Tanah Air Kita Bukan Tuhan

Cinta Tanah Air juga adabnya, adab kepada Sang Pencipta, tidak menuhankanya. Itulah akidah Islam tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa

Oleh: Dr. Adian Husaini

RENUNGKANLAH untaian kata-kata dalam dua lagu kebangsaan berikut ini! (1) “Tanah airku Indonesia. Negeri Elok amat Kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia. Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur. Pulau Kelapa yang amat subur. Pulau melati pujaan bangsa. Sejak dulu kala…” (2) Dari yakin kuteguh. Hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu. Tanah air pusaka. Indonesia merdeka. Syukur aku panjatkan. Ke hadirat-Mu Tuhan.”

Ribuan pulau tergabung menjadi satu.

Sebagai ratna mutu manikam

Nusantara oh Nusantara

Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah sorga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” (Koes Plus).

*****

Kitacinta tanah air kita. Kita cinta negeri Nusantara yang indah ini.

Mengapa kita cinta tanah air kita? Apa karena tanahnya subur dan makmur? Apa karena alamnya indah?

Bagaimana jika suatu ketika tanah kita tak subur dan tidak makmur lagi? Apa kita tidak cinta lagi?

Haji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim terbesar Indonesia, pernah menulis artikel berjudul “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928).

Isinya, mengkritisi cara pandang sekular yang memuja “Ibu Pertiwi” secara berlebihan sehingga sampai menjadikan Ibu pertiwi itu sebagai “Tuhan”.

Agus Salim menulis:

“… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada  segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).

Itulah cinta tanah air yang adil. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Negeri ini bukan ada dengan sendirinya. Kita pun, manusia Indonesia, bukan hasil evolusi dari makhluk bernama hominid (sebangsa kera).

Kita ada, karena ada yang meng-ada-kan. Bukan ada karena kehendak kita sendiri. Allah SWT-lah yang meng-ada-kan kita, sehigga kita menjadi ada.

Karena itulah bangsa Indonesia sepakat menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama.  Haji Agus Salim, sebagai salah satu perumus Pembukaan UUD 1945 – yang memuat teks Pancasila – menulis tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa:

“… saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada diantara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu maksudnya ‘aqidah, kepercayaan agama, dengan kekuatan  keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa…”

Tentang manusia yang berpura-pura mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi perilakunya justru mengajak manusia membesar-besarkan hawa nafsunya, loba dan tamak terhadap kebendaan, Haji Agus Salim pun menyeru;

“… hendaklah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayah petunjuk dan bimbingan taufik-Nya.” (Lihat buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1996).

Manusia yang adil dan beradab adalah dapat menempatkan dirinya dengan betul, tahu siapa dirinya, saat berhadapan dengan Tuhannya.  Ia meyakini dan merelakan dirinya diatur oleh Allah SWT.

Itulah adab kepada Sang Pencipta. Begitu juga tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Itu aqidah Islam. Itu makna Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bung Hatta, mencatat: 

“Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm.31-33).

Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat;

“Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah.” (Prof. Hazairin, Demokrasi Pancasila, hlm. 31).

*****

Dalam ceramahnya di Festival Islam Internasional di Manchester, 1975, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan hakikat loyalitas seorang manusia kepada Tuhannya;

“State and governments  change from time to time, and if loyalty were to be directed to them then the values will also change. So in Western society change is something natural. They says that society which does not change is strange and unnatural. Obviously if you will place your loyalty with Allah, He does not change. That what is meant by the validity of absolute values. We deny the possibility of relative values except in certain domains.”
(Negara dan pemerintahan berubah dari waktu ke waktu, dan jika kesetiaan diarahkan kepada mereka maka nilai-nilainya juga akan berubah. Jadi dalam masyarakat Barat, perubahan adalah sesuatu yang wajar. Mereka mengatakan bahwa masyarakat yang tidak berubah adalah sesuatu yang aneh dan tidak wajar. Tentu saja jika Anda menempatkan kesetiaan Anda pada Allah Swt, Dia tidak akan berubah. Itulah yang dimaksud dengan validitas nilai absolut. Kami menyangkal kemungkinan adanya nilai relatif kecuali dalam domain tertentu).

Jadi, tegas Prof. al-Attas, loyalitas tertinggi seorang manusia harus diberikan kepada Tuhannya. Negara dan pemerintahan datang silih berganti.

Jika loyalitas tertinggi diberikan kepada mereka, maka nilai-nilai pun akan selalu berubah, sebagaimana yang biasa terjadi di Barat. Tidak ada kepastian nilai baik-buruk di sana.

Itu berbeda dengan Islam, yang memiliki kepastian nilai baik-buruk karena bersumber pada ajaran wahyu Allah.

Loyalitas tertinggi seorang manusia tentulah sepatutnya diberikan kepada Tuhannya. Dialah yang menciptakan tanah air kita yang indah ini. Tanah air kita bukan Tuhan. Karena itu jangan dijadikan Tuhan.

Sebagai manusia cerdas, BJ Habibie (alm.) memberikan pelajaran bagaimana mendudukkan cinta tanah air secara adil.  Dalam wawancara dengan Majalah FORUM KEADILAN, edisi 20 Januari 1994, Habibie ditanya: “Jika Anda ditanya, Anda ini siapa, insinyur, Muslim, atau Indonesia?”

Habibie pun menjawab: “Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, “Saya muslim.” Kenapa? Karena kalau saya mati nanti, saya tidak lagi berwarganegara… Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan warga negara kamu apa. Kamu mempunyai kedudukan apa. Karena itu saya jawab, “Saya muslim.”  Karena itu bukan emosional, saya jawab rasional.  Kalau kita percaya, pada hari akhir, saya mati tidak akan ditanya  paspor. Tapi, kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie tidak nasionalis. No…!”

Prof. Kasman Singodimedjo, Pahlawan Nasional dan pejuang hebat yang terlibat dalam perumusan Pancasila, mengajak umat Islam Indonesia untuk menerima Pancasila. Tetapi, sepatutnya umat Islam meyakini, bahwa Pancasila tidak dapat melebihi Islam.

Tulis Kasman Singodimedjo:

“Bahwa umat Islam disamping itu masih punya anggapan bahwa Islam itu adalah lebih sempurna dari Pancasila,  hal itu tentunya tidak akan, dan tidak seharusnya dianggap salah oleh siapa pun… Umat Islam keliru jika menganggap Pancasila lebih tinggi dari Islam. Sebab, Islam itu didekritkan langsung oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. (QS 3:19).”  (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, hlm. 53-54).

Jadi, dengan meletakkan kecintaan dan loyalitas tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), seorang muslim tetap bisa menjadi orang Indonesia dan sekaligus muslim yang baik.

Bahkan, di Indonesia ini, terbuka peluang besar kita menjadi muslim dan pejuang kebaikan dalam berbagai bidang kehidupan. (KL, 16 Februari 2020). *

Penulis Direktur Attaqwa College Depok, artikel telah dimuat di Majalah Hidayatullah

HIDAYATULLAH