Apakah Dasar Negara Indonesia Bertentangan dengan Islam?

Apakah dasar negara Indonesia bertentangan dengan Islam. Hal ini menjadi heboh kembali dibicarakan oleh publik. Pasalnya, baru-baru ini, publik dikejutkan dengan seorang wanita yang memakai cadar, tertangkap saat hendak menyerobot masuk ke istana negara.

Diketahui bahwa nama wanita tersebut adalah Siti Elina (24 Tahun). Saat dibekuk ternyata dia membawa senjata api.  Setelah diinterogasi, ternyata ia hendak menyatakan bahwa dasar negara Indonesia ini salah. Pancasila ini bukan Islam menurutnya, sehingga ia hendak menyampaikan ini ke bapak presiden.

Lalu apakah benar bahwa Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai Islam? 

Sebelum itu, perlu diketahui terlebih dahulu bahwasanya terkait politik Islam ini Al-quran dan hadis tidak menerangkan secara spesifik bentuk dan sistem ketatanegaraan. Al-quran hanya fokus pada perilaku baik dan buruk pemimpin secara personal. 

Demikian juga hadis Nabi saw. hanya menyindir soal kedisiplinan pemimpin berikut tata integrasi sosialnya. Justifikasi ini berangkat dari pendapat Imam Haramain, di mana beliau mengatakan;

وَلَا مَطْمَعَ فِي وِجْدَانِ نَصٍّ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فِي تَفَاصِيلِ الْإِمَامَةِ. وَالْخَبَرُ الْمُتَوَاتِرُ مُعْوِزٌ أَيْضًا

“Tidak akan ditemukan dalam Alquran keterangan yang menjelaskan secara rinci tentang isu pemerintahan. Hadis mutawatir juga mengalami kekosongan penjelasan tentang hal ini.” (Abu al-ma’ali Al-Juwaini, Ghiyats al-umam fi al-tiyab al-dzalam, halaman 61)

Dengan demikian, usulan Siti Elina ini sudah terbantahkan, sebab spirit Islam dalam konteks pemerintahan adalah terwujudnya keadilan, bukan malah mendirikan bentuk pemerintahan tertentu. 

Bahkan secara tegas, Status “keislaman” Indonesia ini sudah dibahas oleh seorang akademisi fikih yang wafat tahun 1320 Hijriah, kisaran 102 tahun yang lalu. Sidi Al-Habib Abdurrahman al-Masyhur Ba’alawi secara eksplisit mengatakan;

مسألة : ي: كُلُّ مَحَلٍّ قَدَرَ مُسْلِمٌ سَاكِنٌ بِهِ عَلَى الْاِمْتِنَاعِ مِنَ الْحَرْبِيِّيْنَ فِيْ زَمَنٍ مِنَ الْأَزْمَانِ يَصِيْرُ دَارَ إِسْلَامٍ ، تَجْرِيْ عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ فِيْ ذَلِكَ الزَّمَانِ وَمَا بَعْدَهُ ، وَإِنْ انْقَطعَ اِمْتِنَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بِاسْتِيْلَاء الْكُفَّارِ عَلَيْهِمْ وَمَنْعِهِمْ مِنْ دُخُوْلِهِ وَإِخْرَاجِهِمْ مِنْهُ ، وَحِيْنَئِذٍ فَتَسْمِيَتُهُ دَارَ حَرْبٍ صُوْرَةٌ لَا حُكْمًا ، فَعُلِمَ أَنَّ أَرْضَ بَتَاوِيْ بَلْ وَغَالِبُ أَرْضِ جَاوَةَ دَارُ إِسْلَامٍ لِاسْتِيْلَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا سَابِقًا قَبْلَ الْكُفَّارِ

“Setiap tempat (wilayah) yang dihuni kaum muslim yang mampu mempertahankan diri dari (dominasi) kaum harbi (musuh) pada suatu zaman tertentu, dengan sendirinya menjadi Darul Islam yang berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum saat itu.  

Meskipun (suatu saat) mereka tak lagi mampu mempertahankan diri akibat dominasi kaum kafir yang mengusir dan tidak memperkenankan mereka masuk kembali.  Dengan demikian, penyebutan wilayah itu sebagai darul harbi (negara perang)hanya formalitas, bukan status yang sebenarnya. 

Maka, menjadi maklum bahwa Bumi Betawi dan sebagian besar Tanah Jawa (yang kini dikenal dengan istilah Indonesia) ialah Darul Islam karena telah terlebih dahulu dikuasai kaum muslimin. (Bughyat al-Mustarsyidin, halaman, 254) 

Tentunya dengan keterangan ini bisa diambil kesimpulan bahwa sistem pemerintahan Indonesia ini sudah sah dan legal dalam kaca mata fikih, bahkan dianggap sebagai negara Islam. 

Lalu apakah dasar negara Indonesia, yang dalam hal ini adalah pancasila,  bertentangan dengan Islam? Dengan tegas, Tim Bahtsul Masail PP Lirboyo, Kediri Jawa Timur, merumuskannya sebagaimana redaksi berikut;

المبادئ الخمسة التي هي الأساس الفريد للحياة الوطنية في بلادنا لا تعارض الإسلام، لأن في معانيها روح الإسلام

“Pancasila merupakan asas tunggal (dasar negara) bagi republik Indonesia, yang mana ini tidak bertentangan dengan Islam, bahkan esensinya Pancasila ini justru memuat nilai-nilai keislaman”. (Tim Bahtsul Masail Himasal, Fikih al-Muwathanah nasyr rahmat al-Islam,  Halaman 47).

Ternyata memang benar adanya, tidak ada satu sila pun dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam.  Sebutlah semisal sila pertama, Ketuhanan yang maha esa ini bertendensi pada surat al-ikhlas ayat 1 yang mengatakan “Katakanlah wahai Muhammad, Dia (Allah) adalah dzat yang maha Esa”. 

Sudah banyak yang membahas ini, tinggal mereka berkenan membacanya atau tidak. Bahkan secara tegas, Syaikhul Azhar sekarang, Prof Dr Ahmad Tayeb ketika menerima kunjungan Seorang menteri menyampaikan bahwasanya “Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan (isi Pancasila) merupakan intisari ajaran Islam.” (Nu Online

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya Negara Indonesia sudah sangat Islami, pengakuan ini disampaikan oleh banyak tokoh internasional. Maka sudahi mengotak atik sistem negara, fokus saja pada memakmurkan negara agar nilai-nilai keislaman mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.

Jadi dasar negara Indonesia tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan Indonesia negara Indonesia, sudah menjadi negara Islam dengan sendirinya, tanpa harus ada embel-embel khilafah dan sebagainya.

BINCANG SYARIAH

‘Mematuhi Protokol Covid, Berarti Menjalankan Syariat Islam’

Pemuka agama dan ulama memiliki peran penting untuk mencegah penularan COVID-19.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan para pemuka agama dan ulama memiliki peran penting untuk mencegah penularan COVID-19. Caranya dengan mengajak umat dan masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan.

“Dalam situasi seperti inilah, saya menilai peran para ulama dan pemuka agama sangatlah penting dengan terus mengajak umat dan masyarakat untuk selalu mematuhi kedisiplinan dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan,” kata Ma’ruf Amin saat menutup Muktamar IV Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) yang diselenggarakan secara virtual dari Jakarta, kemarin.

Kepatuhan terhadap protokol kesehatan menjadi kunci penting dalam mencegah penularan COVID-19 semakin meluas. Karena, vaksin dan obat untuk penyakit akibat virus tersebut masih dalam tahap penelitian.

Pengabaian terhadap protokol kesehatan akan berisiko tinggi bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. ”Hal ini harus disadari sebagai kepentingan sekaligus kewajiban bersama kita semua,” tegasnya.

Ajaran Islam
Oleh karena itu, para pemuka agama dan ulama diharapkan turut mengampanyekan penerapan protokol kesehatan COVID-19 kepada masyarakat. Utamanya dengan mengajak umat mengenakan masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak.

Dengan menaati protokol kesehatan, maka hal itu sama dengan mematuhi ajaran agama Islam untuk menjaga diri sendiri, orang lain dan sesama manusia untuk tidak tertular penyakit.

Membiarkan diri tertular berarti membahayakan diri sendiri. Sedangkan, menularkan penyakit kepada orang lain adalah membahayakan diri orang lain.

“Oleh karena itu, menjaga protokol kesehatan bukan sekedar mematuhi anjuran pemerintah, tetapi merupakan perintah agama yang harus ditaati dan itu berarti menjalankan syariat Islam,” ujarnya.

Wapres juga mengatakan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia masih belum menunjukkan hasil baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka kasus penularan, meskipun angka kesembuhan juga ikut naik.

Perkembangan pandemi COVID-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Namun, meskipun jumlah penularan masih terus naik, katanya, Indonesia juga mencatat jumlah kesembuhan yang semakin meningkat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tidak Ada Pertentangan (Kontradiksi) dalam Syariat Islam

Sahabat muslim, syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan tidak ada kontradiksi di dalamnya

Prinsip Seorang Muslim

Prinsip yang harus diketahui dan diyakini oleh seorang muslim adalah bahwa tidak ada pertentangan (kontradiksi) dalam syariat Islam, baik yang didapatkan dari Al-Qur’an ataupun hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Tidak ada kontradiksi antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain; atau antara hadits shahih yang satu dengan hadits shahih yang lain; dan tidak ada pula pertentangan antara ayat Al-Qur’an dengan hadits yang shahih. 

Petunjuk Al-Qur’an

Prinsip tersebut didapatkan dari Al-Qur’an, di antaranya firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat [41]: 42)

Al-Qur’an Selamat dari Kontradiksi dan Terjaga dari Kebatilan.

Hadits yang Shahih

Demikian pula hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga selamat dari kontradiksi. Hal ini karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ؛ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53]: 3-4)

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]: 44)

Sehingga As-Sunnah itu kedudukannya sama dengan Al-Qur’an, selama hadits tersebut shahih (valid) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika Ada “kesan” Kontradiksi

Dalil-dalil di atas jelas menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau ada “kesan” kontradiksi dalam syariat, maka bisa jadi karena beberapa kemungkinan: (1) kurangnya pemahaman (al-fahmu) dalam menelaah dalil-dalil tersebut; (2) karena kurangnya ilmu (al-‘ilmu); dan (3) kurangnya usaha untuk memahami dan merenungkan dalil (at-tadabbur).

Jika tiga hal ini (al-fahmu, al-‘ilmu, dan at-tadabbur) terkumpul dalam diri seorang muslim, maka tidaklah mungkin ada kesan yang muncul dalam diri seseorang bahwa ada kontradiksi dalam syariat, baik yang berasal dari Al-Qur’an ataupun hadits yang valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan masalah ini pun dipelajari secara mendalam dalam ilmu ushul fiqh.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53812-tidak-ada-pertentangan-kontradiksi-dalam-syariat-islam.html