Anda Pilih Mana? Kekayaan, Kekuasaan Atau Cinta

DIKISAHKAN ada tiga orang sahabat bernama Ahmad, Umar, dan Aziz. Mereka telah bersama-sama sejak kecil. Di usianya yang telah dewasa kini, mereka bertukarpikiran bagaimana mereka bisa keluar dari garis kemiskinan di kampung tempat tinggalnya.

Setelah berdiskusi, mereka bertiga bersepakat untuk pergi dari kampung halaman mereka untuk mencari sebuah keberuntungan di luar sana. Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah kendi. Setelah diputuskan untuk membawa serta kendi tersebut, secara mengejutkan munculah seorang kakek dari dalam kendi tersebut.

“Aku adalah seorang kakek yang akan mengabulkan tiga pilihan manusia yang menyelamatkanku dari kendi itu. Aku punya tiga pilihan. Masing-masing dari kalian akan mendapatkan satu di antaranya.”

“Apakah tiga pilihan tersebut?” Ahmad dan Umar tidak sabar mendengar pilihan-pilihan tersebut.

“Kekayaan, kesuksesan, dan cinta.”

“Aku memilih kekayaan,” ujar Ahmad cepat.

“Aku memilih kekuasaan,” sela Umar.

“Aku lebih menyukai cinta,” ucap Aziz tenang.

Sang kakek tersenyum, lalu berkata, “Baiklah. Sekarang lanjutkan perjalanan kalian. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian pilih saat ini.”

Ahmad dan Umar segera berlari ke kota hingga melupakan kendi tersebut. Di belakangnya, Aziz meraih kendi tersebut dan berjalan menyusul kedua sahabatnya.

Apa yang dikatakan oleh sang kakek pun benar. Sepulangnya dari merantau, ketiganya mengalami perubahan nasib.

Ahmad yang awalnya bekerja di toko kelontong memperoleh warisan toko tersebut dari sang pemiliknya. Ia pun berhasil mengembangkan usaha tersebut dan menjadi saudagar yang kaya raya. Hanya saja, kekayaan mengubah perangai Ahmad yang membuatnya tidak disukai siapapun.

Sesuai dengan pilihannya, Umar pun menjadi penguasa yang sukses menguasai kota tempat tinggalnya. Ia mudah dan bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Sayangnya, kekuasaan telah mengubah perangai santun Umar menjadi zalim. Masyarakat tidak menyukainya sampai-sampai hidupnya berakhir di tangan rakyatnya tersebut.

Sementara Aziz yang telah memilih cinta, hidup dengan penuh kedamaian dan suka cita. Ia menjadi sosok yang disukai hampir semua orang. Aziz pun menjadi orang yang bermanfaat karena suka menolong. Ternyata sejak awal ia sudah menyadari bahwa kekayaan dan kekuasaan tidak akan ada artinya tanpa cinta. Aziz memang tidak sekaya Ahmad, tapi setiap orang menyayanginya. Runtuhnya kekuasaan Umar pun membuat Aziz dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai pemimpin.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan nabi dan syuhada menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya di sisi Allah Swt.”

Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tolong kami beri tahu siapa mereka?” Rasulullah menjawab, mereka adalah satu kaum yang cinta mencintai dengan ruh Allah Swt tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat di antara mereka serta tidak ada hubungan harta benda yang ada pada mereka. Maka, demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa di kala orang lain takut, dan mereka tidak berduka cita di kala orang lain berduka cita.” (HR Abu Daud) [An Nisaa Gettar]

 

INILAH MOZAIK

Kilau (Harta) yang Menipu

Oleh Hafidz Muftisany

Hati siapa yang tidak tertarik dengan godaan harta. Terlebih seseorang seharusnya mendapatkan bagian harta tertentu setelah ia berjuang keras. Berjuang hingga risiko antara hidup dan mati hanya dipisahkan benang tipis.

Ketertarikan atas harta yang lantas tak sesuai dengan harapan tentu memunculkan gundah. Keresehan itu pula yang dialami oleh kaum Anshar saat Perang Hunain nan berat itu sudah usai. Kaum Muslimin mendapat kemenangan yang besar.

Seperti laiknya perang-perang lain, kaum Muslimin pun berhak mendapat harta rampasan perang (ghanimah). Namun alangkah kecewanya kaum yang menerima Nabi SAW saat ia diusir dari kaummnya itu. Nabi SAW justru memberikan bagian harta ghanimah kepada orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam semisal Abu Sufyan, ‘Uyainah, Al Aqra’ dan Suhail bin ‘Amar.

Maka jiwa-jiwa manusia biasa kaum Anshar menyeruak protes. Kenapa orang yang dulunya memusuhi Nabi SAW dan baru masuk Islam mendapat bagian? sementara mereka yang menolong Nabi SAW dan kaum muhajirin, pulang dengan tangan hampa.

Rasulullah seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad, lantas menemui dan menjawab kegundahan sahabat-sahabatnya dari Anshar itu. “Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar,” ujar Nabi SAW dalam kalimatnya yang bersejarah, “manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar.”

Kita paham bagaimana akhir dari kisah ini. Siapakah yang lebih beruntung bisa membawa serta Rasulullah SAW bersama mereka dibandingkan sampah dunia bernama harta. Sesenggukan wajah-wajah Anshar itu terdengar saling bersahutan. Air mata penyesalan mereka basah mengaliri hingga janggut-janggut mereka.

Begitulah kita sejatinya diajarkan untuk bersikap terhadap harta. Memiliki keinginan untuk menguasai harta adalah sesuatu yang wajar. Namun pada hakikatnya, harta hanyalah sebuah sarana. Seperti hanya Rasulullah SAW memberikan harta kepada kaum Quraisy yang baru masuk Islam. Semua itu hanya sarana untuk mengikat hati mereka agar tetap bersama dakwah.

Sementara Rasulullah SAW paham, sejatinya kaum Anshar tak memerlukan itu semua. Bagi mereka yang mengutamakan kaum muhajirin di atas diri mereka sendiri, tentu harta bukanlah yang paling utama. Jika kaum Anshar menangis tersedu karena mereka “mendapat” Rasulullah SAW, kita justru tergugu jika harta kita berkurang.

Otak kita seakan disetting hanya untuk mencari uang dan materi. Bukan dengan niat jihad mencari nafkah, namun demi memenuhi buas nafsu diri. Terkadang waktu yang kita miliki tak cukup 24 jam guna mencari pundi-pundi rupiah. Demi sebuah tas bermerk agar tak lagi dijauhi dalam kumpulan arisan-arisan masa kini.

Kehidupan kini hanya berjalan dari satu transaksi ke transaksi berikutnya. Dari satu lembur ke lembur yang sama keesokannya. Muara semuanya itu hanya kelelahan raga dan jiwa yang tak pernah tenang. Terlalu keras mengais emas terkadang turut melenakan kita pada hal-hal kecil yang sejatinya butuh perhatian.

Mengejar tender milyaran bagi kita masih terlalu penting dibanding mengajari anak-anak kita belajar huruf hijaiyah agar mereka dapat membaca kitab sucinya. Kita lupa membantu mengejakan hukum-hukum tajwid agar kelak saat kita mati, si anak dengan lancar memimpin barisan shalat jenazah.

Padahal bisa jadi bekal yang sangat ia perlukan bukanlah properti tak bergerak senilai puluhan miliar. Yang mereka butuhkan sejatinya adalah apa yang kaum Anshar butuhkan. Kehadiran sosok Rasulullah SAW. Mereka jauh lebih beruntung membawa pulang Nabi Muhammad SAW ke kota mereka. Lantas menyerap saripati hidup yang sebenarnya.

Semoga kita ini seperti orang-orang Anshar yang mendapat keistimewaan untuk “membawa pulang” Rasulullah SAW bersama mereka. Karena mereka sadar, meski ketertarikan pada kilau harta sangatlah normal namun tak akan bisa menggantikan kilau cahaya hakiki dari Muhammad SAW

 

sumber: Republika Online