Bulan Politik, Bangun Kebersamaan dan Perdamaian

SUASANA semakin panas bukan karena matahari yang terlalu terik menyapa bumi. Rintik hujan masih mampu menyeimbangi panas matahari itu. Suasana semakin sumuk bukan karena tak ada AC atau pendingin ruangan lainnya.

Jendela dan pintu yang terbuka leluasa memberikan izin angin semilir menyapa ruangan-ruangan kita. Jangan-jangan yang menyebabkan suasana panas dan sumuk itu adalah tiadanya rintik air mata kasih sayang dan tiadanya jendela hati serta pintu rasa yang terbuka. Mari kita periksa.

Menjelang Pilpres tanggal 17 April ini, hampir semua warung kopi menjadi ruang debat masyarakat umum, hampir semua instrumen media sosial dipenuhi oleh aksi saling serang, saling caci, saling hina karena perbedaan pilihan. Jarang sekali yang saling apresiasi, saling menghormati dan menghargai. Ada apa ini sesungguhnya?

Semuanya seakan merasa dirinya adalah yang paling tahu dan yang paling benar. Mengapa mereka tidak memunculkan jawaban atas satu pertanyaan saja: “Apakah saya sudah menyampaikan pendapat saya dengan cara yang baik agar menjadi manusia terbaik di hadapan Allah?” Kalaulah satu pertanyaan itu terlalu berat, mengapa tidak selalu tanyakan kepada dirinya sendiri sebelum melakukan aksi: “Inilah yang diajarkan pancasila agar saya menjadi pancasilais?”

Dunia kampuspun ikut-ikut heboh, saling serang dan saling depresiasi, walau kadang dibungkus dengan beberapa teori dan referensi. Samar-samar mengemuka kembali pengelompokan-pengelompokan; muncul kembali garis tebal ‘ideologi’ pemisah persatuan yang sesungguhnya sempat menguat.

Positifkah efek kondisi seperti ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Kajian akademik murni dengan semangat obyektifitas yang baiklah yang akan mencerahkan. Sementara kajian yang bermotif biasanya hanya akan mengeruhkan suasana.

Teringatlah saya pada sebuah buku yang saya pernah resensi, buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (Mengapa orang-orang baik itu dipisah-pisahkan oleh politik dan agama). Buku ini layak dibaca untuk direnungkan. Ada banyak orang baik dan benar selain kita. Sangat bisa jadi bahwa kita dan mereka adalah sama dalam banyak hal selain masalah pilihan presiden. Pahami pandangan dan pilihan mereka, hargailah mereka dan hormati mereka, maka persatuan akan tetap terjaga, kedamaian terus terpelihara.

Pagi ini, atas dasar kesedihan saya akan kondisi bangsa yang kini dipenuhi caci-maki, saya tuliskan status pendek: “Manusia itu dilahirkan berbeda-beda satu dengan yang lainnya dalam segala hal. Mulai dari warna kulit sampai warna mata, mulai dari keinginan akal sampai keinginan hati. Berusaha keras untuk menjadikan semua sama adalah melanggar fitrah. Cukuplah saling menghormati dan menghargai, jangan saling mencaci dan merendahkan.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK