Suara Wanita Termasuk Aurat?

Wanita pernah dianggap sebagai makhluk yang tidak terpandang di beberapa peradaban. Apa yang datang dari wanita dianggap jelek, termasuk suaranya. Perdebatan tentang apakah suara wanita aurat atau tidak seolah tak pernah berhenti. Bagaimana para ulama memandang permasalahan ini?

Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi, suara wanita bukan termasuk aurat. Menurut ulama yang saat ini tinggal di Qatar ini, Alquran memperbolehkan laki-laki bertanya kepada istri-istri Nabi SAW dari balik tabir. Allah SWT berfirman, “…apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir…. ” (QS al-Ahzab: 53).

Permintaan pertanyaan ini sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin. Mereka juga biasa memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka dan meriwayatkan hadis bagi orang yang ingin mengambil hadis mereka.

Alquran juga mengisahkan anak Nabi Syuaib AS yang berkata kepada Nabi Musa AS. “… Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami….” (QS al-Qashash: 25). Begitu pula, Alquran menceritakan percakapan antara Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis.

Menurut Syekh Qaradhawi, yang dilarang bagi wanita adalah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki. Alquran mengistilahkan hal ini dengan al-khudhu bil qaul (memikat dalam berbicara) sebagaimana firman Allah SWT, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS al-Ahzab: 32).

Allah SWT melarang wanita melakukan pembicaraan yang khudhu sehingga bisa memikat orang lain yang memiliki penyakit di hatinya. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak boleh berbicara seperti di ujung ayat ditekankan boleh berbicara, tapi dengan perkataan yang baik.

Fitnah dari suara wanita bisa timbul jika digunakan untuk membangkitkan syahwat lawan jenis yang bukan muhrimnya.

Pendapat senada dikeluarkan oleh Komite Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Menurut Lajnah Daimah Arab Saudi, suara wanita bukan termasuk aurat. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum wanita terbiasa menyampaikan keluhan mereka dan pertanyaan tentang Islam kepada Nabi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum wanita pada zaman Khulafaurrasyidin dan para pemimpin setelah mereka. Kaum wanita juga mengucapkan dan menjawab salam kepada lelaki non-mahram tanpa ada satu ulama Islam pun yang mengingkari hal itu. Namun, mereka tidak boleh gemulai atau terlalu menunduk saat berbicara seperti yang telah diterangkan.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menambahkan tidak ditemukan dalil yang menunjukkan suara wanita itu aurat. Realitas sejarah para sahabat menunjukkan para sahabat laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan istri Nabi SAW. Aisyah RA sendiri adalah sahabat kedua yang paling banyak meriwayatkan hadis.

Al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani berpendapat bahwa suara wanita bukanlah termasuk aurat kecuali jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh Al Islami wa Adillatuhu berpendapat bahwa suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat karena para sahabat Nabi mendengarkan suara para istri Nabi SAW untuk mempelajari hukum-hukum agama. Namun, diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya walaupun dalam membaca Alquran dengan sebab khawatir timbul fitnah.

Suara Wanita Aurat Jika Manja dan Mendesah?

ADA pemahaman bahwa suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya.

Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi dalam sebuah masirah, dengan syarat tidak disertai perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya.

Dalil bahwa suara wanita bukan aurat, adalah Alquran dan As-Sunah. Dalil dari Alquran terdapat dalam dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu. Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (ijarah) (QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang (rahn) (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa (QS 16:43), dan sebagainya. Jika aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi wanita, artinya suara wanita bukanlah aurat sebab semua aktivitas itu adalah aktivitas yang berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara wanita aurat, tentu syara akan mengharamkan wanita melakukannya (Muhammad Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas, hal. 106).

Adapun dalil As-Sunah, antara lain bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih. Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunah ini menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).

Namun demikian, syara mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Firman Allah SWT (artinya) : “maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzab [33] : 32).

Suara wanita yang seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.

Maka dari itu, boleh hukumnya wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut, sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath, membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu alam []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2345707/suara-wanita-aurat-jika-manja-dan-mendesah#sthash.YkvfZp2J.dpuf