakah atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Aiman. Khadijah sendiri menghadiahi Muhammad seorang budak berumur 15 tahun, Zaid putra Haritsah. Muhammad sangat menyayangi Zaid, begitu pula Zaid.

Haritsah berasal dari suku Kalb yang daearah kekuasaanya terbentang dari Suriah dan Irak. Ia telah lama mencari Zaid. Mengetahui itu, Zaid menitipkan pesan berupa sebuah syair untuk ayahnya melalui jamaah haji asal Kalb. Syair yang menyatakan Zaid berada di tangan terbaik dari kalangan terhormat.

Haritsah bersama seorang saudaranya, Ka’b, menyusul Zaid ke Mekkah dan menemui Muhammad. Dalam pertemuan itu, Muhammad mempersilakan Zaid memilih dan Zaid memilih Muhammad. ”Keterlaluan kau, Zaid! Engkau lebih memilih perbudakan dibanding kebebasan, memilih Muhammad dibanding ayah dan pamanmu?,” kedua orang Kalb itu menghardik.

Muhammad memotong pembicaraan. Ia lalu mengajak Zaid, Haritsah, dan Ka’b ke Kabah. Berdiri di Hijr, Muhammad berseru. ”Wahai semua yang hadir! Saksikan bahwa Zaid adalah anakku dan ahli warisku.”

Sejak hari itu, Zaid dikenal dengan Zaib bin Muhammad sampai Allah SWT menurunkan wahyu yang menegaskan hubungan anak angkat dan tidak berhaknya mereka atas waris orang tua angkat.

Shafiyyah, bibi termuda Muhammad, sering datang ke rumah Muhammad dan Khadijah. Shafiyyah sering mengajak pelayannya yang setia, Salma, yang membantu semua persalinan Khadijah.

Ibu angkat Muhammad, Halimah, juga beberapa kali berkunjung dan Khadijah selalu bersikap baik kepadanya. Satu ketika saat musim paceklik, Khadijah memberi Halimah 40 ekor domba dan seekor unta.

Abi Thalib yang miskin sering kesulitan memberi makan keluarganya. Muhammad dan pamannya, Abbas, sepakat merawat ke dua anak Abu Thalib. Abbas merawat Ja’far dan Muhammad merawat si bungsu Ali. Ali tumbuh seperti saudara bagi keempat sepupu perempuannya. Ali kira-kira sebaya dengan Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Seorang kerabat yang dekat dengan Khadijah, Halah, sempat berkonsultasi dan meminta Khadijah mencarikan calon istri untuk putranya, Abu Al-Ash. Setelah bicara dengan suaminya, Khadijah mengajukan Zaynab untuk dinikahi Abu Al-Ash. Terlebih Zaynab sudah mendekati usia nikah. Mereka lalu dinikahkan.

Ke dua putri Muhammad lainnya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum juga dilamar dua putera Abu Lahab yakni Uthbah dan Utaybah. Muhammad setuju menjodohkan mereka karena menganggap kedua sepupunya ia laki-laki baik.

Wanita istimewa

Meski telah wafat, Khadijah selalu istimewa buat Rasulullah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Khadijah adalah wanita terbaik di zamannya. Bahkan Aisyah mengaku cemburu bila Muhammad menyebut nama Khadijah.

Muhammad mencintai Khadijah lebih dari sekadar alasan fisik. Setelah Khadijah wafat pun, Muhammad menyatakan tak ada yang bisa menggantikannya. ”Khadijah beriman ketika orang lain inkar, ia membenarkanku ketika orang lain mendustakanku, ia membelaku dengan hartanya saat orang lain menghalangi, dan aku dikarunia anak yang tidak aku peroleh dari istri yang lain.”

Khadijah adalah satu-satunya orang yang diberi salam oleh Allah SWT melalui Jibril ketika Jibril menemui Muhammad. Muhammad mendapat peneguhan hati, pelipur lara, dan peringan beban dari Khadijah.

Pada 619 M, tak lama setelah pencabutan pemboikotan atas kaum Muslim di Mekkah, Khadijah wafat pada usia sekitar 65 tahun. Khadijah bukan hanya ibu bagi empat putrinya, tapi juga ibu bagi Zaid dan Ali. Untuk meringankan duka keluarga itu, Jibril datang kepada Muhammad dan menyampaikan Allah SWT telah menyiapkan tempat tinggal bagi Khadijah di surga.

 

REPUBLIKA

Khadijah, Sang Wanita Fenomenal [Bagian 2]

Setelah wafatnya Khuwailid, Khadijah mewarisi usaha dagang sang ayah. Kelihaian putri Khuwailid dalam berdagang teruji dan terbukti nyata. Di tangan beliau, usaha yang didirikan oleh saudagar Makkah yang terpandang itu semakin berkembang pesat.

Khadijah adalah tipe wanita rumahan. Beliau tak suka bepergian. Maka dalam ekspedisi dagang, beliau biasa mengamanahkannya kepada orang kepercayaan.

Usaha dagang Khadijah merupakan yang terbesar se-Makkah. Besarnya usaha tersebut digambarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Tabaqat, kapan saja kafilah-kafilah dagang Makkah mulai melakukan perjalanan, muatan milik Khadijah setara dengan milik seluruh pedagang Quraisy lainnya. Maka dari itu putri Khuwailid ini memeroleh julukan Sentuhan Emas. Artinya, manakala beliau menyentuh debu, maka benda halus itu pun akan berubah menjadi emas. Begitulah ibaratnya. Sebab itu pula, masyarakat Makkah juga menjuluki Khadijah dengan Putri Quraisy (The Princess of Quraisy) dan Putri Makkah (The Princess of Makkah).

Dengan kenyataan demikian, wajarlah bila sosok Khadijah menjadi impian kaum lelaki Quraisy. Namun Allah SWT berkehendak lain. Suatu malam di saat tidur Si Putri Makkah bermimpi. Sebuah mimpi indah yang tak biasa. Dalam mimpi itu beliau melihat matahari turun dari langit, masuk ke rumah dan memancarkan cahaya ke seluruh penjuru. Cahaya itu lalu menyinari semua rumah di Makkah, hingga tak ada satu rumah pun di kota itu yang terselimuti gulita malam.

Esoknya, Khadijah menceritakan mimpi tersebut kepada Waraqah bin Naufal, sepupu beliau. Waraqah adalah ahli tafsir mimpi dan ahli sejarah purbakala. Selain itu beliau juga memiliki wawasan luas tentang agama yang dibawa oleh para nabi terdahulu.

Setelah Khadijah berkisah, Waraqah mulai mentakwil mimpi sang sepupu. Beliau mengatakan bahwa putri pamannya ini kelak akan dinikahi oleh seorang nabi akhir zaman!

Mendengarnya, Khadijah merasakan hal yang luar biasa. Beliau penasaran dan bertanya-tanya. Maka segera saja beliau menanyakan tentang sosok nabi yang dimaksud oleh Waraqah. Dari negeri mana, suku apa, dan keluarga siapa beliau berasal. Pun beliau tanyakan pula siapa nama nabi tersebut. Waraqah memberikan jawaban atas semua pertanyaan Khadijah. “Nama beliau Muhammad,” tandas sang penafsir mimpi.

Khadijah pun pulang dari rumah Waraqah dengan hati berbunga-bunga. Belum pernah kiranya beliau merasakan kegembiraan seperti hari itu. Sejak itu, Khadijah selalu dirundung rindu, selalu menunggu-nunggu dengan rasa penasaran, siapakah gerangan Nabi Muhammad?

 

sumber: PanjiMas

Khadijah, Sang Wanita Fenomenal [Bagian 1]

Khadijah RA bukanlah nama asing bagi kita. Mendengarnya, terbersitlah di dalam benak, sosok saudagar wanita yang menjadi istri seorang Nabi Besar, nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Seorang wanita yang pertama kali masuk Islam.

Khadijah lahir di Makkah dari rahim wanita Quraisy bernama Fathimah. Sang ayah adalah seorang tokoh Quraisy bernama Khuwailid. Lengkapnya, Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusay.

Khadijah RA merupakan istri Nabi SAW yang paling dekat dalam hal nasab. Nabi SAW sendiri adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf bin Qusay. Artinya, mereka berdua sama-sama keturunan Qusay.

Ayah Khadijah adalah seorang saudagar. Di kalangan masyarakat Quraisy, beliau merupakan seorang tokoh yang sangat terhormat. Oleh karenanya, Khadijah pun menjadi sosok wanita Quraisy yang sangat, bahkan paling terhormat. Kemuliaan akhlaq, kecerdasan, paras yang cantik, serta kekayaan yang dimiliki, memertegas tingginya martabat beliau di mata penduduk Makkah.

Dalam budaya Arab jahiliyah, banyak orang meyakini bahwa perempuan adalah makhluk pembawa sial. Oleh karenanya wajar bila kaum lelaki Quraisy memerlakukan perempuan seolah seperti binatang ternak, bukan manusia! Kasus pembunuhan bayi perempuan acap kali terjadi. Tindakan sadis ini termotivasi oleh perasaan takut kalau-kalau anak perempuan mereka kelak menjadi biang kemiskinan dan keterhinaan keluarga.

Berkaca dari potret budaya ini, sungguh fenomenal bila Khadijah, sebagai seorang wanita Quraisy, malah menjadi sosok yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas. Sampai-sampai, saudagar kaya ini memeroleh gelar Ath-Thahirah, yang artinya “Yang Suci”. Sungguh menakjubkan karena gelar itu diberikan oleh mereka para phobia perempuan!

Ternyata, fenomena paradoksi ini terjadi karena akhlaq Khadijah yang benar-benar sangat pantas menjadi teladan bagi siapa saja. Kekayaan yang menyelimuti beliau tidaklah membuahkan kesombongan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya, keluasan rejeki itu menjadikan Sang Saudagar sebagai sosok dermawan penuh ketulusan. Khadijah banyak menolong kaum faqir miskin, para janda, anak yatim, orang sakit dan cacat. Bahkan tak segan beliau menikahkan para gadis dari keluarga miskin.

Di kala gadis, Khadijah binti Khuwailid dinikahi oleh seorang pemuda bernama ‘Atiq bin ‘Abid. Namun sayang, tak berselang lama, sang suami meninggal dunia. Setelah menjadi janda, Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zararah At-Tamimi. Dan dari pernikahan kedua ini, beliau dianugerahi seorang anak dan diberi nama Hindun. Namun seperti suami beliau yang pertama, tak lama Abu Halah pun meninggal dunia.

Setelah menjanda untuk kali kedua, para pemuda dan pembesar Quraisy berlomba-lomba untuk menjadikan Khadijah sebagai pendamping hidup berumah tangga.

 

(Panjimas.com)