Tafsir Ayatul Ahkam Surat Al-Baqarah 258-260: Kisah Nabi Ibrahim dan Namrud (2)

Selain mengulas kisah Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, Surat ini juga menjelaskan bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati, menyusun kembali tulang-tulang yang telah berserakan, dan membalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit

Sambungan artikelPERTAMA

AYAT di atas menunjukkan bolehnya melakukan dialog dan perdebatan dalam masalah agama dan keyakinan. Jika tujuan perdebatan menjelaskan kebenaran dan di prediksi membawa maslahat dakwah diantara dalilnya adalah sebagai berikut,

a) Firman-Nya,

 وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

“dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: :125 ).

b) Firman-Nya,

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (QS. Al-Ankabut [ 29 ] : 46)

 c) Firman-Nya,

 وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

 “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 111).

 d) Firman Allah tentang perdebatan Nabi Nuh dengan kaumnya; 

قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

 “Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.” (QS. Hud [ 11 ] : 32 )

Kisah Uzair bin Syarkhiya

 اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 259 )

Ayat di atas menjelaskan tentang kisah Uzair bin Syarkhiya, salah satu ulama Bani Israil yang melewati sebuah kota yang hancur, tembok-tembok yang telah runtuh di atas atap-atapnya. 

وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ

“yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya.

Khawiyah artinya: kosong, sedangkan “urusy adalah atap-atap sehingga diartikan, “kosong karena runtuh atap-atapnya.”

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan kota yang dimaksud. Yang paling masyhur di kalangan ahli tafsir  bahwa kota tersebut adalah Baitul Maqdis yang dihancurkan oleh Bukhtanasar.

Kemudian Uzair berkata, 

اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا

“Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”

Pertanyaan ini mengandung dua hal;

a) Bagaimana Allah menghidupkan kembali kota yang sudah hancur ini ?

b) Bagaimana Allah menghidukan orang-orang yang sudah mati?

Allah berfirman;

فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَه

“Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali.”

Imam Al-Qurthubi berkata, “Makna lahiriyah dari ayat ini adalah kematian yang sebenarnya (keluarnya ruh dari jasad). ”Jadi bukan pingsan dan bukan pula koma atau mati suri. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.

Kemudian setelah 100 tahun, Allah menghidupkannya kembali. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setelah berlalu 70 tahun dari kematiannya.

Allah mengirim seorang Raja Persia yang agung bernama “Kusyka” ke tempat tersebut dan membangun kembali kota tersebut selama 30 tahun.

Dalam Al-Quran disebutkan;

قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ

“Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”

Diriwayatkan bahwa Allah mematikannya pada pagi hari, kemudian menghidupkan setelah 100 tahun ppada sore harinya. Oleh karenanya ia mengira baru tidur sehari satu setengah hari.

Hal ini mirip dengan jawaban ashabul kahfi ketika ditanya, berapa lama kalian tinggal di dalam gua ini?

 قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ

“Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (QS. Al-Kahfi [ 18 ] : 19 )

Allah berfirman;

قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَ

“Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang).”

Makanan di sini maksudnya buah (tin) yang ia kumpulkan dari pohon-pohon sekitar kota tersebut. Dahulu kota Baitul Maqdis dan sekitarnya banyak tumbuh pohon tin dan zaitun. Ini sesuai dengan firman Allah, 

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (QS. At-Tin [ 95 ] : 1)

Maksudnya yang tumbuh di kota Baitul Maqdis, mengisyaratkan tentang Nabi Isa Alaihi Salaam.

Adapun minuman di sini adalah minuman hasil perasan buah. Makanan dan minuman tersebut tidak berubah (لَمْ يَتَسَنَّهْ) makna aslinya tidak berubah dengan perubahan tahun.

Tetapi ketika melihat keledainya ternyata dia telah mati tidak tersisa darinya kecuali tulang belulangnya saja. Terkait ini Allah berfirman;

وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا

“Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”

Uzair dijadikan Allah sebagai salah satu bukti kekuasaan-Nya hal itu karena dia diperintahkan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati tersebut, setahap demi setahap, mulai dari menyusun kembali tulang-tulang keledai tersebut yang telah berserakan, kemudian dibalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit. Seperti terbalutnya  tubuh oleh pakaian. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh  ke dalam jasad keledai  tersebut, lalu keledai itu pun hidup kembali.

Kata (نُنْشِزُهَا) artinya kami tinggikan. Dikatakan wanita Nasyizah yaitu wanita yang meninggi dan melawan suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz.” (QS. An-Nisa [4]: 34 )

Berarti makna ayat 259 dari Surat al-Baqarah di atas adalah “Kami mengangkat tulang-tuang keledai tersebut dari muka bumi dan menggabungkan satu dengan yang lainnya, kemudian kami tiup dengan daging.”/Dr Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI) (BERSAMBUNG)

HIDAYATULLAH

Tafsir Ayatul Ahkam Surat Al-Baqarah 258-260: Kisah Nabi Ibrahim dan Namrud (1)

Al-Quran mengulas kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Raja Namrud, seorang raja diktator pertama dunia di Negeri Khaldea, Mesopotamia

Al-QURAN secara khusus mengulas kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Raja Namrud, seorang raja diktator pertama dunia di Negeri Khaldea, Mesopotamia.

Dalam berbagai catatan Mesopotamia kuno disebutkan nama penduduk Babilonia kuno dengan nama Khaldea Eugene Manna”. Itulah nama yang diberikan Uskup Metropolis Yaqob dalam ensiklopedinya yang berjudul Dalil Ar-Raghibin.

Buku ini merupakan Ensiklopedi Khaldea berbahasa Arab. Bahasa mereka dinamai Kaldasia, dan sebutan mereka secara geografis adalah Kalduyusa. Nama ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi Kaldan.

Jadi, Kaldan berarti raja-raja diktator. Raja mereka yang paling populer adalah Namrud. Negara ini merupakan negara yang pertama muncul sesudah mata banjir besar yang terjadi pada tahun 1881 SM. (Lihat kitab Dzakhirath Adzhan (jilid 2] karya Petrus Nasri, terbitan Darul Kitab Al-Arabi).

Sementara ibu kota negara mereka adalah Babilonia. Sedangkan nama mereka dalam kitab Perjanjian Lama adalah Kasdim atau Kashdim yang berarti para raja diktator atau para pembela.

Bangsa Yunani menyebut mereka Chaldaeans. Bangsa Khaldea kuno menjalankan pemerintahan dengan sistem kerajaan, mereke menjangkau wilayah yang sangat luas, dimulai dari bagian tengah dan selatan wilayah Mesopotamia, membentang hingga barat daya Iran sekarang, seluruh pantai Teluk dan pulau-pulaunya, terutama Pulau Dilmun atau Telmun (Bahrain sekarang) dan Pulau Failaka (sekarang bernama Kuwait).

Negeri Khaldea dahulu dinamai negeri laut karena memiliki banyak paya (lahan basah) dan danau.Kisah Nabi Ibrahim alaihissaalam dan Namrud dimuat dalam Surat Al-Baqarah 258-260;

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ ٢٥٨

“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah menganugerahkan kepadanya (orang itu) kerajaan (kekuasaan), (yakni) ketika Ibrahim berkata, “Tuhankulah yang menghidupkan dan mematikan.” (Orang itu) berkata, “Aku (pun) dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Kalau begitu, sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur. Maka, terbitkanlah ia dari barat.” Akhirnya, bingunglah orang yang kufur itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS: Al-Baqarah [2]: 258-260).

Tewasnya Namrudz

Dalam ayat ini terdapat kisah Namrudz dan Nabi Ibrahim ‘Alaihi as-Sallam. Nama lengkap Namrudz adalah Namrudz bin Kaisy bin Kan’an bin Sam bin Nuh. Raja Babilonia yang membakar Nabi Ibrahim dengan api.

Ia mati karena nyamuk masuk ke dalam hidungnya dan tembus ke otaknya dia merasa kesakitan sekali, sampai menyuruh para crew nya memukul kepalanya  dengan benda keras supaya meredakan rasa sakit di kepalanya. Dia menderita sakit tersebut selama 40 hari lamanya, kemudian meninggal dunia.

Sebagian menyatakan dia adalah raja pertama di dunia, atau raja pertama yang sombong, otoriter dan kejam. Dikatakan bahwa raja di dunia ada kala itu ada empat: dua dari kalangan kafir, yaitu  Namrudz dan Bukhtansir. Sedangkan yang dua lagi dari kalangan Muslim, yaitu Nabi Sulaiman dan Dzulkarnain.

Terdapat beberapa riwayat tentang sebab terjadinya dialog antara Nabi Ibrahim dan Namrudz. Salah satunya diriwayatkan bahwa mereka pada perayaan hari raya keluar dari tempat ibadah mereka.

Masuklah Nabi Ibrahim ke tempat ibadah yang di dalamnya terdapat berhala-berhala. Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala tersebut kemudian dipanggil oleh Namrudz.

Maka terjadilah dialog tersebut. Peristiwa ini sebagiannya juga disebutkan Allah dalam firman-Nya, (QS. Al-Anbiya [21]: 51-72).

Raja Namrudz mengajukan pertanyaan kepada Nabi Ibrahim tentang tuhannya yang ia mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Lalu Nabi Ibrahim menjawab, “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Tuhan yang menciptakan kehidupan dan kematian.”

Lalu Namrudz yang sombong, angkuh dan orang yang pertama kali bersikap semena-mena mengingkari hal itu. Ia berkata; “Saya bisa menghidupkan sebagian orang yang diancam hukuman mati dengan memberi ampunan dan bisa mematikan sebagian yang lain dengan tetap melaksanakan hukuman mati atas mereka.”

Lalu Namrudz meminta dihadirkan dua orang lalu satunya diberi ampunan sedangkan yang satunya lagi ia bunuh. Lalu Namrudz juga menangkap empat orang dan memasukkan mereka semua ke dalam rumah tanpa memberi mereka makan dan minum untuk beberapa hari.

Kemudian  ia memberi makan dua dari keempat orang tersebut sehingga mereka berdua tetap hidup dan membiarkan dua lainnya tanpa makanan dan minuman sehingga mereka berdua mati.

Di sini Namrudz salah dalam memahami maksud Nabi Ibrahim. Maksudnya adalah menghidupkan sesuatu yang belum ada menjadi ada atau menghidupkan  yang sudah mati dan mematikan seluruh makhluk yang ada di bumi ini.

Tetapi Nabi Ibrahim tidak mau menyebut masalah itu lagi. Beliau menggunakan dalil lain yang tidak mungkin disalah artikan lagi.

Beliau menyatakan;

فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ

“Allah menerbitkan  matahari dari timur, maka dia terbitlah dari barat.”

فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ

“Maka terdiam dan bingunglah kafir tersebut.”

Ungkapan pada ayat di atas memberikan pemahaman bahwa yang menyebabkan Namrudz terdiam dan bingung adalah kekafirannya.

As-Suddi menyebutkan bahwa dialog dan perdebatan antara Namrudz dan Nabi Ibrahim terjadi setelah Nabi Ibrahim dibakar  dan selamat dari api. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Namrudz setelah kalah berdebat, dia memerintahkan kepada bala tentaranya untuk menangkap dan membakar Nabi Ibrahim, ini juga diungkapkan dalam  Surat al-Anbiya’,

 قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ

“Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat. Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya [21]: 68-69).*.*/Dr Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

(BERSAMBUNG)

HIDAYATULLAH