Kisah Sufi yang Diam Rumahnya Ditimpa Kotoran Tetangga Beragama Majusi

Sekitar abad kedua hijriah terdapat seorang sufi kenamaan yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Sahal bin Abdullah bin Yunus bin ‘Isa bin Abdullah bin Rafi‘ At-Tustari. Keistimewan beliau memang sudah tampak sejak beliau masuk berusia remaja. Sehingga tidak aneh apabila beliau disebut dikenal oleh ulama sezamannya, seperti Khalid bin Muhammad bin Sawar, Dzun Nun al-Mishri, dan lain sebagainya. Terdapat kisah teladan dari beliau tentang bagaimana cara untuk tidak menyakiti tetangga, meski tetangga itu ialah seorang yang berbeda agama. Kisah ini terdokumentasikan dalam kitab Al-Kabair karya Imam Abu Abdillah Muhammad adz-Dzahabi. Disebutkan bahwa Syekh Sahal at-Tustari memiliki tetangga Majusi, yakni agama yang terkenal dengan ajaran menyembah api.

Adapun rumah tetangga yang dimaksud itu berada di atas tempat tinggal Sang Sufi. Bahkan tempat pembuangan kotoran milik tetangga Majusi itu tepat berada di atas salah satu ruangan dari rumah Sang Sufi. Namun nahas, tempat pembuangan bocor hingga mengotori rumah At-Tustari. Meskin demikian, At-Tustari tak memberitahukan akan hal yang menimpanya kepada pemilik rumah, dengan alasan tak ingin menyakiti tetangganya.

Yang beliau lakukan justru menaruh ember tepat di bawah tempat jatuhnya kotoran supaya tak mengotori kediamannya. Kemudian beliau membuang kotoran yang telah terkumpul dalam ember tersebut pada malam harinya, supaya tak ada seorang pun yang melihat apa yang terjadi, terlebih supaya tetangganya yang Majusi tak melihat kesusahannya. Kejadian tersebut terus terulang setiap harinya dan berlangsung sangat lama.

Jangka waktu terjadinya peristiwa tersebut ditaksir mencapai hingga puluhan tahun. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad ar-Rafiq Wa Bughyah ash-Shadiq karya Habib Abdullah bin Husein bin Thahir Ba’alawi, dijelaskan bahwa selama puluhan tahun seorang tokoh sufi bernama Sahal at-Tustari memiliki hubungan baik dengan dengan tetangganya yang beragama Majusi. Kebaikan hubungan keduanya dapat dilihat dari perilaku saling berbagi makanan yang dilakukan keduanya tatkala hari raya tiba.

Ketika Sahal at-Tustari sudah tua dan merasa ajalnya akan segera tiba, ia sengaja mengundang tetangganya yang beragama Majusi untuk datang ke kediamannya. Begitu yang diundang telah datang, At-Tustari lantas meminta tetangganya itu untuk masuk ke dalam rumah At-Tustari dan melihat apa yang terjadi di dalam kediaman beliau.

Ketika tetangga Majusi itu telah masuk ke dalam rumah At-Tustari, ia melihat adanya air dan kotoran yang menetes dari atas dan di bawahnya terdapat ember untuk menampung tetesan kotoran itu. Tetangga itu pun menanyakan tentang apa yang dilihatnya kepada At-Tustari.

Sang Sufi lantas memberikan penjelasan atas yang dilihat tetangganya, berikut alasan mengapa ia diundang. At-Tustari berkata, “Ini sudah terjadi sangat lama. Kotoran dari rumahmu jatuh ke rumah ini. Yang aku lakukan ialah meletakkan ember ini ketika siang hari dan aku membuangnya ketia malam hari. Andai bukan karena ajalku akan segera datang, juga bukan karena kekhawatiranku akan akhlak orang yang menggantikanku menempati rumah ini, maka tidak akan kuberitahukan kepadamu apa yang terjadi dan kubiarkan tetap terjadi sebagaimana yang engkau lihat.”

Tetangga beragama Majusi pun terperangah setelah mendengar penjelasan At-Tustari. Ia terheran, bagaimana bisa seorang manusia mampu menahan kesusahan yang tak dibuat oleh dirinya sendiri selama itu. Ia juga kagum dengan akhlak orang Islam yang senantiasa berbuat baik kepada tetangganya, meski dengan latar belakang agama berbeda.

Mendengar penuturan At-Tustari, tetangga Majusi pun berkata, “Wahai Syekh, engkau telah berlaku sebaik itu kepadaku dalam jangka waktu yang sangat lama, sedangkan aku masih saja bertahan dalam kekufuranku? Julurkanlah tanganmu, kunyatakan bahwa, aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.”

Tidak lama setelah kejadian tersebut, wafaflah Sahal bin Abdillah at-Tustari setelah menjadi saksi atas syahadat tetangganya yang sebelumnya beragama Majusi. Dalam kitab Ath-Thabaqah al-Kubra karya Abdul Wahhab asy-Sya’rani, disebutkan bahwa At-Tustari wafat sekitar tahun 283 H.

Berdasar kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa perilaku yang baik akan membuahkan hasil yang baik. Kebaikan At-Tustari di atas tentu selaras dengan yang diajarkan Nabi Muhammad supaya selalu bersikap baik kepada semua orang, khususnya tetangga. Petunjuk Allah yang diberikan lewat kebaikan akhlak At-Tustari juga mampu menjadikan seseorang yang puluhan tahun berada dalam kekufuran, berubah menjadi orang yang mengesakan Allah Swt. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

Kisah Sufi Masuk Surga Karena Selamatkan Kucing Kedinginan

Di berbagai tempat kita miris dengan aneka perilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugerah Allah. Lihat saja kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan.

Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dari nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu, tanpa rasa kasih mereka nekat membunuh sesamanya dengan sadis. Tidak peduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya, atau bahkan anak dan orang tuanya sendiri.

Mengapa kekerasan ini makin menjadi-jadi? Jawabannya berpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendiri dalam memberikan keteladanan kasih sayang kepada rak yatnya. Apakah kaum elite yang mengatakan sudah menyuarakan rakyat dan keadilan telah dibuktikan untuk membela negara dan rakyatnya? Justru, rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elite tanpa sadar telah melakukan dosa.

Berapa banyak peraturan yang mereka legitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena diadang oleh berbagai kasus korupsi.

Dikisahkan, sang sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Syibli konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya, berdialog dengan Allah SWT. “Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku ?” Tanya Allah SWT pada Syibli. “Sholat tepat pada waktunya,” jawab Syibli. “Bukan,” kata Allah SWT menimpali. “Zakat, puasa, dan hajiku yang menyebabkan dosaku diampuni,” lanjut Syibli. “Bukan juga,” cetus Allah SWT. 

Syibli pun heran, “Kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku, lalu apa yang telah Kau ridhai dariku,” tanya Syibli penasaran. “Aku meridai dan mengampuni seluruh dosamu lantaran engkau telah menolong seekor kucing yang sedang kedinginan dan kelaparan.” 

Kisah di atas dimonumentalkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab syarah Nashaih al- I’bad. Benar dan tidaknya kisah ini dari sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dari kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin hari dirasakan jauh dari rasa kasih dan kekeluargaan.      

Oleh karena itu, kisah sufi di atas seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) yang amat berharga bagi kita untuk membiasakan diri menanamkan kasih sayang yang bermanfaat ke pada siapa pun makhluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolis saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan, tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridai.

Rasa kasih sang sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa pun dan siapa pun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantar kan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju, dan beradab.         

KHAZANAH REPUBLIKA

Metode Menjadi Sufi

MENJADI Sufi adalah menjadi apa yang engkau dapat menjadi, dan tidak mencoba untuk mengejarnya pada tahap yang salah, ilusi.

Menjadi sadar terhadap apa yang mungkin bagimu, dan tidak berpikir bahwa engkau sadar terhadap apa yang tidak engkau perhatikan.

Sufisme adalah ilmu mendiamkan apa yang harus didiamkan, dan memperhatikan (waspada) apa yang harus diperhatikan (diwaspadai), tidak berpikir bahwa engkau dapat diam atau waspada di mana engkau tidak dapat, atau bahwa engkau perlu melakukan ketika engkau tidak membutuhkan.

Mengikuti jalan Darwis adalah mengikuti kesatuan yang tersembunyi, meskipun, dan tidak dengan perantaraan mengakui akan perbedaan.

Memperhitungkan cara yang ada dalam perbedaan, tanpa memikirkan bahwa bentuk luar kemajemukan adalah penting di dalamnya.

Pendekatan dengan mempelajari faktor-faktor pengetahuan bagaimana untuk belajar; tidak dengan berusaha memperoleh pengetahuan tanpa praktek yang benar dalam mendekatinya.

Engkau lebih dekat menjadi Sufi dengan menyadari bahwa kebiasaan dan prasangka, merupakan hal yang esensial hanya pada beberapa bidang; tidak dengan membentuk kebiasaan dan menilai dengan menggunakan prasangka yang tidak sesuai.

Engkau harus menyadari ketidakberartianmu sebagai arti dirimu; tidak mencari perasaan berarti itu sendiri.

Orang yang sederhana (merendahkan diri) seperti ini, karena mereka memang harus demikian; dan yang terburuk dari semua laki-laki maupun perempuan adalah mereka yang menjalankan kerendahan hati untuk tujuan kebanggaan, bukan sebagai sarana perjalanan.

Metode Sufisme adalah selalu menerima sebuah nilai, kapan dan di mana nilainya, dan dengan siapa bernilainya, bukan meniru karena terpesona, atau menyalin karena kesukaan meniru.

Keberhasilan seseorang meningkatkan dirinya lebih tinggi, datang melalui usaha yang benar dan metode yang benar, bukan sekadar dengan berkonsentrasi pada cita-cita yang benar atau pada kata-kata orang lain yang ditujukan ke orang lain.

Sebagai jebakan yang terletak pada elemen rendah dalam dirimu, saat seorang manusia, sebuah buku, upacara, organisasi, metode, penampakan, secara langsung atau dengan nasihat untuk memiliki sesuatu yang dapat dipakai semua, atau dengan kuat menarik perhatianmu kendati tidak secara benar. (Sayed Imam Ali Shah) []

 

 

Seorang Sufi yang Dibimbing Anjing di Jalan

Sufi terkemuka, Asy-Syibli ditanya: “Siapa yang membimbingmu di jalan?”

Ia berkata, “Seekor anjing. Suatu hari aku melihatnya hampir mati kehausan, berdiri di tepi air. Setiap kali melihat bayangannya di air, ia ketakutan dan mundur, karena dikiranya itu anjing lain. Akhirnya, karena sangat membutuhkan, ia mengusir rasa takutnya dan melompat ke air; dan ‘anjing lain’ itu pun lenyap.”

Anjing tersebut menemukan bahwa rintangan, yang ternyata dirinya sendiri, penghalang antara dirinya dan apa yang ia cari, mencair.

“Dalam cara yang sama, rintanganku sendiri lenyap, ketika aku tahu bahwa itu adalah apa yang kuambil sebagai milikku sendiri. Dan jalanku pertama kali ditunjukkan padaku melalui perilaku seekor anjing.”

Osman al-Hiri dan Undangan Makan Penjahat

Suatu hari, orang yang jahat mengundang Osman al-Hiri untuk makan bersamanya. Ketika Syeikh datang, orang tersebut mengusirnya. Tetapi ketika sudah pergi beberapa langkah, ia memanggilnya kembali.

Hal ini terjadi lebih dari tiga puluh kali, sampai orang lain, tidak sabar melihat kesabaran dan kelembutan sang Sufi, segera berlutut mohon ampun.

“Engkau tidak mengerti,” ujar al-Hiri, “Apa yang kulakukan tidak lebih dari yang dilakukan anjing terlatih. Kalau engkau memanggilnya, ia datang; ketika engkau mengusirnya, ia pergi. Perilaku ini bukan ciri Sufi, dan tidak sulit dilakukan oleh siapa pun.”

Apa yang Diucapkan Setan?

Pada suatu ketika terdapatlah seorang darwis. Saat duduk merenung, ia memperhatikan bahwa terdapat semacam setan di dekatnya.

Si darwis berkata, “Mengapa engkau duduk di sana, tidak berbuat jahat?”

Setan mendongakkan kepala dengan letih, “Sejak para ahli dan calon guru di tarekat semakin bertambah, tidak ada lagi yang dapat kulakukan.” [ ]

 

INILAH MOZAIK

 

Sufi Menurut Penilaian Imam Asy Syafi’i

DI beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Imam Asy Syafi’i Bedakan Antara Sufi Yang Benar dengan Sufi Klaim

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Asy Syaf’i Mengambil Manfaah dari Sufi

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua kalimat ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Imam As Syafi’i Memuji Ulama Sufi

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’i memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut ciri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’i disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Demikianlah perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai sufi, yang dipahami oleh para ulama besar, yakni Al Imam Al Baihaqi dan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Kedua ulama besar itu lebih layak untuk diambil dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dibanding para individu yang tergesa-gesa menyimpulkan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

 

HIDAYATULLAH

Ketika Seorang Sufi Tertolak Bumi

SUATU ketika, salah seorang murid Yusuf, Ibrahim al Khawwas dalam mimpinya, mendengar suara tak dikenal, “Pergilah, dan katakan pada Yusuf, Engkau adalah orang yang tertolak.”

Bagi seorang murid, kata-kata ini terdengar begitu menyakitkan di telinga. Bukan hanya karena Yusuf merupkan guru dalam pengembaraan spiritualnya, tapi juga karena sosok Yusuf yang amat sangat dihormati hampir seluruh masyarakat di zamannya.

Karenanya, bagi Ibrahim, akan lebih mudah untuk menahan himpitan gunung yang jatuh di atas kepalanya daripada harus mengatakan apa yang ada dalam mimpinya.

Belum juga hilang gelisah dalam batinnya, Ibrahim kembali memimpikan hal yang sama di malam berikutnya. Sebuah suara yang tak dikenalnya kembali menggaung di telinga. “Katakan padanya, “Engkau adalah orang yang tertolak!”

Ia pun terbelalak seraya bergegas menuju masjid. Membersihkan diri, dan kemudian duduk zikir, untuk meminimalisasi ketakutannya.

Namun, untuk ke sekian kalinya, mimpi itu kembali hadir. Bahkan, kali ini tampak lebih keras dan bernada mengancam, “Katakan padanya, Engkaulah yang tertolak. Jika pesan ini tidak kau sampaikan, maka engkau tidak akan sanggup bangkit dari tempat tidurmu ini!”

Ibrahim segera terbangun dengan kesedihan yang dalam. Hal yang serupa ia lakukan juga, pergi ke masjid dan zikir. Kali ini, ia melihat sang guru rupanya sedang duduk zikir. Ibrahim yang sedari beberapa waktu digelisahkan mimpi, akhirnya memilih duduk agak jauh dari Yusuf.

Sayangnya, sang guru yang kala itu sedang zikir justru menghampirinya, sembari berkata, “Muridku, apakah engkau hafal satu saja ayat Alquran?” tanyanya.

“Ya,” jawab Ibrahim singkat. Lalu, ia pun membacakannya satu ayat yang mampu ia ingat.

Mendengar lantunan Ibrahim, Yusuf tampak sangat bahagia. Ia pun kemudian bangkit dan mematung sejenak. Berusaha menutupi air matanya yang mengalir begitu deras dari hadapan muridnya.

“Sejak dini hari sampai saat ini,” kata Yusuf, “Aku mendengarkan berbagai bacaan ayat Alquran dari para muridku. Namun, tak satu pun bacaan mereka mampu mengalirkan satu tetes air mata pun. Kini, melalui satu ayat, suatu keadaan telah mewujudair mata telah mengalir deras dari kedua mataku. Manusia benar, bahwa aku adalah orang yang tertolak bumi. Seseorang yang dapat begitu terhanyut dalam sebuah syair puisi lagu, sementara Alquran tidak berpengaruh padanyaia sungguh orang yang tertolak.”

Mendengar penjelasan sang guru, Ibrahim semakin bingung dan mulai ragu dengan gurunya itu. Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?

Sembari berjalan menyusuri padang pasir yang luas, Ibrahim bertemu dengan Khidir as. Khidir berkata, “Yusuf telah mendapat hadiah dari Allah. Ia tertolak bumi, karena tempatnya memang bukan di bumi, tapi di surga. Di kala semua orang di sekelilingnya sanggup merintih, sedih, terhanyut, bahkan menangis karena syair puisi, namun Yusuf menangis karena ayat Tuhannya. Bukankah itu lebih baik daripada terhanyut karena syair manusia?

Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Yaqub Yusuf ibn al Husain ar Radardhi. Ia merupakan salah seorang sufi berasal dari Rayy.

Yusuf berkelana ke beberapa wilayah Timur Tengah untuk menuntut ilmu, dan sempat bertemu Dzun Nun Al Misri di Mesir, dan kemudian belajar di bawah bimbingannya. Ia kembali ke Rayy untuk berkhotbah dan meninggal pada 304 H/ 916 M di sana.

 

MOZAIK