Berilah Nafkah sesuai Kemampuan

INILAH kriteria suami idaman yang pasti akan membawa kebaikan dalam rumah tangga. Ketiga: Memberi nafkah kepada keluarga dengan baik

Dari Muawiyah Al-Qusyairi radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah.” (HR. Abu Daud, no. 2142. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Besaran nafkah itu seperti apa? Allah Taala berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmuah Al-Fatawa, 34: 83)

Bagaimana jika suami tidak memberi nafkah?

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwa Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)

INILAH MOZAIK

Boleh Berhubungan Badan Setelah Istri Suci Haid atau Setelah Mandi Wajib?

Kapan Suami Boleh Berjimak dengan Istrinya?

Hal ini cukup penting diketahui oleh pasutri terutama bagi suami. Sebagaimana kita ketahui ketika istri haid, suami tidak boleh berhubungan badan dengan istri, ketika istri telah “suci/bersih” baru lah boleh bagi suami. Perlu diketahui bahwa ulama berbeda pendapat makna “suci/bersih”, apakah suami boleh berhubungan badan:

  1. Setelah istri suci/bersih dari haid dan darah haid selesai
  2. Setelah istri mandi wajib/janabah

Pendapat yang kami pegang adalah suami baru boleh berhubungan badan dengan istri setelah istri mandi wajib/janabah. Berikut pembahasannya:

Ayat yang membicarakan hal ini sebagai berikut, Allah berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah : 222)

Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat?

Perbedaan pendapat terjadi karena perbedaan cara baca dan artinya juga berbeda. Al-Baghawi menjelaskan,

قرأ عاصم برواية أبي بكر وحمزة والكسائي بتشديد الطاء والهاء يعني : حتى يغتسلن وقرأ الآخرون بسكون الطاء وضم الهاء فخفف ومعناه حتى يطهرن من الحيض وينقطع دمهن

“’Ashim membaca dengan qiraah Abu Bakar, Hamzah, Al-Kasa-i dengan mentasydid thaa’ dan haa’ yaitu sampai istri mandi. Yang lain membaca dengan mensukunkan Thaa’ dan mendhammah haa’ (tidak ditasydid), maknanya yaitu sampai suci/bersih yaitu terputusnya darah haid.” [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Beberapa ulama lain menafsirkan bahwa makna di sini yaitu istri telah mandi wajib/janabah

Ibnu Katsir berkata:

فيه ندب وإرشاد إلى غشيانهن بعد الاغتسال

“Ayat ini memotivasi dan petunjuk agar berhubungan badan dengan istri setelah ia mandi.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy juga berkata:

أي: اغتسلن

“Boleh berhubungan badan setelah istri mandi.” [Lihat Tafsir As-Sa’diy]

Apabila memegang pendapat bahwa “istri harus mandi wajib dahulu”, maka perlu diketahui ulama juga berbeda pendapat, apakah suami boleh memaksa istri untuk mandi atau tidak. Beberapa ulama berpendapat bahwa suami BOLEH MEMAKSA istri untuk mandi wajib agar ia bisa segera berhubungan badan. Musa bin Ahmad Al-Hajjawi menjelaskan hal ini, beliau berkata:

و له إجبارها و لو ذمية على غسل حيض و نجاسة

“Boleh bagi suami untuk memaksa istri (walaupun dzimmiyah) untuk mandi dari haid dan mandi dari najis.” [Zadul Mustaqni’ hal 173, Darul Wathan]

Istri Segera Memenuhi Hasrat Suami

Walaupun hal ini ada ikhtilaf ulama, hendaknya para istri sadar betul akan kebutuhan utama suami dalam hal ini dan bersegera untuk memenuhi “ajakan” suami. Bagi para istri hendaknya perhatikan hadits berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ مَـا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَـى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا.

Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya lalu ia menolak ajakannya, melainkan Rabb Yang di langit dalam keadaan murka terhadapnya hingga suaminya ridha kepadanya.” [HR. Muslim]

Demikian juga hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. 

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” [HR. Bukhari & Muslim]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51574-boleh-berhubungan-badan-setelah-istri-suci-haid-atau-setelah-mandi-wajib.html

Mengabdilah dengan Baik kepada Suamimu…

INI Syuraih al-Qadhi bersama istrinya. Syuraih adalah seorang tabiin yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam. Setelah Syuraih (seorang tabiin) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Syabi (seorang tabiin), “Wahai Syabi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim karena mereka adalah wanita.”

Syabi bertanya, “Bagaimana hal itu?” Syuraih bercerita, “Aku melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”

Wanita itu berkata kepadaku, “Minuman apa yang kamu sukai?” Aku menjawab, “Seadanya.” Wanita itu berkata, “Beri dia susu. Aku menduga dia orang asing.” Syuraih berkata, “Selesai minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya tentang wanita itu.”

Si ibu menjawab, “Anakku.” Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya). Wanita itu menjawab, “Zaenab binti Hadhir dari bani Hanzhalah.” Aku bertanya, “Dia kosong atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).

Wanita itu menjawab, “Kosong.” Aku bertanya, “Kamu bersedia menikahkanku dengannya?” Wanita itu menjawab, “Ya, jika kamu kufu (sepadan).

Aku meninggalkannya pulang ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai salat aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat. Aku salat asar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu. Pamannya bertanya, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menjelaskan keinginanku, lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai. Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal. Aku berkata dalam hati, “Aku telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.

Aku berniat menceraikannya, kemudian aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak, barulah ditalak. Berapa hari setelah itu para wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah, aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunah jika laki-laki bersatu dengan istrinya untuk salat dua rakaat dan dia pun demikian.”

Aku beridiri salat, kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga salat. Selesai salat para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup dengan minyak zafaran. Manakala rumah telah sepi, aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu.”

Aku berkata kepada diriku, “Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dia berkata, “Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang diridai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya. Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.” Dia bertanya, “Jelaskan kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”

Aku menjawab, “Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.” Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.

Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku. Aku berkata kepada ibu mertuaku, “Selamat datang.”

Ibu mertua berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?” Aku menjawab, “Baik, alhamdulillah.” Ibu mertua bertanya, “Bagaimana istrimu?” Aku menjawab, “Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”

Ibu mertua berkata, “Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan di mana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.”

Syuraih berkata, “Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu? Kujawab, Terserah mereka.” Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.

Inilah pedoman yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya.

[Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf]

INILAH MOZAIK

Menceritakan Rahasia Hubungan Suami-Istri

Di antara kerusakan yang terjadi pada jaman ini adalah ketika seseorang dengan mudahnya menceritakan hubungan biologis dengan istri atau suami kepada orang lain tanpa ada faidah dan keperluan.

Perbuatan semacam ini terlarang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 1437)

Hukumnya sama saja jika yang menyebarkan adalah dari pihak istri. Ketika sang istri sedang duduk-duduk ngobrol (ngerumpi) dengan teman sesama perempuan, mulailah pembicaraan mereka merembet membicarakan suami, lalu semakin jauh lagi mulailah menceritakan hubungan biologis antara dia dengan suaminya. Kondisi yang sama kurang lebih juga terjadi dari pihak si suami.

Ketika suami atau istri tersebut menceritakan kondisi dan keadaan mereka ketika berhubungan suami istri, maka orang lain yang diceritakan tersebut seolah-olah hadir dan menyaksikan langsung mereka berdua ketika berada di ranjangnya tersebut. Wal’iyaadhu billah.

Oleh karena itu, perbuatan semacam ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam samakan dengan setan laki-laki dan perempuan yang bersetubuh, lalu dilihat ramai-ramai. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا مِثْلُ ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانُ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

Janganlah kalian lakukan. Karena perbuatan semacam ini seperti setan lelaki yang bertemu dengan setan perempuan di jalan, kemudian dia langsung melakukan hubungan intim, sementara setan lain melihatnya.” (HR. Ahmad no. 27583, sanad hadits ini dinilai dha’if oleh Syaikh Al-Arnauth)

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim di atas,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَحْرِيم إِفْشَاء الرَّجُل مَا يَجْرِي بَيْنه وَبَيْن اِمْرَأَته مِنْ أُمُور الِاسْتِمْتَاع ، وَوَصْف تَفَاصِيل ذَلِكَ وَمَا يَجْرِي مِنْ الْمَرْأَة فِيهِ مِنْ قَوْل أَوْ فِعْل وَنَحْوه . فَأَمَّا مُجَرَّد ذِكْر الْجِمَاع ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ فَائِدَة وَلَا إِلَيْهِ حَاجَة فَمَكْرُوه لِأَنَّهُ خِلَاف الْمُرُوءَة

“Dalam hadits ini, terdapat larangan bagi suami untuk menyebar-nyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dalam perkara istimta’ (bersenang-senang, yaitu hubungan biologis), menggambarkan detil yang terjadi di antara keduanya, dan apa yang dilakukan oleh pihak wanita (istri), baik berupa ucapan, perbuatan, dan semacamnya. Adapun semata-mata menceritakan adanya hubungan suami istri (tanpa menyebutkan detilnya, pent.), jika hal itu tidak ada faidah dan tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, karena hal ini dinilai menyelisihi (menurunkan) muru’ah (kehormatan seseorang).” (Syarh Shahih Muslim, 5: 162)

Jadi, perbuatan ini diharamkan dan tidaklah halal baginya. Sama saja apakah dia menceritakan kepada teman di kantor, tetangga, atau bahkan keluara terdekat sendiri. Dan pelakunya diancam akan mendapatkan kedudukan yang paling jelek di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Yang menjadi kewajiban kita adalah menjaga perkara-perkara rahasia yang terjadi di dalam rumah, antara suami dan istri dan tidak menyebar-nyebarkannya. Baik hal itu berkaitan dengan hubungan biologis suami-istri, atau perkara-perkara rahasia lainnya yang tidak selayaknya disebarkan. Sehingga jika disebarkan, sama saja dengan perbuatan mengkhianati amanah. [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

Sesungguhnya (pelanggaran) amanah terbesar di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, lalu dia menyebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437)

Seorang muslim yang baik tentu hanya akan mengatakan sesuatu yang baik atau jika ada faidah (manfaat) di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 74)

Jika ada kebutuhan, boleh menceritakan

Larangan di atas berlaku jika tidak ada kebutuhan, hanya sekedar dicerita-ceritakan. Adapun jika ada hajat (kebutuhan) tertentu, maka diperbolehkan. An-Nawawi rahimahullah berkata,

وَإِنْ كَانَ إِلَيْهِ حَاجَة أَوْ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ فَائِدَة بِأَنْ يُنْكِر عَلَيْهِ إِعْرَاضه عَنْهَا أَوْ تَدَّعِي عَلَيْهِ الْعَجْز عَنْ الْجِمَاع أَوْ نَحْو ذَلِكَ فَلَا كَرَاهَة فِي ذِكْره كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنِّي لَأَفْعَلَهُ أَنَا وَهَذِهِ ” وَقَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَلْحَة : ” أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَة ؟ ” وَقَالَ لِجَابِرٍ : ” الْكَيْس الْكَيْس ” . وَاَللَّه أَعْلَم

“Adapun jika terdapat kebutuhan atau ada faidah dengan menceritakan, misalnya suami mengingkari keengganan istri yang tidak mau melayani suami, atau istri mengklaim bahwa suami lemah, tidak mampu menyetubuhi (istri), atau hal-hal semacam itu, maka hal ini tidaklah makruh menyebutkannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku melakukannya dan juga ini.” Juga pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Thalhah, “Apakah semalam Engkau menjadi pengantin?” [2] Dan juga perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir, “Kalau bisa segeralah punya anak, kalau bisa segeralah punya anak wahai Jabir.” [3]Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 162)

Berdasarkan penjelasan di atas, jika terdapat kebutuhan, maka boleh diceritakan sesuai dengan kadar keperluannya. Misalnya, seorang istri menuduh suami impoten, tidak mampu menyetubuhi istri. Maka boleh bagi suami untuk menceritakan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47972-menceritakan-rahasia-hubungan-suami-istri.html

Lima Resep Awet Muda Bagi Suami-Istri

BERIKUT diantaranya 5 tips untuk putra putri Adam yang telah menikah:

1. Untuk menjaga kecerahan kulit wajahmu

Jangan sibuk mencoba krim ini dan itu. Cuci muka di salon setiap minggu. Masker bengkoang atau bawang setiap mau tidur.

Jadikanlah cinta dan kasih sayang motor penggerak semua aktivitas dan kegiatan yang kau lakukan di keluargamu, jauhi pesimisme, pandanglah hidup dengan kaca mata optimisme, berbaik sangkalah pada Allah Yang Pengasih dan Penyayang, terimalah realita dengan dada yang lapang, dengan itu kau akan menjaga kecerahan wajahmu sepanjang hayat di kandung badan.

Banyak-banyaklah mengucapkan Alhamdulillah. InsyaAllah, dengan itu walaupun umurmu terus berlalu, pesona wajahmu takkan pernah pudar.

2. Untuk menjaga kilauan matamu

Pandanglah suamimu secara langsung. Pandanglah kekasih dan pendampingmu. Fokuskan pandangan matamu ke matanya, pandangan yang penuh cinta dan kasih.

Pusatkan pandanganmu agar kau dapat merasuk dan menembus ke dalam hatinya, organ yang paling indah di tubuhnya, untuk mengisi hatinya dengan kehangatan hatimu, agar ia bangkit menyongsong kehidupan ini dengan kekuatan yang baru.

Dari mata ke hati. Lakukanlah latihan ini, minimal dua kali sehari. Sebelum dia meninggalkan rumah dan ketika dia kembali ke rumah.

3. Agar bibirmu tetap sensual

Jangan terperangkap dengan lipstik dan Lip balm, itu kadang dibutuhkan. Tapi gunakanlah kata-kata indah yang berbalut cinta. Rendahkanlah suaramu bila berbicara dengannya, mendekatlah darinya sehingga kau tak perlu mengangkat suaramu yang kadang membuat tetangga terjaga dari tidurnya.

Membuat tukang sayur berhenti sejenak. Membuat orang yang lewat depan rumah, mempercepat langkahnya. Ukhti, rangkailah kata-kata indah sebagimana kau merangkai bunga melati.

Bubuhkan aroma wangi yang penuh kelembutan. Semua itu akan membuat suasana yang keruh menjadi jernih. Gelombang lautanpun akan tunduk dan damai. Karena bibir yang sensual, yang dibasahi dengan kelembutan, cinta dan suara yang penuh kerendahan.

4. Agar tangan dan jarimu tidak keriput

Bila ombak di samudera kehidupanmu mengamuk. Badai menghantam bahtera rumah tanggamu. Mengombang-ambingkanmu, sehingga kau tidak tahu ke arah mana akhir dari perjalananmu. Maka lakukanlah latihan berikut ini:

Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

“Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?”

Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!”

Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau rida.” (HR. Thabarani, Lihat Shahihah hadits no. 3380)

5. Untuk menjaga telingamu

Gunakanlah cotton buds dengan rutin, namun berhati-hatilah jangan sampai nyangkut di dalam telinga. Tapi yang lebih penting, saringlah apa yang masuk ke telingamu.

Tidak semua yang didengar harus disampaikan. Jauhkanlah dari mendengar yang tidak diridai Allah. Dan bila suamimu sedang berbicara. Jadilah pendengar yang setia. Jangan putus perkataannya. Dengarkanlah dengan baik. Lebih banyaklah mendengar, karena Allah menciptakan bagimu 2 telinga dan satu mulut.

Selamat mencoba Ukhti. Semoga dengannya kau tetap awet muda, bersahaja, menyedapkan mata, menyejukkan jiwa. [Kitab Jaddidi hayataki az Zaujiyah]

 

INILAH MOZAIK

Berbohong kepada Suami atau kepada Istri yang Diperbolehkan

Berkata dusta atau bohong termasuk di antara perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah [9]: 119)

Dapat dipahami dari ayat di atas yaitu larangan untuk menjadi atau bersama dengan orang-orang yang berkata dusta atau bohong.

Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dari hukum di atas, yaitu diperbolehkannya berkata bohong dalam sebagian keadaan. Salah satunya adalah perkataan suami kepada istri atau sebaliknya. Masalah inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

 

Dalil Diperbolehkannya Perkataan Bohong kepada Suami atau Istri

Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, beliau berkata,

مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

“Tidaklah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikit pun berkaitan dengan perkataan dusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

“Tidaklah termasuk bohong: (1) Jika seseorang (berbohong) untuk mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan suatu perkataan yang tidaklah dia maksudkan kecuali hanya untuk mengadakan perdamaian (perbaikan); (2) Seseorang yang berkata (bohong) ketika dalam peperangan; dan (3) Seorang suami yang berkata kepada istri dan istri yang berkata kepada suami.” (HR. Abu Dawud no. 4921, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Demikian juga dalam masalah ini terdapat hadis khusus yang diriwayatkan dari ‘Atha bin Yasar, beliau berkata,

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله : هل علي جناح أن أكذب على أهلي ؟ قال : لا ، فلا يحب الله الكذب قال : يا رسول الله استصلحها و أستطيب نفسها ! قال : لا جناح عليك “

“Ada seseorang yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.’

Orang tersebut bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, (dusta yang aku ucapkan itu karena) aku ingin berdamai dengan istriku dan aku ingin senangkan hatinya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada dosa atasmu.’ (HR. Al-Humaidi dalam Musnad-nya no. 329. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 498)

 

Maksud Dusta kepada Suami atau Istri yang Diperbolehkan

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Humaidi di atas, kita dapat mengetahui dusta seperti apakah yang diperbolehkan kepada istri atau sebaliknya. Dusta yang diperbolehkan adalah ketika seorang suami ingin menyenangkan istri yang sedang “ngambek” dan menghibur hatinya. Artinya, tidak semua dusta diperbolehkan.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.”

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa dusta kepada istri atau kepada suami hukum asalnya tetap haram, namun terdapat pengecualian sebagaimana dalam kasus yang disebutkan, yaitu dusta untuk mendamaikan hati istri dan menyenangkan (menghibur) hatinya.

Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya, “Sayang, Engkau adalah wanita tercantik di dunia, kalau sayang ngambek tidak jadi cantik.” Padahal faktanya, istrinya bukanlah wanita tercantik di dunia ini. Jadi, boleh seorang suami memuji istri dengan pujian yang dusta dalam rangka menghilangkan rasa ngambek sang istri.

Hal ini sebagaimana penjelasan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala ketika menjelaskan hadis ini,

وأما كذبه لزوجته وكذبها له فالمراد به في إظهار الود والوعد بما لا يلزم ونحو ذلك فأما المخادعة في منع ما عليه أو عليها أو أخذ ماليس له أو لها فهو حرام بإجماع المسلمين والله اعلم

“Adapun dusta dan bohong kepada sang istri, yang dimaksud adalah (dusta) untuk menampakkan besarnya rasa cinta atau janji yang tidak mengikat, atau semacam itu. Adapun berbohong (menipu) dalam rangka menahan (tidak menunaikan) apa yang menjadi kewajiban suami atau istri, atau mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak suami atau istri, maka ini haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 135)

Contoh dusta yang haram adalah suami memotong jatah nafkah yang berhak diterima istri dan suami beralasan dengan kebohongan. Misalnya dia mengaku sedang kesulitan ekonomi atau sedang kesusahan. Maka dusta semacam ini haram, karena ini bohong untuk tidak menunaikan kewajiban suami (yang menjadi hak istri). Atau misalnya, suami mengatakan kepada istri bahwa dia pergi ke luar kota dalam rangka perjalanan dinas. Padahal, dia ke luar kota bukan karena tugas dinas, namun sekedar senang-senang atau wisata.

 

Berdasarkan penjelasan An-Nawawi di atas, termasuk bohong yang diperbolehkan adalah janji yang tidak mengikat. Misalnya, seorang istri ngambek ingin dibelikan sesuatu dan suami tidak mampu, lalu sang suami berkata, “Kapan-kapan saja ya belinya.”

Perkataan “kapan-kapan” itu dinilai janji yang tidak mengikat, sehingga tidak wajib ditunaikan. Janji yang tidak mengikat semacam itu boleh diucapkan untuk menghibur atau menyenangkan hati sang istri.

Adapun janji yang mengikat, wajib dipenuhi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

و ليس من الكذب المباح أن يعدها بشيء لا يريد أن يفي به لها ، أو يخبرها

بأنه اشترى لها الحاجة الفلانية بسعر كذا ، يعني أكثر من الواقع ترضية لها ،

لأن ذلك قد ينكشف لها فيكون سببا لكي تسيء ظنها بزوجها ، و ذلك من الفساد لا الإصلاح

“Tidaklah termasuk dusta yang mubah adalah seorang suami menjanjikan sesuatu dan dia tidak ingin (tidak berniat) untuk memenuhinya. Atau seorang suami mengabarkan kepada istri bahwa dia membelikan untuknya barang tertentu dengan harga sekian, yaitu lebih mahal dari harga sebenarnya, supaya istrinya rida. Karena hal semacam ini akan terbongkar di masa mendatang sehingga akan menjadi sebab buruk sangka istri kepada suami. Dan hal ini termasuk kerusakan, bukan perbaikan.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1: 818)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44851-berbohong-kepada-suami-atau-kepada-istri-yang-diperbolehkan.html

Bersyukur atas Nafkah yang Diberi Suami

BANYAK orang menganggap bahwa nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya adalah uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, atau yang biasa disebut sebagai uang belanja. Namun, tahukah kamu, ternyata nafkah istri dan uang belanja adalah dua hal yang berbeda. Uang belanja berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, membayar rekening listrik dan air, dan biaya kebutuhan hidup lainnya. Sedangkan nafkah istri adalah yang khusus yang diberikan suami kepada istrinya atau uang jajan.

Allah subhanahu wa Taala berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

Sudah menjadi kewajiban seorang suami yang harus memberi nafkah kepada istrinya berupa uang belanja dan nafkah khusus untuk istri atau uang jajan. Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam bersabda: “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” (HR. Muslim: 2137)

Dalam hadis ini disebutkan dua nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya, yaitu rizki (uang belanja) dan pakaian (nafkah istri). Namun, Islam juga tidak memberatkan kepada para lelaki untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Para suami memang wajib memberikan nafkah pada istrinya, namun tetap sesuai dengan kemampuannya.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS.al-Baqarah: 233)

Para istri juga harus memiliki sifat qanaah dengan cara bersyukur untuk setiap rizki yang diberikan suaminya dan mengaturnya sebaik mungkin, seperti yang dinasihatkan Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam saat Hindun binti Itbah mengadu pada Rasul tentang suaminya yang kikir. Rasulullah Salallahu Alaihi wa Salam bersabda: “Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.” (HR.Bukhori: 4945)

Nah, untuk para suami, mulai sekarang sisihkan uang untuk memberi nafkah istri juga selain untuk memberi uang belanja. Untuk para istri, boleh mengingatkan suaminya untuk memenuhi kewajiban nafkah istri, namun lakukan dengan cara yang wajar dan bersyukurlah atas setiap nafkah yang diberikan suami. Insya Allah akan membawa berkah dalam kehidupan keluarga. Aamiin. [Dailymoslem]

Bolehkah Ejakulasi di Luar Rahim Agar tak Hamil?

DALAM literatur fiqh Islam, istilah Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut kemaluan dalam berhubungan ketika mendekati ejakulasi dan mengeluarkan sperma di luar rahim agar tidak terjadi pembuahan. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Secara hukum setidaknya ada empat pandangan berbeda menyikapi masalah Azl ini:

1. Boleh secara mutlak

Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafiiyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anha:

“Kami melakukan Azl dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara Alquran turun, jika saja hal itu larangan niscaya Alquran akan melarang kami melakukannya,” (Mutafaq Alaih/Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620),

“Kami melakukan `azl pada masa Rasulullah. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya,” (HR Muslim).

Akan tetapi menurut An-Nawawy (Ulama Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindari kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaan pihak istri atau tidak karena tindakan Azl dianggap memutus keturunan.

2. Makruh apabila ada hajat

Pernyataan ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasar beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara Sabda Rasulullah “Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan”

3. Boleh apabila ada kerelaan Istri

Pendapat ini dari Imam Ahmad berdasarkan sebuah hadis dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah:

Dari Umar ibn al-Khattab berkata: “Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)

Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri memiliki Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh.

4. Haram

Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah:

“Sesungguhnya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar” (HR. Muslim)

[Sumber: Nihaayah Almuhtaaj Vol 7 Hal 137, Almughny Ibnu Qudaamah Vol 5 Hal 41]

 

 

3 Hal Harus Dihindari Saat Suami Istri Bertengkar

BERTENGKAR adalah hal yang lumrah dalam berumah tangga. Bertengkar boleh saja, asal kedua pihak bisa bersikap dewasa. Bahkan, kadang bertengkar bisa menumbuhkan saling pengertian dan rasa kasih sayang, sesudahnya.

Namun, ada tiga hal yang harus dihindari saat bertengkar. Apa saja?

Hindari KDRT. Dalam Alquran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)

Namun perintah memukul ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan batasan yaitu,

1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.”

2. Tidak boleh menyakitkan. Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.

“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”(HR. Muslim 1218)

Atha bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
“Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).

Tetapi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).

Dan jangan lupa, Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah.” (HR. Muslim 2328).

Hindari Caci-maki

Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang dizalimi. Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian.

Allah berfirman, “Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.”(An-Nisa: 148)

Karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menasihatkan jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orangtua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.

Beliau bersabda, “Jangan kamu menjelekannya”

Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan, “Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Mabud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).

Allah berfirman, “Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(QS. Al-Ahzab: 58)

Jaga Rahasia Keluarga

Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan.

Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menasihatkan, “Jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”

Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan. Wallahu alam. []

Wahai Para Suami, Ingatlah Tujuan Pernikahan

Pejamkan kedua matamu, renungkan dan lihatlah siapakah sebenarnya dirimu! Matamu saja tidak cukup untuk melihat siapakah kamu sebenarnya, tetapi butuh bantuan mata mata yang lain; mata orang lain, perspektif syari’at, ajaran agama dan pengalaman bangsa-bangsa lain.

Ingat, mata-mata manusia selalu tertuju padamu dan berharap banyak kepada peranmu. Dalam sebuah syair disebutkan,

Hati-hati manusia haus dahaga

Dan hanya di jari-jemarimu kesegaran mereka

Mata-mata manusia letih dan nanar

Dan kamulah tidur nyenyak dan impian mereka

Dalam kehidupan ini, kamu tidak sendirian. Di sana banyak orang yang digariskan oleh Allah berada dalam kekuasaanmu. Dalam genggaman tanganmu terdapat wewenang mutlak karena kamu pantas memikul tanggung jawab yang diberikan Allah kepadamu. Jadi, kamu adalah harapan semua kalangan ketika kamu benar-benar menjadi laki-laki hebat. Oleh karena itu, sekarang buang semua hal yang ada dalam telapak tanganmu.

Apakah kamu mengetahui tujuan pernikahan? Pernikahan adalah terbentuknya suatu keluarga dengan misi-misi agung. Misi-misi tersebut antara lain adalah:

1. Pernikahan adalah suatu proses menuju jiwa dan raga yang paripurna.

Orang yang hidupnya membujang, maka pada hakikatnya ia dalam kekurangan; baik secara psikologi, nalar, dan kedewasaannya. Orang yang memiliki perasaan dan kepekaan yang tinggi serta memiliki pandangan mendalam adalah orang yang mampu membedakan antara orang yang telah menikah dan bujangan.

Perbedaan itu dapat diketahui, baik dari bicara, alur berpikir, kematangan, dan keharmonisan pergaulannya.

2. Lahirnya generasi yang menjunjung tinggi martabatmu di dunia dan di akhirat, memberi aroma kebahagiaan dalam hidupmu, mendoakanmu pasca-kematianmu dan lahirnya keturunan dengan cara yang benar dan selamat.

Umar bin Khathab berkata,

“Sungguh saya selalu memaksa diri saya untuk bercampur dengan istriku dengan harapan semoga Allah memberiku keturunan yang senantiasa bertasbih dan ingat kepada-Nya.”

3. Menjaga wanita yang berada dalam dekapan tanganmu dan menjadi curahan kasih sayangmu.

Karena pada saat itu, dua jenis manusia bertemu atas dasar cinta, saling menghormati, kesamaan fitrah yang dapat mewujudkan kepuasan dan berujung pada terciptanya kasih sayang dan keseimbangan antara fitrah dan kehidupan.

Dengan demikian, sempurnalah penjagaan diri mereka berdua secara lahir dan batin, kemudian bermunculanlah generasi unggul yang dapat memakmurkan dan menyemarakan bumi Allah.

Dengan pernikahan, kamu berhak mendapat panggilan mulia dari Allah dengan disaksikan semua makhluk kelak di hari kiamat,

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” (QS. Al-Zuhruf: 70).

Pemahaman manusia tentang pernikahan sangat beragam; ada yang menikah karena faktor kebutuhan, ada yang karena motif kemaslahatan, ada juga yang hanya karena mengikuti tradisi yang berlaku, dan ada pula yang tidak memiliki motif sama sekali di balik pernikahannya. Allah berfirman,

قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ

setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. (QS. Al-A’raf: 160).

Oleh karena itu, hendaknya para suami mengingat kembali misi dan tujuan pernikahan. Demikian dikutip dari karya Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud dalam buku Kado Pernikahan.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]