Syiah dan Kegagalan Mempropagandakan Imamah

Abu Bakar dan Umar meski memimpin dengan amanah, adil, jujur dan ihlas, tidak dianggap sebagai khalifah Islam oleh kaum Syiah, tapi sebagai perampok yang mengambil alih hak Ali sebagai pengganti Rasulullah.

 

Oleh: Bahrul Ulum

MINGGU ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh status yang menamakan Emilia Renita AZ, istri Jalaluddin Rahmat, yang menyatakan bahwa Tuhan kaum Syiah berbeda dengan Tuhan umat Islam. Hal ini ia tulis dalam status akun Facebook Emilia Renita AZ yang diposting pada Selasa (04/10/2014).

Dalam statusnya, Emilia mengutip tokoh syiah Al-Gharawi yang mengatakan bahwa, “Tuhan kita (syiah) adalah Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Ali, sedangkan Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Muhammad maka bukan Tuhan kita. Shollu ‘Ala Nabii……”

Namun kabar yang baru saya dapatkan, Emilia menampik jika status akun itu adalah miliknya. [Baca: Emilia Renita: Saya Tak Tanggapi Fitnah dan Akun Facebook Palsu ]

Sebenarnya pernyataan seperti itu bukan hal baru dalam ajaran Syiah. Dan tulisan ini tidak membahas soal akun asli atau palsu.
Selain Al-Ghawari juga ada tulisan ulama hadits kenamaan Syiah bernama Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi dalam kitabnya “Al-Anwar An-Nu’maniyyah” mengenai hal yang sama. Ia menulis,”Kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami”. (Nikmatullah Al-Jazairi, Al-Anwar An-Nu’maniyyah, Jilid II/ hal 278).

Kalau kita telaah kitab-kitab Syiah, pernyataan seperti itu sebenarnya merupakan cerminan kegagalan Syiah memprogandakan konsep Imamah. Mereka sangat kecewa dengan nash-nash al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang ternyata tidak secara eksplisit menerangkan tentang konsep tersebut.

Kekecewaan itu kemudian diantaranya dengan menyalahkan Rasulullah karena dianggap menyembunyikan masalah tersebut. Dalam hal ini Khumaini dalam bukunya menulis bahwa seandainya Nabi Muhammad menyampaikan perkara Imamah sebagaimana yang Allah perintahkan (padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini, niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan berkobar…..” [Khumaini,Kasyful-Asraar, hal. 155].

Tentu saja tuduhan Khumaini ini tidak berdasar, karena Rasulullah telah menyampaikan semua ajaran yang diterimanya dari Allah. Tidak ada satupun khabar atau informasi yang beliau sembunyikan. Rasululah merupakan manusia yang paling takut kepada Allah dibanding manusia lainnnya. Dalam hal ini Allah berfirman:“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah (5): 670).
Ayat ini menurut para ahli tafsir sebagai jaminan dari Allah bahwa Rasulullah tidak akan terbunuh dalam menyampakaikan ajaran Islam. Beliau akan wafat setelah semua ajaran Islam tersampaikan kepada umat manusia.

Ternyata Rasulullah Memilih Abu Bakar dan Umar

Kekecewaan kaum Syiah bukan saja mereka tujukan kepada Rasulullah, tetapi juga kepada para sahabat beliau. Mereka menuduh para sahabat telah merampas hak Ali dalam soal Imamah. Ketiga khalifah sebelum Imam Ali, yaitu Abu Bakar, Umar dan Ustman dianggap sebagai perampok yang merampas hak Ali dalm masalah kekhalifahan.

Abu Bakar dan Umar meski memimpin dengan amanah, adil, jujur dan ihlas, tidak dianggap sebagai khalifah Islam oleh kaum Syiah, tapi sebagai perampok yang mengambil alih hak Ali sebagai pengganti Rasulullah. (Nashir Abdullah Ibnu Ali al-Qofari, Ushul Mazhab Syiah, hal 825)

Karena alasan itulah hingga saat ini kaum Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar. Sebagai bentuk kebencian terhadap dua sahabat Rasulullah itu, mereka selalu melaknat keduanya dalam do’a harian. Al-Kaf’ami dalam kitabnya al-Mishbah, menyebutkan doa yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan dengan Doa Shanamai Quraisy (doa atas dua berhala Quraisy).

Dia menyebutkan bahwa doa ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua berhala Quraiys, dan kedua jibt dan thaghutnya (maksudnya: syetan yang disembah selain Allah-Pent), kedua tukang dustanya, dan kedua putrinya yang telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari wahyu-Mu.” (Taqiuddin Ibrahim Ibnu Ali Husein ibnu Muhammad ibnu Shaleh al-Amili Kaf’ami, al-Mishbah, hal. 552)

Bahkan mereka menyalahkan secara total apa yang dilakukan oleh khalifah sebelum Ali, yang menurut kaum Syiah diangkat berdasar pemikiran atau persetujuan kaum muslimin. Bagi kaum Syiah, cara seperti ini dianggap melawan atau menentang wasiat Nabi Muhammad. Karena itu mereka menganggap ketiga khalifah sebelum Ali telah murtad dan kafir. Demikian pula orang yang mengakui kekhalifahan mereka juga dianggap sesat, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang belakangan. ( al-Majalisi, Bihar al-Anwar, juz IV, hal. 385)

Berdasar keyakinan ini Syiah secara mutlak tidak mengakui kepemimpinan khalifah sebelum Ali karena mereka dipilih oleh manusia.
Padahal dalam persoalan kekhalifahan, Ali bin Abi Thalib tidak sebagaimana yang mereka yakini. Ali termasuk seorang sahabat yang tidak gila kekuasaan dan jabatan. Dalam kitab rujukan Syiah sendiri, yaitu Nahjul Balaghah, disebutkan bahwa Imam Ali menolak ketika akan diangkat menjadi khalifah/imam. Ia berkata: “Da’uuniy wal tamisuu ghairiy (Carilah orang selain aku)” (Sayid Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah 91)

Demikian juga saat khalifah Umar hendak wafat, beliau memilih 6 orang untuk melakukan syuro, supaya memilih diantara mereka sebagai penggantinya. Kemudian 3 orang dari mereka mengundurkan diri, lalu Abdurrahman bin Auf r.a. juga ikut mengundurkan diri, tinggal Utsman r.a. dan Ali r.a. Dalam kondisi seperti ini Imam Ali tidak mengatakan kepada mereka bahwa beliau telah menerima wasiat kekhalifahan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam.

At-Thabarsy juga mengutip perkataan Muhammad Al-Baqir bahwa Ali menetapkan kekhilafahan Abu Bakar, mengakui akan keimanannya, turut mengangkatnya dengan kekuasaannya, sebagaimana yang disebutkan bahwa Usamah bin Zaid yang mencintai Rasul tatkala ia siap untuk berangkat, Rasul berpulang ke Al-Malaul A’la. Setelah ia menerima pemberitahuan akan kewafatan Rasulullah, ia kembali bersama pasukannya memasuki kota Madinah. Maka tatkala ia melihat bahwa manusia mengangkat Abu Bakar, ia mendatangi Ali bin Abi Thalib dan bertanya: “Apa ini?”. Ali menjawab: “Sebagaimana yang engkau lihat”. Berkata Usamah: “Apakah engkau turut mengangkatnya(Abu Bakar)?. Ali pun menjawab: “Iya”. (Abi Mansur Ahmad ibnu Ali ibnu Abi Thalib al-Thabarasy, al-Ihtijaj, Juz I,/hal.115

Adapun Ali yang terlambat membai’at Abu Bakar, diterangkan oleh ulama Syiah sendiri yaitu Ibnu Abil Hadid: “Kemudian berdiri Abu Bakar, berpidato kepada orang banyak dan menyatakan keuzurannya, berkata: “Sungguh pengangkatan saya adalah kekhilafan, mudah-mudahn Allah menghindarkan akan bahayanya. Aku takut akan fitnah, Demi Allah. Aku tak pernah menginginkannya walau hanya satu hari, aku sudah diserahi tugas yang amat berat lagi besar, aku merasa tak kuat dan tak mampu, aku ingin agar ada orang yang lebih kuat yang menggantikanku.’ Begitulah Abu Bakar mengakui keberatannya. Golongan Muhajirin menerima keberatan itu dan berkata Ali dan Zubair: “Kita tidak marah, kecuali melalui musyawarah, dan kami memandang Abu Bakar manusia paling berhak dengan pengangkatan itu, karena ia adalah teman Rasul di dalam gua, kami mengetahui pengalamannya, dan ialah yang diperintahkan Rasul untuk menggantikan beliau untuk memimpin shalat di saat Rasul masih hidup”. ( Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, juz II, hal.50).

Pernyataan Imam Ali ini menunjukkan bahwa ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar. Jika kekhalifahan harus berdasar nash, tentu ia tidak akan mengakui kekhalifahan Abu Bakar.

Demikian juga para sahabat yang lain telah sepakat bahwa tidak ada wasiat dari Rasulullah mengenai Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti beliau. Disamping itu seandainya memang benar Nabi SAW bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataan-Nya/janji-Nya.

Bahkan ironisnya ada riwayat dari kitab Syiah yang dengan jelas menerangkan Rasulullah memberi tahu Khafsah, salah satu istrinya bahwa yang menggantikan beliau sebagai khalifah adalah Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan oleh al-Majlisi dan lainnya dari Imam Ja’far Shadiq berkata “Ketika nabi membisikkan kepada sebagian istrinya, yaitu Khafsah. Berkata Shadiq, ‘Dia telah ingkar dengan perkataanya’ ……..”Sesungguhnya Rasulullah memberi tahu Khafsah bahwasanya ayahnya (yaitu Umar bin Khatab) dan Abu Bakar Shidiq nanti bakal memimpin setelah beliau.” Maka keduanya (Abu Bakar dan Umar) mempercepat kematian Nabi dengan memberi racun. Lalu Allah memberitahu Nabi atas perbuatan kedua orang itu.” (Al-Majalisi,Biharul Anwar, Juz XXII/hal 246)

Meski riwayat tersebut dimaksudkan untuk mencela Abu Bakar dan putrinya serta Umar dan putrinya yang akan meracuni Rasulullah, namun penulis riwayat ini kurang jeli sehingga memasukkan cerita tentang Rasulullah yang memberitahu Khafsah bahwa ayahnya Umar dan sahabatnya Abu Bakar akan menjadi pemimpin atau Imam.*

Penulis adalah Sekretaris Umum Majelis Intelekual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

 

 

sumber: Hidayatullah

Mengapa Syiah Sangat Membenci Umar bin Khathab?

Pertanyaan itu terus terngiang di benak hati kaum Muslimin.

Umar bin Khathab dan para sahabat senior berhasil menaklukkan Imperium Majusi dan memadamkan api suci buatan iblis sesembahan bangsa Persia, dan kebencian mereka kepada Umar dijadikan menjadi bagian dari ajaran sekte syiah, seperti kata penulis buku “Sejarah Peradaban Iran”.

Kebencian Iran dan rakyat Iran terhadap Umar bin Khathab bukanlah disebabkan karena Umar merampok kekuasaan yang diklaim Syiah harusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan karena Umar telah menaklukkan Iran dan memangkas habis imperium dinasti Sasaniah

Dalam catatan sejarah, Umar juga terbukti sangat dicintai oleh keluarga baginda nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ali sendiri menikahkan putri tercintanya kepada Umar dan bahkan Ali memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar dan memberi nama putranya hang lain dengan nama Abu Bakar.

Sudah menjadi pengetahuan umum, betapa besarnya unsur Yahudi di dalam sekte Syiah. Syiah adalah sekte buatan Yahudi dan Abdullah bin Saba’ serta para sekutunya.

Syiah amat benci kepada Umar karena Umar mengusir Yahudi dari semenanjung Arab, dan saking bencinya mereka dengan Umar maka mereka menggelar pembunuh Umar dengan gelar kebesaran yaitu “Baba Syuja’uddin” yang artinya “Bapak Agama Yang Pemberani” dan mereka juga membuatkan monumen khusus untuk sang pembunuh di Iran sana.

Dan itu juga lah mengapa orang Syiah sangat suka dengan nama “Piruz” atau “Fairuz” lengkapnya “Piruz Nahavandi” mama asli dari Abu Lu’lu’ Si Hamba Persia penyembah api yang membunuh Umar. Sebagaimana mereka juga enggan melewati  pintu Masjidil Haram yang bernama “Pintu Umar”.

Untuk diketahui juga, Syiah diciptakan bertugas menjalankan misi untuk mem-bully dan mengutuk para khalifah pengganti rasulullah, sahabat-sahabat nabi, dan istri-istri rasulullah sebagai sumber utama penukilan ajaran Islam ini, dan juga untuk mengutuk berbagai penaklukan  yang dilakukan oleh para pemimpinan Islam pada masa lalu.

Sudah menjadi maklumat umum bahwa Yahudi sangat benci dengan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh ummat Islam dan bangsa Arab, yang mana pada masa lalu bangsa Arab bukanlah bangsa yang dianggap oleh Imperium Persia yang maha gagah itu. Sebagaimana Syiah juga tidak pernah punya wilayah taklukkan sepanjang sejarahnya.

 

Catatan Penting

Jika setiap Yahudi, apapun kewarganegaraannya, pasti pro Israel dan support Israel dan menjadi bagian dari negara Israel; maka demikian juga halnya dengan penganut Syiah seluruh dunia pasti menginduk ke Iran (Negara Faqih) apapun paspornya. Mereka pasti akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa Persia. Ini adalah bukti bahwa darah Persia pagan/Majusi begitu melekat dalam daging mereka.

Hikmahnya, Umar dan para sahabat lainnya sukses menghapus imperium persia penyembah api dan memadamkan api suci milik iblis yang berabad-abad pernah mereka tuhankan, sehingga api itu tidak akan pernah bisa menyala lagi sampai hari kiamat kelak; maka  iblis pun menyalakan api dendam di dalam dada setiap penganut sekte Syiah, dendam kesumat kepada Allah, Rasulullah, para Sahabat Nabi, Islam, dan kaum Muslimin sampai kiamat tiba.

 

Oleh: Ustadz Syafruddin Ramly, Lc.

sumber: Fimadani

10 Ciri Wanita Syiah

“Secantik apapun wanita Syiah, aku tidak akan tertarik,” kata seorang pria muslim kepada temannya.
“Mengapa?”
“Sebab aku tidak tahu, dia sudah pernah mut’ah atau belum”

Lalu bagaimanakah ciri-ciri wanita Syiah agar seorang muslim tidak salah pilih saat mencari istri atau mencari menantu?

  1. Secara fisik tampilan mereka bisa jadi sama dengan tampilan muslimah, sama-sama menutup aurat. Tetapi pada banyak kesempatan mereka mengenakan pakaian hitam-hitam (jubah hitam dan kerudung hitam, tanpa cadar).
  2. Pada beberapa acara keagamaan, selain mengenakan pakaian hitam-hitam, wanita Syiah juga memakai ikat kepala bertuliskan syiar Syiah. Sepintas, tulisan itu tampak biasa tetapi ternyata memiliki makna seruan doa. Misalnya: Ya Ali, Ya Husain, Ya Fatimah.
  3. Untuk menyamarkan kata Syiah, mereka menggantinya dengan ahlul bait. Sehingga wanita Syiah sering menyebut istilah ahlul bait, mengklaim diri sebagai pecinta ahlul bait, mengemukakan pendapat ahlul bait ketika membahas persoalan agama dan mengunggulkan mazhab ahlul bait dibandingkan mazhab lainnya.
  4. Menunjukkan ketidaksukaan terhadap para sahabat Nabi selain Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. Pada situasi yang ‘kondusif’ mereka menunjukkan kebenciannya kepada para sahabat Nabi dalam bentuk mencela hingga mengkafirkan, terutama para shabat utama seperti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
  5. Tidak mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai khalifah yang sah. Sebaliknya, mereka menganggap tiga khulafaur rasyidin itu sebagai pengkhianat dan perampas kekuasaan.
  6. Meskipun tampilannya seperti aktifis Islam, wanita Syiah tidak suka menghadiri pengajian umat Islam ahlus sunnah, juga tidak suka berada di masjid ahlus sunnah.
  7. Menghadiri perayaan-perayaan syiah seperti Idul Ghadir, peringatan Asyura dan lain-lain
  8. Ketika puasa Ramadhan, mereka tidak segera berbuka seperti umat Islam tetapi menunggu beberapa saat setelah matahari terbenam hingga tampak bintang gemintang.
  9. Tidak berpuasa di hari asyura. Sebaliknya, mereka tampak bersedih dengan kesedihan yang mendalam pada hari itu demi mengingat tragedi Karbala
  10. Bersedia, bahkan senang dimut’ah. Mut’ah adalah kawin kontrak untuk jangka waktu tertentu baik dalam hitungan hari, bulan ataupun tahun.

Demikian 10 di antara ciri-ciri wanita Syiah. [Ibnu K/bersamadakwah]

 

sumber: BersamaDakwah

Syiah Biang Keributan dan Keonaran di Timur Tengah

Hari   Ahad (29/11/2015)   Lembaga   Dakwah   Mahasiswa     dan Pengabdian   Masyarakat   Universitas     Muhammadiyah     Surakarta   [LDM PM UMS] mengadakan   Tabligh   Akbar   bertemakan “Mewaspadai   Aliran   Sesat   di   Bumi Nusantara”.

Acara yang diselenggarakan   di   Masjid   Fadhlurrahman   UMS   ini,   dihadiri ratusan   mahasiswa   se- Solo Raya. Tampak   hadir   sebagai   narasumber   adalah   UstadZ   Dr. Muinudinilllah   Basri, MA, selaku   Ketua   Dewan   Syariah   Kota   Surakarta (DSKS), dan   juga   Ustad Mahful   Safarudin, Lc, yang   merupakan   pengajar     Ponpes   Islam     Al-Irsyad   Salatiga.

Seperti   diketahui, selain   merusak   akidah, memecah   belah   Agama, dan   mengundang murka Allah   di dunia dan   akhirat, aliran-aliran sesat   telah merusak   tatanan   sosial, merusak   hubungan   keluarga,   merusak   persatuan   ummat, merusak   cara   berpikir masyarakat, dan perilaku masyarakat, bahkan ada pula diantara aliran sesat yang membahayakan Negara.

Ustad   Mahful   Safarudin, Lc mengatakan   bahwa “Ada   campur   tangan Barat dan   Syiah di Timur   Tengah,   merekalah   sumber   keonaran   dan   konflik   disana,” tegasnya.   Lebih lanjut     ia   mengatakan   bahwa   Syiah   sejak   dulu   sudah   ada,   merekalah   biang keonaran   dan   keributan,   tidak   diragukan lagi!”

Pengajar   Ponpes   Al-Irsyad   Salatiga   ini   juga   memaparkan   bahwa   terbukti   dalam sejarah   Islam,   Syiah   telah   menjadi   biang   keonaran,   seperti   pada   kasus   terbunuhnya Khalifah   Umar bin   Khattab ra   oleh Abu Lu’luah al-Majusi yang faktanya disebut Syiah sebagai ‘Baba Syuja’uddin’ (Bapak Pembela Agama), bahkan   makamnya telah   dimuliakan di Iran.

Kedua, kasus   provokasi dan   demonstrasi   besar-besaran Abdullah kepada Khalifah   Utsman bin Affan ra   yang dihasut   oleh   Abdullah bin Sa’ba. Ketiga, terjadinya   Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Keempat, Tragedi Karbala,   bahwa sebenarnya pembunuh cucu Rasulullah Saw,   Husein bin   Ali ra   adalah   golongan Syiah   sendiri, Syiah Kufah. Kelima, Runtuhnya Baghdad,   dimana   Makar   Syiah   dalam   memudahkan     invasi pasukan Tartar Hulagu   Khan   ke   Baghad  hingga   menyebabkan Daulah   Abbasiyah runtuh   diikuti   pembantaian   besar-besaran   Umat   Islam, contoh   terakhir   tahun ini   adalah   Tragedi Mina.

Sementara itu, Ustad Dr. Muinudinilllah   Basri, MA menjelaskan tentang ajaran pokok Syiah dan implikasinya, diantaranya meyakini Imam Maksum, implikasinya   memutus referensi Al Quran dan   Sunnah.

“Meyakini taqiyyah   sebagai bagian tak terpisahkan dari Agama, hingga menumbuhkan kenifakan. Memvonis   kekafiran   para sahabat, implikasinya memutus   semua   hadist   dan   riwayat   dari para   sahabat, misalnya Abu   Hurairah   ra dipertanyakan.” Ujar Direktur Ponpes Ibnu Abbas Klaten tersebut.

Menisbahkan   ajaran   kesyirikan   dan   kekufuran   kepada   Imam   ahlul bait. Legalisasi   mut’ah yang menghancurkan   segala kehormatan manusia. Membangun aqidah kebencian dan kedengkian antara antara wali-wali Allah, para   ahlul bait   dan para sahabat.

“Mengkafirkan dan menghalalkan   darah   selain   Syiah, implikasinya menghancurkan   ukhuwah   kaum   Muslimin” paparnya   dalam   Tabligh   Akbar   di   Masjid Kampus   UMS   itu.

Kriteria Sesat Menurut MUI

Dalam   Tabligh   Akbar   itu   dihimbau   pula   kepada   para   jamaah   untuk     memahami kriteria   sesat   dari   Majelis Ulama   Indonesia (MUI). Adapun MUI Pusat   telah   menetapkan   dan   mengumumkan   Pedoman   Identifikasi   Aliran   Sesat   pada   tanggal     06   November 2007. Dalam   pedoman tersebut   dinyatakan   suatu   paham atau   aliran dinyatakan sesat   apabila   memenuhi   salah satu   kriteria   berikut :

Mengingkari   salah satu Rukun Iman yang 6, yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-KitabNya, kepada Rasul-RasulNya, kepada Hari Kiamat, kepada Qadla dan Qadar, dan   juga Rukun Islam yang 5, yakni mengucapkan 2 kalimat Syahadat, mendirikan Shalat, mengeluakan Zakat, berpuasa pad Bulan Ramadhan, menunaikan Ibadah Haji.

Meyakini   dan atau   mengikuti   aqidah   yang   tidak   sesuai   dengan   dalil     syar’i [Al Quran dan As Sunnah]

Meyakini turunnya wahyu setelah Al Quran.

Mengingkari otensitas dan atau   kebenaran isi Al Quran.

Melakukan penafsiran Al Quran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah Tafsir.

Mengingkari kedudukan Hadist Nabi sebagai   sumber ajaran Islam.

Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.

Mengingkari Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir.

Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti Haji tidak ke Baitullah, shalat Fardhu tidak   5   waktu.

Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil Syar’I, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

 

 

sumber: Panji Mas

Perbedaan Sunni – Syiah Cukup Banyak, Sampai Tataran Konsep Syariah

Orang Sunni yang mengatakan Ahlus Sunnah sama dengan Syiah seharusnya melihat bagaimana Syiah itu menilai tentang Ahlus Sunnah. Kenyataannya, mereka membenci Ahlus Sunnah.

Demikian salah satu pernyataan  KH. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi pada acara bedah buku “Teologi dan Ajaran Syiah Menurut Referensi Induknya”, Jum’at kemarin (30/01/2015) di Hotel Elmi Surabaya.

“Dalam buku ini kita beberkan Syiah secara ilmiah apa adanya dari syari’ah sampai akidah,” tegas putra pendiri Pesantren Gontor tersebut.

Hamid menilai perbedaan Ahlus Sunnah dengan Syiah cukup banyak. Tidak hanya akidah yang telah jelas itu, tetapi sampai pada tataran konsep-konsep syariahnya berbeda.

“Syiah itu berbeda  dari beberapa sisi. Seperti tentang isu tahrif al-Qur’an, Sahabat Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam dan syariat. Mereka misalnya, mengkafirkan semua Sahabat kecuali tiga”, tambahnya.

Dalam keterangannya, Hamid mempertanyakan kampanye Syiah yang mengajak bersatu dengan Ahlus Sunnah.

“Kenapa Syiah sekarang mau menyama-nyamakan dengan Ahlus Sunnah. Sementara di sana (Iran – pen)  mereka justru membeda-bedakan. Jumlah Sinagog Yahudi lebih banyak dengan jumlah masjid Sunni,” kata direktur INSISTS itu.

Bagi Hamid, buku-buku induk Syiah perlu diungkap.

Katanya, semakin banyak ajaran Syiah yang diungkap, masyarakat mulai memahami bahwa teologi Syiah menyimpan kebencian terhadap pengikut Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam, yaitu Ahlus Sunnah.

Pernyataan Hamid itu ditegaskan oleh Idrus Ramli dari Aswaja Center PWNU Jawa Timur itu.

“Kita menyampaikan apa adanya tentang Syiah. Bahwa Syiah mengandung bid’ah. Dalam bid’ah Syiah itu ada yang dhalal (sesat) dan ada yang sampai pada kekufuran,” ujar pakarnya.

“Jika kita baca kitab-kitab Syiah, akan ditemukan mengaku sendiri bahwa Tuhan Syiah tidak sama dengan Tuhan yang disembah orang Sunni. Itu seperti dikatakan sendiri oleh Ni’matullah al-Jazairi,” ujar kiai alumni pesantren Sidogiri Pasuruan ini.

Idrus Ramli dalam kesempatan ini banyak menerangkan tentang Ahlul Bait yang sering dijadikan Syiah sarana kampanye.

“Yang membela dan mencintai Ahlul Bait adalah Ahlus Sunnah bukan Syiah. Ahlus Sunnah memasukkan istri nabi sebagai Ahlul Bait, sedangkan Syiah meyakini istri nabi bukan Ahlul Bait. Syiah ini merusak Ahlul Bait,” tambahnya.

Idrus menilai Syiah tidak layak mengaku pengikut Ahlul Bait apalagi pecintanya. Sebab, Syiah sebenarnya tidak punya sanad ke Ahlul Bait.

“Justru sebaliknya, semua imam madzhab dalam Ahlus Sunnah pernah berguru kepada Ahlul Bait. Seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’i belajar ke ulama dari Ahlul Bait Sunni” tegas kiai asal Jember.

Sementara pemateri ketiga disampaikan oleh Henri Shalahuddin, MA. Henri yang juga editor bukut tersebut berpendapat bahwa ajaran Syiah itu banyak yang aneh-aneh dan tidak rasional.

“Memang, kalau baca fatwa-fatwa dan kitab mereka, banyak sekali yang aneh”, ujarnya.

Dalam keterangannya ia menampilkan gambar-gambar dan scan kitab dalam slide yang atraktif.

Dalam bedah buku ini juga dihadiri oleh Dr. Adian Husaini dan Herry Mohammad, redaktur senior Majalah Gatra.

Menanggapi keterangan Henry, menurut Adian, meski banyak ajaran yang aneh tapi yang lebih aneh di Indonesia banyak yang suka keanehan.

Logika mereka juga terlalu rendah untuk didebat.

“Jangan terlalu melayani mereka. Kita perlu bentengi Sunni”, tegas Adian

Karena itu saran Adian, kita tidak hanya sampai membeberkan keanehan-keanehan itu saja namun sudah saatnya harus menyadarkan Syiah.

“Sekarang kita perlu bentuk dai-dai muda yang bisa menyadarkan Syiah. Kita ajari mahasiswa misalnya untuk bisa mensunnikan kembali Syiah,” ujarnya.

Herry Mohammad dalam kesempatan ini mengapresiasi buku yang diterbitkan (Institute for Study of Islamic Thought and Civilization) INSISTS itu.

“Ini satu-satunya buku di Indonesia tentang Syiah yang disajikan secara ensiklopedis dengan bahasa ilmiah,” kata wartawan senior ini.

Kata dia, kita mencari tema-tema pokok Syiah apa saja bisa didapatkan di buku ini.

Secara khusus, buku ini kata Herry diharapkan bisa menjadi rujukan utama memahami Syiah. Terutama untuk para insan media.

“Media-media mainstream tidak banyak yang mengerti Syiah. Kita baca jika ada berita konflik Sunni-Syiah, media mainstream tidak mencari sebab, tapi mereka manampilkan akibanya saja.”

Padahal, baginya, media harus tahu penyebab utama terjadinya gesekan Syiah tersebut.

Bedah buku ini diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya bekerja sama dengan INSISTS dan MIUMI Jawa Timur.

Buku Teologi dan Ajaran Syiah Menurut Referensi Induknya merupakan kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh delapan belas penulis. Mengupas seluk-beluk ajaran Syiah dengan merujuk kepada referensi induk mereka.

 

 

sumber: Hidayatullah

Hukum Nikah Mut’ah

Tanya :

Ustadz, mohon jelaskan hukum nikah mut’ah!

 

Jawab :

nikah mut’ah (temporary marriage) adalah menikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu sementara dengan mahar tertentu. (nikaah al mar`ah li muddah al mu`aqqatah ‘ala mahrin mu’ayyan). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 309). Misal seorang laki-laki berkata kepada seorangwanita,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama satu hari, atau satu bulan, atau satu tahun.” Ini contoh untuk jangka waktu yang ma’luum (diketahui dengan jelas). Dapat juga jangka waktunya majhul (tak diketahui jelas), misalnya,”Aku beri engkau harta sekian dengan ketentuan aku akan bersenang-senang denganmu selama musim Haji, atau selama aku tinggal di negeri ini, atau hingga datangnya si Fulan.” Jika jangka waktu tersebut berakhir, terjadilah perpisahan (furqah) antara laki-laki dan wanita itu tanpa talak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333).

nikah mut’ah hukumnya haram. Inilah pendapat jumhur fuqaha, yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, dan lain-lain dengan berbagai dalil-dalil syar’i yang rajih (kuat), yang intinya membuktikan bahwa nikah mut’ah itu hukumnya mubah di awal Islam, namun kemudian hukum mubah ini dihapus (di-nasakh) sehingga hukumnya menjadi haram hingga Hari kiamat. Sebagian ulamamengatakan nasakh (penghapusan) itu terjadi saat Haji Wada’, sementara sebagian ulama lainnya mengatakan nasakh tersebut terjadi saat Fathu Makkah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/333; Imam Al Ja’bari,Rusukh Al Ahbar fi Mansukh Al Akhbar, hlm. 440; Imam Ibnu Syahin, An Nasikh wa Al Mansukh min Al Hadits, hlm. 221).

Dalil pendapat jumhur antara lain hadits Ar Rabii’ bin Sabrah Al Juhani RA dari ayahnya bahwa Nabi SAW pernah bersabda :

يا أيها الناس ! إني قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء. وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة. فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله. ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا

”Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan para wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu hingga Hari kiamat. Maka barangsiapa yang di sisinya ada wanita-wanita [yang dinikahinya secara nikah mut’ah], hendaklah dia berpisah darinya, dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR muslim no 1406). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/334).

Dalil lainnya dari jumhur ulama adalah firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)

Dan [orang-orang yang beriman] adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS Al Mukminuun [23] : 5-6). wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah sebenarnya bukanlah istri dan bukan pula budak. Maka nikah mut’ah pastilah termasuk perbuatan tercela yang haram hukumnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 24).

Kaum Syiah berpendapat nikah mut’ah hukumnya boleh. Imam Khomeini, misalnya, dalam kitabnyaKasyful Asraar hlm. 117-118 mengatakan nikah mut’ah itu halal dengan beberapa alasan; Pertama, bahwanikah mut’ah itu tidak dinasakh dan yang melarang mut’ah adalah Umar bin Khaththab itu sendiri, bukan Nabi SAW. (HR muslim dari Jabir no 1405). Kedua, bahwa nikah mut’ah itu dibolehkan oleh ayat :

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).“ (QS An Nisaa` [4] : 24) (Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm.12).

Pendapat Imam Khomeini itu batil. Pertama, tidak benar bahwa tak ada nasakh nikah mut’ah dan tak benar pula nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab itu sendiri. Yang benar, nikah mut’ah telah dinasakh oleh Nabi SAW dan Umar sekedar mengokohkan pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi SAW. Umar bin Khaththab berkata :

إن رَسُول اللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم أذن لنا في المتعة ثلاثا، ثم حرمها

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengizinkan kita untuk nikah mut’ah tiga kali, lalu mengharamkannya.” (HR Ibnu Majah, no 1963; Imam Nawawi, Syarah Shahih muslim, 9/183). Kedua, ayat tersebut (QS An Nisaa` : 24) tidak menunjukkan bolehnya nikah mut’ah. Karena jika dibaca ayatnya secara utuh dari awal hingga akhir, akan jelas konteksnya adalah pernikahan biasa yang halal, bukannikah mut’ah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 41/335; Muhammad Malullah, Al Syi’ah wal Mut’ah, hlm. 17).Wallahu a’lam. (ust Siddiq al Jawie)

 

 

sumber: Hizbut Tahrir

Soal Syiah, Habib Zein: Minyak tidak Bisa Disatukan dengan Air

Semakin gencarnya kemunculan ajaran Syiah di Indonesia, semakin meningkatkan kewaspadaan umat Islam. Perbedaan keyakinan menjadi penegas jika Syiah berbeda dengan Islam.

Ketua Dewan Syuro Aliansi Nasional Anti-Syiah, Habib Zein Al-Kaff, mengungkapkan rukun Islam dan rukun Iman yang merupakan dasar dari Islam sangatlah berbeda dengan apa yang diyakini sebagai rukun oleh Syiah.

Hal itu dikatakan menjadi perbedaan mendasar, yang langsung bisa menegaskan ajaran-ajaran yang dimiliki Syiah tidak dapat disatukan, apalagi disamakan dengan Islam.

“Tidak akan bersatu, minyak tidak bisa disatukan dengan air,” ungkap Habib Zein ketika mengunjungi Kantor Republika, Senin (9/11).

Menanggapi taqrib yang banyak didengungkan untuk menyatukan ajaran Sunni dan Syiah, Habib Zein menyatakan itu sebagai proyek yang dicanangkan para pemuka Syiah, termasuk di Indonesia.

Menurutnya, langkah itu dilakukan lantaran para pemuka Syiah menyadari posisi mereka sebagai minoritas dan menggunakan taqribsebagai cara mematahkan fakta minoritas tersebut.

Padahal, lanjut Habib Zein, acara-acara Ahlussunnah wal Jamaah sering kali dilarang di sejumlah daerah yang pelarangan itu didengungkan para pemuka dari kelompok-kelompok Syiah.

Taqrib juga diyakini sebagai kesadaran dari pemuka-pemuka Syiah di Iran yang merasa gagal menyebarkan alirannya di Indonesia yang akhirnya berusaha masuk melaluitaqrib.

Habib Zein mengungkapkan, ulama-ulama Islam dunia sendiri secara terbuka sudah menyatakan Syiah merupakan ajaran sendiri dan sama sekali tidak dapat disamakan dengan Islam.

Dengan perbedaan keyakinan tersebut, pengkafiran dikatakan terjadi di antara keduanya, baik umat Islam kepada ajaran Syiah maupun oleh Syiah kepada umat Islam yang semakin memperjelas perbedaan.

 

sumber: Republika Online

 

Hukum Nikah Mut’ah (2-habis)

Dalam hadis lain, dari Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW memberikan keringanan pada tahun Authas untuk melakukan mut’ah selama tiga hari kemudian melarang praktik tersebut.” (HR Muslim).

Dengan dasar itu, jumhur ulama mengharam kan praktik nikah mut’ah. Dalam surah al-Mukminun ayat 5-6, Allah berfirman, “Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal ini tidak tercela.” Wanita yang dinikahi mut’ah bukan termasuk istri atau jariah dalam hal ini.

Meskipun dilaksanakan akad layaknya pernikah an, ada beberapa perbedaan antara akad nikah dan mut’ah. Akad mut’ah tidak saling mewarisi, iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah, seorang yang mut’ah tidak dianggap muhsan, nikah mut’ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita, nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yakni melanggengkan keturunan.

Dalam konteks Indonesia, praktik nikah mut’ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawainan No 1 Tahun 1974. Padahal, ujar MUI, menaati peraturan pemerintah adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, “Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan.”

Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Suni dan menolak ajaran mut’ah dalam paham Syi’ah secara umum.

MUI menegaskan kembali dalam Munas MUI tahun 2010 tentang nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah mut’ah.

Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar, juga melarang memakan daging keledai peliharaan (Muttafaq ‘alaih).

Umar bin Khatab RA berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi izin mut’ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut’ah sementara dia seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu.” (Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanad shahih).

Ibn al-Humam dalam Fathul Qadir menyebut para ulama berijma’ jika hukum nikah mut’ah adalah haram untuk selamanya.

 

Oleh: Hafidz Muftisany

 

Baca juga: Hukum Nikah Mut’ah 1

Hukum Nikah Mut’ah (1)

Oleh: Hafidz Muftisany

Penikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut mitsaqan ghaliza karena dampak dari akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas.

Ucapan akad pernikahan mengantarkan tanggung jawab yang dipikul seorang wali kepada seorang laki-laki yang menjadi suami. Akad pernikahan juga membuat yang haram menjadi halal, yang dosa menjadi pahala. Akad nikah juga melahirkan garis nasab di mana hak waris melekat padanya.

Pernikahan adalah kebaikan yang bertambah bernama berkah. Di dalamnya mencakup keberkahan dalam masa senang, keberkahan dalam masa sulit. Jadi, tak sekadar berburu kesenangan semata. Salah satu adat yang mirip dengan pernikahan namun secara esensi berbeda adalah nikah mut’ah.

Nikah mut’ah atau kawin kontrak agaknya tak asing didengar masyarakat saat ini. Hubungan laki-laki dan perempuan yang diikat dalam perjan ji an masa tertentu. Di dalamnya tidak ada pengakuan anak, terlebih waris.

Beberapa disebutkan wanita dalam nikah mut’ah tidak wajib untuk diberi nafkah. Bagaimana para ulama Indonesia memandang nikah mut’ah ini?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua kali fatwa tentang nikah model ini. Pertama, menyoroti tentang nikah mut’ah dan nikah wisata yang tak jauh dari praktik nikah mut’ah.

Dalam sejarah Islam, praktik nikah mut’ah pernah diperbolehkan. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim. Menurut Imam Nawawi, yang benar dalam masalah nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan kemudian diharamkan dua kali.

Diperbolehkan sebelum perang Khaibar, kemudian diharamkan saat perang Khaibar. Pernah diperbolehkan selama tiga hari ketika Fathu Makkah tepatnya pada perang Authas kemudian setelah itu diharamkan selamanya sampai hari kiamat.

MUI menukil beberapa dalilnya dari hadis riwayat Muslim. Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya ia berkata, “Saya hendak menghadap Rasulullah SAW, namun beliau sedang berdiri antara rukun yamani dan maqam Ibrahim dengan menyandarkan punggungnya ke Ka’bah seraya bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan kalian untuk istimta’ daripada perempuan.”

‘Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang siapa yang masih memiliki perempuan tersebut hendaknya melepaskannya. Jangan ambil sesuatu pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada mereka’.”

 

 

sumber: Republika Online

Idul Ghadir Dalam Pandangan Sejarah (2)

Sambungan artikel PERTAMA

oleh: Alwi Alatas

Keempat, jarak antara peristiwa Ghadir Khum dengan wafatnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam hanya sekitar tiga bulan, sebuah rentang waktu yang singkat, dan ada banyak yang menyaksikan serta mendengarkan kata-kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu.

Jika memang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bermaksud menunjuk Ali sebagai penggantinya pada peristiwa Ghadir, maka tidak masuk akal jika tiga bulan kemudian, saat Nabi wafat, semua Sahabat lupa dengan penunjukkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam itu. Dan tidak masuk akal juga jika semua sahabat berkhianat dan membatalkan kepemimpinan Ali, padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam baru saja mengangkatnya tiga bulan sebelumnya.

Ketika membaca kitab-kitab sejarah bahwa pada awalnya memang sempat ada perbedaan pendapat tentang siapa yang akan menggantikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam selepas wafatnya. Ada sekumpulan Anshar yang hendak memilih pemimpin sendiri, ada sekumpulan muhajirin yang kemudian memilih Abu Bakar (ini yang terjadi di Tsaqifah Bani Saidah), dan ada pula sekumpulan sahabat yang condong kepada Ali bin Abi Thalib.

Dalam buku-buku sejarah kita dapati bahwa para sahabat yang berpihak kepada Ali bin Abi Thalib biasanya berhujjah pada keutamaan beliau dan kedekatan nasab beliau pada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (tentu saja tanpa menolak keutamaan Abu Bakar as-Siddiq), dan mereka tidak bersandar pada peristiwa Ghadir Khum.

Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak memahami kata-kata Nabi di Ghadir Khum sebagai pengangkatan pemimpin. Tetapi mereka memahaminya sebagai sesuatu yang lain.

Jika mereka semua memahaminya sebagai penetapan Ali bin Abi Thlaib sebagai pemimpin, adalah aneh jika peristiwa Ghadir terpingirkan saja dari wacana kepemimpinan pada proses suksesi selepas Nabi wafat. Dan juga tidak masuk akal jika mereka diam karena takut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Sebab, mereka berdua tidak memiliki tentara untuk memaksakan diri sebagai pemimpin.

Kalau begitu apa makna mawla yang lebih tepat dalam hadits di atas. Menurut hemat penulis lebih tepat adalah dimaknai sebagai ‘sahabat’ atau ‘kekasih’.

Berikutnya, apa keperluan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam menyampaikan kata-kata tersebut di hadapan para sahabat dan di tahun terakhir masa hidupnya?

Tampaknya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam hendak mengingatkan kepada ummatnya untuk senantiasa menjaga hubungan dan tidak saling menyakiti anggota keluarganya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tentu mengetahui bahwa pada satu masa akan ada orang-orang yang tidak suka kepada Ali dan keluarganya, terutama karena fitnah dan konflik politik yang terjadi di dunia Islam, ataupun karena alasan lainnya.

Tampaknya kepada mereka yang memiliki sikap semacam ini, selain kepada kaum Muslimin secara umum, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam mengingatkan untuk tidak bersikap buruk terhadap Ali dan keluarganya. Karena siapa yang menganggap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam sebagai mawla-nya, maka Ali juga adalah mawla-nya.*

Pemerhati sejarah Islam, penulis buku “Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III”