Memahami Kalimat Takwa

Takwa adalah menaati apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, bukan sebaliknya

TAKWA (atau taqwa), adalah kata yang selalu kita dengarkan di setiap khutbah Jumat, saking penting nya takwa, Allah perintahkan untuk mewasiatkan bertakwa disetiap khutbah Jumat yang biasa disampaikan dengan kalimat marilah kita tingkatkan iman dan takwa.

Takwa dalam artian menjalankan segala perintah nya dan menjauhi segala larangan nya. Bahkan menjadi rukun di dalam khutbah yang dimana ketika salah satu rukun tidak di kerjakan maka batal lah suatu ibadah tersebut.

Jadi takwa adalah menaati apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Bukan malah sebaliknya menjalankan larangan nya dan menjauhi perintahnya, nyatanya sekarang ada orang yang mengharapkan rizki dari permainan judi-judi online.

Bekerja siang malam sampai melupakan sholat, bekerja siang malam untuk mencari rezeki dengan cara meninggalkan sang pemberi rezeki? Sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin.

Maka seharusnya kita sebagai mahluk selalu butuh kepada Khaliq ( sang pencipta ), Dialah yang memberikan rizki dan hanya kepadaNyalah kita akan kembali, jadi disetiap ikhtiar atau usaha kita ingatlah selalu untuk membersamainya dengan do’a dan tawakkal kepada Allah, karena usaha tanpa doa sombong, doa tanpa usaha bohong.

Karena dengan takwa itu sendiri akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat, karena apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah semuanya baik dan bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia maupun di akhirat.

Tidak ada satupun larangan ataupun perintah yang tidak ada manfaatnya ataupun hikmah didalamnya. Sebagaimana firman Allah SWT yang terdapat pada surat Ali-Imron ayat 102 :

قال تعالى : يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَاَنۡـتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.”

Kosa Kata dan Makna Takwa

Kata  اٰمَنُوۡا berasal dariآمَنَ – يُؤْمِنُ – إِيْمَانًا  yang memiliki arti beriman atau percaya, dikarenakan fi’il tersebut terdapat dhomir  هُمْ maka jadilah اٰمَنُوۡا. Iman memiliki arti membenarkan dengan hati, mengakui/menetapkan dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota tubuh. (Abu Al-Qasim Muhammad ibn ar-Raghib al Asfahani, al-Mufrodat fi Ghoribul Qur’an (Dar Ma’rifah, Beuirut) jilid 1, H. 26).

Kata اٰمَنُوۡا aamanuu merupakan sebuah fi’il madhi atau kata kerja lampau.

Kata اتَّقُوا merupakan sebuah fi’il amr (kata perintah), kata اتَّقُوا berasal dari kata    اتّقَى – يَتَّقِى – اِتِّقاَءً   yang memiliki arti bertakwa, yang mengikuti wazan اِفْتَعَلَ – يَفتَعِلُ -اِفْتِعاَلاً . takwa merupakan menjaga diri dari sesuatu yang merugikan ataupun membahayakannya, serta menjaga dari azab allah SWT dengan taat kepadanya. (Muhammad Ali Ash-shobuni, Shofwatut Tafaasiir, Darul Qur-an Al-karim, Beirut, h. 31).

Kata مُّسۡلِمُوۡنَ muslimuun merupakan sebuah bentuk isim fa’il, kata tersebut adalah bentuk jamak sedangkan untuk bentuk mufrod (tunggal) nya adalah musliim مُسْلِمٌ  kata tersebut besaral dari أَسْلَمَ – يُسْلِمُ – اِسْلاَماً (isalama – yuslimu- aslama) yang memiliki arti berserah diri, yang mengikuti wazan أَفْعَلَ – يُفْعِلُ – اِفْعاَلاً. (Muhammad Ma’sum bin Ali, Amtsilaatu at-Tashrifiyyah, Pustaka Alawiyah, Semarang,  h. 16).

Adapun uraian tafsir dari ayat di atas dalam Tafsir Al-wasith terkait dengan firman allah SWT :

قَوْلُهُ تَعاَلىَ : : يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه

Ibnu mas’ud berkata, maksud dari  حَقَّ تُقٰتِه adalah taat dan tidak membangkang, mengingat dan tidak melupakan, bersyukur serta  tidak kufur. Dan kalbi berkata dari ibnu abbas : ketika diturunkannya ayat ini kaum muslim mengalami penderitaan yang sangat dahsyat dan mereka tidak tahan akan hal tersebut.

Dan maksud kalimat حَقَّ تُقٰتِه adalah taat dan tidak membangkang, mengingat dan tidak melupakan, bersyukur serta  tidak kufur. Seseorang tidak mampu/kuasa akan perihal tersebut maka  allah SWT menurunkan ayat فاتقوا اللهَ ماستطعتم, tidaklah seorang hamba dibebani ketaatan serta ibadah kepadanya kecuali dengan semampunya. Maka ayat ini menaskh ayat sebelumnya. (Abu Hasan Ali Ahmad al-Wahidi al-Nisaburi, Tafsir al-Wasith, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut) jilid 1, h. 472)

Adapun Dr Ali Ash-Shobuni mengatakan dalam tafsirnya bahwa maksud dari  حَقَّ تُقٰتِه adalah dengan takwa yang sebenar-benarnya yaitu dengan meninggalkan segala kemaksiatan kepadanya. 

Abu Ja’far berkata; “Wahai kalian yang telah percaya (membenarkan) bahwa Allah adalah Tuhan dan nabi muhammad adalah utusannya, ( اتَّقُوا اللّٰهَ ) takutlah kepada allah SWT dengan ketaatan kepadanya serta meninggalkan seluruh kemaksiatan.”

Muhammad bin Misyar menceritakan kepada kami, ia berkata; “Abdur Rahman menceritakan kepada kami, ia berkata: “dan Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata; Abdur Razak mengabarkan kepada kami, ia berkata : Tsauri mengabarkan kepada kami, dari Zubaid dari Murrah dari Abdullah : اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه , ia berkata taat dan tidak membangkang, mengingat dan tidak melupakan, bersyukur serta  tidak kufur . (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Maktabah ibnu Taimiyah, Qohirah, jilid 5, h. 65).

Saking penting nya takwa, Allah perintahkan untuk mewasiatkan bertakwa di setiap khutbah Jumat, yang biasa disampaikan dengan kalimat “marilah kita tingkatkan iman dan takwa, takwa” dalam artian menjalankan segala perintah nya dan menjauhi segala larangan nya.

Jadi takwa adalah menaati apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Bukan malah sebaliknya menjalankan larangan nya dan menjauhi perintahnya, nyatanya sekarang ada orang yang mengharapkan rizki dari permainan judi-judi online.

Bekerja siang malam sampai melupakan shalat. Bekerja siang malam untuk mencari rezeki dengan cara meninggalkan sang pemberi rezeki? Sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin. Wallahu a’lam bishowab.*/ Ikrar Rafi Hakiki, pengajar di Pondok Pesantren Daar El-Haq Rangkasbitung, Lebak, Banten

HIDAYATULLAH

2 Tanda Ketakwaan Hamba dan 5 Jalan Jaga Anggota Tubuh

Ketakwaan seorang hamba bisa diketahui secara kasat mata

Orang Muslim bertakwa memiliki beberapa tanda yang terlihat. Orang bertakwa senantiasa melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua Larangan-Nya.

Dikutip dari buku Jangan Takut Hadapi Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, terdapat dua tanda ketakwaan seorang hamba, di antaranya: 

1. Senantiasa menjaga sholat   

Allah ﷻ telah menyebut rutinitas ibadah sholat  dengan menjaga dan memelihara. Di dalam surat Al Maarij ayat 34 Allah ﷻ  berfirman: 

وَالَّذِيۡنَ هُمۡ عَلٰى صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُوۡنَؕ  

“Dan orang-orang yang memelihara sholatnya.” 

Maka barangsiapa yang senantiasa menjaga ibadah sholat nya, baik dari sisi ketepatan waktu, kekhusyukan, ketundukan, maupun mendirikannya dengan berjamaah, niscaya Allah ﷻ akan menjaga dirinya di saat orang-orang mengalami kebinasaan dan kehilangan pegangan. 

اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ 

“Sesungguhnya sholat  itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al Ankabut ayat 45). 

2. Menjaga anggota badan  

Di antara cara agar mendapatkan penjagaan Allah ﷻ adalah dengan menjaga anggota badan dari segala bentuk maksiat dan mempergunakannya untuk menjalankan ketaatan kepada Allah ﷻ, yaitu sebagai berikut:  

Pertama, menjaga hati  

Penjagaan Allah ﷻ akan diturunkan manakala seorang hamba menjaga hatinya dari segala keinginan dan sesuatu yang syubhat. Jika segumpal daging ini hilang dari seorang hamba, maka semuanya akan hilang pula. Segumpal daging ini adalah hati.  

Kedua, menjaga lisan  

Cara seseorang yang menjaga Tuhannya, di antaranya adalah dengan menjaga lisannya. Lisan (lidah) merupakan salah satu anggota tubuh yang sangat penting sekali karena segala bentuk maksiat dan perbuatan mungkar itu bermula dari lisan.  

Laa ilaaha illallaah, berapa banyak orang yang terjerembab dalam kehinaan karena lisannya, dan berapa banyak orang bergelimang noda dan dosa karena lisannya. Berapa banyak orang yang amal perbuatannya tiada arti karena sum’ah.  

Ketiga, menjaga pendengaran  

Hal lain dari menjaganya seseorang terhadap Tuhannya adalah ketika ia menjaga pendengarannya. Ia hanya menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu yang bermanfaat dan bernilai positif baik di dunia maupun di akhirat.  

Keempat, menjaga pandangan 

Mata, jika dibiarkan memandang sesuatu yang haram, merupakan salah satu panah iblis. Dan barangsiapa yang memejamkan matanya dari sesuatu yang haram, maka Allah ﷻ akan menggantinya dengan manisnya iman yang tertanam dalam kalbunya.  

Kelima, menjaga perut 

Sesuatu yang seharusnya dijaga setiap Muslim adalah perutnya. Hendaknya ia menjaga perutnya dari makanan yang haram, sehingga ia tidak akan makan kecuali makanan yang halal dan yang diperbolehkan Allahﷻ.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Takwa dalam Al-Qur’an

Ketika Allah Swt memerintahkan kaum mukminin untuk berpuasa, Allah menyebutkan tujuan dibaliknya yaitu untuk meraih ketakwaan. Seperti dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.al-Baqarah:183)

Takwa adalah tingkatan tertinggi dalam ibadah kepada Allah Swt. Yaitu ketika seorang hamba memiliki perlindungan dari kemarahan, kemurkaan dan siksa Allah Swt. Tentunya perlindungan itu di raih karena ketaatan kepada Allah, rasa takut kepada siksa-Nya dan meninggalkan segala perbuatan maksiat kepada-Nya.

Pondasi ketakwaan adalah rasa takut kepada Allah. Dan itu adalah urusan hati. Seperti dalam Firman-Nya :

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS.al-Haj:32)

Dan kita temukan dalam Al-Qur’an bahwa takwa adalah perintah pertama sebelum perintah lainnya. Karena ketakwaan adalah pendorong untuk melakukan semua kebaikan yang lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS.al-Ma’idah:35)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (QS.al-Ahzab:70)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS.atTaubah:119)

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman” (QS.al-Anfal:1)

Dan terkadang, takwa juga disebutkan sebelum Allah memberikan larangan. Karena selaian pendorong kepada kebaikan, takwa juga menjadi perisai yang melindungi kita dari keburukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.al-Baqarah:278)

Lebih dari itu, semua Rasul yang di utus oleh Allah kepada umat manusia membawa satu seruan yang sama yaitu mengajak kepada takwa.

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ

“maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS.asy-Syuara:150)

Karena itulah wasiat yang terpenting yang disampaikan oleh Allah kepada kaum terdahulu hingga akhir zaman menurut Al-Qur’an adalah wasiat tentang takwa.

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (QS.an-Nisa’:131)

Namun Al-Qur’an mengingatkan bahwa sekedar takwa saja tidak cukup, namun harus meraih takwa yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS.Ali Imran:102)

Takwa bukan berarti kemaksuman dari dosa, namun ketakwaan adalah sebuah karakter yang dimiliki seorang mukmin sehingga hatinya selalu sadar dan hidup.

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS.al-A’raf:201)

Ketika kakinya tergelincir kepada kesalahan, ia segera memohon ampun dan kembali kepada Tuhannya. Sebagaimana sifat yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang bertakwa :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS.Ali Imran :135)

Semoga Allah menggabungkan kita bersama orang-orang yang bertakwa.

KHAZANAH ALQURAN

Taqwa, Solusi Semua Masalah

SUATU hari Malik al-Asy’ari RA datang kepada Rasulullah ﷺ . Dia mengeluh, “Putraku Auf ditawan oleh kaum musyrikin.”  Rasulullah ﷺ  mengatakan agar dirinya bersabar, in sya Allah akan ada jalan keluar dari kesempitan itu.

Rasulullah juga menganjurkan supaya memperbanyak membaca “Laa haula walaa quwwata illa billah.”  Ketika itu Auf diikat oleh kaum musyrikin dengan tali dari kulit. Atas izin Allah SWT, tiba-tiba ikatan itu terlepas. Auf bebas kemudian pergi dengan mengendarai seekor unta.

Di tengah perjalanan, Auf menemukan ternak milik orang-orang musyrik. Ternak itu kemudian digiring hingga sampai di depan rumah orangtuanya.

Tentu saja Malik dan istrinya terkejut dengan kedatangan putranya. “Auf, demi Allah yang memiliki Ka’bah, bagaimana bisa terlepas padahal diikat sedemikian rupa?”

Orangtuanya semakin terkejut ketika melihat Auf membawa binatang ternak yang begitu banyak sehingga memenuhi halaman rumah. Kata ayahnya, “Aku akan bertanya kepada Nabi ﷺ .”

Terkait dengan status ternak itu, Nabi ﷺ  berkata, “Berbuatlah sebagaimana engkau berbuat terhadap harta kekayaanmu sendiri.”(Riwayat Ibn Ishaq).

Dalam riwayat Ibnu Jarir, kemudian turun ayat:

وَمَنۡ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجۡعَلْ لَّهٗ مَخۡرَجًا

وَّيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُ‌

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeqi dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (ath-Thalaq [65]: 2-3). (Disadur dari Tafsir Ibnu Katsir, hal 103).

Bahagia dalam Masalah

Tak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini seringkali muncul berbagai masalah. Mulai dari yang sangat sederhana hingga yang rumit dan sulit terpecahkan. Hal itu akan selalu menghiasi ritme perjalanan hidup kita.

Cara manusia menyikapi masalah itu berbeda-beda. Ada sebagian yang mudah berputus asa. Marah, benci, bahkan memaki-maki keadaan dan berprasangka buruk kepada Allah SWT. Kemudian ia melarikan jiwa dan raganya kepada perbuatan dan tempat maksiat. Disangkanya cara seperti itu adalah jalan untuk menyelesaikan masalah.

Sungguh, cara seperti itu bukanlah jalan penyelesaian. Justru persoalan makin menjadi-jadi. Akhirnya jiwanya pun makin merana. Sikap seperti itu bukanlah sikap yang baik sebagai hamba Allah SWT. Orang beriman mutlak menjauhi sikap-sikap yang tak terpuji itu.

Sebagian yang lain bisa bersikap tabah. Tampak dalam jiwanya ketenangan. Meski masalahnya cukup pelik, jiwanya tetap sabar dan tawakkal kepada Rabb-nya. Ia meyakini masalah yang hadir dalam hidupnya pasti ada hikmah di baliknya. Dan Allah SWT sebagai Rabb-nya pasti akan memberinya solusi atas masalah itu.

Orang semacam ini juga yakin bahwa di balik kesulitan itu akan hadir kemudahan dan kebahagiaan (asy-Syarh [94]: 5-6). Sebagaimana kisah di atas, ketika tertimpa masalah, maka yang dilakukan adalah berdzikir dan mendekat kepada-Nya. Alhamdulillah, masalahnya bisa teratasi dan mendapatkan rezeqi yang tak disangka-sangka.

Allah Tempat Berlari

Ada keyakinan yang mesti terus dikuatkan ke dalam jiwa setiap Muslim. Bahwa ketika tertimpa masalah, maka tempat pelariannya bukanlah kepada makhluk, apalagi ke tempat maksiat. Tapi, tempat lari yang tepat adalah Allah SWT.

Allah-lah tempat mengadu, tempat berkeluh kesah, dan tempat memohon solusi terbaik dan tercepat. Allah-lah yang Mahatahu solusi terbaik untuk kita. Oleh karena itu, dekatkanlah jiwa kita kepada-Nya.

Janganlah justru menjauh dari-Nya ketika kita ditimpa masalah. Diri kita ini sangat bergantung kepada Allah SWT. Maka ketika masalah menimpa, kita mesti meningkatkan kualitas taqwa. Makin banyak berusaha, berdzikir, beristighfar, dan berdoa kepada-Nya. Dengan jalan itu, semoga jiwa kita terlimpahkan ketenangan dan solusi.

Allah SWT berfirman:

اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ‌ ؕ اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS: ar-Ra’du [13]: 28).

Taqwa

Sungguh, Allah SWT telah menjanjikan banyak keutamaan bagi hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertaqwa. Di antara janji Allah SWT itu adalah:

Pertama, dibebaskan dari kesusahan dan memperoleh rezeki. Dalilnya adalah Surat ath-Thalaq [65]: 2-3 di atas.

Kedua, Allah SWT mempermudah segala urusan.

Firman-Nya:

وَمَنۡ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجۡعَلْ لَّهٗ مِنۡ اَمۡرِهٖ یُسْرًا

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS: ath-Thalaq [65]: 4).

Ketiga, Allah SWT akan melipatgandakan pahala baginya.

وَمَنۡ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يُكَفِّرۡ عَنۡهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعۡظِمۡ لَهٗۤ اَجۡرًا‏

“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS: ath-Thalaq [65]: 5).

Keempat, Allah SWT mempermudah baginya memperoleh ilmu.

ؕ وَ اتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ‌ ؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ

“Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah akan mengajarkan untuk kalian; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: al-Baqarah [2]: 282).

Kelima, Allah SWT akan mengasihinya.

بَلٰى مَنۡ اَوۡفٰى بِعَهۡدِهٖ وَاتَّقٰى فَاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُتَّقِيۡنَ

“Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS: Ali Imran [3]: 76).

Amat jelas bahwa jalan orang beriman untuk meraih kemuliaan dan solusi atas semua persoalan dalam kehidupan ini adalah bertaqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian, saat terlilit masalah, baik dalam lingkup terkecil –seperti pribadi dan keluarga- maupun dalam lingkup besar –seperti lingkup masyarakat dan negara, maka yang mesti dilakukan adalah bersegera berlari menuju Allah.

Perbanyaklah mengunjungi rumah-Nya (masjid), membaca kitab-Nya (al-Qur`an), berdzikir, dan berdoa kepada-Nya. Dengan jalan itu, semoga kemudahan dan solusi dari-Nya akan segera hadir.

Begitu pula dalam komunitas masyarakat dan negara. Bila berbagai masalah terus bermunculan dan tak kunjung ketemu solusinya, maka yang mesti dibangun adalah ketaqwaan di tengah masyarakat. Di sinilah peran seorang pemimpin untuk menyeru warganya agar banyak beristighfar kepada-Nya, memakmurkan rumah-Nya, terus menguatkan ukhuwah antar sesama, serta banyak berdoa bagi kebaikan masyarakat dan negara.

Jalan itulah yang mesti ditempuh. Jalan itulah yang akan mengundang pertolongan-Nya, berupa solusi atas persoalan yang terus melilit, serta keberkahan bagi masyarakat dan negara.

Allah SWT menjanjikan:

وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ‏

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raf [7]: 96).*/Abu Hana Kamilah

HIDAYATULLAH

Menjalankan Hal yang Disukai Allah

Allah menciptakan seluruh manusia di bumi, sekaligus mengurusnya setiap saat.

Allah menciptakan seluruh manusia di bumi, sekaligus mengurusnya setiap saat. Maka, sudah sepantasnya setiap Muslim mencintai Allah kapan pun dan di ma na pun.

KH Abdullah Gymnastiar mengatakan, Allah pun lebih menyayangi kita dibandingkan lainnya. “Orang tua sayang pada kita, tapi tidak sebanding dengan sayang nya Allah pada ciptaan-Nya,” ujar pria yang akrab disapa Aa Gym tersebut dalam Kajian al-Hikam di Masjid Alatief, Melawai, Jakarta, pada belum lama ini.

Ia menjelaskan, kasih sayang manusia ibarat seratus dibagi seluruh mahluk di Bumi. Sedangkan, kasih sayang Allah tidak ter nilai serta mulia. Dia yang menginginkan semua ciptaan-Nya mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat sehingga memberikan risalah Islam agar manusia senantiasa selamat dan bisa kembali ke surga.

Ia menjelaskan, kasih sayang manusia ibarat seratus dibagi seluruh mahluk di Bumi. Sedangkan, kasih sayang Allah tidak ter nilai serta mulia. Dia yang menginginkan semua ciptaan-Nya mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat sehingga memberikan risalah Islam agar manusia senantiasa selamat dan bisa kembali ke surga.

Seperti diketahui, nenek moyang manusia, yaitu Nabi Adam AS dan Siti Hawa merupakan ahli surga. “Hanya saja, di akhirat ada dua tempat, surga dan neraka. Maka, kalau mendengar perintah Allah jangan ragu, yakinlah itu jalan kemuliaan, jalan kebahagiaan, serta keselamatan dunia akhirat,” kata Aa Gym.

Jika Allah melarang sesuatu dan tetap kita lakukan, niscaya hidup kita tidak ba hagia dan celaka. Itulah kenapa, kata dia, penting belajar agama lebih dalam, supaya tahu mana yang Allah sukai dan tidak sukai. Bila Allah menyukai sebuah perka ra, maka Dia memerintahkannya. Sebalik nya, Allah melarang hal yang tidak disu kai-Nya.

“Yang Allah suka, tapi nafsu tidak suka. Sebaliknya juga yang Allah tidak suka nafsu suka. Celakanya, kita lebih nurut pada nafsu, jadilah kita sengsara dan hina. Kita harus paham betul pola ini. Cari tahu apa yang Allah suka, lalu lakukan dengan ikhlas, insya Allah bahagia,” tutur Aa Gym.

Namun, lanjut dia, terkadang manusia enggan mencari tahu apa yang Allah sukai dengan alasan memiliki banyak persoalan hidup. Padahal, persoalan merupakan ba gi an dari karunia manusia. Tanpa masalah, kehidupan manusia tidak bernilai. “Jadi, bukan persoalan hidupnya yang berbahaya, tapi salah menyikapi persoalan itu yang berbahaya. Ibaratnya, tidak ada soal ujian yang bahaya karena orang tidak lulus ujian bukan karena soalnya, tapi karena salah jawabannya,” tutur dia.

Pendiri Pesantren Darut Tauhid ini menegaskan, jangan terpedaya oleh nafsu. Lawan nafsu lewat ibadah yang tidak pernah putus. Misalnya pada suatu malam, hawa nafsu menginginkan kita tidur, sementara Allah suka bila kita bangun untuk shalat Tahajud. Maka niatkan, Allah tahu kalau hati kita mau shalat Tahajud sehingga kita bisa bangun di sepertiga malam terakhir. “Contoh, saat shalat Tahajud kita inginnya membaca surat-surat pendek. Jadi, saat ingin membaca surah al-Ashr ganti ke luarin dengan surah al-A’la. Nggak bisa kita selalu mengikuti nafsu,” kata Aa Gym.

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram baginya tersentuh api neraka? Para sahabat berkata ‘Mau wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab: Yaitu orang yang Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl.”

Aa Gym menjelaskan, Hayyin adalah orang yang memiliki ketenangan juga keteduhan lahir maupun batin. “Orangnya ajeg, tidak labil, tidak gampang marah, ti dak temperamental, tidak celetak-celetuk. Semua tindakannya terkendali dan penuh pertimbangan sehingga lahir keteduhan,” ujar dia.

Sikap orang Hayyin, lanjutnya, mem buat kita ingat pada Allah. Meski tidak ba nyak bicara, setiap yang keluar dari mulutnya benar, tidak berdusta, tidak zalim, ti dak kotor, serta tidak sia-sia.

Berikutnya, Layyin adalah orang yang lembut dan santun. Lalu, Qarib, yakni ramah sekaligus menyenangkan diajak bicara. Terakhir Sahl, yaitu orang yang tidak mempersulit sesuatu. “Harus punya empat ini karena dijamin haram disentuh api neraka. Yakinlah semua terjamin sama Allah,” kata Aa Gym. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Menghindari Maksiat

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi (QS 59:7). Kemaksiatan terjadi karena ada kesempatan dan bisikan setan yang datang karena setan tak pernah lengah untuk menjerumuskan anak Adam ke dalam nereka (QS 7: 16-17). Setan selalu membisikkan bujuk rayu jahatnya ke dalam hati manusia, kecuali bagi orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muroqobatullah).

Adalah penting upaya menghindari diri dari perbuatan maksiat. Namun, bagaimanakah caranya? Pertama, yakinilah Allah selalu mengawasi kita. Allah adalah Zat yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya di langit maupun di bumi.

Allah berfirman, Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS 6:59).

Kedua, yakinilah seluruh amalan manusia akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawab an kelak pada hari Kiamat. Tak ada satu pun yang akan luput dari catatan-Nya. Allah berfirman, Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.

Sunday, 07 Apr 2019 23:51 WIB

Menghindari Maksiat

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi
Red: Agung Sasongko
blog.science.gc.ca

Takwa (ilustrasi).

Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi (QS 59:7). Kemaksiatan terjadi karena ada kesempatan dan bisikan setan yang datang karena setan tak pernah lengah untuk menjerumuskan anak Adam ke dalam nereka (QS 7: 16-17). Setan selalu membisikkan bujuk rayu jahatnya ke dalam hati manusia, kecuali bagi orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muroqobatullah).

Adalah penting upaya menghindari diri dari perbuatan maksiat. Namun, bagaimanakah caranya? Pertama, yakinilah Allah selalu mengawasi kita. Allah adalah Zat yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya di langit maupun di bumi.

Allah berfirman, Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS 6:59).

Kedua, yakinilah seluruh amalan manusia akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawab an kelak pada hari Kiamat. Tak ada satu pun yang akan luput dari catatan-Nya. Allah berfirman, Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.

ADVERTISEMENT

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS az-Zalzalah [99]:6-8) Ketiga, yakinilah bahwasanya kulit, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan akan menjadi saksi di akhirat kelak.

Allah berfirman, Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (QS Fusilat [41]:22). Keempat, yakinilah Allah mengutus para malaikat untuk mengawasi kita (QS 50:16-18).

Sunday, 07 Apr 2019 23:51 WIB

Menghindari Maksiat

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi
Red: Agung Sasongko
blog.science.gc.ca

Takwa (ilustrasi).

Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Kemaksiatan dan setiap yang dilarang Allah SWT mesti dijauhi (QS 59:7). Kemaksiatan terjadi karena ada kesempatan dan bisikan setan yang datang karena setan tak pernah lengah untuk menjerumuskan anak Adam ke dalam nereka (QS 7: 16-17). Setan selalu membisikkan bujuk rayu jahatnya ke dalam hati manusia, kecuali bagi orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muroqobatullah).

Adalah penting upaya menghindari diri dari perbuatan maksiat. Namun, bagaimanakah caranya? Pertama, yakinilah Allah selalu mengawasi kita. Allah adalah Zat yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya di langit maupun di bumi.

Allah berfirman, Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS 6:59).

Kedua, yakinilah seluruh amalan manusia akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawab an kelak pada hari Kiamat. Tak ada satu pun yang akan luput dari catatan-Nya. Allah berfirman, Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.

ADVERTISEMENT

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS az-Zalzalah [99]:6-8) Ketiga, yakinilah bahwasanya kulit, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan akan menjadi saksi di akhirat kelak.

Allah berfirman, Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (QS Fusilat [41]:22). Keempat, yakinilah Allah mengutus para malaikat untuk mengawasi kita (QS 50:16-18).

Kelima, sadarilah bumi akan menjadi saksi perbutan kita. Meskipun tak ada yang melihat kita, di manapun kita melakukan maksiat walaupun dengan sembunyi-sembunyi, bumi yang kita pijak akan menjadi saksi di hadapan Allah kelak. Allah berfirman, Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. (QS 99:4).

Barang siapa yang dapat menjaga hatinya dan anggota tubuhnya serta menahan hawa nafsunya dari kemaksiatan, itulah sebuah keberhasilan imunitas kemaksiatan bagi orang yang bertakwa dan Allah janjikan sebuah pahala yang besar bagi mereka (QS 50:31-34, 55:46). Wallahualam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pentingnya Memperkuat Tauhid Umat Islam

Para pemikir Islam dalam perkembangan agama Islam berbeda pendapat tentang ajaran ketuhanan. Kiai As’ad sendiri dalam Risalah As’adiyah menganggap tauhid sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diperkuat di kalangan umat Islam.

Tauhid harus selalu diajarkan pertama kali kepada manusia dengan sebenar-benarnya. Kewajiban pertama kali atas manusia adalah dengan mengenal Allah dengan penuh keyakinan. Dan setiap orang yang beramal tidak disadari dengan ilmu maka amal nya tidak diterima/ditolak, tulis Kiai As’ad mengutip dari kitab Zubad, dalam muqadimah Risalah at-Tauhid. Dalam kitab tersebut, Kiai As’ad menjelaskan tauhid dengan mengutip dari kitab Risalah al-Qusyairiyyah.

Kiai As’ad mengatakan bahwa tauhid adalah hukum tentang sesuatu yang satu, sedangkan ilmu adalah hukum tentang sesuatu yang satu juga. Menurut Kiai As’ad, tauhid juga bisa diartikan hati yang mendominasi atas yang haq.

Barang siapa yang berkeyakinan atau mengetahui terhadap dalil-dalil bahwasanya Allah adalah tunggal atau pandangan hati mendominasi terhadap yang Haq, sehingga melupakan yang tidak haq (makhluk). Maka, dia adalah orang yang bertauhid.

Sebagai seorang ulama, Kiai As’ad benar-benar menekankan tauhid dalam diri umat Islam. Hal ini juya bisa dilihat di kitab Risalah at-Tauhid. Di awal kitab tersebut, Kiai As’ad langsung menjelaskan tentang sifat dua puluh yang wajib diketahui dan sifat dua puluh yang harus ditentang. Sifat-sifat tersebut harus diketahui secara minimum oleh seorang Islam untuk mengenal Tuhannya.

Kiai As’ad juga pernah mengatakan bahwa segala ilmu yang sebelumnya tidak dijiwai ketauhidan jangan diharap memuaskan hasilnya. Segala ilmu yang hinggap ke lubuk hati seseorang yang kosong tauhidnya, ilmu tersebut malah bisa mencelakakan orang tersebut. Namun, jika tauhidnya sudah melekat, ilmu tersebut akan bermanfaat dan berkah.

Kiai As’ad menilai, kenakalan dan kebrutalan para pelajar juga disebabkan karena sistem pendidikan yang keliru. Pelajaran agama yang diterapkan di sekolah amat minim. Jiwa mereka sangat gersang lantaran ilmu tauhid tidak terpatri di hati mereka. Padahal, tauhid meru pakan fondasi segala sesuatu.

Dengan tauhid, seseorang tidak akan mudah goyah dan tertipu ekstasi keduniawian. Karena itu, Kiai As’ad menganggap tauhid juga sangat penting diajarkan di sekolahsekolah sejak dini.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Melawan Diri Sendiri

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika pasukan kaum Muslim pulang dari Perang Uhud, Rasulullah SAW berpesan, “Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu.”

Sekalipun banyak muhaddist (pakar ilmu hadis) mempertanyakan kesahihan riwayat hadis tersebut, secara maknawi hadis ini sangatlah sesuai dengan realitas. Faktanya, memang melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.

Berjihad mengangkat senjata seluruhnya adalah kebaikan. Jika kalah dan terbunuh, akan mendapatkan syahid yang tentunya masuk surga. Jika menang, kemuliaan, mendapatkan rampasan perang, serta ganjaran besar siap menanti. Tiada kerugian bagi mereka yang berperang melawan musuh.

Namun, perperangan melawan hawa nafsu yang ada dalam diri sendiri ternyata tidaklah segampang itu. Jika kalah, akan mendapatkan neraka. Jika menang, akan diuji dengan godaan yang lebih berat lagi. Senantiasa akan terus seperti itu sampai akhirnya ajal menjemput. Pertempuran melawan hawa nafsu dan diri sendiri ternyata sangatlah berisiko.

Perang melawan diri sendiri mengisyaratkan perang yang terberat daripada perang melawan musuh Islam. Dalam Alquran ditekankan, untuk melawan sesuatu yang datang dari dalam diri jauh lebih berat daripada melawan musuh dari luar.

Dalam surah an-Naas disampaikan, “Katakanlah, aku berlindung dengan Rabb manusia. Penguasa manusia. Sembahan manusia. Dari waswas (bisikan) setan yang bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (Yang berasal) dari jin dan manusia.” (QS an-Naas [114]: 1-6). Dalam surat ini, manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah sebanyak tiga kali. Seorang Muslim disuruh berlindung kepada Allah sebagai Rabb, Penguasa, dan Sembahan manusia. Semua itu hanya untuk menghadapi rasa waswas yang datang dari dalam dirinya.

Berbeda dengan surah al-Falaaq yang mengatakan, “Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan, dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan, dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (QS al-Falaaq [113]: 1-5). Dalam surah ini, perintah untuk berlindung kepada Allah hanya satu kali. Padahal, kejahatan yang menyerangnya datang dari beraneka ragam, yakni kejahatan malam, wanita tukang sihir, dan para pendengki.

Dari surah an-Naas dan surah al-Falaaq disimpulkan, melawan sesuatu yang datang dari diri sendiri jauh lebih berat ketimbang melawan musuh dari luar. Untuk itulah, seseorang diseru untuk berlindung tiga kali lebih banyak ketika menghadapi dirinya sendiri.

Seseorang yang dapat mengangkat beban yang sangat berat terkadang tidak mampu mengangkat selimutnya untuk menunaikan shalat Subuh atau shalat Tahajud. Seorang yang melakukan perjalan sangat jauh terkadang tak mampu berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Hal ini membuktikan, melawan godaan yang datang dari diri sendiri lebih berat ketimbang melawan sesuatu yang nyata dari luar. Menaklukkan hawa nafsu dan melawan godaan-godaan setan ternyata lebih berat daripada melawan musuh Islam.

Dalam surah an-Naas juga diisyaratkan, betapa hebatnya rasa waswas dan galau yang diciptakan setan bagi manusia. Waswas adalah usaha setan mengganggu seseorang Muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam ibadahnya. Waswas juga membuyarkan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama.

Rasa waswas yang diciptakan setan juga bisa menjadikan seseorang seperti orang gila. Terkadang, ia bisa mengulang-ngulang perbuatan yang sama. Seperti ragu, apakah ia lepas angin atau tidak. Hal ini seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Apabila ada di antara kalian ketika shalat merasakan ada yang bergerak dalam duburnya seperti berhadas atau tidak dan dia ragu, maka janganlah dibatalkan shalatnya sehingga mendengarkan suaranya atau mencium baunya.” (HR Abu Daud, Ahmad, dan Baihaqi).

Hal ini juga dikuatkan dalam sebuah kaidah fikih, “Suatu keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan.” Kesimpulannya, sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan tidak bisa dijadikan pedoman untuk memutuskan bahwa wudhu atau shalat kita itu batal. Tentu saja, keraguan lebih tidak bisa lagi untuk memutuskan perkara yang lebih besar dari sekadar wudhu.

Demikian juga rasa waswas dan galau yang menjangkiti generasi muda umat Islam. Dengan galau yang meliputi hati, menjadikan generasi muda tidak lagi produktif dan bermanfaat. Padahal, banyak kreativitas dan prestasi yang bisa diraih ketika usia masih muda.

Surah an-Naas menegaskan, seseorang tidak bisa menganggap enteng bisikan-bisikan negatif yang datang dari dalam dirinya. Berlindunglah kepada Allah tiga kali lebih banyak untuk menaklukkan diri sendiri. Banyak orang hebat ditumbangkan karena tak mampu melawan godaan dari dalam dirinya. Banyak pejabat hebat yang terjatuh karena tak mampu melawan bisikan korupsi dari dalam dirinya. Semoga kita bisa menjinakkan nafsu yang membara dalam diri menuju pada ridha Allah SWT.

Manajemen Emosi

Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib –Karramallahu wajhah– terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia berhasil menjatuhkan lawannya. Ketika Ali hendak membunuhnya, sang musuh meludahi Ali dan mengenai wajahnya. Atas hal itu, Ali mengurungkan niatnya dan berlalu meninggalkannya.

Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali. “Hendak ke manakah engkau?” ujarnya. Ali menjawab, “Mulanya, aku berperang karena Allah, namun ketika engkau melakukan apa yang telah engkau lakukan terhadapku (meludahiku), aku khawatir membunuhmu hanya sebagai balas dendam dan pelampiasan kemarahanku. Jadi, aku membebaskanmu karena Allah.”

Orang itu pun berkata, “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu hingga engkau segera membunuhku. Jika agama yang kalian anut sangat toleran, maka sudah pasti ia adalah agama yang benar.”

Sekelumit kisah tersebut menunjukkan setidaknya empat nilai akhlak mulia. Pertama, menjaga ketulusan niat dan komitmen. Niat suci untuk berjihad karena Allah SWT yang sudah dibulatkan dalam hati yang bersih tidak boleh dinodai oleh niat lain yang dapat menggugurkan kesucian niat awal.

Jika kesucian niat sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mulia, niscaya dapat merusak amal kebaikan dan menjadikannya tidak bermakna, sia-sia di mata Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, menahan diri untuk tidak terprovokasi dan melakukan balas dendam merupakan akhlak yang sangat terpuji, terutama dalam suasana permusuhan dan peperangan. Manusia sering kali tidak bisa mengendalikan diri (emosi) jika dimusuhi.

Dalam hal ini, Ali justru tidak sudi membunuh musuh yang terang-terangan telah meludahinya, meskipun beliau dapat melakukannya terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. “Orang yang kuat bukanlah karena kehebatan kekuatannya, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” (Muttafaq ‘alaih).

Ketiga,  mengelola kemarahan dengan tidak mendendam merupakan energi positif untuk memberi ruang bagi munculnya sikap arif dan mau memaafkan orang lain. Memberi maaf jauh lebih baik daripada melampiaskan balas dendam.

Alquran mengajarkan kepada kita untuk membela diri jika diperlakukan secara zalim. Namun, memberi maaf lalu berdamai itu pasti lebih indah dan damai. (QS as-Syura [42]: 39-40).

Keempat, sikap lapang dada dan besar hati untuk hidup damai merupakan kata kunci toleransi dan kerukunan hidup.  Kemarahan pada dasarnya wajar (manusiawi), tetapi membiarkan kemarahan tanpa kendali adalah awal dari sikap dan perilaku disharmoni.

Karena itu, ketika ada seorang sahabat menemuni Nabi dan meminta nasihat kepadanya, beliau menyatakan, “Jangan marah …! (beliau mengulanginya sampai tiga kali).” (HR Muslim).

Manajemen emosi dan kemarahan dapat diterapi dengan berwudhu, karena marah itu ibarat bara api yang bergejolak dan hanya dapat padam jika disiram dengan air. Manajemen emosi bisa berfungsi lebih efektif dan optimal jika dibarengi dengan zikrullah (mengingat Allah), beristighfar kepada-Nya, mengingat kematian,  berbaik sangka, berpikir positif, dan bersabar. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

KHAZANAH REPUBLIKA

Menjaga Lisan dan Tangan

Diriwayatkan dari Abu Musa bahwa para sahabat bertanya, wahai Rasul, Muslim manakah yang paling utama? Rasulullah SAW pun menjawab, yaitu Muslim yang selamat lisan dan tangannya (HR Bukhari). Hadis yang ber-uslub badi’ jinas isytiqaq di atas linier dengan kekhawatiran publik akan makin berkecambahnya hoaks dan narasi kebencian pada tahun politik.

Ruang publik memburam akibat membiaknya rimba kata yang nyaris tanpa makna. Data dan fakta dipelintir hingga lamur dalam indra objektivitas dan rasionalitas. Akibatnya, tak sederhana, sering kali sel pikir malah meringkuk dalam pengapnya penjara irasionalitas. Sebagai homo digitalis, kita sering kali terdampar dalam emosi sesaat yang dangkal. Agitasi dan propaganda justru diremah men tahmentah.

Sementara hujan olok-olok yang ditengarai melabrak te duhnya payung logika etika dan esteti ka terus-menerus mendera deras. Kita seakan lalai bahwa tajamnya lidah bisa mendatangkan siksa Allah. Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, apakah kita akan disiksa akibat sesuatu yang diucapkan?”

Beliau menjawab, “Tidaklah manusia terjungkir di atas wajahnya (atau hidungnya) ke neraka melainkan akibat lisannya.” Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengingatkan bahwa anggota tubuh yang paling durhaka pada manusia ialah lidahnya, disebabkan ia tidak merasa berat menggerakgerakkannya, lincah untuk membicarakan apa pun. Tak hanya itu, ia juga perangkat setan terbesar untuk menipu manusia.

Dalam cuaca penuh kebisingan, membuat kita rindu pelangi keheningan yang penuh warna-warni hikmah. Memang, diam adalah hikmah dan (terhitung) sedikit pelakunya. Kita seolah lupa sabda Rasulullah SAW, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.

Dalam Ihya’ dikisahkan Nabi Isa ditanya, “Tunjukilah kami amalan yang membawa kami masuk surga.” Isa menjawab, “Janganlah kamu bertutur kata selamanya.” Mereka menyahut, “Kami tak sanggup demikian.” Kemudian Nabi Isa berkata, “Janganlah bertutur kata selain hal kebajikan.”

Perlu disadari bersama bahwa manusia merupakan animal simbolicum, pencipta simbol melalui uraian lisan dan tulis. Kita menggunakan kata untuk mengab straksikan segala hal sebagai perangkat komunikasi verbal. Tak sekadar itu, bahasa juga menyimpan potensi membentuk pola pikir dan keyakinan sang mukhatab. Atau dengan kata lain, bahasa berfungsi sebagai pencipta realitas sekaligus realitas itu sendiri.

Untuk itu, sudah saatnya kita menggunakan segenap keinsafan diri agar tak larut dalam jeratan angkara emosi yang berujung ujaran kebencian. Peliharalah lisan dan jari kita dari tuturan yang nirmakna. Disebabkan pada dasarnya, memelihara lisan dan jemari berarti menjaga orisinalitas modus keberislaman yang autentik.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah berpesan bahwa di antara kebaikan kadar keislaman seseorang ialah bila ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Bahkan, indikator keimanan pun ditera melalui ucapan dan tutur yang memadukan antara nalar yang waras dan nurani yang sehat. Wallahu a’lam

Oleh: Mohammad Farid Fad