Surga Diprioritaskan Bagi Orang Miskin

ADA yang bertanya kepada al-Ustadz Ammi Nur Baits, “Apa benar, orang miskin masuk surga 40 tahun sebelum orang kaya? Benarkah Nabi Sulaiman masuk surga tertunda 40 tahun setelah para nabi?”

Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa badu. Terdapat hadis dari Muadz secara marfu yang menyatakan,

Semua para nabi masuk surga 40 tahun sebelum Nabi Sulaiman bin Daud. Dan kaum muslimin yang miskin masuk surga 40 tahun sebelum kaum muslimin yang kaya. Hamba yang sholeh masuk surga 40 tahun sebelum hamba yang lain

Derajat Hadis:

Hadis ini diriwayatkan at-Thabrani dalam Mujam al-Kabir no. 142. Kemudian at-Thabrani memberi keterangan, bahwa sanad hadis ini perawinya secara beruntun hanya satu orang: az-Zuhri Syuaib Amr Harun.

Kata at-Thabrani,

Tidak ada yang meriwayatakan hadis ini dari az-Zuhri selain Syuaib, tidak ada yang meriwayatkan dari Syuaib selain Amr, tidak ada yang meriwayatkan dari Amr selain Harun. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kecuali dengan sanad ini..

Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan at-Thabrani, dari jalur Syuaib bin Khalid, yang sendirian meriwayatkan dari az-Zuhri, dan beliau orang Kufah yang tsiqqah.”

Sementara al-Haitsami dalam Majma az-Zawaid mengomentari hadis ini, “Diriwayatkan at-Thabrani dari gurunya Ali bin Said ar-Razi, dan beliau layinul hadis (hadisnya lembek). Sementara perawi lainnya tsiqqah, dan ada sebagian perawi yang diperselisihkan ulama.”

Setelah menyebutkan beberapa komentar ulama, tim fatwa Syabakah Islamiyah menyatakan, “Sanad semacam ini lebih dekat kepada derajat dhaif dari pada derajat hasan.” (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 134422).

Karena itulah, sebagian ulama dengan tegas menolak hadis ini. Di antaranya al-Qurthubi dalam tafsirnya. Pernyataan bahwa Nabi Sulaiman alaihis salam tertunda 40 tahun masuk surga, ini bertentangan dengan firman Allah, yang menceritakan tentang nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada Sulaiman,

“Inilah anugerah Kami; silakan kamu berikan (kepada orang lain) atau kamu simpan (untuk dirimu sendiri) dengan semuanya tanpa hisab. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (QS. Shad: 39 40)

Hasan al-Bashri mengatakan,

Setiap kekayaan manusia, Allah berhak untuk menghisab kenikmatan yang dia miliki, kecuali Sulaiman bin Daud alaihis salam. Karena Allah menegaskan, “Inilah anugerah Kami” (smp akhir ayat)..

Kemudian al-Qurthubi mengatakan,

Ayat ini membantah apa yang disebutkan dalam hadis bahwa nabi terakhir yang masuk surga adalah Sulaiman bin Daud alaihis salam, karena dia menjadi raja dan punya kekayaan di dunia. Dalam riwayat lain, bahwa Sulaiman baru masuk surga 40 tahun setelah para nabi. Dan ini hadis yang tidak ada sanadnya. Karena jika anugrah dari Allah itu dijamin tidak akan dihisab, mengingat itu murni pemberian, maka dengan alasan apa Sulaiman menjadi nabi terakhir yang masuk surga. Sementara Allah telah menegaskan, “sesungguhnya Sulaiman mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Tafsir al-Qurthubi, 15/204).

Mereka Lebih Dulu Masuk Surga

Hanya saja, di sana terdapat hadis shahih tentang orang miskin masuk surga sebelum orang kaya. Akan tetapi tidak ada hubungannya dengan Sulaiman.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma,

“Sesungguhnya kaum muhajirin yang miskin, mereka mendahului masuk surga pada hari kiamat, 40 tahun sebelum orang kaya.” (HR. Ahmad 6735, Muslim 7654, dan Ibnu Hibban 678).

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim yang miskin akan masuk surga sebelum orang muslim yang kaya dengan selisih setengah hari, yang itu setara dengan 500 tahun.” (HR. Ahmad 8521, Turmudzi 2528, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dan dua hadis ini tidaklah bertentangan. Al-Qurthubi memahaminya bahwa perbedaan ini kembali kepada perbedaan keadaan orang miskin dan orang kaya yang bersangkutan. Jika persaingan itu terjadi antar-sesama Muhajirin, selisihnya masuk surga antara miskin dan kaya terpaut 40 tahun. Sementara selain Muhajirin, setengah hari di waktu kiamat, sepadan dengan 500 tahun. (at-Tadzkirah, al-Qurthubi, hlm. 548). Allahu alam

 

konsultasisyariah

“Saya Tahu Jalan Pintas Menuju Surga”

Ja’far al-Khuldi – rahimahullah – berkata: Saya mendengar al Junaid – rahimahullah – berkata: Saya mendengar Sari as-Saqathi berkata, “Saya tahu jalan pintas menuju surga:

Jangan meminta apa pun pada seseorang, jangan mengambil apa pun dari seseorang, sementara Anda tidak memiliki apa pun yang bisa Anda berikan pada orang lain.”

Dikisahkan dari al-Junaid bahwa ia berkata, “Tidak dibenarkan seseorang mengambil sesuatu dari orang lain sehingga la lebih suka mengeluarkan (memberi) daripada mengambil.”

Abu Bakar Ahmad bin Hamawaih, sahabat ash-Shubaihi – rahimahullah – berkata, “Barangsiapa mengambil karena Allah maka ia mengambil dengan penuh hormat, dan barangsiapa meninggalkan (tidak mengambil) sesuatu karena Allah maka ia juga mengambil dengan penuh hormat. Dan barangsiapa mengambil bukan karena Allah maka la mengambil dengan hina dan barangsiapa tidak mengambil bukan karena Allah maka dia juga tidak mengambil dengan hina.”

Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata: Aku mendengar az-Zaqqaq berkata, “Yusuf ash-Shayigh datang menjemputku di Mesir dengan membawa kantong berisi dirham. Ia ingin memberiku sesuatu. Namun tangannya aku kembalikan ke dadanya. Lalu ia berkata, ambillah uang ini dan jangan Anda kembali padaku. Sebab andaikan aku tahu bahwa aku memiliki sesuatu, aku memberi Anda sesuatu, tentu aku tidak akan memberikan pada Anda.”

Saya mendengar Ahmad bin Ali berkata: Aku mendengar Abu Ali ar-Rudzabari – rahimahullah – berkata: Aku tidak pernah melihat etika (adab) yang lebih baik dalam memberikan kelembutan dan kasih sayang pada orang-orang fakir daripada adab yang dilakukan Ibnu Rafi’ ad-Dimasyqi.

Aku melihatnya ketika aku bermalam di rumahnya. Pada malam itu aku bercerita tentang Sahl bin Abdullah yang pernah berkata, “Ciri orang fakir yang jujur adalah tidak meminta, tidak menolak dan tidak menyimpan.” Ketika aku mau pergi meninggalkannya, la membawa sejumlah dirham. Ia berdiri di sebelahku mengangkat tempat air. Lalu ia berkata padaku, “Bagaimana Anda bercerita tentang Sahl bin ‘Abdullah?” Tatkala aku selesai mengisahkannya dan aku berka kepadanya, “Janganlah Anda meminta dan jangan pula menolak, maka ia segera melemparkan dirham-dirham itu ke tempat airku lalu ia pergi meninggalkanku.

Abu Bakar az-Zaqqaq – rahimahullah – berkata, “Kedermawanan bukanlah seorang yang berada memberi pada yang tidak punya, akan tetapi kedermawanan adalah orang yang tidak punya memberi kepada orang yang berada.”

Dikisahkan dari Abu Muhammad al-Murta’isy – rahimahullah – yang berkata, “Menurut saya, mengambil tidak bisa dibenarkan sehingga Anda datang kepada orang yang Anda mengambil darinya. Maka Anda mengambil untuknya dan bukan untuk Anda.

Dikisahkan dari Ja’far al-Khuldi dari al Junaid – rahimahullah – yang berkata: Satu hari aku pergi menemui Ibnu al-Kurraini dengan membawa dirham yang ingin aku berikan kepadanya, dengan anggapan la tidak mengenalku. Aku meminta padanya agar la sudi mengambil dirham yang kubawa untuknya. Kemudian la berkata, “Aku tidak membutuhkan dirham.”

Ia tidak mau mengambilnya. Lalu aku berkata kepadanya, “Jika engkau tidak membutuhkannya, maka aku adalah seorang muslim yang sangat senang bila engkau mau mengambil pemberianku ini. Maka silakan engkau mengambilnya untuk menyenangkan hatiku.” Akhirnya ia mau mengambilnya.

Disebutkan dari Abu al-Qasim al-Munadi rahimahullah- bahwa jika la melihat asap mengepul dari sebagian rumah tetangganya, maka ia akan berkata pada orang-orang yang ada disekitarnya, “Pergilah Anda kepada mereka, dan katakan pada mereka, ‘Berilah saya bagian dari apa yang engkau masak!” Ada seseorang di antara mereka yang berkata, “Barangkali mereka hanya memasak air.” Maka la berkata, “Berangkatlah kepada mereka, apa yang bisa diandalkan oleh orang-orang kaya itu kecuali memberikan sesuatu pada kita dan mereka meminta syafaat dengan pemberiannya itu di akhirat.”

Al Junaid – rahimahullah – berkata: Aku membawa uang dirham kepada Husain bin al-Mishri, dimana istrinya sedang melahirkan. Mereka sedang berada di gurun sahara yang tidak punya tetangga. Namun la tidak mau menerima pemberianku. Kemudian dirham itu kuambil kembali dan kulemparkan ke dalam kamar di mana istrinya berada sembari berkata, “Wahai istri Husain ini untukmu!” Akhirnya ia tidak bisa berkutik untuk menolak apa yang aku lakukan.

Yusuf bin al-Husain – rahimahullah – ditanya, “Jika aku mempersaudara seseorang karena Allah, kemudian aku keluar, kepadanya dengan membawa semua hartaku. Lalu apakah aku telah menunaikan semua hak-haknya dari apa yang Allah berikan kepadaku?”

Maka la menjawab, “Bagaimana Anda bisa melakukannya dengan rendahnya mengambil dan menemukan kemuliaan memberi bila dalam memberi ada kemuliaan sementara dalam mengambil ada kerendahan?”

-Syeikh Abu Nashr as-Sarraj. [sufinews]

 

MOZAIK

Orang Ini Merasa Paling Layak di Surga

SUATU ketika, seorang yang dikenal saleh melihat Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sinai. Mengetahui bahwa Musa ingin bertemu Tuhannya, orang saleh itu mendatangi utusan Tuhan itu.

Ia berkata, “Wahai kalimullah, seumur hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan shalat, puasa, dan segala yang diwajibkan dalam agama. Untuk itu, saya banyak menanggung derita. Namun itu tidak menjadi masalah bagi saya, saya hanya ingin memastikan apa yang Tuhan persiapkan untukku di hari kebangkitan kelak. Tolong tanyakan pada-Nya”

“Baik,” kata Musa. Lalu Nabi pembawa risalah Taurat ini melanjutkan perjalanannya hingga bertemu seorang pemabuk di pinggir jalan.

“Mau ke mana,?” tanya pemabuk itu. Belum sempat Musa menjawab, pemabuk itu berkata, “Tolong tanyakan pada Tuhan tentang nasibku. Saya ini peminum yang berlumur dosa. Tidak pernah shalat, puasa dan berbuat amal saleh lainnya. Tanyakan padaNya, apa yang telah dipersiapkan untukku.”

Nabi Musa menyanggupi dan menyampaikan pesannya pada Tuhan. Setelah kembali dari Bukit Sinai, Musa bertemu pertama kali pada orang saleh. Kepadanya Musa menyampaikan jawaban Tuhan, “Bagimu pahala yang besar dan surga.”

“Saya memang sudah menduganya,” kata orang saleh itu sebelum pergi meninggalkan Musa. Tidak lama kemudian, Musa bertemu sang pemabuk yang sedang duduk menanti. Kepadanya Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkanmu tempat yang paling buruk.”

Mendengar jawaban utusan Tuhan itu, pemabuk itu melonjak dari duduknya dengan wajah berseri-seri dan seketika rasa bahagianya meledak dengan haru dan gembira. Musa heran dengan sikap pemabuk itu yang menanggapi apa yang disiapkan Tuhan untuknya dengan gembira.

“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang Tuhan persiapkan untukku. Bagiku yang berlumur dengan dosa ini, sangat senang karena Tuhan masih mengingatku. Ketika semua orang tidak mengenaliku, saya yang hina ini masih dikenal Tuhan!” ungkap pemabuk itu dengan penuh kebahagiaan yang tulus.

Nasib keduanya pun akhirnya berubah di Lauhul Mahfudz. Orang saleh itu bertukar tempat dengan pemabuk. Orang saleh menempati Neraka, dan si pemabuk menempati surga. Karena takjub, Musa bertanya pada Tuhannya dan dijawab, “orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak mendapat anugerahKu. Karena anugerahKu tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang kedua membuatKu senang, karena apapun yang Aku berikan padanya ia senang. Kesenangannya pada pemberianKu menyebabkan Aku senang kepadanya.”[]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356871/orang-ini-merasa-paling-layak-di-surga#sthash.ERdM9mx3.dpuf

Jin Masuk Surga Sebagaimana Manusia?

JAWABANNYA: Firman Allah dalam AlQuran: “Dan apabila petunjuk-Ku datang kepadamu.” (Thaahaa: 123)

Adalah ditujukan kepada orang-orang yang diturunkan Allah Ta’ala dari surga dengan firman-Nya, “Turunlah semua dari surga itu kamu berdua, sebagian dari kamu menjadi musuh sebagian yang lain.” (Thaahaa: 123)

Setelah itu Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila petunjuk-Ku datang kepadamu.”

Kedua hal di atas ditujukan kepada bapak jin dan bapak manusia. Ini menunjukkan bahwa jin mendapat perintah serta larangan dari Allah Ta’ala. Mereka juga tercakup dalam syariat-syariat para nabi, dan kejahatan mereka juga layak mendapat hukuman. Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka
sebagaimana diutus kepada manusia. Semua ini tidak diperselisihan para ulama.

Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang apakah jin yang muslim juga masuk surga? Mayoritas ulama berpendapat bahwa jin muslim akan masuk surga, dan jin yang kafir akan masuk neraka. Ada juga yang mengatakan bahwa pahala jin yang muslim hanyalah keselamatan dari siksa neraka namun tidak akan masuk surga. Karena surga hanya dimasuki oleh Adam dan keturunannya, dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Orang-orang yang mengatakan bahwa jin muslim juga akan masuk surga memiliki beberapa argumentasi.

Pertama. Dalam ayat 123 dari surah Thaahaa di atas, Allah Ta’ala memberitakan bahwa barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Nya, maka ia tidak akan merasa takut, sedih, tersesat dan menderita. Ini merupakan konsekuensi dari kesempurnaan nikmat-Nya. Tidak bisa dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menunjukkan peniadaan azab, karena sudah menjadi kesepakatan bahwa jin mukmin tidak akan disiksa.

Seandainya ayat di atas hanya menunjukkan peniadaan azab, maka itu bukanlah pujian bagi manusia yang mukmin, namun sekedar informasi peniadaan ketakutan dan kesedihan. Sebagaimana diketahui bahwa konteks dan maksud ayat adalah bahwa orang yang mengikuti petunjuk Allah Ta’ala, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paling besar dan terhindar dari penderitaan yang sangat pedih.

Allah Ta’ala mengungkapkan semua itu dengan meniadakan rasa takut dan kesedihan tersebut sesuai dengan tuntutan keadaan. Sehingga, ketika Allah Ta’ala menurunkan Adam Alaihi Sallam dari surga, maka ia dirundung rasa takut, kesedihan dan penderitaan. Lalu Allah memberitahukan kepadanya bahwa Dia memberikan janji baginya dan bagi keruturunannya.

Yakni, barangsiapa mengikuti petunjuk-Nya, maka akan terhapus ketakutan, kesedihan, kesesatan, dan penderitaan darinya. Dan dimaklumi bahwa semua itu tidak akan hilang kecuali dengan masuk ke surga. Tetapi, dengan menyebutkan peniadaan keburukan yang paling berat adalah lebih tepat.

Kedua. Firman Allah Ta’ala, “Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata, Diamlah kamu untuk mendengarkannya. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka berkata, Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah seruan orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.'” (al-Ahqaaf: 29-31)

Dalam ayat di atas Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita tentang ancamanNya terhadap para jin, yaitu barangsiapa yang memenuhi seruan utusan-Nya, maka akan diampuni dan dibebaskan dari neraka. Seandainya ampunan bagi mereka hanya berupa pembebasan dari azab, maka cukup dengan firman-Nya, “Dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” Akan tetapi, kesempurnaan ampunan itu adalah masuk ke surga dan selamat dari neraka. Sehingga barangsiapa yang mendapat ampunan dari Allah, maka dia masuk surga.

Ketiga. Firman Allah Ta’ala tentang bidadari di surga, “Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (ar-Rahmaan: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa jin dan manusia yang beriman akan masuk surga, dan bahwa bidadari di dalamnya belum pernah disentuh oleh mereka. Maka, ini menunjukkan jin-jin yang beriman dapat menyentuh bidadari setelah mereka masuk surga, sebagaimana yang terjadi pada manusia. Seandainya mereka tidak masuk surga, tentulah tidak pantas bagi mereka menerima berita seperti itu.

Keempat. Firman Allah Ta’ala, “Maka jika kami tidak dapat membuatnya, pasti kamu tidak akan dapat membuatnya. Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga itu, mereka mengatakan, Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 24-25)

Di antara jin ada yang mukmin dan ada yang kafir, sebagaimana dikatakan oleh jin-jin saleh di antara mereka, “Dan sesungguhnya dari kami ada orang-orang taat dan ada pula orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (al-Jinn: 14)

Maka karena golongan jin yang kafir masuk dalam ayat kedua (al-Jinn: 14), maka golongan jin mukmin juga harus masuk dalam ayat pertama (al-Baqarah: 25).

Kelima. Firman Allah Ta’ala tentang jin-jin yang saleh. “Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.” (al-Jinn: 14)

Maksud ar-rusyd di sini adalah petunjuk dan kemenangan, yaitu petunjuk dari Alquran. Maka, barangsiapa tidak masuk surga, dia tidak memperoleh tujuan dari petunjuk tersebut, melainkan petunjuk tersebut sekedar dalam pengetahuannya saja.

Keenam. Firman Allah Ta’ala, “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah diberikannya kepada siapa yang dikehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Hadiid: 21)

Golongan jin yang mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan para rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka termasuk orang-orang yang memperoleh berita gembira dan berhak menerimanya.

Ketujuh. Firman Allah Ta’ala, “Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Yunus: 25)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan seruan-Nya bersifat umum, dan menjadikan hidayah-Nya bersifat khusus. Maka, barangsiapa mendapatkan petunjukNya, dia termasuk yang diseru kepada petunjuk-Nya itu. Jadi jin yang mandapatkan hidayah-Nya, adalah termasuk yang diseru kepada hidayah itu.

Kedelapan. Firman Allah Ta’ala. “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dan golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan-Ku hari ini? Mereka berkata, Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri. Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orangorang yang kafir. Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah. Dan masingmasing orang memperoleh derajat-derajat seimbang dengan apa yang dikerjakannya. Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-Anam: 128-132)

Penjelasan ayat ini adalah umum untuk jin dan manusia. Dalam ayat tersebut Allah SWT memberitakan kepada mereka bahwa masing-masing mereka memiliki derajat sesuai dengan amalnya. Sebagai konsekuensinya, maka jin yang melakukan kebajikan juga memiliki derajat sesuai dengan amalnya, sebagaimana manusia.

Kesembilan. Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. (Fushshilat: 30)

Dan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak ada pula berduka cita. Mereka-mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Ahqaaf: 13-14)

Ayat ini kami jadikan dalil, karena tiga alasan. Pertama, kata penghubung (alladziina) di dalam ayat tersebut bersifat umum. Kedua, disebutkannya pahala setelah hal-hal terpuji yang disebutkan sebelumnya. Dan ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyandang hal-hal tersebut berhak menerima pahala itu. Hal-hal terpuji tersebut adalah ikrar bahwa tiada tuhan selain Allah disertai dengan istiqamah.

Ketetapan ini adalah umum karena keumuman sebab. Apabila masuk surga adalah konsekuensi dari kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan pengakuan akan rububiyah-Nya, disertai dengan konsisten terhadap segala perintah-Nya, maka barangsiapa yang melakukan hal ini, dia pun berhak atas balasan tersebut.

Ketiga, Allah Ta’ala berfirman, “Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak ada pula berduka cita. Mereka-mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Ahqaaf: 13-14)

Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih adalah penghuni surga. Dan, tentang siapa yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih telah disebutkan dalam firman Allah, “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka mereka tidak akan merasa takut dan merasa sedih.” (al-Baqarah: 38)

Ayat ini meliputi dua golongan, dan ayat ini menujukkan bahwa siapa saja yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih, maka dia adalah penghuni surga.

Kesepuluh. Jika jin-jin yang kafir masuk neraka karena keadilan Allah, maka masuknya jin-jin yang mukmin ke surga karena kemuliaan dan kasih sayang Allah adalah lebih utama. Sebab, kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya dan kebaikan lebih umum daripada keadilan. Oleh karena itulah, tidak akan masuk neraka kecuali mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka. Berbeda dengan surga, ia dapat dimasuki oleh mereka yang tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali.

Karena Allah Ta’ala telah menciptakan golongan untuk surga yang akan menempatinya tanpa harus melakukan amal kebajikan. Di dalam surga juga Allah akan menaikkan derajat hambahamba-Nya tanpa ada usaha dari mereka, melainkan karena doa, salat, sedekah dan perbuatan baik yang dihadiahkan orang lain kepada mereka. Merupakan ketetapan Alquran serta kesepakatan umat, bahwa jin kafir akan masuk neraka karena keadilan Tuhan dan karena apa yang mereka perbuat.

Sedangkan, jin-jin mukmin akan masuk surga karena kemuliaan Allah dan karena amal mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa jin-jin mukmin tersebut berada di dasar surga, di mana mereka dapat dilihat oleh penghuni surga lainnya tapi mereka sendiri tidak melihat penghuni surga lainnya. Menurut pendapat ini, kondisi mereka di surga ini kebalikan di dunia, di mana jin-jin tersebut dapat melihat anak-cucu Adam, sedangkan anak-cucu Adam tidak dapat melihat mereka.

Akan tetapi, hal seperti ini tidak dapat diketahui tanpa ada dalil yang tidak bisa dibantah. Dan jika dalil tersebut memang benar, maka itu wajib diikuti. Namun jika tidak ada dalil yang mendukungnya, maka pendapat ini sekedar disampaikan agar dapat diketahui, sedangkan kebenarannya tergantung pada dalil. Wallaahu aalam.

[Sumber: Miftah Darus Saadah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356295/jin-masuk-surga-sebagaimana-manusia#sthash.nutWnSqu.dpuf

9 Nama Surga yang Tak Banyak Muslim Ketahui

SURGA adalah sebuah nama yang telah dikenal oleh setiap manusia, baik muslim maupun kafir sebagai tempat yang penuh dengan kenikmatan. Namun hanya muslim lah yang berhak untuk tinggal di surga, adapun orang kafir, tempat kembalinya adalah neraka.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. Al-Bayyinah: 6-8)

Surga berarti kebun yang di dalamnya terdapat banyak pohon dan kurma. Sebagian ulama bahasa mengatakan, “Tidaklah disebut jannah/surga dalam bahasa arab kecuali di dalamnya terdapat pohon kurma dan anggur.” Sebagian yang lain mengatakan, disebut surga/jannah karena lebatnya pohon yang ada di dalamnya dan ranting / dahannya memberikan naungan bagi yang berada di bawahnya. Nama-Nama Surga:

1. Darussalam

Allah Taala berfirman, “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal shalih yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-Anam: 127)

Sebagian ulama mengatakan, “Disebut darussalam karena surga adalah tempat yang terbebas dari hal yang kotor, hal yang membahayakan dan hal yang tidak disukai”. Pendapat yang lain mengatakan artinya Darullah, karena As-Salam adalah salah satu nama Allah.

2. Jannatul Khuld

Allah Taala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Apakah (adzab) seperti itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa sebagai balasan, dan tempat kembali bagi mereka?” (QS. Al-Furqan: 15)

Disebut dengan nama ini karena penduduk surga itu kekal berada di dalam surga, tidak berpindah posisi ke tempat yang lain, dan tidak mencari cari tempat lain selain surga.

3. Jannatul Mawa

Allah Taala berfirman, “(yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 14-15)

4. Darul Muqamah

Allah Taala berfirman, “Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu”. (QS. Fathir: 34-35)

5. Jannatu Adn

Allah Taala berfirman, “Dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. Ash-Shaff: 12)

6. Maqadu Shidq

Allah Taala berfirman, “Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.” (QS. Al-Qamar: 54-55)

7. Qadama Shidq

Allah Taala berfirman, “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb kalian.” (QS. Yunus: 2)

8. Al-Maqamul Amin

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam tempat yang aman.” (QS. Ad-Dukhan: 51)

9. Jannatun Naim

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Luqman: 8)

Apakah Firdaus Termasuk Nama Surga?

Firdaus adalah salah satu bagian dari surga yang letaknya paling mulia dan yang paling tinggi. Allah Taala berfirman, “Sungguh, orang yang beriman dan beramal shalih, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Ummu Haritsah, “Wahai Ummu Haritsah, sesungguhnya di sana terdapat banyak Surga dan sungguh anakmu telah mendapat Firdaus (Surga) yang paling tinggi.” (HR. Al-Bukhari No. 3982)

Demikianlah penjelasan singkat tentang pengertian surga dan nama-nama surga yang terdapat di dalam Alquran. Semoga bermanfaat. [Referensi: Kitab Washful Jannah Karya Musthafa Al Adawi/Wiwit Hardi P.]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2354265/9-nama-surga-yang-tak-banyak-muslim-ketahui#sthash.c84498PE.dpuf

Bisakah Kita Masuk Surga Tanpa ke Neraka Dahulu?

PERTANYAAN ini tentu sering diajukan oleh berbagai macam orang atau bahkan menggelitik perasaan kita sendiri. Apakah kita sebagai seorang muslim sudah pasti masuk surga? Apakah kita harus “dicuci” terlebih dahulu di neraka baru diperbolehkan mencicipi surga? Atau bagaimana caranya agar kita masuk surga tanpa harus ke neraka terlebih dahulu?

Menurut Ustaz Ahmad Sarwat Lc, mungkin saja ada orang yang masuk surga langsung, tanpa harus masuk ke neraka lebih dahulu. Dan orang-orang seperti itu bukan terbatas pada nabi dan rasul saja.

Di masa nabi shallallahu ‘alaihiw asallam, ada seorang wanita yang berzina lalu hamil. Namun dia bertobat dan minta dihukum rajam hingga mati. Ketika jenazahnya sudah tergelatak, Umar bin Al-Khattab mencacinya, namun dicegah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam malah mengatakan bahwa wanita ini telah diampuni semua dosanya dengan kualitas tobat yang cukup untuk dibagikan kepada 70 ahli Madinah.

Di dalam Alquran bertabur ayat yang menggambarkan orang-orang yang meninggal dan langsung masuk surga, tidak perlu mampir di neraka. Banyak caranya, tapi kunci utamanya hanya satu, yaitu mati dalam keadaan tidak punya dosa apapun. Kalau pun ada dosa, hanya sedikit dan bisa tercover dengan pahala amalan yang sangat banyak.

Tidak Ada Jaminan Langsung Masuk Surga

Tidak ada seorang pun yang dijamin untuk langsung masuk surga, kecuali hanya para nabi dan rasul saja. Para sahabat nabi yang mulia, para tabi’in, tabi’it tabi’in, para ulama besar sepanjang sejarah termasuk para orang saleh yang masyhur, tidak ada satu pun yang pernah ada yang menjamin mereka pasti masuk surga, tanpa lewat neraka.

Sebab semua itu rahasia Allah Ta’ala, akan seperti apa nasib kita di akhirat nanti. Boleh jadi seseorang di dunia ini dikenal sebagai orang yang saleh di mata manusia, tapi di mata Allah Ta’ala belum tentu saleh. Boleh jadi dia punya amal yang banyak, tapi siapa yang tahu kalau amalnya itu sia-sia, atau tidak diterima, atau habis karena harus menebus banyak kesalahan dan dosa yang tidak terlihat di mata manusia.

Semua itu adalah misteri ilahi, tidak ada yang tahu dan bisa menilainya di dunia ini, kecuali hati nurani masing-masing dan tentunya Allah Ta’ala. Namun di balik semua itu, kita pun juga tidak boleh berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Sebab selain sifat-Nya Yang Maha keras siksa-Nya, Allah Ta’ala juga tuhan yang Maha Pengampun dan Penyayang.

Maka mintalah ampun tiap hari dan sepanjang masa, atas semua dosa yang kita lakukan. Baik yang kita sengaja atau pun yang tidak kita sengaja. Baik yang kecil maupun yang besar. Kalau nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dijamin tidak punya dosa itu saja masih minta ampun sehari tidak kurang 100 kali, maka bagaimana dengan kita?

Yang penting sekarang ini kita berserah diri kepada semua yang telah Allah perintahkan, serta menjauhkan diri dari segala yang dilarangnya. Bahkan kita pun tidak boleh memandang enteng orang yang ‘biasa-biasa’ saja. Mungkin di dunia ini tidak pernah dikenal sebagai orang yang banyak amalnya, tetapi ternyata di akhirat mendapat perhitungan yang dimudahkan Allah, sehingga masuk surga langsung dengan mudahnya.

Maka posisi kita haruslah berada antara dua perasaan, yaitu khauf (takut) dan raja’ (harapan). Takut atas ancaman masuk neraka karena banyak dosa. Dan harapan akan mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah. Keseimbangan di antara keduanya akan melahirkan iman yang kuat dan rasa cinta yang mendalam kepada Allah.

Sebaliknya, kalau hanya takut saja, akhirnya akan menjadikan kita selalu berputus asa. Kalau hanya harapan saja, bisa-bisa kecewa di akhirat nanti dan di dunia ini tidak pernah takut dosa. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2355733/bisakah-kita-masuk-surga-tanpa-ke-neraka-dahulu#sthash.11cs9cDu.dpuf

Jalan ke Surga

Allah SWT menyatakan bahwa surga adalah tempat tinggal yang diliputi kedamaian dan keselamatan (dar al-salam). Sehubungan dengan itu, Allah SWT menyeru manusia untuk berlomba-lomba menuju ke dar al-salam. Dia berfirman, “Allah menyeru (manusia) ke dar al-salam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS Yunus [10]: 25).

Jalan lurus yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan Islam. Dalam kaitan ini, Allah SWT memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang yang dikehendaki-Nya melalui dua instrumen penting, yakni akal dan wahyu. Dengan begitu, orang yang beruntung mendapatkan keduanya sangat berpeluang meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sejatinya hidayah aqliyah diberikan Allah SWT kepada semua orang. Tetapi, supaya lebih optimal, hidayah aqliyah tersebut harus dikembangkan lebih lanjut. Katakanlah dengan cara mengambil, menimba, dan menambah ilmu. Mengambil, menimba, dan menambah ilmu perlu dilakukan sepanjang hayat dikandung badan.

Rasulullah SAW mengingatkan, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak juga dinar. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil ilmu maka dia telah mengambil keuntungan yang sangat besar.” (HR Tirmidzi). Islam dibangun di atas ilmu yang bisa mengenalkan seseorang kepada Allah SWT.

Dengan ilmu, seseorang akan lebih dekat kepada Allah SWT yang telah menciptakannya. Bila seseorang sungguh-sungguh dalam mengambil, menimba, dan menambah ilmu, dia akan mendapatkan apa-apa yang dicita-citakannya. Mengambil, menimba, dan menambah ilmu dalam Islam adalah wajib.

Hal tersebut diklasifikasikan menjadi dua: wajib ain (kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam secara individual) dan wajib kifayah (kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam secara kolektif). Pertama, wajib ain. Kewajiban ini sangat ditekankan kepada umat Islam secara individual karena di akhirat setiap individu akan mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing.

Contohnya, ilmu yang merupakan alat untuk menjaga akidah wajib dimiliki oleh setiap individu. Kedua, wajib kifayah. Kewajiban ini sangat ditekankan kepada umat Islam secara kolektif karena mereka membutuhkan kolektivitas dalam mempertahankan keberadaan dan kewibawaan Islam. Sehingga, umat Islam tidak akan disepelekan/dimarginalkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam.

Contohnya, ilmu yang merupakan alat untuk menjaga kestabilan ekonomi berlandaskan Islam (ekonomi syariah) wajib dikembangkan oleh umat Islam. Umat Islam (secara individul dan secara kolektif) tidak boleh merasa telah bebas dari kewajiban mengambil, menimba, dan menambah ilmu.

Dalam konteks ini, mereka harus tetap semangat melakukannya supaya derajatnya di sisi Allah SWT dari hari ke hari semakin meningkat. Allah SWT menjanjikan, “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (QS al-Mujadalah[58] : 11).

Rasulullah SAW menegaskan: “Orang yang melewati jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.Wallahu a’lam.

 

Oleh: Mahmud Yunus

sumbr: Republika Online

Ini Penyebab Firdaus sebagai Surga Tertinggi

IBNUL Qoyim mengatakan,

Makhluk yang paling suci, paling tinggi, paling bercahaya, paling mulia, paling atas posisinya, dan paling luas adalah Arsy Allah ar-Rahman. Karena itulah, layak Dia beristiwa di atasnya. Dan semua yang lebih dekat dengan Arsy, maka dia lebih bercahaya, lebih suci, dan lebih mulia dibandingkan yang di bawahnya. Untuk itulah,surga firdaus menjadi surga yang paling tinggi, paling mulia, paling bercahaya, dan paling agung, karena dia paling dekat dengan Arsy. Dan Arsy adalah atapnya. (al-Fawaid, hlm. 27)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memotivasi agar umatnya meminta kepada Allah surga firdaus. Mungkin ada orang berkomentar, “Surga, surga, tapi ngaca diri dong.. masak mintasurga yang paling tinggi?”

Ini kesalah pahaman. Dalam masalah akhirat, kita diminta untuk mencari yang terbaik. Bukan pesimis. Agar manusia terpacu untuk selalu berlomba. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat paham, ketaKwaan umatnya tidak sama. Sehingga balasan yang mereka terima akan berbeda. Namun beliau memotivasi mereka untuk minta Firdaus, menumbuhkan optimis mereka untuk mendapatkan yang terbaik di akhirat.

Al-Mubarokfury mengatakan,

Ini menunjukkan bahwa firdaus berada di atas semua tingkatansurga. Karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda mengajarkan umatnya dan memperbesar harapan untuk mereka, “Jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus”. (Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, 7/201)

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

sumber:MozaikInilah.com

3 Syarat Menuju Surga

Dalam kitab sahihnya, Imam Muslim menyebutkan sebuah hadis riwayat dari Abu Hurairah RA yang menyatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada para sahabat, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai antarsesama. Maukah kalian, aku tunjukkan suatu perbuatan, jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai, yaitu tebarkan salam di antara kalian.”

Hadis ini menegaskan, syarat-syarat yang harus dilakukan seseorang jika ingin masuk surga dan syarat-syarat ini saling berkelindan antara yang satu dengan yang lain.

Pertama, orang tersebut harus beriman. Iman dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mempercayai adanya Allah SWT dan meyakini bahwa Allah merupakan Tuhan alam semesta, Yang Maha Pencipta dan Mahakuasa atas segalanya. Percaya adanya malaikat-malaikat Allah dan meyakini bahwa mereka tidak pernah membangkang kepada Allah dan selalu melaksanakan semua perintah-perintah-Nya.

Percaya bahwa Allah menurunkan kitab suci sebagai pedoman bagi umat manusia agar mereka selamat di dunia dan akhirat. Percaya bahwa Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk membimbing umatnya ke jalan yang benar. Percaya akan adanya hari kiamat dan kehidupan-kehidupan setelahnya sebagai hari pembalasan. Dan, percaya akan qadha dan qadar yang telah Allah tentukan bagi segenap makhluk-Nya.

Kedua, saling mencintai antarsesama. Ini merupakan syarat seseorang untuk bisa beriman. Karena, tanpa adanya syarat ini, seseorang tidak bisa disebut beriman. Mencintai sesama maksudnya adalah memperlakukan orang lain sama dengan dirinya.

Jika ia senang diperlakukan dengan baik oleh orang lain maka senyatanya orang lain juga ingin diperlakukan dengan baik pula olehnya. Demikian juga sebaliknya, ketika ia tidak ingin diperlakukan buruk oleh orang lain maka orang lain juga tidak ingin mendapat perlakukan yang tidak baik darinya.

Dalam hadis yang lain disebutkan, “Tidak beriman seseorang dari kalian sampai ia mencintai sesuatu untuk orang lain, sebagaimana ia mencintainya untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari). Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Nabi Muhammad sampai bersumpah tiga kali, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Orang yang membuat orang-orang dekatnya tidak aman dari keburukannya.” (HR Bukhari).

Dari berbagai hadis ini, syarat agar seseorang mendapat kesempurnaan iman maka ia harus mencintai antarsesama manusia, bahkan sesama makhluk Allah. Dan, di antara bukti kecintaan seseorang pada orang lain adalah ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan oleh orang lain.

Ketiga, menyebarkan salam. Ini merupakan petunjuk dari Nabi agar seseorang bisa mencintai antarsesama manusia. Menyebarkan salam maksudnya setiap bertemu orang mengucapkan, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” yang artinya kita mendoakan mereka, “Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkahnya tercurah pada kalian!”

Jika ada orang yang setiap bertemu orang lain selalu menyampaikan pesan damai ini maka orang yang ada di sekitarnya akan merasa aman, nyaman, dan damai. Sehingga, orang tersebut akan dicintai oleh masyarakat sekitarnya.

Dan, jika ketiga syarat ini terpenuhi, yaitu menyebarkan salam, saling mencintai antarsesama, dan mendasari keduanya dengan keimanan maka ia pantas masuk surga dengan damai.

Oleh: Abdul Syukur

 

Sumber: Republika Online

Hidangan Penduduk Surga

Matan hadits

1. Abdul Malik bin Syu’aib bin Al-Laits telah memberitahukan kepada kami, bapakku telah memberitahukan kepadaku, dari kakekku, Khalid bin Yazid telah memberitahukan kepadaku, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Zaid bin Aslam, dari Atha` bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Pada hari kiamat nanti, bumi bagaikan sepotong roti yang digoyang-goyangkan oleh Rabb Yang Maha Kuasa dengan tangan-Nya, sebagaimana seorang di antara kalian menggoyang-goyangkan rotinya dalam perjalanan yang menjadi hidangan bagi penduduk surga.”

Tiba-tiba datang seorang Yahudi lalu berkata, “Semoga Rabb Yang Maha Pengasih memberkatimu, wahai Abul Qasim! Maukah engkau mendengar pemberitahuanku tentang hidangan penduduk surga pada hari kiamat?”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Ya”

Orang itu berkata, “Bumi bagaikan sepotong roti,” persis seperti yang disabdakan oleh RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam.

Mendengar perkataan itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memandang ke arah kami kemudian tertawa hingga tampak gigi-gigi geraham beliau.

Orang itu berkata lagi, “Maukah engkau aku beritahukan tentang lauk mereka?“

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Ya!“

Orang itu berkata, “Lauk mereka adalah palam dan nun.“ Para sahabat bertanya, “Apakah itu?“ Orang itu menjawab, “Yaitu banteng dan ikan paus, yang kelebihan hatinya saja (segumpal daging yang terpisah dan tergantung pada hati) dapat dimakan oleh tujuh-puluh ribu orang.“            (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Yahya bin Habib Al-Haritsi telah memberitahukan kepada kami, Khalid bin Al-Harits telah memberitahukan kepada kami, Qurrah telah memberitahukan kepada kami, Muhammad telah memberitahukan kepada kami, dari Abu Hurairah ia berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Seandainya ada 10 orang Yahudi yang mengikutiku; tentu semua orang yahudi di muka bumi ini masuk agama Islam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tafsir hadits

Masalah makna Tangan Allah Ta’ala sudah dimaklumi dan maksudnya bukanlah tangan yang digunakan untuk menyakiti sesuai dengan keagungan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11).

Makna hadits, bahwa Allah Ta’ala menjadikan bumi ini seperti roti, roti yang besar seperti hidangan bagi penduduk surga. Dan Allah Ta’ala Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Perkataannya, “Lauk mereka adalah palam dan nun.” Para sahabat bertanya, “Apakah itu?“ Orang itu menjawab, “Yaitu banteng dan ikan paus, yang kelebihan hatinya saja (segumpal daging yang terpisah dan tergantung pada hati) dapat dimakan oleh tujuh-puluh ribu orang.”

Kata النُّوْنُ (nun) berdasarkan kesepakatan ulama maknanya ikan paus. Sedangkan بَالاَمُ banyak sekali pendapat ulama tentang maknanya, di antara pendapat yang shahih yang dipilih oleh Al-Qadhi dan ulama-ulama pentahqiq lainnya bahwa ternyata lafazh itu dari bahasa ibrani yang ditafsirkan maknanya dengan sapi jantan (banteng).

Karenanya ketika mendengar kalimat itu para shahabat bertanya kepada orang Yahudi tersebut; seandainya kalimat itu dari bahasa Arab; tentu para shahabat mengetahuinya dan tidak perlu bertanya tentang maknanya kepada orang Yahudi itu.

Pendapat inilah yang dipilih tentang penjelasan makna lafazh hadits tersebut.

Sedangkan lafazh, “kelebihan hatinya“ maksudnya, segumpal daging yang terpisah dari hati tapi bergantung padanya, dan itu merupakan bagian yang paling bagus dari hati.

Adapun perkataannya, “dapat dimakan oleh tujuh-puluh ribu orang.“

Al-Qadhi berkata, “Ada kemungkinan mereka itu adalah 70.000 orang yang masuk surga tanpa dihisab; maka disuguhkan pada mereka hidangan khusus yang paling bagus.

Mungkin juga lafazh 70.000 itu untuk mengungkapkan jumlah yang banyak dan bukan maksudnya membatasi jumlahnya sampai 70.000 orang saja; hal semacam ini sudah maklum dalam perkataan bahasa arab.“ Wallahu A‘lam.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Seandainya ada 10 orang Yahudi yang berbai‘at kepadaku; tentu semua orang yahudi di muka bumi ini masuk agama Islam“ Pengarang kitab At-Tahrir berkata, maksudnya 10 orang yahudi itu adalah 10 rabi Yahudi.

 

sumber: Fimadani.com