Suami, Dengarkanlah Cerita Istri Anda

Wanita adalah makhluk lemah yang membutuhkan orang lain, agar ia merasa ada yang membantu dan mendukungnya. Ketika istri Anda mengajak bicara, itu artinya dia mengingatkan Anda turut menanggung beban permasalahannya.

AKU tidak punya waktu untuk mendengarkan. Aku ingin istirahat sebentar…!” Itulah ungkapan salah seorang sahabat ketika saya menyampaikan pentingnya mendengarkan sang istri dan untuk tidak tersinggung oleh omongannya.

Saya kembali bertanya kepadanya, “Saya lihat kamu sabar mendengarkan perkataanku dan perkataan puluhan orang yang engkau jumpai selama sehari yang penuh aktivitas. Jika kamu sabar mendengarkan kami, mengapa ketika istrimu datang dan berbicara denganmu, kamu justru tidak memberinya kesempatan?”

Dia menggelengkan kepala sebagai tanda tidak mengakui gugatan saya tadi. Lalu saya melanjutkan, “Siapa yang lebih lelah, lebih capek, dan penuh jerih payah, kamu ataukah Rasulullah?”

Dia menjawab, “Tentu Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Saya bertanya lagi, “Siapa yang waktunya lebih berharga, kamu atau Rasulullah?”

Dengan raut muka keheranan, dia menjawab, “Tentu Rasulullah. Mengapa kamu mengajukan pertanyaan aneh ini?”

Lalu saya mengatakan padanya, “Ada sebuah hadist Nabi yang disebutkan dalam Shahih Muslim. Dengarkanlah hadist ini dengan hatimu karena hadist ini panjang dan sangat berharga.”

‘Aisyah meriwayatkan ada 11 wanita yang berjanji dan sepakat untuk menceritakan semua hal tentang suami mereka.

Wanita pertama menceritakan, “Suamiku ibarat daging unta kerempeng yang berada di puncak gunung tanpa dataran yang dapat didaki dan tidak ada yang mau mengambilnya.”

Wanita kedua mengatakan, “Aku tidak akan membeberkan cerita tentang suamiku karena aku takut tidak dapat berhenti. Kisahnya sangat panjang. Jika aku beberkan, aku takut akan mengungkap rahasia dan aibnya.”

Wanita ketiga mengeluh, “Suamiku tinggi sekali. Namun, jika aku bicara, dia akan mentalakku, dan jika aku diam, dia membiarkanku terkatung-katung.”

Wanita keempat memuji, “Suamiku ibarat udara pegunungan di malam hari, tidak panas dan tidak dingin. Nyaman dan tidak membosankan.”

Wanita kelima juga memuji, “Suamiku ketika pulang ke rumah langsung tidur seperti macan (tidur pulas). Ketika keluar rumah, dia seperti singa (pemberani) dan tidak pernah mempertanyakan harta bendanya (percaya pada istri).”

Wanita keenam bangga, “Suamiku bila makan sangat lahap dan bila minum tanpa ada yang tersisa. Apabila tidur, dia . berselimut (sopan) dan tidak meraba-raba aib tubuhku.”

Wanita ketujuh meratap sedih, “Suamiku seorang yang garang, angker, dan pendiam. Semua kejelekan ada pada dirinya. Dia dapat melukai, memukul, atau bahkan melakukan keduanya padamu.”

Wanita kedelapan memuji, “Suamiku wangi seperti Zarnab (sejenis daun) dan sifatnya terus terang.”

Wanita kesembilan juga memuji, “Suamiku rumahnya luas dan badannya tinggi. Dia sangat dermawan dan banyak orang yang mendatangi rumahnya.”

Wanita kesepuluh berkata bangga, “Suamiku orang kaya. Tidak ada yang lebih kaya darinya. Dia mempunyai banyak unta yang sering berada di kandang dan jarang keluar. Ketika mendengar suara tongkat cambuk, unta itu pasrah: dia pasti akan disembelih sebagai jamuan.”

Wanita kesebelas membuat kiasan, “Suamiku Abu Zar. Maksudnya apa? Dia memberiku banyak anting-anting, membuatku gemuk, dan bangga. Sebelum menikah, aku hanyalah seorang penggembala domba. Namun setelah menjadi istrinya, aku menjadi pemilik kuda dan unta. Selain itu, aku juga mempunyai ladang yang sangat luas. Setelah menikah dengannya, aku dapat berbicara semauku tanpa ada yang menghina. Aku dapat tidur nyenyak dan minum dengan puas.

Aku Ummu Abu Zar. Maksudnya apa? Seorang wanita yang mempunyai banyak perabot dan rumahnya luas.

Putraku Ibnu Abu Zar. Maksudnya apa? Dia mempunyai tempat tidur dari sebilah pelepah kurma dan cukup makan dengan tulang belikat kambing.

Putriku Bintu Abu Zar. Maksudnya apa? Yaitu seorang putri yang taat kepada ayah dan ibunya, bertubuh gemuk dan membuat iri tetangga.

Budakku Jariyah Abu Zar. Maksudnya apa? Yaitu seorang budak yang tidak membocorkan rahasia pembicaraan, menjaga makanan, dan tidak sembarangan membuang sampah.

Suatu hari, Abu Zar keluar tanpa pikir panjang dan bertemu seorang wanita yang mempunyai 2 putra. Kedua anak tersebut bermain-main di bawah payudara sang ibu. Karena tergoda, akhirnya Abu Zar menceraikanku dan menikahi wanita tersebut. Setelah itu, aku menikah dengan seorang bangsawan penunggang kuda dengan pembawa tombak. Dia memberiku banyak karunia dan menghidangkan padaku setiap jenis makanan seraya berkata, ‘Makanlah wahai Ummu Zar dan berilah keluargamu.’ Seandainya seluruh pemberiannya aku kumpulkan, tidak menyamai perabotan terkecil pun milik Abu Zar.”

`Aisyah melanjutkan, “Rasulullah menanggapi, aku bagimu ibarat Abu Zar’ dengan Ummu Zar’.” Dalam riwayat lain ditambahkan, “Hanya saja aku tidak menceraikanmu.” (HR. Muslim)

Saya melihat sahabatku begitu keheranan dengan teks hadist yang sangat aneh ini. Sambil tertawa saya mengatakan, “Tenanglah, kita tidak akan membicarakan makna hadist atau membahas apa yang dimaksud oleh para wanita tersebut. Saya hanya ingin inenyampaikan padamu, bagaimana Rasulullah setia mendengarkan penuturan sang istri tanpa memotong ucapannya atau merasa bosan dan malas.

Lebih dari itu, coba lihat bagaimana Rasulullah menanggapi penuturan sang istri dengan komentar yang sangat indah, “Aku bagimu ibarat Abu Zar dengan Ummu Zar. Hanya saja aku tidak menceraikanmu. Mari kita lihat bersama bagaimana Rasulullah –dengan segala tugas dan tanggung jawab beratnya, masih menyempatkan diri duduk dan mendengarkan cerita sang istri, yang menurut kita tidak ada manfaatnya. Namun, Rasulullah adalah guru besar kita yang memahami istri membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan omongan dan ceritanya.”

Saya menoleh ke arah sahabatku sambil tersenyum. Lalu saya berkata, “Pergilah dan biarkan istrimu berbicara. Dengarkan, pahamilah kebutuhan dan keinginannya. Marilah kita ucapkan shalawat kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Perlu diketahui, ketika wanita berbicara sebenarnya dia sedang menginginkan berapa hal, yaitu:

  1. Ketenangan dan kenyamanan. Dalam berbicara ada orang yang bersedia turut serta memikirkan masalah yang dihadapinya. Wanita adalah makhluk lemah yang membutuhkan orang lain, agar ia merasa ada yang membantu dan mendukungnya. Ketika istri Anda mengajak bicara, itu artinya dia sengaja mengingatkan diri Anda bersamanya dan turut menanggung beban permasalahannya. Karena itu, jangan sampai Anda memotong perkataannya, dan jangan Anda memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapinya. Tapi doronglah dia untuk meneruskan ucapannya.
  2. Cinta baru. Wanita meyakini dialog akan menyegarkan cinta.
  3. Berpikir dengan suara keras. Kita semua tahu, lelaki lebih suka menyendiri dengan permasalahan yang dihadapinya dan tidak suka orang lain turut campur. Lain dengan wanita yang justru suka membeberkan permasalahannya dan ingin agar orang lain turut serta menghadapi permasalahan tersebut bersamanya.
  4. Menyampaikan informasi tertentu. Wanita berpendapat dengan banyak berdialog dapat menyampaikan informasi pada pihak lain dengan cara yang lebih mengena dan detail.

 

 

Karim asy-Syadzili, dari bukunya Teruntuk Sepasang Kekasih.

HIDAYATULLAH

 

 

Suami Ganteng, Kaya, Saleh OK, Tapi Saya Gelisah…

Bahagia dalam keluarga kadang abu-abu. Dari luar terlihat cukup, tapi di dalam justru was-was. Orang boleh mengatakan: di atas langit ada langit. Tapi, di atas gunung bukan ada gunung. Melainkan, jurang.

Hidup berumah tangga memang unik. Satu tambah satu yang selalu dua dalam rumus matematika, tidak begitu di keluarga. Terutama soal cinta suami isteri.

Orang luar boleh-boleh saja menilai tentang kebahagiaan seorang isteri terhadap kelebihan suami dan keluarganya. Betapa tidak; suami ganteng, penghasilan lebih dari cukup, rumah bagus, kendaraan dua. Apalagi? Wajar kalau ada yang iri dengan tampilan luar begitu. Karena hampir semua wanita pasti ingin seperti itu.

Tapi gimana kalau di balik kebahagiaan itu ada was-was. Lho? Soalnya, bukan rahasia lagi kalau setelah ada cukup, pasti ada kurang. Artinya, kelebihan buat isteri kadang bisa menjadi kekurangan buat suami. Isteri boleh bahagia dengan kelebihan yang ada, tapi suami justru jadi merasa kurang ‘tantangan’. Tantangan?

Ada banyak cara yang mungkin dilakukan suami mencari tantangan baru. Di antaranya, membangun rumah baru, menyekolahkan anak keluar negeri, dan ada satu yang biasa dikhawatirkan seorang isteri: kawin lagi. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Bu Wiwin.

Ibu tiga anak ini memang patut bersyukur. Jarang muslimah yang bisa hidup sebahagia Bu Wiwin. Punya rumah bagus, kendaraan lebih dari satu, serta suami yang saleh dan ganteng. Kemana pun Bu Wiwin pergi, selalu bertabur hormat dan pujian. Tidak heran jika Bu Wiwin selalu senyum tiap kali ketemu orang. Sapaan dibalas senyuman. Dan senyuman dibalas dengan senyum yang lebih manis lagi. Indahnya!

Begitukah sebenarnya perasaan Bu Wiwin? Ini memang menarik. Tak seorang pun bisa menduga kalau Bu Wiwin sebenarnya gelisah. Ia tidak menihilkan nikmat Allah yang begitu banyak. Tapi, ada perasaan gundah ketika melihat kecukupan itu.

Entah kenapa Bu Wiwin punya perasaan lain kalau ada temannya bertanya soal suaminya. Dalam hal apa pun: pekerjaan, kesukaan, dan lain-lain. Terlebih ketika yang bertanya belum dan atau tidak lagi bersuami. Wah, bisa tidak tidur tiga malam.

“Memangnya Bu Wiwin kenapa?” tanya seorang teman ketika kegelisahan tak lagi bisa disembunyikan. Tak satu pun kata terucap dari Bu Wiwin kecuali untaian senyum.

Sepertinya, Bu Wiwin tidak ingin seorang pun tahu apa masalahnya. Soalnya, ia sendiri bingung mau bilang apa kalau was-wasnya terungkap. Apa yang kurang dari suami Bu Wiwin. Tampang oke, kocek tebal, akhlak jempolan. Semua syarat nyaris terpenuhi. Cuma satu yang masih tersangkut kalau dugaan Bu Wiwin tentang suaminya itu benar: ketidaksetujuannya. Dan itu justru menjatuhkan dirinya sendiri.

Duh, Bu Wiwin benar-benar bingung. Gelisah. Terlebih akhir-akhir ini. Ia menangkap ketidakwajaran suami tercintanya. Entah kenapa, Bu Wiwin merasakan kalau suaminya terlihat sering grogi. Kalau sendirian, suaminya seperti membayangkan sesuatu. Dan, kemudian senyum sendiri. Gila?

“Astaghfirullah!” ucap Bu Wiwin dalam hati. Tidak mungkin suaminya sakit jiwa. Justru, suaminyalah yang dikenal masyarakat sebagai dokter jiwa. Orang-orang yang gelisah akan menemukan mata air ketenangan saat mendengar nasihat suami Bu Wiwin. Lembut, tapi berbobot.

Bu Wiwin khawatir, bayang-bayang yang dianggapnya hitam selama ini terwujud. Ia bukan tidak setuju. Tapi benar-benar tidak kuat kalau suaminya nikah lagi. Berat!

Ia sudah mengantongi alasan kenapa muslimah lebih cepat bersedia menjadi isteri kedua daripada isteri pertama. Alasannya sederhana, tapi agak filosofis. Kalau isteri kedua, dari tidak ada menjadi ada. Tapi buat yang pertama, dari ada menjadi berkurang. Beda kan!

Dan suatu malam, kekhawatirannya kian menjadi. Ketika itu, Bu Wiwin mendapati suaminya menyebut-nyebut nama seorang wanita dalam keadaan tidur. “Mutia! Mutia! Mutia!” Saat itu juga ia terperanjat bukan main. Diingatnya nama itu kuat-kuat. Biarlah hafalannya berkurang asal nama itu tidak menghilang.

Namun, peristiwa itu tetap menjadi rahasia dan misteri. Rahasia karena tak seorang pun yang ia ceritakan. Dan misteri, karena Bu Wiwin belum pernah dengar nama itu kecuali dari mulut suaminya.

“Siapa Mutia?” Bu Wiwin jadi penasaran. Rasa-rasanya, tak ada nama akhwat di daerah tempat tinggalnya. Begitu pun di kantor tempat suaminya bekerja. Apa itu cuma mimpi? Dan penasaran Bu Wiwin kian menjadi ketika di malam yang lain, nama itu kembali disebut-sebut suami.

Bu Wiwin kian yakin kalau suaminya sedang jatuh cinta. Keyakinan itu menjadikan pikiran Bu Wiwin tak bisa konsen. Hatinya gundah. Sesekali ia menangis. Pelan tapi pasti, suara hatinya seperti berujar, “Terimalah kenyataan ini, Win!” Dan tangisnya pun kian menjadi.

Hanya ada satu cara untuk bisa memastikan: keterbukaan. Bu Wiwin sudah membayangkan apa yang akan diucapkan orang tua, kakak, adik, teman, dan tetangganya. Tapi, kenyataan tetap kenyataan. Ia harus mendengar langsung dari suaminya.

“Ayah sedang jatuh cinta?” tanya Bu Wiwin langsung ke suaminya. Walau berat, ia harus dapat kepastian. Yang ditanya tersenyum. “Apa kamu siap menerimanya?” tanya sang suami lebih terbuka. Bu Wiwin mulai menangis. “Silakan ayah ucapkan!” ucapnya sambil terisak.

“Isteriku. Kalau kamu tidak keberatan, aku akan mengangkat anak yatim Aceh sebagai anak kita. Namanya Mutia!” ucap suami Bu Wiwin tenang. “Kamu bersedia?” tanya suaminya seraya menatap sang isteri agak keheranan. (mn)

 

ERA MUSLIM

Menusuk Kemaluan Istri dengan Jari, Haramkah?

PERTANYAAN seputar hubungan suami istri memang sangat banyak yang menggelitik. Namun bukanlah Islam bila tak membahas hal semacam itu. Salah satu pertanyaan yang pernah diajukan ialah mengenai kebiasaan suami memasukkan jarinya ke dalam kemaluan istri.

Bagaimanakah syariat memandang hal ini? Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, suami-istri diperbolehkan untuk menikmati anggota badan masing-masing, agar bisa membangkitkan syahwat, selama menjauhi dubur dan kemaluan ketika haid atau nifas. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seorang suami untuk memasukkan jarinya ke kemaluan istri. Terlebih jika ini dalam rangka memuaskan pasangan

Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama mengingatkan, perbuatan semacam ini tidak sejalan dengan akhlak yang mulia dan tabiat yang baik. Allah telah memberikan syariat terbaik dalam masalah ini, dengan dihalalkannya jimak (hubungan intim). Sebagai hamba-Nya yang baik, selayaknya kita mencukupkan diri dengan hal-hal yang Allah halalkan.

Catatan: Jika yang disentuh adalah bagian luar kemaluan istri dan tidak sampai memasukkan jari, seperti memegang klitoris, atau kegiatan semacamnya, maka para ulama menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan.

Allahu alam. [Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah]

 

INILAH MOZAIK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memberi Syarat untuk tidak Dimadu

Halalnya poligami di dalam syariat, bukan tanpa syarat. Sikap adil sang suami terhadap istri menjadi contoh syarat mutlak bagi mereka yang hendak melakukan poligami. Bagaimana dengan hak calon istri yang menolak poligami?

Ternyata, agama juga memberi jalan tengah terhadap perempuan yang tidak mau dimadu. Calon istri dapat mengajukan janji kepada calon suaminya untuk tidak menikah lagi.

Imam Ahmad bin Hanbal Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh Ibn Qayyim Al Jauziy mengungkapkan, berbagai persyaratan yang mengikat sebuah perkawinan lebih kuat dan lebih utama untuk dipatuhi daripada segala persyaratan akad lainnya. Contohnya, transaksi perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya meski juga wajib untuk dipatuhi.

Dalilnya, yakni sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Di antara berbagai persayaratan yang kamu sekalian paling berkewajiban mematuhinya ialah yang dibuat demi menghalalkan seorang perempuan untuk kalian nikahi.

Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bakhir, Bukhari, dan Muslim juga merawikan dari Al-Miswar bin Makhramah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW berpidato di atas mimbar.

…. Bahwasanya keluarga Hisayam ibn Al Mughirah (yakni keluarga Abu Jahl)telah meminta dariku agar mengizinkan mereka mengawinkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Tidak! Aku tidak mengizinkan mereka! Aku tidak mengizinkan, kecuali (sebelum itu) Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan (baru setelah itu) menikahi putri mereka! Putriku (Fatimah) adalah bagian dari darah dagingku; apa saja yang menggelisahkannya, menggelisahkan aku juga. Dan apa saja yang mengganggunya, menggangu aku juga.

Selanjutnya, Rasulullah SAW mengisyaratkan tentang salah satu menantunya yang lain. Nabi pun memujinya seraya bersabda. Ia berkata jujur kepadaku dan berjanji kepadaku, lalu memenuhi janjinya. Dan sungguh, aku tidak hendak mengharamkan sesuatu yang halal. Tetapi, demi Allah, tak akan pernah putri Rasulullah dan putri musuh Allah berhimpun di satu tempat.

Ibnu Qayyim Aljauziy mengungkapkan, sabda Rasulullah SAW tersebut mengandung nilai hukum, yakni apabila seseorang telah menjanjikan kepada istrinya bahwa ia tidak akan dimadu, wajib atasnya untuk memenuhi janjinya itu. Dan, sekiranya ia kemudian kawin lagi dengan perempuan lain maka istri pertamanya berhak untuk melakukan pembatalan (fasakh) atas perkawinannya.

Dalam peristiwa adanya keinginan keluarga Abu Jahl untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Nabi SAW mengungkapkan kegelisahannya. Tentunya, dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau tidak mengawinkan Ali dengan Fatimah kecuali atas janji bahwa dia tidak akan menimbulkan kegelisahan kepada Fatimah dan Rasulullah sebagai ayahandanya.

Kalaupun itu tidak disebutkan resmi dalam batang akad nikah, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persyaratan itu Ali bin Abi Thalib menerima untuk menikahi Fatimah. Begitulah kaidah-kaidah yang juga ditetapkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa sesuatu yang dipahami bersama sebagai persyaratan berdasar adat kebiasaan sama berlakunya seperti yang dipersyaratkan dengan lisan.

Atas dasar itu, seandainya telah menjadi kebiasaan setempat bahwa para istri tidak dimadu, kebiasaan itu tetap berlaku walaupun tidak dipersyaratkan secara resmi sebelumnya. Wallahua’lam.

 

REPUBLIKA

Bijak Menyikapi Pasangan

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Tiada apapun yang bisa menandingi kekuasaan-Nya, tiada apapun yang bisa menyaingi keagungan-Nya. Dialah Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan makhluk-Nya dan hanya Dia yang kuasa mencukupi seluruhnya. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum [30] : 21)

Saudaraku, stress biasanya terjadi karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Banyak orang yang jadi tidak nyaman, bahkan tertekan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara harapan yang diinginkan dengan kenyataan yang ada. Repotnya, harapannya kadang terlalu ideal, sedangkan kenyataan yang ada jauh dari harapan.

Ditambah lagi menyikapi kenyataan dengan negatif secara berlebihan sehingga stressnya tinggi melampaui kenyataan yang terjadi. Kenyataan yang ada di dalam perasaan, lebih buruk daripada kenyataan yang ada. Inilah yang sering terjadi, penyikapan yang tidak proporsional, khususnya dalam hubungan di antara suami dan istri. Suami kecewa terhadap istrinya, atau sebaliknya.

Padahal kebahagiaan tidaklah datang karena kelebihan-kelebihan pasangan kita. Demikian juga kesedihan, tidaklah muncul akibat kekurangan-kekurangan pasangan kita. Sedih dan bahagia itu lebih karena terampil atau tidaknya kita menyikapi kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Sakinah, bahagia akan muncul manakala tepat menyikapi kelebihan dan kekurangan pasangan kita.

Melihat kelebihannya kita bersyukur dan tidak sombong. Melihat kekurangannya kita memposisikan diri sebagai pendamping dan penuntunnya. Karena pasangan kita adalah amanah dari Allah Swt. Hindari sikap menuntut terhadap pasangan kita, namun bersikaplah menuntun pasangan kita.

Sikap yang juga perlu kita biasakan terhadap pasangan kita adalah berterimakasih. Berterimakasih kepada manusia adalah salah satu cara kita bersyukur kepada Allah Swt. Pasangan kita adalah karunia yang teramat besar dari Allah Swt. Perhatikan pasangan kita, ia telah menyiapkan dirinya untuk menjadi pendamping kita, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita. Membantu kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Menikah adalah gerbang awal yang akan mengantarkan kita pada pengetahuan tentang siapa pasangan kita seutuhnya. Akan lebih banyak kelebihan yang nampak, demikian juga akan lebih banyak kekurangan yang terlihat. Fokus kita adalah pada kelebihannya tanpa perlu melebih-lebihkan. Sedangkan kekurangannya adalah ladang amal bagi kita untuk memperbaikinya.

Membangun keluarga yang sakinah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bersikaplah ridho atas kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Kemudian lanjutkan dengan memaksimalkan ikhtiar untuk mensyukuri kelebihan dan memperbaiki kekurangan. Semoga kita bersama pasangan kita tergolong pasangan-pasangan yang ada dalam ridho Allah Swt., meraih sakinah di dunia dan di akhirat. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Awas! Ucapan Ini Bisa Menjatuhkan Talak

ADA seorang ibu di satu pengajian bertanya, apakah ucapan suaminya,”Silakan cari laki-laki lain kalau nggak puas bersuamikan saya,” adalah ucapan talak. Pasalnya, kata dia, ucapan itu terlalu sering diucapkannya.

Menurut kelaziman, ucapan talak secara lafadz sharih (jelas dan pasti) adalah “Saya ceraikan kamu,” atau “Saya thalaq kamu.” Bila ucapan itu diucapkan oleh seorang suami dan ditujukan kepada istrinya, secara otomatis jatuhlah thalaq. Hukumnya tegas, bahkan meskipun suami saat mengucapkannya itu dengan cara bersenda gurau.

Tetapi lafadz kinayah, yakni sindiran atau kiasan, apabila diucapkan oleh seorang suami dan ditujukan kepada istrinya, tidak secara otomatis menjatuhkan hukum thalaq. Jatuh dan tidaknya hukum thalaq dengan lafadz kinayah ditentukan oleh niat suami saat mengucapkannya. Apabila saat mengucapkannya dengan disertai niat thalaq, maka jatuhlah thalaq. Dan apabila tidak ada niat untuk menthalaq, maka thalaq pun tidak jatuh.

Kata-kata suami sebagai yang disebutkan ibu tersebut, insya Allah termasuk kinayah, yang jatuh dan tidaknya thalaq akan tergantung pada niat suami saat mengucapkannya.

 

INILAH MOZAIK

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Terjaganya Cinta, Kunci Hubungan Suami Istri

SEYOGYANYA laki-laki yang cerdas itu memiliki wanita yang salehah. Dari rumah tangga yang saleh, yang biasa menghadapi kefakiran, agar ia dapat melihat apa-apa yang diperolehnya itu banyak. Dan hendaknya pula ia menikahi wanita yang berdekatan umurnya dengannya. Ada pun seorang yang telah berusia tua, jika ia menikah dengan gadis muda, maka ia telah menyakitinya. Barangkali wanita itu akan menyeleweng, atau meminta dicerai, sementara ia cinta kepadanya sehingga dengan hal itu ia pun akan tersakiti.

Oleh karena itu, hendaknya ia menambal kekurangannya tersebut dengan perilaku yang baik dan memberi nafkah yang banyak. Hendaknya wanita tersebut tidak terlalu sering mendekati suaminya sehingga ia akan menjadi bosan dengannya. Akan tetapi, tidak pula terlalu menjauh darinya sehingga suaminya akan melupakannya.

Dan hendaknya ia mendekati suaminya dalam keadaan sangat bersih dan cantik. Dan hendaknya ia menghindari suaminya dari melihat kemaluannya atau seluruh badannya, karena badan manusia itu tidak elok dipandang. Begitu pula sebaliknya, si suami tidak seharusnya memperlihatkan kepada istrinya seluruh badannya. Sesungguhnya persetubuhan itu (baiknya) dilakukan di tempat tidur.

Suatu hari Kisra melihat bagaimana hewan dikelupas kulitnya dan dimakan, sehingga ia pun kehilangan nafsu dengannya, dan tidak mau makan daging. Ia lalu menyebutkan itu kepada menterinya. Sang menteri pun lantas berkata, “Wahai Raja, binatang sembelihan itu untuk dihidangkan di meja makan, sedangkan wanita untuk di tempat tidur.” Maksudnya, jangan engkau memeriksa hal itu dengan mendetail.

Aisyah r.a. mengatakan, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Ia juga tidak pernah melihatnya dariku. Dan pada suatu malam beliau bangun dalam keadaan telanjang. Maka aku tidak pernah melihat badannya sebelumnya.”

Inilah sikap yang tepat. Dengan demikian, seorang laki-laki tidak akan mencela istrinya karena melihat berbagai kekurangannya. Dan hendaknya istrinya memiliki tempat tidur sendiri dan ia pun memiliki tempat tidur terpisah. Keduanya tidak berkumpul kecuali keadaan sempurna.

Di antara manusia ada yang memandang enteng perkara-perkara ini, sehingga ia istrinya berkata merendahkan, dan ia pun membalas merendahkan. Maka masing-masing kemudian melihat dari pasangannya hal-hal yang tidak membangkitkan selera. Kemudian hal itu menjauhkan hati, dan pergaulan suami istri tersebut berlangsung tanpa kasih sayang. Ini merupakan pasal yang mesti direnungkan dan dijalankan, karena ia adalah prinsip yang penting.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Petuah-Petuah Untuk Para Pemenang, penulis: Ibnu Jauzi)

 

HIDAYATULLAH

Berjuang Keras untuk Satu Isteri

Saya teringat sebuah dialog dengan “Sang Direktur” di salah satu instansi, dia memiliki posisi yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami bersilaturahim ke rumah beliau dan isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat penuh kekeluargaan.

“Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?” ujar sang isteri.

“Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!” balasku.

“Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?” tanyanya gemas.

“Memangnya kenapa bu, haram?” tanyaku penasaran.

“Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran ‘doyan isteri banyak’! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!” Sambil tertawa renyah dan Sang Direktur mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.

Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di instansi Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat yang melakukan hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si fulan itu punya simpanan di sana-sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila, dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri sang direktur itu sangat antusias menceritakan kasus “mereka”, dan ibarat nara sumber lah sang isteri tersebut, sambil diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi lain hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, “tidak ada manfaatnya dan hatiku gerah,” gumamku.

“Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?” Tanya Sang Direktur kepada istrinya.

“Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk enggak kayak gitu kan”. sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu pun sambutan suaminya dengan senyuman.

Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami sedang asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon,

“Pak Fulan, apa kabar …?” Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.

Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, “mas, tolong dikirimkan ‘yang biasa’ ke hotel ini, rang saya di …., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih! Saya enggak kuat nahannya. Ya sekitar jam 11 malam deh, aku tunggu ya …? Pintanya”.

“Siap Pak, beres semuanya.” ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.

Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku bertanya, “itu pak Fulan si Sang Direktur?” tanyaku.

“Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot nyariin ‘yang Biasa’ nya,” ujar rekanku.

Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan Sang Direktur. Tak di sangka bahwa “Sang Direktur” termasuk salah satu pelaku dari pergaulan ilegal. Aku segera tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.

 

 

Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri, dia selalu berujar kepadaku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke luar negeri bilamana bersama dengannya, “Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih. Gue pusing kalau di luar kota gini, mau bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya,” begitu seterusnya. Dan itu selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita pada keesokan paginya.

Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah tolong jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu…, karena kuakui celotehan tersebut bilamana tidak kita waspadai akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang keras untuk itu.

Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja, tetapi banyak cerita pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh, gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa kejadian seperti di atas belum menjadi mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap …

Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa isterinya, yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau rekanku tersebut?

Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui karakter ciptaan-Nya, prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat untuk pemenuhan psikologis terhadap wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi yang sangat kuat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin indah, itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya untuk melampiaskan kebutuhan tersebut.

Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini masih menjadi kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan kebanyakan dari kaum hawa. Dan pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil, dampak sosial yang berat, atau hal lainnya.

Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih poligami, dia harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi tantangan dampak sosialnya, harus berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua butuh kerja keras dan berjuang pula. Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi penghalang perjuangan amal soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.

Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini pun butuh perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis maupun biologisnya untuk isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan kesetiaan, menutup celah godaan, dan menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk membahagiakan seorang isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa diutarakan di sini.

Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan saya yakin makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah. Hargailah suamimu, sayangi dan dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri di hatinya.

(Untuk seorang wanita yang mendampingiku hingga saat ini, adalah sebuah karunia-NYA yang indah dan telah diamanatkan kepadaku, seorang kekasih yang belum pernah sekali pun memperlihatkan wajah masam, atau amarah padaku sejak kita mengikat janji untuk mengarungi perjuangan kehidupan yang singkat ini. Terimakasih ya dukungannya, and All the praises and thanks be to Allah)

Oleh : Zidni T. Dinan

 

ERA MUSLIM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Cara Hubungan Intim yang Baik Menurut Islam

ADAB dan cara berhubungan intim (Jima) yang baik menurut Islam dapat dibagi dalam tiga keadaan yaitu :

A. Adab sebelum Jima

1. Menikah
Menikah adalah syarat mutlak untuk dapat melakukan hubungan intim secara Islam, Menikah juga harus sesuai syarat dan rukunnya agar sah menurut islam. Syarat dan Rukun pernikahan adalah : Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya Ijab dan Kabul.

Mahar harus sudah diberikan kepada isteri terlebih dahulu sebelum suami menggauli isterinya sesuai dengan sabda Rasullullah SAW:
“.Ibnu Abbas berkata: Ketika Ali menikah dengan Fathimah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab: Aku tidak mempunyai apa-apa. Beliau bersabda: “Mana baju besi buatan Huthomiyyah milikmu?”. Riwayat Abu Dawud dan Nasai. Hadits shahih menurut Hakim.

Ini artinya Ali harus memberikan mahar dulu sebelum “mendatangi” Fathimah
Dalam Islam, setiap Jima yang dilakukan secara sah antara suami dengan isteri akan mendapat pahala sesuai dengan Sabda Rasullullah sallahu alaihi wassalam:

“Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.”

Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

2. Memilih Hari dan Waktu yang baik / sunnah untuk jima
Semua hari baik untuk jima tapi hari yang terbaik untuk jima dan ada keterangannya dalam hadist adalah hari Jumat sedangkan hari lain yang ada manfaatnya dari hasil penelitian untuk jima adalah hari Kamis.

Sedangkan waktu yang disarankan oleh Allah SWT untuk jima adalah setelah sholat Isya sampai sebelum sholat subuh dan tengah hari sesuai firman Allah dam surat An Nuur ayat 58.”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:58).

MELIHAT kondisi di atas maka hari dan waktu terbaik untuk jima adalah: Hari Kamis Malam setelah Isya dan Hari Jumat sebelum salat subuh dan tengah hari sebelum salat Jumat.

Hal ini didasarkan pada Hadist berikut: “Barang siapa yang menggauli isterinya pada hari Jumat dan mandi janabah serta bergegas pergi menuju masjid dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, dan setelah dekat dengan Imam ia mendengarkan khutbah serta tidak menyia-nyiakannya, maka baginya pahala untuk setiap langkah kakinya seperti pahala amal selama setahun,yaitu pahala puasa dan sholat malam didalamnya (HR Abu Dawud, An nasai, Ibnu Majah dan sanad hadist ini dinyatakan sahih)

3. Disunahkan mandi sebelum jima
Mandi sebelum jima dan bersikat gigi bertujuan agar memberikan kesegaran dan kenikmatan saat jima. Mandi akan menambah nikmat jima karena badan akan terasa segar dan bersih sehingga mengurangi gangguan saat jima. Jangan lupa jika setelah selesai jima dan masih ingin mengulangi lagi sebaiknya kemaluan dicuci kemudian berwudhu.

Abu Rofi radhiyallahu anhu, ia berkata,”Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

 

B. Adab sat Jima

SATU hal yang harus diingat, boleh memberi rangsangan, mencium kemaluan (kebersihan terjaga). “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223)

“Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana”(HR. Bukhari dan Muslim).

4. Menggunakan selimut sebagai penutup saat berjima
Dari Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah)

5. Jima boleh dari mana saja asal tidak lewat jalan belakang (sodomi)
Jima dengan isteri boleh dilakukan darimana arah mana saja dari depan, samping, belakang (asal tidak sodomi) atau posisi berdiri, telungkup, duduk, berbaring dll.

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223)

Dari Abi Hurairah Radhiallahuanhu. bahwa Rasulullah Shallallahualaihi wasallam bersabda, “Dilaknat orang yang menyetubuhi wanita di duburnya”. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai)

6. Boleh menggunakan kondom atau dikeluarkan di luar kemaluan isteri (Azl)
Dari Jabir berkata: “Kami melakukan azl di masa Rasulullah Shallallahualaihi wasallam dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya” (HR muslim).

 

 

C. Adab setelah jima

1. Tidak langsung meninggalkan suami/isteri setelah jima berdiam diri
setelah melakukan hubungan intim hendaknya tidak langsung meninggalkan pasangan, hendaknya tetap memberikan perhatian seperti mencium kening, memeluk atau tidur berbaring di samping pasangan sambil bercanda gurau sampai kondisinya kembali normal dan akan memulai aktifitas selanjutnya.

2. Mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulang Jima
Dari Abu Said, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,”Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)

3. Mandi besar / Mandi janabah setelah jima
“Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, “Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu dan lalu shalat”. Abu `Abd Allh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-290.

 

INILAH MOZAIK

 

 

—————————————
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Memuliakan Istri

Imam Ahmad pernah berkata, “Aku hidup bersama istriku, Ummu Abdillah, selama empat puluh tahun tidak pernah saya berbeda pendapat dengannya meskipun hanya dalam satu kata.” Ungkapan tersebut menunjukkan betapa sebagai suami, Imam Ahmad tidak pernah meremehkan istrinya, sekalipun dirinya adalah seorang ulama yang sangat kaya akan ilmu, karya dan pengaruh. Imam Ahmad sangat memuliakan sang istri.

Demikian pula khalifah kedua umat Islam, Umar bin Khattab, ia tak membalas “omelan” sang istri dengan suara tinggi, apalagi memainkan tangan untuk membidas kemarahan sang istri agar berhenti dan diam. Umar seperti yang diherankan oleh orang yang hendak mengadukan istrinya, hanya diam, mendengarkan sang istri yang marah-marah.

Kisah tersebut menunjukkan kesempurnaan akhlak insan beriman yang di antaranya termanifestasi dalam kehidupan rumah tangga, memuliakan istri. Mengapa suami mesti memuliakan istri?

Pertama, karena Nabi meneladankannya. Kedua, jasa istri sangat luar biasa. Perhatikanlah bagaimana rumah rapi, makanan dan minuman yang tersedia, anak-anak yang dimandikan, dididik, diantar, dan dijemput sekolah. Istri yang melakukan semua itu. Aid al-Qarni berkata dalam bukunya Beginilah Waktu Mengajari Kita, berpura-puralah tidak mengetahui kesalahan istri dan sebaliknya muliakanlah istri karena jerih payah dan pengorbanannya setia dan menjaga rumah tangga.

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR Tirmidzi).

Sangat pantas kemudian Sayyidina Umar RA berkata kepada pria yang hendak mengadukan sikap istrinya. “Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku.

Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawab Umar. “Di samping itu,” sambung Umar, “Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram — sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”

Argumen tersebut memberikan makna mendalam bahwa mendengarkan kemarahan istri bukan sebuah kelemahan. Justru itulah kekuatan sejati seorang suami. Sebab, dengan seperti itu, keutuhan rumah tangga tetap terjaga, cinta kasih tetap terawat dan tentu saja kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah perlahan-lahan dapat diwujudkan.

Selain itu, sikap tersebut akan mencegah terjadinya perang mulut, adu argumentasi atau pun debat yang merugikan, yang jika tidak hati-hati justru terdengar anak-anak dan akan berdampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak-anak kita sendiri, sehingga terganggulah ketenteraman keluarga.

Oleh karena itu, memuliakan istri di antaranya dengan bersikap lemah lembut termasuk perkara istimewa yang mesti diupayakan oleh setiap suami. Sadarlah bahwa setiap manusia pernah bersalah, termasuk istri di rumah, maka lapangkanlah dada, sabar, dan didiklah ia dengan kasih sayang disertai doa agar Allah jadikan ia istri yang salehah.

 

Oleh: Imam Nawawi

REPUBLIKA