Sujud Syukur Timnas Maroko, Selebrasi Tercantik di Piala Dunia 2022

Timnas Maroko menjadi satu-satunya negara muslim-Afrika yang berhasil melaju ke babak perempat final Piala Dunia 2022. Selebrasi mereka kala mengalahkan timnas Spanyol di babak enam belas besar, menyita perhatian dunia. Sujud syukur timnas Maroko tersebut disebut-sebut sebagai selebrasi tercantik di Piala Dunia 2022 oleh warganet.

Maroko menyingkirkan Spanyol lewat adu penalti di babak 16 besar, Selasa (6/12/2022) malam WIB. Sesuai prediksi, Maroko tampil tangguh untuk membuat Spanyol kesulitan. Bahkan 45 menit pertama Maroko tampak lebih berbahaya daripada La Roja.

Spanyol bangkit di babak kedua, tapi tidak ada gol hingga 90 menit berakhir. Laga bahkan masih terkunci tanpa gol hingga 120 menit berlalu.

Lanjut ke babak adu penalti, Yassine Bounou kiper Maroko tampil luar biasa dengan menepis tiga penalti lawan. Maroko menang telak 3-0 dan berhak melaju ke babak perempat final.

Usai memastikan kemenangan, skuad Maroko melakukan selebrasi dengan sujud syukur di pinggir lapangan. Selain para pemain, staf tim pun juga ikut bersujud syukur. Warganet pun memberikan anggapan yang beragam. Salah satunya menyebut bahwa sujud syukur timnas Maroko merupakan selebrasi tercantik di Piala dunia 2022 ini.

Selain itu, usai kemenangan menakjubkan mereka atas Spanyol, tim Maroko berkumpul di lapangan dan merayakannya dengan mengibarkan bendera Palestina bersama beberapa bendera Maroko.

Pada pertandingan sebelumnya pun para pemain Maroko juga mengibarkan bendera Palestina setelah kemenangan melawan Kanada di babak penyisihan grup pekan lalu.

Kesuksesan Maroko di Piala Dunia 2022 pun bergema di seluruh dunia Arab dan komunitas Maroko serta beberapa komunitas imigran lainnya di Eropa.

Di Barcelona, ​​kota terbesar kedua di Spanyol, kerumunan pemuda yang melambai-lambaikan bendera Maroko, Mesir, Aljazair, dan Palestina berkumpul di tengah, tempat para penggemar FC Barcelona secara tradisional merayakan kemenangan besar. Orang-orang bersorak dengan suara drum. Beberapa menyalakan suar.

Maroko akan menghadapi Portugal dalam pertandingan perempat final mereka pada hari Sabtu. []

SUMBER: BOLA | INDIAN EXPRESS ISLAMPOS

Sujud Syukur

LUMRAH di antara kita bersujud tidak hanya ketika shalat saja. Misalnya saja, ketika mendapatkan satu anugerah dari Allah SWT. Apa itu sebenarnya sujud syukur?

Definisi sujud syukur adalah sujud yang dilakukan seorang muslim ketika mendapatkan kenikmatan yang baru atau tercegahnya suatu musibah/bencana [Mausu’ah Fiqhiyyah, 24/246. Baca juga : Syarhus-Sunnah lil-Baghawiy, 3/316].

Sujud syukur, Tidak Wajib

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan sujud syukur tidaklah diwajibkan berdasarkan ijmaa’ [Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/293]. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang perincian hukumnya. Asy-Syaafi’iy, Ishaaq, Abu Tsaur, Ahmad, dan Ibnul-Mundzir berpendapatkan bahwa hal itu disunnahkan.

Adapun An-Nakhaa’iy, Maalik, dan Abu Haniifah memakruhkannya [Al-Mughniy, 3/105 dan Al-Inshaaf 3/154 – via Syaamilah]. Yang raajih, sujud syukur adalah disunnahkan.

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata : “Sujud syukur itu baik, karena hal itu telah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan yang lainnya dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam…” [Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 2/200].

Berikut beberapa riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian shahabat radliyallaahu ‘anhum sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaafi’iy rahimahullah.

Dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Aku bertemu dengan Jibriil ‘alaihis-salaam, lalu ia memberikan kabar gembira kepadaku dengan berkata ‘Sesungguhnya Rabbmu telah berfirman: Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadamu, maka aku akan mengucapkan shalawat kepadanya. Barangsiapa yang mengucapkan salam kepadamu, maka aku akan mengucapkan salam kepadanya’. (Mendengar hal itu), aku pun bersujud kepada Allah bersyukur kepada-Nya,” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/191, Al-Haakim 1/550, Al-Baihaqiy 2/350, dan yang lainnya; hasan lighirihi – sebagaimana dikatakan Al-Albaaniy dalam Shahih At-Targhiib 2/289-290 no. 1658].

Dari Abi Bakrah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam : Bahwasannya apabila datang kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam suatu perkara yang menggembirakan atau dikabarkan kepada beliau sesuatu yang menggembirakan, beliau langsung bersungkur sujud bersyukur kepada Allah,” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2774, At-Tirmidziy no. 1578, Ibnu Majah no. 1394 dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/180].

Dari ‘Abdurrahmaan bin Ka’b bin Maalik, dari ayahnya, ia (‘Abdurrahmaan) berkata : “Ketika Allah menerima taubatnya (Ka’b), maka ia langsung bersungkur sujud,” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5961, Ibnu Maajah no. 1393, dan Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2884; sanadnya shahih. Hadits ini merupakan ringkasan dari kisah penerimaan taubat Ka’b bin Maalik yang panjang itu].

Dari Muhammad bin Qais Al-Hamdaaniy, ia berkata : Aku mendengar Abu Muusaa Al-Hamdaaniy : “Aku melihat ‘Aliy dan mereka (pasukan ‘Aliy) sedang mencari (mayat) orang yang cacat tangannya, pasca perang Nahrawaan. Ia (‘Aliy) berkeringat, dan berkata: “Aku tidak berdusta dan aku tidaklah didustai”.

Ketika ‘Aliy mendapatkan orang tersebut, ia pun bersungkur sujud (bersyukur kepada Allah). Diriwayatkan oleh Al-Kharaaithiy dalam Asy-Syukr no. 65; sanadnya hasan, Dari Abu ‘Aun (Ats-Tsaqafiy), dari seorang laki-laki : “Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu ketika datang kepadanya khabar kemenangan perang Yamaamah (dengan terbunuhnya Musailamah Al-Kadzdzaab), ia bersujud,” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/371 (2/519) no. 3940].

Sujud syukur, Tidak Harus Suci dari Hadast atau Menghadap Kiblat

Sujud syukur tidak disyaratkan suci dari hadats dan menghadap kiblat, karena ia bukan termasuk bagian dari hukum-hukum shalat.

Akan tetapi, lebih utama (afdlal) untuk bersuci dan menghadap kiblat [Al-Ikhtiyaaraat Al-‘Ilmiyyah oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 240. Baca juga : Tahdziibus-Sunan li-Ibnil-Qayyim 1/55].

Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ketika sujud syukur mesti didahului dengan takbir, lalu tasyahud dan salam, sehingga semua hal itu tidak ada dasarnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah, 21/277 & 23/169].

Tidak ternukil pula bacaan tertentu ketika sujud dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dianjurkan bagi yang sujud untuk memperbanyak ucapan syukur kepada Allah ta’ala atas nikmat yang diberikan-Nya [As-Sailul-Jaraar 1/285]. []

ISLAMPOS

Sujud Syukur Setiap Selesai Shalat

Pertanyaan:
Saudaraku, saya pernah sujud syukur setiap selesai shalat dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Ia berikan kepadaku berupa penglihatan, pendengaran, dan lainnya. Lalu aku tinggalkan kebiasaan itu karena khawatir itu adalah perbuatan bid’ah, sebab Rasul kita Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melakukan hal tersebut. Apa nasehat anda kepada saya, jazaakumullah khayr.

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد

Keputusan anda untuk meninggalkan kebiasaan sujud syukur tiap selesai shalat adalah keputusan yang benar. Karena sujud syukur itu disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang besar atau ketika terhindar dari bencana. Adapun selain itu, tidak disyariatkan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu senantiasa melimpahkan nikmat kepada hamb-Nya tanpa bisa terhitung serta terus-menerus tanpa henti.

Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’, yang merupakan kitab fiqih madzhab Syafi’i, beliau berkata :

قال الشافعي والأصحاب: سجود الشكر سنة عند تجدد نعمة ظاهرة واندفاع نقمة ظاهرة، سواء خصته النعمة والنقمة أو عمت المسلمين… ولا يشرع السجود لاستمرار النعم، لأنها لا تنقطع

Imam Asy Syafi’i dan murid-murid beliau berkata, sujud syukur hukumnya sunnah dilakukan ketika mendapatkan nikmat yang besar atau ketika terhindar dari musibah yang besar. Baik nikmat dan bencana yang khusus bagi seseorang, maupun yang dialami kaum muslimin pada umumnya. Namun tidak disyariatkan sujud syukur untuk nikmat yang terus-menerus, karena nikmat dari Allah itu tidak pernah putus“.

Wallahu’alam

Sumber: http://islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=103772

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/10603-sujud-syukur-setiap-selesai-shalat.html

Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca Muslim.Or.Id sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Jumadats Tsaniyyah 1436 H di sore hari ba’da Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc (Pengasuh Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html

Sunnahnya Sujud Syukur

Bagaimana syariat Sujud Syukur dan bagaimana caranya?

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

211. Bab Sunnahnya Sujud Syukur Ketika Mendapatkan Nikmat atau Tercegah dari Musibah yang Tampak

Hadits #1159

عَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ مَكّةَ نُرِيْدُ المَدِينَةَ ، فَلَمَّا كُنَّا قَرِيباً مِنْ عَزْوَرَاءَنَزَلَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا اللهَ سَاعَةً ، ثُمَّ خَرَّ سَاجِداً ، فَمَكَثَ طَوِيْلاً ، ثُمَّ قَامَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ سَاعَةً ، ثُمَّ خَرَّ سَاجِداً – فَعَلَهُ ثَلاَثَاً – وَقَالَ : (( إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي ، وَشَفَعْتُ لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي ثُلُثَ أُمَّتِي ، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي شُكْراً ، ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِي ، فَسَألْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي ثُلُثَ أُمَّتِي، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي شُكْراً ، ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِي ، فَسَألْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي الثُّلُثَ الآخَرَ ، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ .

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah. Ketika kami telah dekat dengan Azwara’, beliau turun kemudian mengangkat kedua tangannya berdoa kepada Allah selama sesaat. Kemudian beliau menunduk sujud cukup lama. Setelah itu beliau berdiri, kemudian mengangkat kedua tangannya selama sesaat. Kemudian beliau menunduk sujud—beliau melakukannya tiga kali—lalu bersabda, “Aku telah meminta kepada Rabbku dan syafaat untuk umatku. Maka Allah memberiku sepertiga umatku, aku lalu menunduk bersujud kepada Rabbku sebagai tanda syukur. Kemudian aku mengangkat kepalaku, lalu meminta kepada Rabbku untuk umatku. Maka Allah memberiku sepertiga yang lain, lalu aku menunduk bersujud kepada Rabbku.” (HR. Abu Daud) [HR. Abu Daud, no. 2775. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif].

Keterangan hadits

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin (2:324) menyatakan bahwa hadits ini dhaif. Di dalamnya ada Musa bin Ya’qub Az-Zam’i yang jelek hafalannya dan gurunya adalah Yahya bin Al-Hasan bin ‘Utsman, ia adalah perawi yang majhul. Lalu gurunya adalah Al-Asy’ats bin Ishaq juga majhul al-haal, tidak ada yang menilai ia tsiqqah (terpercaya) kecuali Ibnu Hibban.

Dalil pendukung syariat sujud syukur

Meskipun hadits yang ada di Riyadhus Sholihin adalah dhaif, namun ada dalil-dalil lain yang mendukung adanya pensyariatan sujud syukur sebagai berikut.

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapatkan hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud, no. 2774 dan Tirmidzi, no. 1578. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sujud yang panjang, kemudian beliau mengangkat kepalanya, lantas beliau bersabda,

إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَتَانِى فَبَشَّرَنِى فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَسَجَدْتُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شُكْراً

Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam baru saja mendatangiku lalu memberi kabar gembira padaku, lalu berkata, “Allah berfirman: ‘Siapa yang bershalawat untukmu, maka Aku akan memberikan shalawat (ampunan) untuknya. Siapa yang memberikan salam kepadamu, maka Aku akan mengucapkan salam untuknya’. Ketika itu, aku lantas sujud kepada Allah sebagai tanda syukur.” (HR. Ahmad, 1:191 dan Al-Hakim, 1:735. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi).

Dari Al-Bara’ bin ‘Aazib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Ali ke Yaman–lalu disebutkan kelengkapan haditsnya–, lalu Al-Bara’ mengatakan,

فَكَتَبَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِإِسْلاَمِهِمْ ، فَلَمَّا قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْكِتَابَ خَرَّ سَاجِدًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ

“Ali menuliskan surat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi keislaman mereka (penduduk Yaman). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat tersebut, beliau tersungkur untuk bersujud.” (HR. Al-Baihaqi 2:404)

Dalil lainnya adalah hadits Ka’ab bin Malik bersyukur kepada Allah ketika menerima kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Hadits ini terdapat dalam riwayat Bukhari (53/2769).

Seputar sujud syukur

  • Sujud syukur ini dihukumi sunnah.
  • Sujud ini dilakukan ketika ada sebab yaitu saat mendapatkan nikmat yang baru atau terselamatkan dari suatu musibah, baik sebab tersebut berlaku bagi orang yang sujud ataukah pada kaum muslimin secara umum.
  • Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang baru. Adapun nikmat yang terus berulang, maka tidak perlu dengan sujud syukur seperti nikmat Islam, nikmat sehat, nikmat kaya dan semisal itu. Karena nikmat Allah tersebut terus didapatkan dan tidak terputus. Seandainya perlu adanya sujud syukur untuk nikmat yang ada terus menurus, barang tentu umur seseorang akan habis dengan sujud. Cukup syukur yang dilakukan ketika mendapatkan nikmat semacam itu adalah dengan mengisi waktu untuk ibadah dan melakukan ketaatan pada Allah.

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berkata,

لاَ يُشْرَعُ السُّجُوْدُ لاِسْتِمْرَارِ النِّعَمِ لِأَنّهَا لاَ تَنْقَطِعُ

“Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus meneru, nikmat seperti itu tidaklah terputus.”

  • Nikmat yang pantas disyukuri dengan sujud syukur seperti nikmat mendapat anak, saat menemukan barang hilang, atau ketika Allah menyelamatkan dari musibah.
  • Setelah memaparkan penjelasan di atas, Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan menyatakan bahwa sujud syukur adalah di antara ajaran Islam yang sudah mulai ditinggalkan saat ini oleh kaum muslimin, marilah ajaran tersebut dihidupkan saat kita menemukan sebabnya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:262.

Tata cara sujud syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21293-sunnahnya-sujud-syukur.html

Sujud Syukur, Bacaan, Tata Cara, dan Hikmahnya

Sujud syukur adalah salah satu cara bersyukur atas nikmat Allah. Bagaimana tata cara, bacaan dan hikmahnya? Berikut ini pembahasannya.

Mayoritas ulama berpendapat sujud ini hukumnya sunnah. Terutama para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Menurut madzhab Maliki, hukumnya makruh. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hukumnya makruh jika dikerjakan setelah sholat karena dikhawatirkan orang awam menganggapnya sebagai sujud tambahan yang disunnahkan atau diwajibkan.

Pengertian

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab menjelaskan, sujud syukur adalah melakukan sujud sebanyak satu kali ketika seseorang baru saja mendapat kenikmatan atau terlepas dari satu kesengsaraan. Bedanya dengan sujud tilawah, sujud ini hanya boleh dilakukan di luar sholat, tidak boleh dilakukan di dalam sholat.

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, sujud syukur adalah sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan atau terselamatkan dari bencana.

Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, berhujjah dengan beberapa hadits Nabi berikut ini:

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ يُسَرُّ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Dari Abu Bakrah bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meraih sesuatu yang disenangi atau diberi kabar gembira, beliau segera sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud; hasan)

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاتَّبَعْتُهُ حَتَّى دَخَلَ نَخْلاً فَسَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى خِفْتُ أَوْ خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ قَدْ تَوَفَّاهُ أَوْ قَبَضَهُ – قَالَ – فَجِئْتُ أَنْظُرُ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ « مَا لَكَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ ». قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ « إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى أَلاَ أُبَشِّرُكَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ لَكَ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan aku mengikutinya hingga masuk Nakhl. Lalu beliau bersujud dalam waktu yang cukup lama hingga saya takut kalau-kalau Allah mewafatkan beliau. Saya menghampiri beliau, tiba-tiba beliau mengangkat kepada dan bertanya, “Ada apa wahai Abdurrahman?”

Saya menceritakan perasaan tadi, maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam dan mengatakan, ‘Sukakah engkau kuberi kabar gembira? Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepadamu, ‘Barangsiapa membacakan sholawat kepadamu, maka Aku akan memberinya rahmat. Dan barangsiapa membacakan salam kepadamu, maka Aku akan memberinya keselamatan.’” (HR. Ahmad; hasan)

Tentang sujud ini, Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa Kaab bin Malik radhiyallahu ‘anhu melakukannya ketika menerima berita taubatnya diterima oleh Allah. Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu melakukan sujud ini ketika menemukan mayat Dzats Tsudaiyah, yakni pemuka golongan khawarij yang tewas.

Tata Cara Sujud Syukur

Sujud ini dilakukan sebagaimana sujud tilawah, yakni satu kali. Bedanya, sujud ini hanya dilakukan di luar sholat. Bentuk sujudnya sebagaimana sujud sholat pada umumnya, yakni didahului takbir lalu langsung sujud dan membaca bacaan sujud syukur.

Dalam contoh yang dilakukan Rasulullah, beliau menghadap kiblat lalu bersujud dan memanjangkan sujudnya. Setelah itu beliau mengangkat kepala.

Sujud syukur juga memerlukan syarat-syarat sebagaimana syarat-syarat sholat seperti suci dari hadats, pakaian dan tempatnya suci dari najis. Namun ada pula ulama yang berpendapat bahwa syarat-syarat itu tidak diperlukan karena sujudnya di luar sholat, tidak termasuk kategori sholat.

Imam Syaukani menjelaskan, “Dalam sujud sukur tidak terdapat hadits yang menjelaskan bahwa syarat melakukannya harus dalam keadaan berwudhu, suci pakaian atau tempat.”

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, boleh melakukan sujud ini di atas kendaraan. Jika berada di atas unta atau kendaraan yang menyulitkan, boleh bersujud dengan isyarat.

Secara praktis, tata cara sujud syukur adalah sebagai berikut:

  1. Menghadap kiblat
  2. Niat untuk sujud syukur
  3. Sujud seperti dalam sholat dengan membaca bacaan sujud syukur
  4. Duduk kembali
  5. Salam

Bacaan Sujud Syukur

Pada intinya, bacaan sujud syukur adalah memuji Allah, bersyukur kepada-Nya. Di antaranya bisa membaca bacaan sebagai berikut:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ

(Subhaanalloh walhamdulillah wa laa ilaaha illalloh walloohu akbar walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim)

Artinya:
Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, dan tiada daya dan kekuatan kecuali atas izin Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.

Kapan Disunnahkan?

Imam Syafi’i menjelaskan, sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat seperti ketika dikaruniai anak dan mendapatkan pangkat atau jabatan. Juga disunnahkan ketika terhindar dari bencana, misalnya selamat dari kebakaran, selamat dari tenggelam, melihat orang yang tertimpa musibah, bahkan saat melihat orang mempertontonkan kemaksiatan sedangkan ia diselamatkan Allah dari maksiat itu.

Para ulama Hanabilah menjelaskan, sujud ini disunnahkan ketika mendapatkan kenikmatan dan terhindar dari musibah. Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah dan sujudnya Abu Bakar ketika penaklukan Yamamah.

Dengan demikian, semua nikmat –terutama yang tak biasa- boleh sujud syukur. Misalnya kelahiran bayi, lulus ujian, diterima pekerjaan, lamaran diterima, menang perlombaan, dan sebagainya.

Hikmah Sujud Syukur

Sujud syukur adalah bentuk terima kasih dan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana rasa syukur itu sendiri, ia membawa beberapa hikmah sebagai berikut:

  1. Terhindar dari sikap sombong atas nikmat yang diterimanya. Dengan sujud syukur, ia menyadari bahwa nikmat yang diterimanya adalah anugerah dari Allah, bukan karena kehebatannya.
  2. Memperoleh kepuasan batin dan kebahagiaan hakiki.
  3. Mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahan dari Allah serta dihindarkan dari kemurkaan-Nya, sebagaimana keutamaan syukur dalam Surat Ibrahim ayat 7.
  4. Menjadi lebih dekat kepada Allah sehingga mendapat bimbingan, taufiq dan hidayah-Nya.

Demikian pembahasan sujud syukur mulai dari pengertian, tata cara, bacaan dan hikmahnya. Semoga bermanfaat serta menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang pandai bersyukur. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]


Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html

Manusia yang Pandai Bersyukur

Ketika kita menggemakan takbir terutama saat berhari raya tersirat pemahaman bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Mahabesar, sementara kita yang diciptakannya adalah kecil. Kita hina dan tak punya daya dan kekuatan untuk berkiprah, kecuali karena kemurahan dan kebesaran Allah. Karena itu, ketika kita telah merampungkan sebuah perjuangan (baca; Ramadhan), maka perbanyaklah takbir.

Dan hendaklah bertakbir atas anugerah yang telah Allah berikan. Semoga kalian menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan perintah puasa (QS [2]: 183).

Ramadhan mencetak kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa, akan senantiasa mengingat kebesaran Allah, termasuk semua nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Di lidah ia mengucapkan kalimat takbir, dalam amal perbuatan ia menerjemahkannya dengan rasa syukur. Karena itu, menjadi pribadi yang bertakwa belum cukup bila tidak dibarengi dengan pribadi yang bersyukur. Kenapa? Karena maqam syukur lebih tinggi dari maqam takwa. Sebab, syukur menjadi maqam-nya para nabi dan rasul. Karenanya, Allah menegaskan, hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersukur (QS Saba [34]: 13).

Syukur merupakan satu stasiun hati yang akan menarik seseorang pada zona damai, tenteram, dan bahagia. Ia juga akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus mendapatkan insentif pahala dan kenikmatan yang terus bertambah dari Allah SWT (QS Ibrahim [14:] 7).

Rasul SAW adalah manusia yang pandai bersyukur. Suatu ketika, beliau pernah ditanya Bilal, Apakah yang menyebabkan baginda menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, Tidakkah engkau suka aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

Dzunnun al-Mishri memberi tiga gambaran tentang manifestasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, kepada yang lebih tinggi urutan dan kedudukannya, maka ia senantiasa menaatinya (bit-tha’ah). Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amri  di antara kalian …” (QS an-Nisa [4]: 59).

Kedua, kepada yang setara, kita mengejawantahnya dengan bil-hadiyyah. Saling tukar pemberian. Kita harus sering-sering memberi hadiah kepada istri atau suami, saudara, teman seperjuangan, sejawat dan relasi. Dengan cara itu, maka akan ada saling cinta dan kasih.

Ketiga, kepada yang lebih bawah dan rendah dari kita, rasa syukur dimanifestasikan dengan bil-ihsan. Selalu memberi dan berbuat yang terbaik. Kepada anak, adik-adik, anak didik, para pegawai, buruh, pembantu di rumah dan semua yang stratanya di bawah kita, haruslah kita beri sesuatu yang lebih baik. Jalinlah komunikasi dan berinteraksilah dengan baik, dan kalau hendak men-tasharuf-kan rezeki, berikan dengan sesuatu yang baik (QS as-Syu’ara [26]: 215 dan al-Baqarah [2]:195). Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA