Menggauli Istri Secara Bersamaan Dilarang

SEORANG pelaku poligami bertanya, bolehkah ia yang saat ini memiliki dua istri mencampuri istri-istrinya pada waktu yang bersamaan? Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Untuk pertanyaan itu, ustaz menjawab sebagai berikut. Sesungguhnya seorang suami yang menggauli dua istrinya sekaligus akan membawa pengaruh negatif bagi istri-istrinya itu sendiri selain dari penampakkan aurat seorang istri kepada istri yang lainnya.

Kemampuan seorang suami sangatlah terbatas untuk bisa memberikan kepuasan yang sama kepada kedua istrinya yang digaulinya secara bersamaan itu baik di dalam permainan-permaianan jimanya maupun tempat ditumpahkan spermanya. Hal ini akan memunculkan kecemburuan bahkan kebencian di dalam diri istrinya yang tidak merasa terpuaskan oleh suaminya sementara dia menyaksikan secara langsung bahwa kepuasan itu dirasakan oleh istrinya yang lain.

Abdul Wahab Hamudah, penulis kitab “Ar Rasul Fii Baitih” mengatakan bahwa cemburu merupakan salah satu pembawaan wanita yang khas. Kecemburuan merupakan watak wanita dan memiliki bentuk yang bermacam-macam. Seorang perempuan umumnya cemburu kepada jenisnya yang berpenampilan cantik, walau perempuan itu bukan saingannya terhadap laki-laki yang dicintainya. Perasaan cemburu itu lebih-lebih terhadap perempuan yang benar-benar menjadi saingan atau madunya.

Selain itu kaum perempuan juga begitu cemburu atau tidak senang dengan memperlihatkan ekspresi sinisme, karena melihat seorang perempuan yang berhias secara mencolok atau berpakaian secara berlebih-lebihan, sehingga tampak tak wajar.” (lihat: Romantika dan Problematika Rumah Tangga Rasul hal 127).

Tentunya kecemburuan seorang istri terhadap istri suaminya yang lain akan jauh lebih besar jika sudah menyangkut perihal hubungan seks diantara mereka dengan suaminya terlebih lagi jika satu sama lain saling melihat mereka berhubungan.

Hal lainnya adalah didalam persetubuhan yang dilakukan seorang suami dengan kedua istrinya secara bersamaan memungkinkan di antara kedua istrinya akan saling memandang aurat mereka dan hal ini diharamkan menurut kesepakatan para fuqaha berdasarkan sabda Rasulullah saw ,”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lain) dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita (lain) dan berada didalam satu selimut.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Dengan demikian tidak diperbolehkan bagi seorang suami menggauli kedua istrinya secara bersamaan dalam satu tempat tidur atau menggauli salah satunya dengan disaksikan oleh istrinya yang lain.

Dibolehkan baginya untuk menggauli seorang istrinya setelah ia menggauli istrinya yang di lain di tempat yang terpisah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang berkeliling untuk menggauli istri-istrinya dalam satu malam.

Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah menggilir istri-istrinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah mereka ada sebelas orang.

Qatadah mengatakan,Aku bertanya kepada Anas,Seberapa kuat beliau saw? Dia menjawab,Kami pernah memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan (kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,Sesungguhnya Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah istri-istrinya saw adalah sembilan orang.” (HR. Bukhori). Wallahu Alam [ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2377911/menggauli-istri-secara-bersamaan-dilarang#sthash.BZYMY9TO.dpuf

Kenapa Menurut Rasulullah , Tidur Harus Berbaring di Lambung Kanan?

Hadits dari Barra bin ‘Azib ra : Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Jika kalian hendak tidur di pembaringan, berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. Kemudian berbaringlah kamu dengan berbaring di lambung kananmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mengajarkan kepada umat Islam agar berbaring dilambung kanan. Pada saat itu tak ada yang mengetahui apa alasan dibalik sunah tersebut, tetapi kini melalui penelitian yang panjang para ilmuwan berhasil mengungkapkan rahasia di balik anjuran tersebut. Dan berikut ini akan dijelaskan rahasia dari berbagai posisi tidur.
Tidur Dengan Tengkurap
Dr. Zafir al-Attar berkata “Seseorang yang tidur dengan cara tengkurap di atas perutnya setelah suatu periode tertentu akan mengalami kesulitan bernafas karena seluruh berat badannya akan menekan ke arah dada yang menghalangi dada untuk merenggang dan berkonstraksi saat bernafas. Hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya kekurangan asupan oksigen yang dapat mempengaruhi kinerja jantung dan otak.”
Peneliti dari Australia telah menyatakan bahwa terjadi peningkatan kematian pada anak-anak sebesar tiga kali lipat saat mereka tidur tengkurap dibandingkan jika mereka tidur dengan posisi menyamping. Sedangkan Majalah “Times” mempublikasikan hasil sebuah penelitian di Inggris yang menunjukan peningkatan tingkat kematian mendadak pada anak-anak yang tidur tengkurap.
Fakta-fakta tersebut sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Islam, sebagaimana Abu Hurairah RA meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah melihat seorang pria yang sedang tidur dengan posisi tengkurap, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR Tirimizi dan Ahmad-hasan lighairihi)
Tidur Terlentang
Dr. Zafir al-Attar menjelaskan bahwa saat seseorang tidur dengan cara terlentang, maka hal ini akan menyebabkan orang tersebut bernafas melalui mulutnya. Hal ini disebabkan karena pada saat kita tidur terlentang maka mulut kita akan terbuka, dikarenakan meregangnya rahang bawah.
Manusia harusnya bernafas melalui hidung, bukan mulut. Hal ini dikarenakan pada hidung terdapat bulu-bulu halus dan lendir yang dapat menyaring kotoran yang ikut terhisap bersama udara yang kita hirup. Bernafas melalui mulut merupakan salah satu penyebab seseorang rawan terkena flu. Selain itu bernafas lewat mulut akan menyebabkan keringnya rongga mullut sehingga dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada gusi.
Tidur Dengan Menyamping Ke Kiri
Tidur miring ke kiri ternyata jugalah tidak baik untuk kesehatan, terutama organ jantung. Hal ini dikarenakan saat kita tidur pada posisi ini, maka paru-paru sebelah kanan, yang berukuran besar, akan menekan kearah paru-paru. Hal ini akan berpengaruh kepada kinerja jantung, terutama kepada orang yang berusia lanjut.
Tidur Dengan Menyamping Ke Kanan
Inilah posisi tidur terbaik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Pada saat kita tidur dalam posisi ini jantung hanya akan terbebani oleh paru-paru kiri yang berukuran kecil. Selain itu tidur dengan cara ini akan menenpatkan hati pada posisi yang stabil. Selain itu posisi ini juga sangat baik bagi pencernaan, penelitian menunjukkan saat kita tidur dengan menyamping ke kanan, makanan akan mampu dicerna oleh usus dalam 2,5 sampai 4,5 jam. Sedangkan dalam posisi tidur yang lain makanan baru akan selesai dicerna setelah 5 sampai 8 jam.

Tafsir Mawaddah dan Rahmah

Di antara tujuan pernikahan disebutkan dalam Surat Ar Rum ayat 21, agar suami istri mendapatkan mawaddah dan rahmah.

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rum: 21)

Apa itu mawaddah dan rahmah? Dalam Tafsir Al Qurthubi, dikutip penjelasan Ibnu Abbas bahwa mawaddah adalah cintanya seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya untuk tidak menimpakan sesuatu yang tak disukainya.

Lebih jauh, Muhammad Al Ghazali menerangkan tentang rahmah. “Rahmah itu,” terangnya dalam Qadhaya al Mar’ah bainat Taqalid ar Rakidah wal Wafidah, “tidak muncul dari kasih sayang ketika melihat pipinya yang indah, akan tetapi ia muncul dari dalam hati yang bersih, akhlak yang baik dan latar belakang yang mulia.”

Jadi, mawaddah adalah cinta yang timbul karena pertimbangan fisik atau materi. Karena istrinya adalah seorang wanita yang memiliki sesuatu yang menarik kemudian suami mencintainya, itulah mawaddah. Seseorang yang melihat istrinya kemudian timbul hasrat dan dengannya mereka saling bercinta, itulah mawaddah.

Sedangkan rahmah adalah cinta yang tidak mempertimbangkan fisik melainkan karena faktor non fisik; ruhiyah, akhlak dan sejenisnya. Rahmah inilah yang membuat pasangan suami istri tetap bersama meskipunsudah tua. Rahmah inilah yang membuat suami istri tetap setia meskipun tak bisa lagi saling bercinta. Rahmah inilah yang membuat suami istri tetap saling menyayangi meskipun tidurnya saling berpunggungan. Rahmah inilah yang menjelaskan mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek tetap bersama dan saling menjaga.

Maka jika ingin keluarga kita abadi hingga maut memisahkan, dua sayap cinta mawaddah dan rahmah ini harus kita punya. Hubungan yang hanya didasari oleh mawaddah, ia hanya bisa bertahan beberapa tahun. Sesudah kulit keriput, rambut memutih dan mata rabun, rahmah-lah yang bekerja. Maka, temukan alasan non fisik yang membuat kita mencintai pasangan kita.

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Membatasi Keturunan, Bolehkah Menurut Syariat? (Bagian 2)

Membatasi jumlah keturunan dan mencegah kehamilan juga termasuk salah satu perilaku jahiliyah dan merupakan sikap berburuk sangka terhadap Allah Ta’ala serta melemahkan eksistensi Islam yang terdiri dari banyaknya sumber daya manusia yang saling terkait satu dengan lainnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas maka Majelis Majma Al-Fiqhi Al-Islami telah sepakat untuk menetapkan bahwa membatasi jumlah keturunan tidak dibolehkan secara mutlak.

Adapun mencegah kehamilan dan mengatur jarak kehamilan secara kasuistik (pada orang-orang tertentu) dikarenakan adanya suatu kemudaratan yang pasti, seperti seorang wanita yang tidak dapat melahirkan secara normal sehingga setiap kali melahirkan harus melalui operasi caesar.

Jika demikian, maka wanita tersebut tidak apa-apa membatasi jumlah keturunannya atau mengatur jarak kehamilan. Menunda kehamilan juga boleh dilakukan karena alasan yang dibenarkan syariat atau karena alasan kesehatan atas nasihat dokter muslim yang terpercaya.

Bahkan, boleh jadi syariat tidak membolehkan seorang wanita hamil apabila para dokter muslim yang dapat dipercaya memutuskan bahwa kehamilan dapat membayakan jiwa sang ibu.

Adapun seruan untuk membatasi jumlah keturunan atau mencegah kehamilan secara umum maka syariat tidak membolehkannya karena faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas.

Di samping itu, lebih besar lagi dosanya apabila pemimpin suatu negara mewajibkan hal ini kepada rakyatnya.

Padahal, pada saat yang sama seluruh anggaran negara digunakan untuk berlomba-lomba dalam pengadaan senjata untuk menjajah dan menghancurkan, sebagai ganti dari pemberdayaan serta pembiayaan untuk pengembangan sektor ekonomi, pembangunan, dan kebutuhan rakyat.

Hanya Allah-lah yang kuasa memberikan taufiq dan hidayah, dan semoga Allah Ta’ala senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para shahabat-shahabatnya.

*****

Demikian dikutip dari kitab Ittihaf Uli Al-Albab Bi Huquq Ath-Thifli Wa Ahkamih fi Su`al Wa Jawab yang disusun oleh Al-Ustadz Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi.

Penulis berharap, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dan terutama bagi penulis sendiri. Aamiin ya Rabbal Alamin.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Membatasi Keturunan, Bolehkah Menurut Syariat?

Dewasa ini, sejumlah negara di dunia menetapkan undang-undang untuk membatasi keturunan bagi penduduknya dengan beragam alasan. Di antaranya ada menetapkan satu anak, dua anak, atau jumlah lainnya.

Keterbatasan anggaran, perekonomian yang sulit, dan kemiskinan yang merata menjadi alasan utama negara tertentu untuk menetapkan program pembatasan keturunan bagi warganya.

Kita dapat memaklumi, jika negara tersebut sekuler atau mayoritas non muslim. Namun, yang sangat disayangkan adalah jika terjadi pada negara mayoritas Islam.

Namun demikian, di sisi lain, ada pula negara yang membebaskan jumlah anak yang lahir dari rahim seorang ibu. Sekarang timbul pertanyaan, apakah membatasi keturunan itu boleh menurut syariat Islam?

Untuk menjawab pertanyaan ini cukup dengan menukil ketetapan Majma Al-Fiqhi Al-Islami Ad-Dauli (Akademi Fikih Islam Internasional) pada Muktamar III yang membahas tentang seputar pertanyaan ini. Berikut keputusan muktamar tersebut:

*****

Segala puji bagi Allah Ta’ala dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi yang tidak ada Nabi setelahnya, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Amma ba’du

Berdasarkan pertimbangan Majelis Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami pada muktamar III di Makkah Al-Mukarramah pada tanggal 23-30/4/1400 Hijriyah tentang masalah membatasi jumlah keturunan atau yang mereka sebut dengan istilah halusnya Keluarga Berencana, setelah terjadi diskusi dan tukar pikiran maka majelis menetapkan sebagai berikut:

Mengingat syariat Islam mendorong untuk memperbanyak anak kaum muslimin, hingga tersebar ke berbagai penjuru dunia, maka keturunan yang banyak merupakan salah satu nikmat yang besar bagi umat Islam dan anugerah agung yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya.

Banyak sekali dalil dari syariat Islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunjukkan bahwa membatasi jumlah kelahiran atau mencegah kehamilan adalah perbuatan yang bertentangan dengan fitrah insani yang telah ditetapkan Allah terhadap umat manusia.

Di samping itu, juga bertentangan dengan syariat agama Islam yang telah diridhai Allah sebagai pedoman untuk hamba-hamba-Nya.

Mengingat bahwa kelompok yang menyeru untuk membatasi keturunan atau mencegah kehamilan bertujuan memperdaya kaum muslimin, untuk mengurangi jumlah populasi mereka secara umum serta masyarakat Arab dan rakyat tertindas pada khususnya.

Tujuannya tidak lain adalah agar mereka mampu untuk menjajah negara kaum muslimin, mengusir dan merampas kekayaan di negara-negara Islam.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Mari Menjaga Kemuliaan Rumah Kita

KEMULIAAN rumah (hurmah al-bayt) sebenarnya tidak ditarik dari sejumlah hukum, sebagaimana kasus pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan Islam, juga tidak dinukil dari satu riwayat maupun aktivitas sejumlah Sahabat dan kaum muslim yang lain, dengan seluruh rinciannya.

Namun, kemuliaan (kehormatan) rumah ini merupakan hukum obyek tertentu, yang dinyatakan oleh Alquran dengan dalil yang qathi. Karena itu kemuliaan (kehormatan) rumah bagi pemiliknya ini merupakan hukum yang qathi, baik dari aspek sumber maupun maknanya.

Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian (selalu) ingat (QS an-Nur [24]: 27).

Allah SWT melanjutkan:

Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah,” maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (QS an-Nur [24]: 28).

Kedua nas di atas merupakan dalil yang qathi dari aspek sumbernya, karena diambil dari Alquran, juga dari segi maknanya, yang dengan tegas menyatakan kemulian (kehormatan) rumah bagi pemiliknya. Karena itu, rumah tidak boleh dimasuki, kecuali dengan izin pemiliknya, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tanpa penghuni. Jadi, kemuliaan (kehormatan) rumah tersebut ditegaskan melalui larangan memasukinya, kecuali dengan izin.

Dengan demikian, siapa saja yang memasuki rumah seseorang tanpa seizin penghuni atau pemiliknya, dia sesungguhnya telah menodai kehormatan rumah tersebut, dan tentu bisa dinyatakan telah melakukan keharaman. Alasannya, karena ada larangan menodai kehormatan rumah yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil, baik dari aspek sumber maupun maknanya. Maka dari itu, status hukum ini harus dijalankan, dan siapa saja yang mengingkari hukum ini, maka dia bisa dinyatakan kafir.

Inilah status hukum tentang kehormatan rumah. Ini merupakan hukum syariah untuk rumah, bukan untuk bangunannya. Hukum untuk rumah, dari aspek rumah itu sendiri, bukan karena berpenghuni atau tidak. Sebab, status hukum tersebut berkaitan dengan rumah dan kemuliaannya. Menodai kehormatan (kemuliaan) rumah itu identik dengan memasuki rumah tanpa izin. Dengan begitu, menjaga kehormatan (kemuliaan) rumah berarti tidak memasuki rumah, kecuali dengan izin.

Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah, apakah bisa dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah atau tidak? Inilah yang menjadi pertanyaan, termasuk menggeledah rumah untuk mencari barang bukti.

Untuk menjawab masalah ini, bisa diambil dari ayat yang sama, dan dari kondisi rumah yang diberikan solusi oleh ayat tersebut. Perlu dicatat, meski ayat di atas melarang masuk ke rumah seseorang, larangan masuk ini juga mencakup larangan untuk melakukan apa saja yang menjadi konsekuensi memasuki atau berada di rumah tersebut. Karena itu, apa saja yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah atau berada di dalam rumah tersebut hukumnya sama dengan larangan memasuki rumah itu sendiri. Sebab, hukum haramnya memasuki rumah tidak hanya menyatakan keharaman memasukinya saja, tetapi juga menyatakan keharaman melakukan apa saja di dalam rumah tersebut sebagai akibat dari memasukinya. Maka dari itu, kalau memasuki rumah tanpa izin hukumnya haram, dan dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah tersebut, hukum yang sama juga berlaku untuk aktivitas apapun yang dilakukan oleh orang lain di rumah tersebut. Kesimpulan di atas diambil darimanthuq dan dari dalalah iltizam dua ayat di atas.

Pertanyaannya kemudian: apakah izin tersebut harus dari kepala rumah tangga, ataukah cukup izin dari penghuninya, atau izin yang dimaksud adalah izin dari Pembuat syariah?

Jawabannya, ayat tersebut berbentuk mutlak. Ayat tersebut menyatakan: hatta tastanisu(hingga kalian meminta izin) dan hatta yudzana lakum” (hingga kalian diizinkan). Dari kata”idzn” tersebut bisa dipahami, bahwa “hatta yudzana lakum” ini dinyatakan dalam bentukmajhul, tanpa menyebutkan pemberi izin. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa siapa saja yang mempunyai kewenangan untuk mengizinkan masuk ke rumah, maka izinnya cukup bagi seseorang untuk memasuki rumah tersebut. Apakah orang yang memberi izin tersebut kepala rumah tangga, atau penghuninya, selama dia berakal (waras) dan mumayyiz. Dengan catatan, selama dia mempunyai kewenangan untuk memberi izin. Sebab, izin ini hanya diakui sebagai izin jika diberikan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin tersebut. Inilah pemahaman literal dari konteks “Izin masuk”.

Adapun pemahaman secara literal tentang konsekuensi memasuki rumah, maka harus diteliti terlebih dulu:

(1) Jika aktivitas di dalam rumah tersebut merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti kebolehan untuk duduk atau berdiri di dalamnya, maka izin memasuki rumah tersebut sekaligus menjadi izin untuk berdiri dan duduk di dalamnya.

(2) Jika aktivitas tersebut bukan merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti melakukan penggeledahan, makan, minum, tidur atau yang lain, maka izin memasuki rumah tersebut tidak bisa serta-merta menjadi izin untuk melakukan penggeleda-han, makan, minum dan tidur di dalamnya.

Dalam konteks yang kedua ini, selain izin yang diberikan oleh tuan atau penghuni rumah, maka dibutuhkan adanya izin Pembuat syariah sehingga berbagai aktivitas ini bisa dilakukan di dalam rumah tersebut. Adanya izin dari tuan atau penghuni rumah untuk memasuki rumahnya tidak cukup bagi seseorang sehingga dia bisa menggeledah rumahnya. Apalagi aktivitas penggeledahan rumah ini merupakan aktivitas tajassus (memata-matai), yaitu tafahush al-akhbar (memeriksa dan menginvestigasi berbagai informasi dan dokumen), yang jelas-jelas diharamkan di dalam Islam (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 12).

Karena itu, aparat negara tidak boleh masuk ke rumah rakyatnya tanpa izin dari tuan atau penghuninya. Jika dia diizinkan masuk, dia pun tidak boleh menggeledah rumah tersebut. Dia juga tidak boleh melakukan tindakan apapun di dalamnya, meski dengan maksud untuk melakukan riayatu as-syuun (mengurus urusan rakyatnya). Tindakan ini hukumnya haram dilakukan oleh negara dan aparatnya, sekalipun atas perintah Khalifah. Sebab, perintah tersebut bertentangan dengan perintah Allah SWT. Dalam hal ini, perintah Allahlah yang harus dilaksanakan. Apalagi perintah tersebut melanggar keharaman tajassus.

Hanya saja, ada kondisi darurat yang mengharuskan untuk memasuki rumah tersebut, seperti menyelamatkan penghuni rumah saat rumah tersebut terbakar, atau rumah tersebut tenggelam, atau menolong orang sebatang kara yang sakit di rumahnya dan hendak dibawa berobat, atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghilangkan bahaya dari rumah tersebut. Namun, jika bahaya tersebut tidak dinyatakan oleh nas, seperti mencari pencuri di dalam rumah, menggeledah isi rumah, atau sejenisnya, maka alasan bahaya tersebut tidak bisa menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan di dalam rumah tersebut.

Mengenai alasan “mengurus urusan rakyat”, alasan tersebut tidak bisa digunakan oleh negara untuk memasuki rumah rakyatnya, termasuk menangkap orang yang melakukan perbuatan haram di dalamnya dengan cara yang salah. Karena “mengurus urusan rakyat” ini tidak berarti boleh mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram; kecuali jika kewajiban “mengurus urusan rakyat” mengharuskan negara untuk memasukinya seperti memasang instalasi listrik, saluran telpon, air minum dan sebagainya. Dalam hal ini, izin untuk memasuki rumah berarti termasuk izin untuk melakukan pemasangan instalasi dan saluran di dalamnya. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2362081/mari-menjaga-kemuliaan-rumah-kita#sthash.dCfK4gTn.dpuf

5 Tips Hebat agar Rumah Tangga Selalu Ceria

SIAPA yang tak mau memiliki keluarga yang harmonis. Suasana di rumah senantiasa ceria dan penuh berkah bagi para anggota keluarganya. Adapun sebagaimana kami kutip dari laman “Istri Menarik Suami Tertarik” ada beberapa tips hebat yang dapat kita adopsi ke dalam rumah tangga kita. Dan semoga dapat sama-sama kita amalkan, insya Allah. Berikut di antaranya:

1. Amalkan amalan seperti bersalam (dengan anak-anak) dan berpelukan (setiap hari sebelum dan selepas bekerja). InsyaAllah, amalan ini sangat baik dan boleh menceriakan rumah tangga anda.

2. Amalkan makan bersama keluarga. Biasanya jika soal makan, banyak yang akan berpikir bahwa makan bersama seperti di dalam drama tv. Padahal makan bersama yang kami maksudkan adalah berbagi makanan di dalam satu piring dan berbagi minuman dari gelas yang sama. Memang bagi orang yang tidak pernah mencoba cara ini mereka akan merasa agak janggal, tapi kalau sudah mencobanya, kami yakin hubungan suami istri akan jauh lebih erat. Apalagi jika si suami menyuap makanan ke dalam mulut si istri. Oh, memang indah! Inilah akhlak Rasulullah terhadap istrinya.

3. Membuat musyawarah atau diskusi harian. Jangan salah anggap. Musyawarah yang kami maksudkan bukanlah musyawarah resmi atau formal. Musyawarah bersama suami istri dan anak-anak adalah musyawarah yang diadakan dalam suasana tidak formal dan santai. Contohnya sebelum tidur, saat sedang makan dan sebagainya.

4. Menghidupkan rumah dengan amalan taalim. Amalan taalim di rumah ibarat seperti mesin pada sebuah kendaraan. Tanpa mesin, kendaraan tak akan berfungsi dan bermanfaat. Hidupkan amalan membaca hadis dan membaca ayat suci alquran, atau apa saja amalan keagamaan di rumah secara berjemaah. Ajak ahli keluarga (suami) duduk bersama selama 5-15 menit (minimum) setiap hari. Inilah amalan yang menjadi amalan para sahabat selepas mereka kembali dari majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di masjid.

5. Mengungkapkan kasih sayang terhadap ahli keluarga. Kasih sayang itu perlu diungkapkan atau dinyatakan, bukannya dipendam. Kasih sayang terhadap istri perlu ditunjukkan. Maksud ditunjukkan di sini bukannya dalam bentuk harta dan kemewahan, tapi melalui perhatian, kata-kata, tingkah laku di rumah, akhlak terhadap istri dan sebagainya. Seorang suami yang mencoba untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah di rumah akan dihormati oleh istrinya selama-lamanya.

Lima tips di atas bukanlah tips yang dibuat-buat, tapi inilah lima cara yang telah ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ahlinya (keluarga). Maksudnya ini adalah sunah nabi. “Barang siapa yang mencintai sunah, dia akan bersama Rasulullah di surga kelak.” []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358625/5-tips-hebat-agar-rumah-tangga-selalu-ceria#sthash.JD3fYCT8.dpuf

Sudah Menikah tapi Tak Bisa Lupakan Mantan?

SESEORANG bertanya bagaimana hukumnya bila orang yang sudah menikah namun tidak bisa melepas atau melupakan mantan pacarnya karena pernikahannya merupakan hasil perjodohan. Menurut jawaban yang diberikan oleh Ustaz Wido Supraha:

Genggamlah tangan pasanganmu, bersama membuat komitmen untuk meraih rida ilahi bersama ilmu. Membayang-bayangkan wajah istri di rumah menghadirkan pahala besar, sementara membayang-bayangkan wajah wanita lain merupakan kesia-siaan yang akan membuka pintu keburukan.

Perjodohan bukanlah alasan yang tepat untuk tidak mencintai karena definisi cinta adalah memberikan sepenuh hati kepada yang sang kekasih tanpa henti. Kehidupan terus berjalan dan hayatilah bahwa batas umur semakin menipis, maka nikmatilah kehidupan dengan memperbanyak zikir dan beribadah bersama anugerah Allah Ta’ala berupa pasangan hidup di sisi, siapapun dia.

Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 216: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Pengetahuan kita akan cinta dan kebaikan sungguh sangat terbatas, maka senantiasalah berbahagia dengan apa yang kita miliki, dan jadikanlah seluruh yang kita miliki sebagai sarana yang memudahkan kita masuk ke Jannah-Nya. Wallahu a’lam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360307/sudah-menikah-tapi-tak-bisa-lupakan-mantan#sthash.05KsmmUA.dpuf

Puasa Sunah? Istri Wajib Minta Restu Suami Jika…

DARI Abu Hurairah radhiallahu’anha: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Istri tidak boleh berpuasa, sementara suaminya sedang ada di rumah, kecuali setelah memperoleh izin darinya; tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah, kecuali atas izinnya; dan apa pun yang disedekahkannya tanpa perintah suami, suami memperoleh separuh pahalnya.” (HR Al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa pelayanan istri kepada suami yang sedang ada di rumah adalah dalam rangka memenuhi hak-haknya. Karena itu, ketika istri akan berpuasa sunnah, ia semestinya meminta izin terlebih dahulu kepada suami. Ia juga tidak boleh mengizinkan siapa pun untuk masuk rumah suaminya tanpa izin suaminya, serta tidak menafkahkan harta suaminya untuk kebaikan, kecuali atas pengetahuan suami.

Al-Hafizh dalam Al-Fath berkata, “Dalam hadits ini ditegaskan bahwa memenuhi hak suami harus lebih didahulukan oleh istri daripada melakukan kebaikan yang lain. Sebab, memenuhi haknya adalah kewajiban, dan menjalankan kewajiban harus didahulukan daripada menjalankan ibadah sunnah.”

Imam Al-Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan itu. Ia berkata, “Suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap saat. Haknya ini wajib untuk segera dipenuhi, tidak boleh tertunda dengan ibadah sunnah, bahkan dengan ibadah wajib yang masih bisa ditunda.

Karena itu, istri tidak boleh berpuasa tanpa izin suaminya. Apabila suami ingin bersenang-senang dengan istrinya yang sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya untuk membatalkan puasa. Sebab, biasanya seorang Muslim tidak berani menyuruh orang lain agar membatalkan puasanya.

Dari hadits ini dipahami bahwa izin suami untuk melakukan ibadah sunnah diperlukan bila suami ada di rumah. Sementara itu, jika suaminya tidak ada di rumah, ia boleh melakukan ibadah sunnah tanpa izinnya.

Namun, jika suami sedang berpergian dan pulang ke rumah ketika istrinya sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya membatalkan puasanya, dan hal itu bukan tindakan makruh. Termasuk makna ketiadaan suami adalah bila ia sedang sakit sehingga tidak bisa melakukan senggama.”

Berkenaan dengan keharusan meminta izin suami ketika mengundang orang lain ke rumah. Al-Hafizh dalam Al-Fath berkata, “Sabda Rasulullah, ‘Istri tidak boleh mengizinkan siapa pun masuk ke rumah suami tanpa izinnya,’ merupakan syarat yang sulit dipahami. Ketiadaan suami di rumah tidak berarti istri boleh mengizinkan orang lain masuk rumah. Justru, ketika itulah larangan tersebut lebih ditekankan berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan larangan bagi istri untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumah pada saat suaminya tidak ada. Barangkali, inilah maksud hadits tersebut. Sebab, ketika suami ada di rumah, istri lebih mudah meminta izin padanya.”

Imam Al-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa kewajiban meminta izin kepada suami harus dilakukan ketika istri belum yakin suaminya merestuinya. Sekiranya istri mengetahui bahwa suaminya merestui, tidak meminta izin kepadanya adalah kebolehan. Misalnya, istri mempersilakan para tamu masuk rumah di tempat yang dikhususkan bagi mereka (ruang tamu), baik ada suami ketika itu maupun tidak ada. Dalam hal ini, mempersilakan mereka masuk tidak perlu izin khusus dari suami.” [Badwi Mahmud Al-Syaikh]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361373/puasa-sunah-istri-wajib-minta-restu-suami-jika#sthash.8UiEzV42.dpuf

Wahai Para Istri, Buatlah Suamimu Tersenyum

Kemilaunya intan dan permata terlihat indah di kelopak mata, tak akan sanggup mengalahkan perhiasan terindah di dunia, yaitu seorang wanita salehah. Wanita salehah mampu memberikan keteduhan dan kenyamanan bagi suaminya dibandingkan kilatan permata yang menyilaukan mata. Di mata sang suami, wanita salehah mampu menjadi peredam dari gegap gempita kehidupan dunia. Ia bukan sekadar pendamping yang hebat, namun mampu menjadi penasihat yang kuat hingga pemompa semangat saat sang suami mulai penat.

Seorang wanita salehah mengetahui hak-hak suami yang harus ditunaikan. Karena hal itu merupakan kewajibannya. Meskipun, terkadang berat untuk taat atau lelah ketika tak bergairah. Namun, istri salehah tidak akan pernah putus asa untuk meraih kebahagiaan. Karena kebahagiaan itu akan abadi. Rasulullah saw bersabda, “Wanita mana pun yang meninggal dunia sementara suaminya ridha kepadanya, pasti masuk surga.” (Riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Adapun kiat sederhana agar suami tersenyum adalah sebagai berikut:

Taat

Sehebat dan tangguh apa pun seorang wanita, maka kewajiban terhadap suami wajib ditunaikan. Suami adalah pemimpin rumah tangga.

“Seandainya aku perintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (Riwayat Abu Dawud dan al-Hakim)

Hal ini merupakan sebentuk keadilan Allah swt kepada seorang suami. Karena segala yang ditetapkan Allah swt pasti adil dan baik bagi manusia. Namun, jangan disalahpahami bahwa ketaatan kepada suami menyebabkan seorang istri menjadi terkekang dan sengsara hidupnya. Karena di sisi lain, seorang suami diperintahkan oleh Allah swt untuk bergaul dengan baiik kepada istrinya dan dilarang menyusahkan wanita yang telah taat kepadanya.

Allah swt berkalam,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً

“Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalan mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 34)

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap istrinya. Dan aku adalah yang terbaik kepada istriku.” (Jami’ at-Tirmidzi, 3895)

Meski seorang istri wajib taat kepada suaminya, namun itu semua berlaku dalam hal yang baik dan benar saja. Di antara salah satu bentuk ketaatan seorang istri kepada suaminya adalah melayani kebutuhan biologis sang suami. Namun, apakah sekadar suami saja yang perlu dicukupi kebutuhan biologisnya? Tentu saja tidak. Kebutuhan biologis istri pun meski dipenuhi oleh suami. Dengan terpenuhinya kebutuhan biologis tersebut, niscaya keduanya lebih mudah untuk menjaga diri dari pebuatan nista.

Jagalah

Salah satu kewajiban lain yang mesti dipenuhi oleh seorang istri adalah menjaga kehormatan, kemuliaan, harta, anak-anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Allah swt telah berkalam,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Maka wanita-wanita yang salehah adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah swt lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena itu, Allah telah memelihara mereka.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 34)

Demi menjalankan kewajibannya itu, seorang istri mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja, semua itu tetap di bawah kendali kepemimpinan seorang suami.

Di Rumah Suami

Kewajiban seorang istri terhadap seorang suami adalah tinggal di rumah suami. Artinya, tidak keluar kecuali atas ijin dan ridhanya. Allah swt telah berkalam,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian. Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Qs. al-Ahzab [33]: 33)

Di samping itu, ia berusaha memelihara pandangan dan merendahkan suaranya dalam rangka mentaati perintah Allah Ta’ala,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah pada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya.” (Qs. an-Nur [24]: 31)

Tenangkanlah

Di awal kenabian, ketika Nabi Muhammad saw berada dalam kegundahan, maka Khadijah menghibur dan menenangkannya. Seorang sitri salehah akan selalu berusaha menciptakan ketenangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ia begitu menyenangkan saat dipandang, menarik hati sang suami, dan dapat meredam segala gejolak yang terjadi di dalam rumah tangga.

Rasulullah saw telah bersabda, “Wanita (istri) terbaik adalah jika engkau melihat padanya, ia akan menyenangkanmu. Jika engkau memerintah, ia akan taat kepadamu. Jika engkau pergi, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan hartamu.” (Riwayat Muslim dan Ahmad)

Seorang istri salehah yang sadar tentang kewajibannya tak hanya membahagiakan bagi sang suaminya. Lebih dari itu, sebenarnya ia telah membahagiakan dirinya sendiri. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

 

[Hamizan/Bersamadakwah]

Editor: Pirman Bahagia