Menggoda Pasangan Halal Orang Lewat WA

Telepon genggam dan diri adalah seperti hal yang tak terpisahkan di masa kini. Di sana ada aplikasi perbincangan yang panjang lebar bernama WhatsApp (WA). Ada ruang-ruang untuk berkhalwat, dengan mereka yang tak layak untuk dihalali.

Dalam keadaan sendiri dan aplikasi perbincangan, saat itulah setan datang menggoda. Agar dia tetap mengejar cintanya meski si dia sudah bersuami.

Setan tahu pun bahwa si dia punya WA juga. Setan pun menggodanya untuk tetap merebutnya dengan berbagai jurus yang menghunus.

Setan tak berbisik hanya memotivasi agar tetap mengejar sang impian. Seolah hanya dia saja perempuan di jagad ini yang paling cantik dan aduhai. Padahal di rumah sudah ada bidadari yang perlu diperhatii. Namun memang dasar setan, memang tugasnya menggoda dan mengganggu. Tugasnya mengajak agar manusia terjerumus kepada maksiat.

Tak puas di WA, tiap menengok fesbuk selalu pertama kasih like dulu di statusnya. Kemudian meneliti lebih detail dan memperhatikan statusnya, pasti ada yang mengandung curahan hati. Apabila sudah curhat, “Tandanya kamu bisa masuk ke alamnya,” bisik setan dengan halus.

Siapa yang tak suka diberikan perhatian di dunia? Di saat dunia makin gembel dengan kasih sayang. Setan masih sama, “Kasih perhatian deh coba, siapa tahu dia kurang perhatian dan perhatianmu akan menjadi pahlawan pembela kecurhatan,”.

Terus, terus dan jangan menyerah memberi perhatian. Ia layak untuk dikejar, demi cinta yang bergemuruh di dada. Agar gundahmu segera lindap, diganti dengan bahagia dengan dua bidadari dunia. Setan terus membisikkan gangguannya. Dengan pelan-pelan, menyusup hingga ke dalam. Memberikan alternatig jawaban-jawaban yang masuk dalam pikiran.

Bagi yang beriman, setan menggoda orang yang salah. Yang beriman tak akan segera mengikuti godaan setan. Dia masih bisa berpikir. Allah masih menjaganya. Ia tak mau terseret pada hal yang bikin mampet. Ada dosa, ada neraka. Tak mau menambah gundah gulananya meski tampak manis gulali.

Nasihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjogging di kepalanya. Rasul melarang takhbib, yaitu merusak hubungan rumah tangga orang, memengaruhi istri agar cerai dari suami.

Menanggung gundah lebih baik ketimpang menanggung dosa takhbib. Kasihan si suami merana jika istrinya minta cerai gara-gara dia sang laki-laki penebar pesona. Pertaruhkan rumah tangganya. Pertaruhkan keceriaan anak-anaknya.

Allah pun nanti akan murka. Apabila Allah murka bisa jadi nanti semuanya sirna dalam hitungan masa.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]

MUI Rilis Fatwa Interaksi di Media Sosial, Ada 5 Hal yang Diharamkan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah di media sosial pada Senin (5/6/2017). Fatwa ini dibuat karena selama ini ada dampak positif maupun negatif dari penggunaan media sosial.

Asrorun Ni’am Sholeh selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI, berpendapat media sosial memiliki dua sisi. Pertama sisi positif, digunakan untuk kepentingan kehidupan sosial dan silaturahmi. Kedua sisi negatif, yang dapat memicu pelanggaran hukum dan keresahan sosial.

“Dilatarbelakangi oleh media digital yang memiliki nilai pemanfaatan untuk kepentingan silaturahni, kehidupan sosial, dan pendidikan. Akan tetapi di sisi lain memicu keresahan sosial, pelanggaran hukum, dan disharmoni antar sesama dan kestabilan nasional,” ujar Ashrorun, saat membacakan Fatwa Hukum Bermuamalah di Media Sosial, di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Senin (5/6).

 

Fatwa ini merupakan dasar pemikiran berbagai pihak baik dari para ulama, pemerintah, dan masyarakat luas.
“Dari berbagai pihak MUI bertujuan memberikan landasan pemanfaatan medsos dengan baik melalui fatwa ini,” imbuh Ashrorun. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud muamalah adalah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hablun minannas (hubungan antar sesama manusia) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.
Di dalam Fatwa MUI No 24 Tahun 2017 tersebut juga dijelaskan bahwa setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
  1. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan;
  2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan;
  3. Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup;
  4. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i;
  5. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Dalam kesempatan ini, MUI memberikan secara simbolik fatwa kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Menkominfo Rudiantara mengapresiasi pemberian fatwa tersebut sebagai rekomendasi kepada pemerintah untuk menjaga dan meminimalisasi penyebaran konten-konten negatif di media sosial.
“Berdasarkan rekomendasi MUI ini bukan akhir tapi awal kerja sama dengan MUI. Mensosialisasikan fatwa ini, bagaimana menggunakan ini sebagai rujukan dari MUI untuk mengelola dan memanajemen konten-konten negatif di sosmed,” ujar Rudiantara.

Bolehkah Sebar Isu?

Di tengah gempita keterbukaan informasi, berbagai kabar mudah tersebar, lalu terserap oleh ber bagai kalangan. Asal muasalnya bisa beragam. Isu-isu yang tak bertanggung jawab bisa muncul dari dunia maya, seperti celotehan di Twitter ataupun status seseorang di Facebook. Bahkan, tak jarang isutersebut ditebarkan justru oleh media massa. “Kabar burung” itu acap kali memantik kebingungan di masyarakat.

Fenomena itu menarik perhatian banyak otoritas fatwa di berbagai negara, tak terkecuali dua lembaga fatwa resmi di Timur Tengah, yaitu Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA). Menurut Dar al-Ifta Mesir, menebar isu apa pun berupa kabar bohong dan belum mendapat klarifikasi atau pernyataan resmi dari otoritas atau pihak yang berwenang maka hukumnya haram. Sekalipun, isu tersebut benar adanya. Ini karena dianggap bisa berdampak pada kekacauan.

Aksi semacam ini, dalam kajian lembaga yang pernah dipimpin oleh mantan mufti agung Mesir Syekh Ali Jumah, masuk kategori irjaf yang dilarang. Larangan itu seperti terulang di ayat 60-61 surah al- Ahzab. Irjaf memang pada dasarnya lebih dekat pada aksi yang memicu kerusuhan. Tetapi, merujuk pendapat Ibn Abbas, penjelmaan lain dari irjaf adalah menenar fitnah dan isu.

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orangorang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), melainkan dalam waktu yang sebentar dalam keadaan terlaknat.

Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” Ketentuan haram, tak hanya berlaku ba gi si penebar isu. Tetapi, larangan yang sama juga di tujukan untuk se genap masyarakat yang menjadi objek penebaran isu. Di hadis riwayat Ibn Hibban dari Abu Hurairah, Rasululah SAW melarang seseorang menyebarkan tiap isu apa pun yang ia dengar dan terima. Terlebih, jika isu tersebut dusta semata. Hadis ini menguatkan riwayat Bukhari Muslim dari al-Mughirah bin Sy’ubah tentang kecaman atas tradisi “katanya” (qila wa qala).

Agar masyarakat terhindar dari atmosfer kontraprodukif efek dariisu, lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu memberikan sejumlah tuntunan menyikapi isu-isu tak bertanggung jawab. Rangkaian tuntunan ini disarikan dari pelajaran berharga peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah RA.

Pertama, berbaik sangka kepada diri sendiri dan orang lain. Kedua, klarifikasi pada penyebar berita terkait validitas dan kebenaran kabar yang ia sebarkan. Ketiga, hindari menerima dan menyebarkan informasi tersebut. Apalagi, bila tidak memiliki pengetahuan kuat. Keempat, jangan sesekali menganggap isu-isu itu sepele.

Penegasan yang sama juga disampaikan Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab. Seorang Muslim wajib menjauhi penerimaan dan penyebaran isu. Mengutip pernyataan Imam al-Munawi di Faidh al-Qadir, bisa saja kabar itu benar dan bohong di waktu yang sama. Maka sekadar berbagi kabar itu, ia sangat mungkin ikut menyebarluaskan berita dusta.

Aksi tercela tersebut, menurut lembaga ini, dilarang lantaran memiliki dampak buruk yang luar biasa di masyarakat. Alasannya masih sama, yaitu menebarkan kekacauan di khalayak umum. Larangan tersebut seperti tertuang di surah al- Ahzab di atas.

Di pengujung fatwa, lembaga nonpemerintah ini mengimbau sejumlah hal, yaitu selektif dan klarifikasi kabar apa pun yang beredar dan belum jelas kebenarannya.

Perintah tersebut ditegaskan surah al-Hujurat ayat 6. Sehingga, ada baiknya meminta pertimbangan pihak dan otoritas terkait. Di surah an-Nisaa’ ayat 83 dijelaskan, isu-isu tak bertanggung jawab itu bila dikembalikan kepada Allah dan Rasul-nya, selaku pemegang otoritas saat itu, maka mereka tidak akan berkesimpulan liar.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” Kedua, menutupi keburukan dan aib orang lain. Sekalipun keburukan itu fakta, seyogianya tidak dijadikan sebagai konsumsi publik dan ajang hujatan.

 

sumber: Republika Online