Shalawat Tarhim, Melisma yang Memantik Rindu

Berpuluh tahun, shalawat Tarhim semacam jadi ciri khas akustik Islam di Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke. Apa cerita di baliknya? Kapan ia mula-mula dilantangkan? Siapa pendarasnya? Mengapa ia sedemikian manjur membuat hati terenyuh? Wartawan Republika Andrian Saputra, Dadang Kurnia, Adinda Pryanka, dan Fitriyan Zamzami mencari tahu soal itu. Berikut tulisan bagian keempat dan terakhirnya.

 

Asshalatu wassalamun ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulallah

Ashalatu wassalamun ‘alaik, ya nashiral huda ya khaira kholqilllah

Tak terbilang kerinduan yang disulut bait-bait tersebut. Buat sebagian masyarakat Indonesia, ia bisa jadi memicu kenangan soal kampung halaman. Saat jadi pertanda buat bangun kala subuh maupun berhenti bermain untuk bersiap ke langgar atau mushala dan masjid terdekat. Buat lainnya, seperti persis yang dimaksudkan bait-bait itu, ia memunculkan kerinduan mendalam terhadap junjungan, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam.

Ahli Qiraat Indonesia Akhsin Sakho Muhammad mengatakan, ada tiga poin yang menyebabkan Shalawat Tarhim begitu istimewa. Salah satunya, karena ada ikatan batin yang kuat antara shalawat tersebut dengan Indonesia.

“Shalawat ini pertama kali dilantunkan oleh Syekh Mahmud Khalil Al-Husary yang kabarnya direkam di Indonesia pada 1960-an,” tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (23/3).

Meski tidak mendengar secara langsung, atau bukan dengan sistem suara kelas atas pun, Akhsin mengakui rekaman suara lantunan Shalawat Tarhim langsung menyentuh kalbunya. Menurutnya,dengan suara Syekh Al-Husary yang lembut tapi tegas, Shalawat Tarhim meninggalkan bekas mendalam bagi siapapun yang mendengarkan.

Keistimewaan kedua adalah fungsi Shalawat Tarhim yang digunakan sebagai penanda akan masuknya waktu shalat. Sebelum adanya shalawat ini, Akhsin menambahkan, orang Indonesia belum menemukan satu bentuk lantunan yang pas untuk pengingat.

“Tapi, setelah adanya Shalawat Tarhim, kita menggunakan ini di mana-mana untuk mengukur waktu sebelum shalat,” ucapnya.

Rintihan Syekh Al-Husary tentang kerinduannya terhadap jejak Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam menjadi keistimewaan Shalawat Tarhim berikutnya bagi Akhsin. Meski terdengar singkat, apabila diuraikan, shalawat ini bisa bermakna panjang dan mendalam karena menceritakan perjalanan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam yang penuh bermakna.

 Asshalatu wassalamun ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulullah

Ashalatu wassalamun ‘alaik, ya nashiral huda ya khaira kholqilllah

Secara lirikal, Shalawat Tarhim berisi pujian-pujian terhadap kebesaran pribadi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Shalawat itu kemudian mengutip sejumlah kejadian dalam Isra Mi’raj guna menegaskan keutamaan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Sebagian pendengar di Indonesia bisa jadi tak paham dengan isi shalawat sehubungan terbatasnya penguasaan Bahasa Arab. Pertanyaannya, mengapa mereka tetap tergugah?

Peneliti kawakan seni membaca Alquran dari Universitas Texas, Prof Kristina Nelson mencatat, gaya membaca Alquran ala Mesir mulai meretas jalannya menuju dominasi gaya di dunia pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Masa-masa itu seiring Tarhim mulai direkam di Indonesia. Kala itu, mucul qari-qari handal semacam Syekh Al-Husary, Syekh Muhammad Rifat, Syekh Abdul Basit Abdul Samad, Syekh Muhammad Salamah, Syekh Kamil Yusuf al-Bathimi, dan legenda-legenda lainnya.

Yang istimewa dari para pendaras di Mesir, tulis Nelson dalam bukunya The Art of Reciting the Qur’an (1985), mereka menerapkan maqamat alias skala melodik khas musik Arab dalam pembacaan. Dibanding skala musik Barat, maqamat lebih kerap menggunakan not-not renik (ajnaz) pada setengah, bahkan seperempat nada.

Ciri khas lainnya dari maqamat adalah penggunaan melisma. Ia adalah teknik menyanyikan satu silabel dalam rangkaian beberapa nada alih-alih menyanyikan satu silabel dalam satu nada saja. Selain itu, ada juga kekhasan maqamat soal bagaimana ia menutup larik, teknik yang dalam seni musik dikenal sebagai cadence.

Dampak dari rerupa teknik dalam maqamat itu, jenis emosi pendengar yang coba dipantik bisa jauh lebih beragam ketimbang sekadar not mayor dan minor pada musik Barat. Maqam Rast, misalnya, biasanya digunakan memicu rasa bangga yang maskulin, Maqam Bayati yang memicu kebahagiaan feminin, Maqam Saba untuk menggambarkan nelangsa dan kesedihan.

Para qari di Mesir, kata Nelson, sangat ahli menerapkan rerupa variabel seperti pilihan nada, tempo dan jeda, melisma, gaya qiraah, pilihan ayat, serta konteks dalam tilawah Alquran mereka untuk memicu emosi-emosi tertentu dari pendengar.

Dalam Shalawat Tarhim, Syekh Al-Husary terbilang efektif menerapkan teknik-teknik tersebut. Dari segi konteks, ia memilih lirik-lirik penuh kerinduan, menyanyikannya dengan nada yang tak sekalipun meleset dari skema, kemudian menutup masing-masing larik dengan melisma panjang yang menuruni tangga nada tetapi naik tetiba pada akhir cadence.

Syekh Hussary juga menjeda bacaannya dan kerap memulai secara dramatis. Kombinasi hal-hal tersebut menimbulkan kesan bahwa Syekh Al-Husary bersungguh-sungguh. Bahwa rindu dan penghormatannya pada Nabi Muhammad SAW tak dibuat-buat.

Ada ikatan batin yang kuat antara Shalawat Tarhim dengan Indonesia.

Cara menutup larik dengan melisma menuruni tangga nada seperti pada Tarhim juga jamak digunakan para musisi Blues di Amerika Serikat guna memicu kerinduan dan nelangsa dalam aransemen musik mereka. Bukan rahasia, seperti dicatat profesor sejarah Afrika-Amerika, Sylfiane Diouf, musik Blues punya akar dari tradisi melisma yang dibawa para budak dari Afrika Barat yang sebagian besar beragama Islam.

Secara saintifik, getaran jiwa yang dipicu nada-nada yang menggerakkan kerap disebut frisson dari bahasa Prancis yang terjemahannya kurang lebih ‘getaran estetika’. Frisson ini bukan hanya bisa datang dari musik. Ia juga bisa datang dari karya-karya seni dan sastra lainnya.

Sejauh ini, telah banyak penelitian soal mengapa manusia merasakan frisson saat mendengarkan musik tertentu. Seorang ahli neurosaintik dari Estonia, Jakk Panksepp, misalnya, menyimpulkan lewat penelitiannya bahwa manusia lebih mudah tergetar dengan musik-musik dengan alunan perlahan dan melisma yang cenderung menurun nadanya.

Pada akhirnya, rerupa konteks dan variabel membuat Shalawat Tarhim begitu istimewa. Keindahannya serta rasa dan nuansa yang ia pantik membuatnya mampu bertahan sekian lama mewarnai lanskap suara Tanah Air. Seiring waktu, lantunan seorang qari yang luar biasa berbakat asal Mesir tersebut malih menjadi kekhasan Islam di Indonesia. Jadi pengingat kampung halaman, jadi pemicu rindu yang mendalam terhadap Penghulu Para Nabi.

 

REPUBLIKA