Inklusivitas Kebenaran dalam Islam

Inklusivitas kebenaran meniscayakan tidak ada kebenaran tunggal di dunia ini. Absolutisme kebenaran hanya boleh dilakukan oleh Sang Pencipta, bukan makhluk. Karena itu, Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk berpikiran terbuka (open minded) agar mampu menerima kebenaran dari siapa saja datangnya. Sebab, eksklusivitas pemikiran hanya akan menimbulkan perpecahan dan disharmoni sosial.

Surah Albaqarah ayat 147 mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran yang mutlak ada pada sisi Allah Swt. Dalam Q.S. Albaqarah [2]: 147 tertera:

اَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ ࣖ

“Kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka, janganlah sekali-kali engkau (Nabi Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 147)

Mayoritas mufasir menafsirkan makna kebenaran tertuju kepada arah kiblat, yaitu Kakbah di Mekah (istiqbalil ka’bah). Sedangkan mufasir yang lain, kebenaran yang dimaksud adalah wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.

Tidak jauh berbeda, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menafsirkannya bahwa bagi setiap umat ada kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, sesuai dengan kecenderungan atau keyakinan masing-masing. Kalaulah mereka dengan mengarah ke kiblat masing-masing bertujuan untuk mencapai rida Allah, dan melakukan kebajikan, maka umat Islam mestinya berlomba-lomba dengan umat lain dalam berbuat aneka kebaikan (fastabiqul khairat).

Selain itu, al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan makna kebenaran dengan “pengajaran Allah kepada Nabi saw. bukan apa yang dikatakan orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Nabi.” Dari mayoritas penafsiran, menunjukkan bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah. Manusia hanya bisa meraba-raba dengan menggunakan seperangkat akal, indera, dan ilmu yang dimiliki. Itupun tidak sepenuhnya dapat menafsirkan kebenaran di sisi Allah.

Mengarifi hal tersebut, Gus Baha, Ulama Kenamaan Indonesia, mengatakan bahwa kebenaran sejati itu, salah satu tandanya, adalah boleh diuji di mana saja. Dia melandaskan pernyataannya ini dengan merujuk pada Alquran Surah Alanbiya ayat 18:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهٗ فَاِذَا هُوَ زَاهِقٌۗ

“Sebaliknya, Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu (yang hak) itu menghancurkannya. Maka, seketika itu ia (yang batil) lenyap.” (Q.S. al-Anbiya [21]: 18)

Menurut penafsiran Gus Baha, ayat di atas menunjukkan ketangguhan kebenaran yang sejati (baca: di sisi Allah) yang dapat di uji di mana saja dan oleh siapa saja. Artinya, kebenaran itu sama sekali tidak bercampur sedikitpun dengan kebatilan. Ia jelas, terang-benderang. Ulama terdahulu, Ibn Asyur, misalnya, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir memaknai kata fayadmaguhu itu layaknya penghancuran benda keras yang isinya kosong-melompong.

Makna ini mengisyaratkan bahwa kebatilan walau sepintas terlihat kokoh, namun ia kosong, tidak berisi. Apa yang dikemukakan Gus Baha tersebut senada dengan Quraish Shihab, bahwa Allah Swt. membatalkan kebatilan dengan jalan melontarkan kebenaran, yakni Yang Maha Kuasa itu menjelaskan kebenaran melalui para nabi dan rasul dan orang-orang yang dipilih-Nya serta menganugerahkan akal dan pemahaman kepada manusia, sehingga kebatilan yang m enyelubungi pikiran dan hati mereka dapat sirna.

Lebih dari itu, Allah juga menganugerahkan kekuatan lahir dan batin kepada hamba-hamba-Nya, sehingga mereka mampu untuk menumpas kebatilan. Di sisi lain, Allah menciptakan dan melengkapi haq dengan kekuatan tersendiri sehingga ia tidak mungkin punah, atau tertumpas. Sebaliknya, kebatilan memiliki kelemahan-kelemahannya yang menjadikannya tidak dapat bertahan lama, kendati sesekali ia terlihat begitu perkasa.

Dari Orkestrasi Perbedaan ke Harmoni Kebenaran

Perbedaan pendapat (juga kritik) semestinya tidak menimbulkan kebencian, justru merekatkan persaudaraan. Keterbukaan seseorang akan diversitas kebenaran menjadi peluang untuk menambah cakrawala baru dan mengakodomasi sesuatu dari perspektif yang lain. Acapkali kita terjebak pada penjumudan mazhab atau satu kelompok tertentu sehingga menegasikan alternatif perspektif.

Mengutip Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, dia menuturkan bahwa keterbukaan pemikiran semacam ini bukanlah berarti semau-maunya atau menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan yang dikehendaki. Hal ini karena dalam moralitas kemanusiaan Islam (akhlaqul karimah) terkandung secara inheren pengertian penghargaan terhadap pemikiran orang lain dan penghormatan terhadap semua nilai-nilai moral yang luhur, seperti nilai persaudaraan, kebersamaan, keadilan, toleransi, kasih sayang, kejujuran, dan lain sebagainya.

Perbedaan pemikiran, lanjut Muhammad, tidak seharusnya menafikan persaudaraan dan kebersamaan antarumat manusia. Ia juga tidak boleh menjadi dasar bagi tindakan ketidakadilan terhadap siapa saja dan kelompok mana saja, baik besar maupun kecil.

Dalam khazanah intelektual Islam klasik, Imam Syafi’i, misalnya, pernah mengatakan, “Apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka kalian tidak boleh menerimanya karena akal pikiran tidak bisa dipaksa untuk menerima kebenaran seseorang” (Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, hlm. 296-297). Pada saat yang lain, dia mengatakan, “Pemikiranku benar meski mungkin keliru, dan pemikiran orang lain keliru meski mungkin benar”.

Lebih jauh, Imam Abu Hanifah juga mengemukakan hal yang sama. Imam Abu Hanifah, seorang pendiri aliran fikih Rasional (Imam ahlu ra’yi) adalah seorang yang jujur, tulus dan memiliki toleransi yang tinggi dalam menyampaikan pandangan dan pendapatnya. Beliau tidak pernah mengklaim pendapat dirinya yang paling benar, dan pendapat yang lain salah. Sebagaimana dikutip Husein Muhammad, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:

قَوْلُنَا هَذَا رَأْيِ، وَهُوَ أَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ، فَمَنْ جَاءَنَا بِأَحْسَنِ مِنْ قَوْلِنَا فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنَّا

 “Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, ia lebih patut diambil.”

Ketika Imam al-Ghazali dikritik kaum fundamentalis bahwa pemikiran-pemikirannya terpengaruh oleh kaum filsuf awal (falasifatul qudama), yakni para filsuf Yunani, ia menjawab,

إِذَا كَانَ الْكَلاَمُ مَعْقُوْلًا فِىْ نَفْسِهِ مُؤَيَّدًا بِالْبُرْهَانِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى مُخَالِفَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَلَمْ يَنْبَغِى اَنْ يَهْجُرَ وَيَتْرُكَ

“Jika ucapan itu benar dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan Alquran dan hadits nabi, mengapa ia harus dibuang atau ditolak?”. (Imam al-Ghazali dalam Al-Munqdiz min al-Dlalal)

Selain itu, Ibn Rusyd juga mengatakan,

فَمَا كَانَ مِنْهَا مُوَافَقًا لِلْحَقِّ قَبْلِنَا مِنْهُمْ وَسُرُرُنَا بِهِ وَشُكْرُنَاهُمْ عَلَيْهِ. وَمَا كَانَ مِنْهَا غَيْرَ مُوَافِقٌ لِلْحَقِّ نَبَّهَنَا عَلَيْهِ وَحَذَّرَنَا مِنْهُ وَعَذَرَنَاهُمْ

“Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda dari agama kita, mestinya kita menerima dengan gembira dan menghargainya. Tetapi jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkan, dan menerima maafnya”. (Ibn Rusyd, Fashlul Maqal sebagaimana dikutip Husein Muhammad dalam Islam Tradisional, hlm. 296-297).

Sebagai penutup, kami ingin mengutip pernyaatan al-Kindi, seorang filosof Arab pertama dalam Islam. Dalam Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah, al-Kindi menyatakan,

وينبغي لنا ألا نستحيى من الحق واقتناء، الحق من أين أتى، وإن أتى من الأجناس القاصية عنا والأمم المباينة لنا، فإنه لا شيئ. أولى بطالب الحق من الحق وليس ينبغي بخسن الحق ولا تصغير بقائله ولا بالآتى به، ولا أحد بخسن بالحق، بل كل يشرفه الحق, ويعبر الكندي عن شكره ولكل من جاء بشيئ من الحق مهما كان يسيرا، لأن معرفة الحقيقة ثمرة لنضا من الأجيال الإنسانية في عصور متطاولة، كل جيل يضيف إلى التراث الإنسانى ثمرة فكره ويمهد السبيل لمن يجىء بعده

“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia, serta membuka jalan bagi mereka yang datang setelahnya” (Al-Kindi dalam Rasail al-Kindi, hlm. 50-51). Wallahu a’lam.

TAFSIR QURAN

Tiga Sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah Ayat 128

Segala laku hidup Rasulullah saw adalah suri tauladan untuk kita semua. Tidak hanya itu, kepribadian Rasul saw sampai dipuji setinggi langit oleh Allah Swt, wa innaka la’ala khuluqin adzim (Sungguh, Engkau (Muhammad) berada di paling atas budi pekerti yang agung). Artikel ini hendak mengulas tiga sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah ayat 128 yang patut kita teladani untuk segala hal. Simak selengkapnya di bawah ini.

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Taubah [9]: 128)

Istikamah dalam Mengajak Kebaikan

Sifat pertama nabi adalah azizun ‘alaihi ma anittum, artinya berat terasa baginya penderitaanmu. Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkannya dengan segala sesuatu yang tak diinginkan yang terjadi pada dirimu. Di masa kenabian, Nabi saw diuji dengan berbagai hal berat seperti tanda-tanda kekufuran pada kaumnya sendiri, kesyirikan, ketidaktaatan, serta ketidakpatuhan kepada perintah dan larangan Allah.

Senada dengan itu, Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, bahwa terasa berat olehnya sesuatu yang membuat umatnya menderita karenanya. Karena itu, di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ

“Aku diutus dengan membawa agama Islam yang hanif lagi penuh dengan toleransi”

Di dalam hadis sahih disebutkan:

إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَشَرِيعَتَهُ كُلَّهَا سَهْلَةٌ سَمْحَةٌ كَامِلَةٌ، يَسِيرَةٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهَا اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ

Sesungguhnya agama ini mudah, semua syariatnya mudah, penuh dengan toleransi lagi sempurna. Ia mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah dalam mengerjakannya.

Dari ujian berat ini, tak heran jika Nabi saw mampu memahami karakter semua orang dan muncul rahmah (kasih sayang) tanpa membeda-bedakan kedudukannya. Nabi itu sangat istikamah dalam mengajak kebaikan. Nabi selalu memandang bahwa saudara kita adalah lapangan atau ladang untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, bukan sebaliknya. Semakin sulit jalan yang harus dilalui Nabi, maka semakin banyak kebaikan yang diraih.

Semangat Mengantarkan Hidayah

Pribadi nabi yang kedua adalah Nabi sangat menginginkan umatnya selamat dan berprilaku baik. Hal ini tercermin dari kata harisun ‘alaikum bahwa nabi saw sangat menginginkan bagimu keimanan, keislaman, dan perbaikan kondisimu. Ibn Katsir mengatakan, nabi itu sangat menginginkan kita semua memperoleh hidayah sehingga senantiasa mampu bermanfaat untuk orang lain, baik di dunia maupun akhirat.

Dalam bahasa al-Razi, ia menyebutkan حريص على إيصال الخيرات إليكم في الدنيا والآخرة, artinya ingin menyampaikan kebaikan (sampai ke hati dan menjadi gaya hidup) kepada kita semua. Di dalam hadits lain disebutkan,

إن اللَّهَ لَمْ يُحَرِّمْ حُرمة إِلَّا وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ سَيَطَّلِعُهَا مِنْكُمْ مُطَّلَع، أَلَا وَإِنِّي آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ أَنْ تَهَافَتُوا فِي النَّارِ، كَتَهَافُتِ الْفِرَاشِ، أَوِ الذُّبَابِ

Dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengharamkan sesuatu melainkan Dia telah mengetahui bahwa kelak akan ada dari kalian yang melanggarnya. Ingatlah, sesungguhnya akulah yang menghalang-halangi kalian agar jangan sampai kalian berhamburan terjun ke neraka sebagaimana berhamburannya laron atau lalat”.

Nabi itu memiliki semangat yang mengembara (harisun) untuk mengantarkan dan menyampaikan hidayah kepada umatnya. Nabi tidak berputus asa hanya dengan satu cara, melainkan berbagai cara ia tempuh. Nabi juga tidak hanya berdakwah kepada yang jauh sehingga melalaikan sekitarnya.

Banyak fenomena pendakwah hari ini yang semangat ke sana kemari, tetapi kanan kirinya tidak. Justru, berdakwah harus dimulai dari sekitarnya. Apapun sarana prasarana yang ada, akan diambil demi mengantarkan/ menyampaikan hidayah kepada orang lain. Lebih dari itu, Nabi tidak membatasi diri untuk satu umat saja, melainkan menyentuh seluruh lapisan manusia, tanpa terkecuali.

Penyantun dan Penyayang terhadap Umat

Kepribadian nabi yang ketiga adalah bil mu’minina ra’ufun rahim (Nabi saw itu penyantun, penyayang dan mudah memaafkan orang lain). Nabi itu adalah pribadi yang pemaaf, dan kasih sayang kepada sesama. Sampai-sampai dikisahkan Nabi saw itu seringkali memaafkan dan mengasihi kepada sesama sekalipun pendosa.

Disampaikan Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil bahwa Nabi saw sangat penyantun kepada mereka yang taat akan perintah Allah dan penyayang kepada para pendosa. Senada dengan al-Baghawi, Muqatil bin Sulaiman dalam tafsirnya, menuturkan bahwa Nabi saw sangat penyayang dan belas kasihan kepada semua orang, sebagaimana yang digambarkan dalam kata al-Ra’fah (الرأفة), yaitu al-rahmah, selalu menyayangi, mengasihi dan memuliakan semua orang.

Bukti sikap kasih sayang nabi kepada manusia adalah Nabi Muhammad saw bangkit ketika ada sebuah prosesi pemakaman seorang Yahudi Madinah. Tatkala ia ditanya mengapa ia berdiri untuk seorang Yahudi, Nabi menjawab, “Bukankah ia seorang manusia?” (alaisat nafsan). (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Di sinilah letak keiistimewaan Nabi bahwa seluruh perkataan, perbuatan dan sikapnya selalu memandang dari segi kemanusiaan. Nabi melintasi sekat agama, ras, suku, budaya, bangsa. Nabi saw adalah suri tauladan untuk kita semua.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Habib Ali Al-Jufri bahwa kemanusiaan itu mendahului keberagamaan. Kemanusiaan mengajarkan umat manusia untuk memandang dan bersikap terhadap orang lain secara patut dan manusiawi. Kemanusiaan merupakan salah satu tafsiran atas rahmatan lil alamin. Wallahu A’lam.

TAFSIR QURAN

Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran (3)

5.  Mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah Salah Satu Tujuan Diturunkannya Al-Qur`an

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan,

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

“Al-Qur`an itu diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami maknanya dan mengamalkannya” [1]

Perhatikanlah, Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an. Tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an.

Yang pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu qira`ah, kedua: memahami makna atau tafsirnya,

ketiga: mengamalkannya

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah salah satu tujuan diturunkannya Al-Qur`an.

Jika seseorang sudah bisa membaca Al-Qur`an atau menghafalnya, ia barulah meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur`an. Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan dengan mempelajari tafsirnya, sehingga ia dapat mengamalkan isi Al-Qur`an.

6. Kesempurnaan Agama dan Dunia Seseorang Didapatkan dengan Mengetahui Tafsir Kitabullah dan Mengamalkannya

Berkata Al-Ashbahani rahimahullah:

و أما من جهة شدة الحاجة فلأن كل كمال ديني أو دنيوي عاجلي أو آجلي مفتقر إلى العلوم الشرعية و المعارف الدينية و هي متوقفة على العلم بكتاب الله تعالى.

“Adapun ditinjau dari kebutuhan (manusia) yang sangat (terhadap Tafsir Al-Qur`an), maka hal ini karena seluruh kesempurnaan agama atau dunia, baik yang disegerakan ataupun diakhirkan, membutuhkan kepada ilmu Syar’i dan pengetahuan agama, sedangkan semua itu terkait erat dengan pengetahuan tentang Kitabullah Ta’ala.” [2]

Sungguh benar ucapan beliau, “bukankah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya dijamin keluar dari kegelapan kepada cahaya?”

Allah Ta’ala berfirman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim: 1).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyampaikan manfa’at kepada makhluk, mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, kekufuran, akhlak yang buruk dan berbagai macam kemaksiatan kepada cahaya ilmu, iman, dan akhlak yang baik.  Firman Allah بِإِذْنِ رَبِّهِمْyang artinya dengan izin Tuhan mereka, maksudnya: tidaklah mereka mendapatkan tujuan yang dicintai oleh Allah, melainkan dengan kehendak dan pertolongan dari Allah, maka di sini terdapat dorongan bagi seorang hamba untuk memohon pertolongan kepada Tuhan mereka (semata). Kemudian Allah menjelaskan tentang cahaya yang ditunjukkan kepada mereka dalam Alquran, dengan berfirman, إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ yang artinya:“(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” maksudnya: yang mengantarkan kepada-Nya dan kepada tempat yang dimuliakan-Nya, yang mencakup atas ilmu yang benar dan pengamalannya. Dalam penyebutan العزيز الحميد setelah penyebutan jalan yang mengantarkan kepada-Nya, terdapat isyarat kepada orang yang menitinya, bahwa ia adalah orang yang mulia dengan pengaruh kemuliaan Allah, lagi kuat walaupun tidak ada penolong kecuali Allah, dan terpuji dalam urusan-urusannya lagi memperoleh akibat yang baik” (Tafsir As-Sa’di, hal. 478).

Dari penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa barangsiapa yang ingin keluar dari dosa-dosa, ingin keluar dari kekurangan dan kelemahannya menuju kepada kesempurnaan, maka perbanyaklah mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya, bukannya justru menyedikitkan hal itu sembari sibuk dengan urusan-urusan dunia, sehingga lalai dari belajar dan mengamalkan Al-Qur`an.

7. Mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah Sebab yang Besar Didapatkannya Kelezatan dalam Membacanya

Berkata Imam Ahli Tafsir di zamannya dan zaman setelahnya, sekaligus penulis kitab tafsir Jami’ul Bayan, Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah,

إني لأعجب ممن قرأ القرآن ولم يعلم تأويله كيف يلتذ بقراءته؟

“Sesungguhnya saya benar-benar heran kepada orang yang membaca Al-Qur`an, namun ia tidak mengetahui tafsirnya, maka bagaimana ia bisa merasakan kelezatan bacaannya?” (Mu’jamul Adibba`: 8/63, dinukil dari Muhadharat fi ‘Ulumil Qur`an).

Dengan demikian, jelaslah urgensi mempelajari tafsir  Al-Qur`an Al-Karim. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang dimudahkan mempelajari tafsir Kalam-Nya dan mengamalkannya. Amiin.

[Selesai]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30096-keutamaan-mempelajari-tafsir-alquran-3.html

Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran (3)

5.  Mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah Salah Satu Tujuan Diturunkannya Al-Qur`an

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan,

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به

“Al-Qur`an itu diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami maknanya dan mengamalkannya” [1]

 

Perhatikanlah, Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an. Tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur`an.

Yang pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu qira`ah, kedua: memahami makna atau tafsirnya,

ketiga: mengamalkannya

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah salah satu tujuan diturunkannya Al-Qur`an.

Jika seseorang sudah bisa membaca Al-Qur`an atau menghafalnya, ia barulah meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur`an. Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan dengan mempelajari tafsirnya, sehingga ia dapat mengamalkan isi Al-Qur`an.

6. Kesempurnaan Agama dan Dunia Seseorang Didapatkan dengan Mengetahui Tafsir Kitabullah dan Mengamalkannya

Berkata Al-Ashbahani rahimahullah:

و أما من جهة شدة الحاجة فلأن كل كمال ديني أو دنيوي عاجلي أو آجلي مفتقر إلى العلوم الشرعية و المعارف الدينية و هي متوقفة على العلم بكتاب الله تعالى.

“Adapun ditinjau dari kebutuhan (manusia) yang sangat (terhadap Tafsir Al-Qur`an), maka hal ini karena seluruh kesempurnaan agama atau dunia, baik yang disegerakan ataupun diakhirkan, membutuhkan kepada ilmu Syar’i dan pengetahuan agama, sedangkan semua itu terkait erat dengan pengetahuan tentang Kitabullah Ta’ala.” [2]

Sungguh benar ucapan beliau, “bukankah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya dijamin keluar dari kegelapan kepada cahaya?”

Allah Ta’ala berfirman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim: 1).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyampaikan manfa’at kepada makhluk, mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, kekufuran, akhlak yang buruk dan berbagai macam kemaksiatan kepada cahaya ilmu, iman, dan akhlak yang baik.  Firman Allah بِإِذْنِ رَبِّهِمْyang artinya dengan izin Tuhan mereka, maksudnya: tidaklah mereka mendapatkan tujuan yang dicintai oleh Allah, melainkan dengan kehendak dan pertolongan dari Allah, maka di sini terdapat dorongan bagi seorang hamba untuk memohon pertolongan kepada Tuhan mereka (semata). Kemudian Allah menjelaskan tentang cahaya yang ditunjukkan kepada mereka dalam Alquran, dengan berfirman, إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ yang artinya:“(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” maksudnya: yang mengantarkan kepada-Nya dan kepada tempat yang dimuliakan-Nya, yang mencakup atas ilmu yang benar dan pengamalannya. Dalam penyebutan العزيز الحميد setelah penyebutan jalan yang mengantarkan kepada-Nya, terdapat isyarat kepada orang yang menitinya, bahwa ia adalah orang yang mulia dengan pengaruh kemuliaan Allah, lagi kuat walaupun tidak ada penolong kecuali Allah, dan terpuji dalam urusan-urusannya lagi memperoleh akibat yang baik” (Tafsir As-Sa’di, hal. 478).

Dari penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa barangsiapa yang ingin keluar dari dosa-dosa, ingin keluar dari kekurangan dan kelemahannya menuju kepada kesempurnaan, maka perbanyaklah mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya, bukannya justru menyedikitkan hal itu sembari sibuk dengan urusan-urusan dunia, sehingga lalai dari belajar dan mengamalkan Al-Qur`an.

7. Mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah Sebab yang Besar Didapatkannya Kelezatan dalam Membacanya

Berkata Imam Ahli Tafsir di zamannya dan zaman setelahnya, sekaligus penulis kitab tafsir Jami’ul Bayan, Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah,

إني لأعجب ممن قرأ القرآن ولم يعلم تأويله كيف يلتذ بقراءته؟

“Sesungguhnya saya benar-benar heran kepada orang yang membaca Al-Qur`an, namun ia tidak mengetahui tafsirnya, maka bagaimana ia bisa merasakan kelezatan bacaannya?” (Mu’jamul Adibba`: 8/63, dinukil dari Muhadharat fi ‘Ulumil Qur`an).

Dengan demikian, jelaslah urgensi mempelajari tafsir  Al-Qur`an Al-Karim. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang dimudahkan mempelajari tafsir Kalam-Nya dan mengamalkannya. Amiin.

[Selesai]

 

MUSLIMorid

Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran (1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Apakah “Tafsir” itu?

Tafsir (التفسير), secara bahasa diambil dari kata الفسر yang bermakna menyingkap sesuatu yang tertutup sehingga menjadi jelas.[1] Jadi, sebagaimana dijelaskan oleh pakar bahasa Arab, Ibnul Faris dalam Mu’jam Maqayis Al-Lughah bahwa makna bahasa dari kata tafsir adalah penjelasan sesuatu.[2] Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala

وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) syubhat, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (QS. Al-Furqan: 33).

Adapun secara istilah, beragam para ulama dalam mendefinisikannya, Syaikh Al-Utsaimin dalam kitabnya Ushulun fit Tafsir mendefinisikan istilah tafsir dengan definisi berikut.

بيان معاني القرآن الكريم

“Penjelasan makna Al-Qur`an Al-Karim.”[3]

Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi ‘Ulumul Qur`an mendefinisikan tafsir sebagai berikut.

علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.

“Ilmu yang dengannya dapat diiketahui (kandungan) Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat diketahui penjelasan makna-maknanya serta bisa dikeluarkan hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya” (Al-Burhan fi ‘Ulumul Qur`an, hal. 22).

 

Wallahu a’lam, definisi yang tepat adalah definisi yang disampaikan oleh Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah di atas, dan insyaallah akan ditulis sebuah artikel yang menjelaskan tentang alasan ilmiahnya.

Keutamaan Mempelajari Tafsir Al-Qur`an

Ilmu tafsir Al-Qur`an termasuk ilmu yang paling mulia. Hal ini ditinjau dari beberapa alasan berikut ini.

1. Materi Ilmu Tafsir adalah Materi Pelajaran yang Paling Mulia

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Miftah Daris Sa’adah: 1/86 mengatakan,

وهو أن شرف العلم تابع لشرف معلومه

“Bahwa kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan materi yang dipelajari dalam ilmu tersebut.”

Jelaslah bahwa ilmu Tafsir termasuk ilmu yang paling mulia karena materi yang dipelajari darinya adalah kalamullah. Hal ini karena tidak ada satu pun dari ucapan yang lebih mulia dari firman Allah Ta’alaoleh karena itu pantaslah jika termasuk diantara ilmu yang paling mulia.

2. Mempelajari Tafsir Al-Qur`an adalah Jenis Mempelajari Al-Qur`an yang Paling Mulia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya” (HR. Imam Al-Bukhari).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah setelah membawakan hadits di atas, lalu menjelaskan,

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها، وتعلم معانيه وتعليمها

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:

  • (1) mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya, dan
  • (2) mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya,

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود، واللفظ وسيلة إليه.

“Yang terakhir inilah (no.2) merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia, karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an  adalah sarana untuk mencapai maknanya.”

فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها

“Maka  mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sebuah tujuan.”

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه  تعلم الوسائل وتعليمها

“sedangkan mempelajari dan mengajarkan lafadz semata (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sebuah sarana.

وبينهما كما بين الغايات والوسائل

“Dan (perbandingan) diantara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.”[4]

[Bersambung]

 

 

MUSLIMor.id

Sejarah Penafsirkan al-Qur’an di Indonesia (2)

Bagaimanapun, akhirnya, terjemahan tidak beredar luas di masyarakat. Polemik terjemahan The Holy Quran ini membuat seorang ulama, bernama Syeikh Imran Basyuni dari Sambas, tergerak untuk menanyakan keabsahan Holy Quran sebagai sumber ilmu agama kepada Rashid Ridha melalui Majalah Al Manar di Mesir. (Ichwan : 2001). Nyatanya Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduhlah yang lebih mewarnai perkembangan tafsir di Hindia Belanda.

Tafsir Al Manar, dimuat oleh Majalah Al Imam sejak 1908. Majalah ini ditenggarai merupakan pers Islam pertama di nusantara, dipimpin oleh Syeikh Thahir Jalaluddin. Majalah ini sangat mempengaruhi Haji Rasul (ayah dari Buya Hamka), sehingga ia membuat majalah Al Munir.

Dari tangan Haji Rasul pula lahir sebuah Tafsir Juz Amma, yang berjudul Al Burhan, Tafsir Juz Amma, di Padang tahun 1922.

Tafsir ini masih menggunakan bahasa Melayu-Jawi yang beraksara Arab. Dari Sumatera Barat pula, ditahun yang sama, lahir sebuah tafsir yang nantinya menjadi cikal bakal tafsir lengkap 30 juz yang berbahasa Indonesia. Tafsir ini dikenal dengan nama Tafsir Al Qur’an Al Karimkarya Mahmud Yunus. (Gusmian : 2002)

Tafsir Mahmud Yunus ini awalnya terbit hanya 3 juz pertama dalam Al Quran saja. Semula tafsir ini ditulis dalam huruf Arab berbahasa Melayu Jawi. Kemudian penulisan tafsir ini dilanjutkan oleh H. Ilyas Muhammad Ali dibawah bimbingan Mahmud Yunus. Lalu pada tahun 1935 penulisan itu dilanjutkan oleh HM Kasim Bakry sampai juz ke 18. Sisanya dilanjutkan oleh Yunus sendiri dan rampung pada tahun 1938. (Gusmian : 2002).*

Tafsir Depag

Di tahun 1930-an penulisan tafsir sedang bergeliat. Selain Tafsir karya Mahmud Yunus, muncul pula Al Furqan Tafsir Qur’an karya A. Hassan dari Persis. Tafsir ini mulanya diterbitkan pada tahun 1928 hanya juz pertama saja. Kesibukan A. Hassan memaksanya menunda kelanjutan tafsir tersebut. Pada tahun 1953, tafsir tersebut ditulis kembali sebanyak 30 juz. Selain tafsir Al Furqon, hadir juga tafsir Al Quran Al-Karim karya tiga serangkai dari Binjai, Langkat, Sumatera Timur. Di tulis oleh Ustadz H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. Pertama kali diterbitkan dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937 dan terbit sebulan sekali.

Selama tahun 1937-1941, tafsir ini terbit dengan memuat juz I dan II dalam bahasa Melayu beraksara arab. Tafsir ini kala itu dipakai diseluruh Sembilan kerajaan di Malaysia. (Gusmian : 2002)

Di era tahun 50-an, dikerjakan penulisan Tafsir Al Quran oleh H. Zainuddin Zamidy dan Fachruddin HS. Tafsir ini kemudian terbit di tahun 1959. Namun tahun 1958, menjadi penanda lahirnya sebuah tafsir yang cukup fenomenal. Lahir dari tangan Buya Hamka, seorang ulama sekaligus sastrawan yang disegani. Awalnya penafsiran ini diberikan melalui kuliah subuh di Masjid Al Azhar, Kebayoran baru, Jakarta.  Dan dimulai dari surah Al Kahfi, Juz ke-15. Kemudian sejak 1962, ceramah tafsir ini dimuat di Majalah Gema Islam dalam suasana politik rezim otoriter orde lama. Pada tanggal 27 Januari 1964, Buya Hamka ditangkap karena dituduh berkhianat pada pemerintah. Selama 2,5 tahun dia ditahan tanpa dibuktikan kesalahannya. Namun dimasa itu pula ia berjabat dengan hikmah. Selama masa penahanannya-lah tafsir fenomenal itu diselesaikan dan akhirnya diterbitkan pada tahun 1967 dengan namaTafsir Al Azhar. (Gusmian : 2002)

Di tahun yang sama pula, 1967, Departemen agama mengeluarkan Tafsirnya yang dikerjakan secara kolektif, berjudul Quran dan Tafsirnya. Tafsir Departemen Agama RI ini, dibawah Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran Quran. Salah satu anggota yayasan ini, TM Hasby Ash-Siddieiqy, juga menulis tafsir sejak era 50an dan kemudian diterbitkan tahun 1971 dengan nama Tafsir Al Quran Al karim Al Bayan. (Gusmian : 2002)

Geliat penulisan tafsir setidaknya dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Geliat penulisan tafsir, tampaknya bertolak dari titik yang sama. Buya Hamka ketika menulis tafsir Al Azhar menjelaskan;

“Bangkitnya angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi Al Qur’an di jaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, karena menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi ‘rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu,’ untuk mereka inilah khusus yang pertama ‘tafsir’ ini saya susun.” (Hamka : 2004)

Mungkin semangat inilah yang juga bertolak dari para penafsir Quran di tanah air. Bertolak pada niat mencondongkan hati dan pikiran umat kepada Al Qur’an, yang dirintangi oleh kendala bahasa. Dan mungkin saja diantara banyak tafsir tersebut, ada yang luput dari tulisan singkat ini. Namun setidaknya kita dapat melihat sebuah benang merah yang merangkai penulisan tafsir Qur’an di Indonesia. Meskipun jenisnya beragam, dan ditulis oleh bermacam-macam penafsir dengan latar belakang yang berbeda-beda, namun, kita dapat melihat, di setiap karya mereka, selalu bersandar pada tafsir-tafsir yang lebih awal dan senantiasa merujuk pada tafsir-tafsir yang terkemuka dan diakui keilmuannya.*

Daftar Pustaka

Beck, Herman L. 2005. The Rupture Between The Muhammdiyah and The Ahmadiyya dalam Bijdragen Tot de Taal,- Land en Volkenkunde (BKI) 161-2/3.
Federspiel, Howard M. 1996. Kajian Al-Quran di Indonesia. Bandung: Mizan
Feener, Michael R. 1998. Notes Towards The History of Quranic Exegesis In Southeast Asia dalam Studia Islamika vol. 5 No. 3
Gusmian, Islah. 2002. Khzanah Tafsir Indonesia. Jakarta: Teraju.
Nur Ichwan, Moch. 2001. Differing Responses to An Ahmadi Translation and Exegesis. The Holy Quran in Egypt and Indonesia dalam Archipel Vol. 62
Prof. Dr. Hamka. 2004. Tafsir Al Azhar Jilid I. Jakarta. Pustaka Panjimas.
Riddel, Peter. 1989. Earliest Quranic Exegetic Activity in The Malay Speaking States dalam Archipel Vol 38.
Van Bruissen, Martin. 2012. Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipergunakan di Lingkungan Pesantren dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading

 

Oleh: Beggy Rizkiyansyah

Ilustrsi: Tafsir quran karim oleh prof h mahmud junus … cetakan ke 15 … 1973 m

HIDAYTULLAH