Metafor Taman Surga

Allah telah memberikan metafor taman-taman surga yang Dia tempatkan di dunia ini.

Keindahan dan kenikmatan surga hanya akan Allah tampakkan dan kita dapat melihatnya secara indrawi, kelak di alam keabadian. Meskipun kita tak mampu melihatnya secara indrawi, Allah telah memberikan metafor taman-taman surga yang Dia tempatkan di dunia ini.

Setidaknya terdapat tiga metafor taman surga di dunia ini. Pertama, melayat orang yang berbaring sakit. Perbuatan yang satu ini karena kesibukan dan kemalasan, kita sering tak melakukannya. Kita tak menyempatkan diri menengok saudara atau tetangga yang tengah berbaring sakit.

Padahal, pahala menengok orang sakit selain akan mendapatkan ampunan Allah, juga orang-orang yang melakukannya seolah-olah sedang berjalan-jalan di sebagian taman surga.

“Apabila seseorang menjenguk seorang Muslim yang sedang sakit, ia seakan-akan sedang berjalan-jalan di taman surga sambil memetik buah-buahnya. Apabila sudah duduk di tempat orang yang dilayatnya, Allah menurunkan rahmat yang banyak kepada orang tersebut. Apabila ia menjenguk saudaranya tersebut pada pagi hari, 70 ribu malaikat mendoakannya agar mendapat rahmat hingga datangnya sore hari. Apabila ia menjenguk saudaranya tersebut pada sore hari, 70 ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga pagi hari tiba.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).

Kedua, majelis zikir dan majelis taklim. Kedua majelis ini merupakan metafor taman surga di dunia. Siapa pun yang mendatanginya, ia seolah-olah sedang duduk-duduk di sebagian taman surga dan ia akan memperoleh rahmat Allah. Selain itu, perilaku baiknya akan Allah umumkan kepada seluruh  makhluk-Nya.

“Jika kamu melewati taman-taman surga, singgahlah dengan penuh keriangan.” Para sahabat bertanya, ‘Apakah taman-taman surga itu?’ Ia menjawab, Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) zikir’ (HR Tirmidzi). Majelis taklim termasuk dalam halaqah zikir. Barang siapa menghadiri majelis-majelis taklim, ia laksana tengah duduk di taman-taman surga.

Ketiga, raudhah. Taman surga yang satu ini berlokasi di Masjid Nabawi Madinah, tepatnya terletak antara rumah Nabi Muhammad SAW dan mimbar Nabi SAW.  “Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman di antara taman-taman surga.” (HR Bukhari Muslim).

Menurut Syekh Qadhi Iyad, terdapat dua kemungkinan makna dalam hadis tersebut, yakni raudhah menyebabkan orang-orang yang beribadah dan berzikir di dalamnya akan masuk surga. Kemungkinan makna lainnya, secara fisik raudhah akan Allah pindahkan ke surga.

Dari ketiga metafor taman-taman surga tersebut, dapat ditarik benang merah, keseimbangan antara hablumminallah (ibadah yang bersifat individual) dan hablumminannas (ibadah yang bersifat hubungan kemanusiaan atau sosial kemasyarakatan) dapat mengantarkan seseorang menjadi penghuni surga.

OLEH ADE SUDARYAT

KHAZANAH REPIBLIKA

Ini Bacaan Zikir yang Menjadi Tanaman Surga

ADA bacaan dzikir yang ringan yang menjadi tanaman di surga. Apa itu?

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan, SUBHANALLOH WA BIHAMDIH (Mahasuci Allah dan dengan memuji-Nya), maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3464. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly menyatakan bahwa hadits ini shahih dengan syawahidnya, yaitu penguatnya]

Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Aku bertemu Ibrahim pada malam aku diperjalankan (Isra Miraj). Ibrahim berkata, Wahai Muhammad, bacakan salam dariku untuk umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya harum, airnya segar, tanahnya luas/ lapang, dan tanamannya adalah SUBHANALLOH WALHAMDULILLAH WA LAA ILAHA ILLALLOH WALLOHU AKBAR (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar).” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3462. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly menyatakan bahwa hadits ini hasan dengan syawahidnya, yaitu penguatnya]

Faedah Hadits:
– Berdzikir kepada Allah sebab masuk surga.
– Semakin banyak seseorang berdzikir kepada Allah, semakin banyak ia menanam tanaman di surga.
– Sifat surga adalah tanahnya harum, airnya segar, sedangkan tanamannya adalah kalimat thoyyibah yaitu dzikrullah.
– Hadits ini mendorong kita untuk memperbanyak dzikir agar semakin banyak tanaman di surga.
– Adanya mukjizat isra miraj.
– Keutamaan umat Islam sampai Nabi Ibrahim pun menyampaikan salam untuk umat ini.

[Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:462-463.]

INILAH MOZAIK

Mari Bersama ke Taman Surga!

UNTUK menikmati keindahan taman Surga, tak mesti menunggu terlebih dahulu ke negeri akhirat. Oke memang taman Surga di akhirat adalah bagian dari Surga haqiqi, namun menurut sabda nabi, di dunia ini ada yang disebut taman Surga.

Suatu ketika, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

“Jika kamu melewati taman-taman Surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi)

Perhatikan diksi yang dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Halaqah-halaqah (lingkaran-lingkaran majlis) zikir disebut beliau sebagai taman Surga. Bila umatnya melihat forum-forum seperti itu, maka segeralah singgah dengan nyaman di kelompok itu, karena sejatinya itu bagian dari taman Surga.

Kata “farta’u” secara bahasa berarti seorang penggembala membiarkan gembalaannya dengan nyaman di padang rumput untuk menikmatinya. Maka, majelis semacam ini tentu saja mengandung hal-hal yang menyejukkan bagaikan taman Surga. Tidak ada saling caci; saling kutuk; saling hina dengan mejelis lain –yang masih dalam koridor Ahlus Sunnah– yang sebenarnya sama-sama memeluk Islam.

Ketika mengemukakan hadits tersebut, Ibnu Qayyim dalam kitab “Miftaah Daar al-Sa’aadah” (1/118) bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat khusus yang berkeliling mencari halaqah-halaqah zikir. Ketika mereka sudah menjumpainya, maka mereka segera berbaris dengan sangat rapi. Tentu saja, bukan hanya berbaris yang dilakukan, tapi juga mendoakan dan memintakan rahmat Allah atas mereka.

Ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إنَّ للهِ تَعَالَى مَلائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أهْلَ الذِّكْرِ ، فِإِذَا وَجَدُوا قَوْمَاً يَذْكُرُونَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ ، تَنَادَوْا : هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ ، فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِم إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling jalan-jalan mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan satu kaum yang sedang mengingat Allah, mereka berseru, ‘Marilah kalian menuju kebutuhan kalian.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Lalu para malaikat itu mengelilingi mereka dengan sayap-sayapnya sampai langit dunia.” (HR. Bukhari, Muslim)

Lantas, apakah yang dimaksud dengan halaqah tersebut adalah sebatas majelis zikir? Menyitir pendapat Atha’, yang disebutkan oleh al-Khatib dalam kitab “al-Faqīh wa al-Mutafaqqih” bahwa maksudnya adalah majelis –yang di dalamnya terkandung masalah– halal-haram seperti urusan jual-beli, puasa, shalat, sedekah, nikah talak, haji dan lain sebagainya.

Membaca penjelasan dari Atha’, halaqah zikir yang disebut oleh nabi sebagai taman Surga, tidak menutup kemungkinan juga menyangkut majelis ilmu. Buktinya, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab “al-Mu’jam al-Ausath” karya Thabrani Rahimahullah:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ، قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهِ ، وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ : مَجَالِسُ الْعِلْمِ . (الطبرانى)

“Apabila kamu melewati taman-taman Surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya,”Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Nabi  menjawab,”majelis-majelis ta’lim.” (HR. Al-Thabrani)

Pada hadits tersebut, yang dimaksud dengan taman Surga adalah juga majelis ilmu. Majelis semacam ini tidak berlebihan jika disebut sebagai taman Surga. Karena di dalamnya terkandung aktivitas yang subtansinya adalah mengingat Allah, mempelajari syariat-syariatNya dan berbagai aktivitas baik yang berkaitan dengannya.

Dalam suatu hadits bahkan bukan hanya malaikat yang mendoakan mereka; penduduk langit, penduduk bumi, semut dan ikan di lautan pun juga turut mendoakan mereka yang berada dalam mejelis yang disebut nabi sebagai taman Surga. Sabda beliau:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”  (HR. Tirmidzi)

Menurut keterangan lain, yang masuk dalam kategori taman Surga adalah masjid Nabawi. Sebagaimana sabda beliau:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي

“Diantara rumahku dan mimbarku adalah taman-taman sorga, dan mimbarku diatas Telaga Haudh.” (HR. Bukhari)

Tidak menutuk kemungkinan juga masjid-masjid Allah secara umum sebagaimana sabdanya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca Al-Qur`an dan mempelajarinya bersama-sama kecuali  akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, kemudian Allah akan  menyebut-nyebut mereka di antara mereka yang berada di sisi Allah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dari beberapa hadits tersebut, sedikit banyak pembaca bisa mendapat pencerahan, bahwa setiap kumpulan yang di dalamnya berisi kegiatan yang mengingat Allah, saling belajar mengenai ayat-ayat Allah dan kegiatan baik lainnya adalah bagian dari Taman Surga yang perlu disinggahi. Artinya didukung dan diikuti selama tidak menyalahi petunjuk Allah dan nabi.

Namun, sekali lagi, yang menjadi catatan penting, karena itu disebut taman Surga, maka seyogianya kegiatan di dalamnya adalah kegiatan yang menyejukkan, mendamaikan, membuat harmoni antara muslim yang satu dengan muslim yang lain karena pada hakikatnya mereka adalah saudara. Karena, Surga bukan hak kelompok muslim tertentu, semua muslim berhak mendapatkan Surga asal sesuai dengan koridor syariat. Jadi, mari bersama ke taman Surga.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Perjuangan Menggapai Taman Surga di Raudhah dengan Kursi Roda

MADINAH – Bunyi kursi roda berderit karena terdorong jarak pendek. Tampak wajah Ernaini (70) asal Cirebon tidak lelah mengantre panjang sekira 40 meter. Sepanjang itu pula ratusan kursi roda mengantre berkelok-kelok menuju Raudhah.

Ernaini dibantu tetangganya, Emi, sudah mengantre hingga 1 jam lebih. “Saya di Raudhah ingin baca doa untuk anak cucu saya supaya bisa ke sini, menunaikan ibadah haji dan umrah,” ujarnya dengan wajah berbinar. Selain Ernaini, banyak jamaah lain yang tampak sabar menanti giliran masuk. “Kita sudah dari tadi tapi belum dapat giliran,” keluh jamaah lainnya.

Raudhah adalah salah satu tempat mustajab bagi umat muslim yang terletak di bagian dalam Masjid Nabawi. Berbeda dengan jamaah laki-laki, bagi jamaah wanita untuk bisa masuk ke Raudhah membutuhkan perjuangan ekstra. Apalagi yang menggunakan kursi roda.

Raudhah merupakan area di sekitar mimbar yang biasa digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berkhutbah. “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga”. Demikian hadist mengisahkan penyataan Rasulullah. Area itu merupakan area mustajab, sehingga banyak yang berlomba-lomba untuk bisa bermunajat di sana.

Bagi kaum Hawa, dibutuhkan kesabaran. Karena untuk bisa masuk sekaligus ziarah ke makam Rasulullah hanya di waktu-waktu tertentu, yakni setelah Salat Subuh dan setelah Isya. Dengan area yang terbatas sekira 5 x 15 meter, ribuan jamaah wanita harus berdesak-desakan bahkan kerap terjadi adu mulut dengan jamaah berbeda negara dengan postur yang lebih besar dari jamaah Asia Tenggara. Saling langkah dan dorong menjadi pemandangan yang lumrah. Namun pada dasarnya tujuan mereka sama, ingin berada di Raudhah dengan waktu yang lama.

Mengantisipasi terjadi cek-cok, pengurus Masjid Nabawi telah mengaturnya. Pada waktu yang telah ditentukan, jamaah wanita bisa menuju pintu nomor 25. Di sana jamaah wanita tidak bisa langsung masuk. Namun harus mengikuti kelompok berdasarkan negara yang telah ditentukan.

Para Askar akan mengelompokkan dengan membawa tiang berpapan bertuliskan nama negara, antara lain Afrika, Pakistan, Turki dan India. Bagi jamaah Indonesia masuk ke dalam kelompok Melayu. Pengelompokan ini wajib dipatuhi karena Jamaan non Melayu memiliki fisik yang besar, bertenaga kuat dan kebudayaan yang berbeda.

Setelah itu, para Askar akan memberikan aba-aba kelompok mana yang akan dibolehkan masuk. Namun sebelum masuk ke Raudhah, jamaah akan kembali diminta mengantre di sekitar depan rumah Nabi Muhammad SAW. Begitu nama negara disebutkan jamaah sudah saling berlari dan berebut hingga menimbulkan kegelisahan kelompok negara lain.

“Ibu duduk, ibu duduk, sabar.. sabar,” teriak pada Askar wanita yang menggunakan cadar hitam. Setelah dipekikan nama Melayu, semua pun berlari. Namun lagi-lagi jamaah wanita harus sabar. Karena meski Raudhah di depan mata, jamaah harus menunggu Jamaah yang di dalam selesai beribadah.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib jamaah kursi roda harus berlomba kecepatan dan saling lomba. Namun, ternyata Masjid Nabawi telah mengantisipasinya, khusus bagi jamaah kursi roda.

Salah satu Askar Melayu Adilla, jamaah bisa masuk jalur khusus sehingga tidak perlu berdesakkan dengan jamaah lainya. “Jamaah tinggal datang dan bilang akan menggunakan kursi roda,” ujarnya.

Nanti jamaah akan ditempatkan pada ruang khusus berwana terpal putih. Di sana jamaah akan diatur secara tertib. “Kami tidak mengenakan biaya untuk masuk jalur khusus ini, tapi jamaah harus membawa kursi rodanya sendiri,” ujar Adilla.

OKEZONE

Singgah ke Taman Surga

Sungguh, dianugerahi anak yang saleh menjadi dambaan bagi setiap orang tua. Namun, titipan Allah SWT itu bukanlah taken for grantedatau barang jadi yang sudah terbentuk apa adanya. Melainkan, ia akan tumbuh menjadi pribadi sesuai dengan tempaan orang tua dan lingkungan.

 

Orang tua wajib memilih sekolah terbaik untuk anak, agar fitrah Ilahiyah terjaga dan terhindar dari keburukan serta mendoakannya dengan tulus di setiap waktu (QS 66:6, 25:74).

 

Sepekan yang lalu, saya menghadiri wisuda santri Pondok Pesantren Rafah Bogor yang diasuh oleh KH Muhammad Nasir Zein, di mana ananda Ihza belajar selama enam tahun.

 

Tampak raut wajah orang tua santri begitu bangga atas pencapaian anak-anaknya. Terlebih, pendidikan adab yang telah mewarnai sikap, kata, dan perilaku buah hatinya.

 

Pengasuh pondok yang bersahaja itu memberi tiga petuah yang mengharukan, hingga air mata pun berlinang, yakni: Pertama, pesantren adalah surga dunia. Kehadiran seorang santri merupakan karunia Allah SWT. Karena itu, dituntut keikhlasan dan kesungguhan para guru untuk mendidiknya sepanjang waktu.

 

Pondok bukanlah bengkel yang menjual jasa pendidikan yang transaksional, melainkan surga dunia yang dihiasi adab, ilmu, dan zikir. Santri tidak pernah lepas dari tilawah dan tahfidz Alquran, membaca kitab, muzakarah, dan shalat berjamaah. Mengharukan ketika ada empat santri yang hafalannya mencapai 30 juz.

 

Sejatinya santri yang belajar di pondok itu laksana tinggal di taman surga duniawi. Karena itu, patutlah jika mengajak anak-anak dan kerabat kita untuk singgah atau belajar ke pesantren. Nabi SAW berpesan, Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka nikmatilah. Para sahabat pun bertanya, apakah taman-taman surga itu? Nabi SAW menjawab, majelis zikir” (HR Abu Daud).

 

Kedua, bergaul dengan orang saleh. Beliau mengutip nasihat gurunya bahwa tiadalah berkumpul 40 orang mukmin yang saleh, kecuali di antaranya ada satu waliullah. Jika tak mampu mengundang mereka, maka hadirilah majelis- majelisnya. Minta doa untuk kedua orang tua dan guru-guru kita serta orang baik yang membantu perjuangan mendidik generasi yang beriman, berilmu, dan beradab. Kiranya, kita berada dalam rombongan ash-shiddiqiin, asy-syuhada, dan ash-shalihin(QS 4:69).

 

Ketiga, memuliakan guru. Pencapaian kita hari ini tentulah bermula dari jasa seorang guru. Begitu pula para guru, juga belajar kepada gurunya, hingga sampai kepada guru mulia Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau pun berguru kepada Sang Mahaguru, yakni Allah SWT. Selain beliau yang maksum (terjaga dari dosa), tiada seorang guru pun yang lepas dari salah.

Jika mereka salah, diingatkan bukan diancam, apalagi dipenjarakan.

 

Menghormati guru saat seorang murid menjadi orang terpandang adalah adab yang mulia. Berterima kasih atas adab dan ilmu yang diajarkannya, lalu mendoakan mereka agar diberi kebaikan dunia dan akhirat. Suasana haru pun menyentuh rasa, ketika Pak Kiai mengundang dan menyebut nama gurunya satu per satu sewaktu masih sekolah di madrasah dahulu.

 

Guru beliau di Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, juga bangga melihat pencapaian muridnya. Kiai Hasan berpesan agar guru tetap menjaga integritas dan moralitas dalam mendidik santri. Nilai dan karakter yang wajib dijaga adalah amanah (bertanggung jawab), tsiqoh(dipercaya), uswah (teladan), tha’ah(ketaatan), dan barakah(tambah kebaikan). Semoga anak-anak kita kelak menjadi orang baik insya Allah, amin. Allahu a’lam bishawab.

 

OLEH DR HASAN BASRI TANJUNG 

REPUBLIKA

Taman Surga Rasulullah di Masjid Nabawi

Bagi Muslim yang berkunjung ke Kota Nabi, Raudhah adalah idola. Bagaimana tidak, Rasulullah Muhammad SAW menyebut area seluas 22 kali 15 meter tersebut adalah salah taman di antara taman-taman surga.

Area “taman surga” di Masjid Nabawi menempati ruangan antara kamar Nabi (sekarang menjadi makam Nabi Muhammad dan khalifah Abu Bakar Sidiq dan Umar bin Khatab) dan mimbar untuk berdakwah di dalam masjid lama. Tentu, luasnya yang hanya 144 meter itu tak sebanding dengan ribuan bahkan jutaan jamaah yang ingin berebut masuk ke sana.

Kamis (20/8), barulah saya bergegas menuju Masjid Nabawi sebelum azan berkumandang. Saya dan teman satu kamar di penginapan, Sunu Hasto Fahrurrozi (Koran Sindo) dan Wawan Isab Rubiyanto (Liputan6.com), berjalan kaki menuju Nabawi.

Saat mencapai dekat area Raudhah, kami menabrak bentangan tirai putih setinggi dua meter yang ujungnya terikat tali tembaga (sling) di pilar masjid.

Tak tampak oleh kami tiang-tiang putih dengan ornamen kaligrafi yang khas dan juga karpet berwarna hijau sebagai penanda Raudhah. Semua karpet di Masjid Nabawi berwarna merah. Satu-satunya area yang memiliki warna karpet berbeda adalah Raudhah.

Saya hampir putus asa. “Ahh…ternyata belum bisa ke Raudhah saat ini,” begitu batin saya berbunyi. Saya lantas menghukum diri saya dengan kesimpulan, “Mungkin inilah “hukuman” yang diberikan Allah SWT karena saya tiba di masjid saat iqamah. Saya tidak mendapatkan kaki saya di dalam Masjid Nabawi sebelum atau saat azan berkumandang!”

Tapi, saya ingat betul, sejak keluar kantor misi haji Indonesia sampai Masjid Nabawi, saya tak berhenti membatin, “Assalamu’alaika Ya Rasulullah… Assalamu’alaika Ya Rasulullah...”

Tiba-tiba, saya melihat di ujung tirai di sebelah kanan saya menghadap arah Raudhah ada petugas kebersihan yang membuka sedikit tirai untuk dia berjalan. Beberapa jamaah mengambil kesempatan ikut masuk melalui celah itu sambil berpegang ke pilar masjid.

Saya ikut di belakangnya dan akhirnya berhasil masuk. Begitu juga dua kawan saya. Melihat jamaah mulai berdesakan ingin masuk juga melalui celah itu, seorang askar kemudian menutup dan meminta jamaah menjauhi tirai itu.

Alhamdulillah, saya ternyata sudah berada di atas karpet merah yang hanya berjarak beberapa meter dengan area Raudhah. Di situ, sudah penuh jamaah. Apalagi di area karpet hijau. Sudah tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk tambahan jamaah lainnya shalat di sana.

Saya dan dua kawan saya masih berdiri tepat di sisi karpet hijau menunggu ruang kosong. Tidak sampai setengah menit, saya melihat di bagian depan Raudhah ada yang kosong.

Saya pun masuk dan langsung shalat dua rakaat di sana. Dua kawan saya menyusul. Saya dan Sunu duduk bersebelahan. Sedangkan Wawan mendapatkan tempat di belakang saya. Berjarak satu shaf.

Saya bisa merampungkan shalat sunah dua rakaat di Raudhah. Saya pun melanjutkan dengan berdoa kira-kira 40 menit. Saya pun menyampaikan salam dari keluarga, para tetangga, dan kenalan di Tanah Air kepada Rasulullah SAW seperti yang diamanahkan mereka. Setelah itu, saya berpindah tempat dan melanjutkan berdoa.

Selesai berdoa, saya membaca Alquran. Belum usai 56 ayat surat Albaqarah, kemudian ada petugas yang menepuk pundak saya dan mengatakan, Ya Hajj.. Khair…Khair...sambil memberi kode tangan dan meminta saya keluar.

Usai merampungkan bacaan ayat ke 56 Al Baqarah, saya pun beranjak dan pindah ke bawah pilar yang lurus dengan mimbar nabi. Saya menyempatkan shalat dua rakaat lagi dan berdoa. Setelah itu, barulah saya keluar dari Raudhah.

Tak terasa, satu jam saya berada di Raudhah. Menangis bermunajat dan memohon ampun atas semua khilaf dan dosa. Meminta semua keluarga saya diberi kesempatan bisa datang ke Tanah Suci. Terima kasih, Ya Allah atas kesempatan tak terbayangkan ini.

Salam alaika, Ya Rasulullah. Sambungkan kerinduan diri ini atas dirimu dengan kembali mengizinkan saya berada di dalam taman surgamu kelak.

 

sumber: Republika Online