Biografi Imam Qusyairi; Ulama Tasawuf yang Menolak Tasawuf

Salah satu tokoh tasawuf yang sangat populer (popular) dalam khazanah Islam adalah Imam Qusyairi. Dengan thariqah dan keilmuannya yang sangat luas, beliau mampu membawa ajaran-ajaran tasawuf laksana pengetahuan baru yang mampu memberikan motivasi kepada pembaca untuk lebih giat memperdalam salah satu ilmu Islam tersebut.

Nama lengkapnya adalah Imam Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad, sedangkan Abul Qasim merupakan nama kun-yahnya. Selain itu, ada banyak gelar yang disandang oleh Iman Qusyairi, di antaranya, (1) An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw;

(2) Al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut; (3) Al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa; dan (4) Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada mazhab Syafi’iyah yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M.

Tidak hanya itu, Imam Qusyairi juga memiliki banyak gelar kehormatan, antara lain, Al-Imam, Al-Ustadz, Asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Imam Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Ia mempunyai garis keturunan dari pihak Ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil as-Sulami, termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga As-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu, as-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan as-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah.

Beliau meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M, ketika berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syekh Abu Ali ad-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi.

Pada masa itu, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pada penguasa dan staf-stafnya berlomba-lomba memperberat tingkat pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa Imam Qusyairi untuk bercita-cita meringankan beban dari masyarakat. Beliau berpikiran pergi ke Naisabur untuk belajar hitung yang berkaitan pajak. Naisabur pada saat itu berposisi sebagai Ibukota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat tempat para ulama dan pengarang serta para pujangga.

Sesampainya di Naisabur, Imam Qusyairi belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisabur dan lebih dikenal dengan Imam ad-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, Imam Qusyairi sudah mengaguminya. Sementara Syekh ad-Daqaq sendiri juga berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilian. Karena itu, Syekh ad-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat beliau mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran pemerintahan dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan.

Selain Syekh Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisaburi ad-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1) Abu Abdurrahman Muhammad bin Husin bin Muhammad as-Sulami an-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang beberapa kitab; (2) Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang Imam dan pakar dalam Ushul Fiqh; (3) Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang Fiqh dan Ushul Fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Imam Qusyairi belajar belajar Ushuluddin (pokok-pokok agama) kepadanya; dan (4) Abu Manshur Abdur Qahir bin Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, Imam Qusyairi belajar tentang fiqih-fiqih mazhab Syafi’iyah kepadanya.

Dalam pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ (dikte) dan majelis tazkir (mengingat). Beliau mengadakan majelis imla’ bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M, beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H/1063 M, untuk merintis kegiatan semacamnya.

Beliau sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Subki adalah seorang ulama yang menguasai bidang ilmu, termasuk bahasa, sastra dan budaya. Karena itu beliau juga disebut seorang sastrawan sekaligus penulis. Ulama penyair ini banyak mengubah syair-syairnya secara improvisasi. Ali al-Bakhilzi banyak menyebut karya-karyanya dalam kitab Damiyatul al-Qashri.

Karya-karya Imam Qusyairi

Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Iman Qusyairi tidak hanya dilihat dari fatwa dan nasihatnya yang disampaikan kepadanya masyarakat luas, akan tetapi juga dilihat dari banyaknya kitab-kitab yang telah beliau tulis. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kitab tulisannya mencapai 29, di antaranya, Ahkamu asy-Syar’i, Adabus Shufiyah, Arba’un fi al-Hadits, Istifadah al-Mudharrat, Balaghah al-Maqashid fi at-Tasawuf, at-Tahbir fi at-Tazkir, Tartib as-Suluk fi Thariqi Allah, dan beberapa kitab-kitab lainnya.

Menolak Sufi pada Masanya

Imam Qusyairi tidak bisa diragukan lagi dalam luasnya Ilmu Tasawuf yang ada dalam dirinya, akan tetapi beliau merupakan salah satu ulama yang sangat menentang orang-orang tasawuf pada masa itu.

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Imam Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain adalah, pertama, menolak terhadap para sufi Syatahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Kedua, mengemukakan ketidaksetujuan terhadap para sufi pada masanya yang mempunyai kegemaran untuk mempergunakan pakaian-pakaian orang-orang miskin, tetapi perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka kenakan.

Pendapat al-Qusyairi di atas, sejatinya memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masa itu dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Imam Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin Ahlussunah wal Jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Usaha yang dilakukannya merupakan pembuka jalan bagi Imam Al-Ghazali yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyah.

Pendapat Imam Qusyairi tentang Hal dan Maqam

Sebagaimana tujuan yang telah disebutkan, Imam Qusyairi merupakan salah satu ulama yang hendak mengembalikan ruh tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh ulama-ulama tasawuf sebelumnya. Oleh karenanya, beliau memberikan beberapa komentar perihal salah satu hal pokok yang ada dalam ajaran tasawuf, yaitu hal dan maqam.

Imam Qusyairi berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lain, merupakan suatu pemberian atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha.

Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik turun (berubah-ubah).

Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi yaitu,

  • Tobat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut bahasa berarti “kembali”, maka tobat artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat itu sendiri.
  • Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat.
  • Khalwah dan uzlah, khaliyah merupakan sifat ahli sufi, sedangkan uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT. Imam Qusyairi juga menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu. Maka setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Seorang orang arif adalah alim.

Referensi, Imam Qusyairi, Risalah al-Qusyairiah, [Bairut, Dârul Fikr, cetakan kedua: 1999], halaman 15-18.

BINCANG SYARIAH

Tiga Tingkat Keimanan

Menurut Habib Abdullah bin Alawi dalam Risalah Al-Muawwanah mengatakan, inti dari ajaran tasawuf terletak pada keyakinan hati dan keteguhan iman. Kekuatan iman mampu membuat perkara yang mustahil dan tidak bisa dicerna akal manusia menjadi sangat riil di hadapan mata hati.

Menghadirkan urusan gaib yang berada di luar indra manusia menjadi nyata dan tampak kasat mata. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, seandainya satir penutup dibuka, niscaya keyakinan akan bertambah.

Pada dasarnya, tiap mukmin punya rasa yakin, tapi yang membedakan hanya satu, yaitu kadar iman yang dimiliki. Semakin kuat iman yang dipelihara seorang hamba, ia laksana gunung yang berdiri tegak dan kokoh. Dalam salah satu kaidah ushul fikih, disebutkan al-Yaqinu La Yuzalu bi as-Syak (keyakinan yang kuat tidak akan berubah dengan sebuah keragu-raguan).

Keyakinan tersebut tak akan sanggup diempas dengan mudah oleh tiupan keragu-raguan ataupun oleh angin waswas yang disebarkan oleh setan. Karena setan tidak akan berhenti bermanuver guna menyesatkan anak Adam. Sebagaimana sabda Nabi SAW, Setan akan menyesatkan manusia dan tidaklah seseorang mengambil jalan lain, kecuali setan juga akan menempuhnya.

Sehingga, apabila dikelompokkan, tingkatan keimanan bisa dibagi ke dalam tiga lapisan. Pertama, tingkatan dasar atau disebut iman. Kategori ini biasanya diisi oleh kalangan awam yang kadar keimanannya masih sering naik turun dan berubah-ubah.

Tingkatan kedua, tingkatan iman yang kokoh di hati dan tidak goyah, sehingga di level ini, hampir saja seseorang mampu melihat yang gaib. Tingkat keimanan ini disebut yaqin. Level keimanan ketiga yang tertinggi dikenal dengan istilah kasyaf. Tingkatan ini setara dengan level para wali dan nabi yang tidak lagi ada batas antara yang gaib dan alam kasat mata.

Selanjutnya, terdapat tiga cara yang bisa ditempuh untuk membangun benteng keimanan yang kuat. Pertama, mendengarkan, membaca, dan merenungkan ayat-ayat serta hadis-hadis yang menegaskan kebesaran dan kekuasaan Allah.

Selain itu, juga teks-teks agama yang mengisyaratkan secara jelas perihal kebenaran dakwah yang disampaikan oleh para rasul dengan segala konsekuensi yang didapat, baik dari ketaatan maupun sanksi yang diperoleh akibat pelanggaran apabila mengingkari risalah Ilahiah tersebut. Cara ini sesuai firman Allah, Dan, apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) sedang dia dibacakan kepada mereka. (QS al-Ankabut [29]: 51).

Kedua, merenungkan keajaiban penciptaan alam semesta, hamparan langit yang luas, bumi tempat berpijak, serta pesona unsur-unsur yang menjadi pelengkap dan kebutuhan kelangsungan hidup.

Sebagaimana firman-Nya, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. (QS Fushilat [41]: 53).

Sedangkan, cara ketiga, keyakinan yang telah didapat mesti diterapkan baik secara lahir maupun batin, dan berupaya sebisa mungkin menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena, dengan keteguhan iman dan keyakinanlah, Allah akan senantiasa membimbing dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada umat manusia.

Allah berfirman, Dan, orang-orang yang berjihad (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).

 

REPUBLIKA

Memaknai Tasawuf

TASAWUF dari segi bahasa ada yang mengatakan berasal dari akar kata Shafia yang berarti bersih atau suci. Ada juga yang mengatakan berasal dari akar kata shuff yang berarti wol, jenis bahan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Konon para shufi pada masa lalu banyak yang menggunakan pakaian dari jenis ini. Dan banyak lagi yang menghubungkannya dengan makna lainnya.

Tasawuf dalam bentuk istilah baku memang belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Istilah ini lahir beberapa abad pasca masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun bila ditilik dari sisi esensi dan tujuan, maka bisa dikatakan bahwa tashawwuf adalah suatu cara orang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan kebersihan hati serta menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan. Dengan pengertian seperti ini maka dapat dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat adalah para shufi yang selalu mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Memang dalam fenomena sejarah sering kita dapati para penganut paham tasawuf menggunakan bermacam-macam cara dan metoda dalam melangkah. Dan harus kita terima kenyataan bahwa sebagian dari jalan yang diambil itu ada yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana banyak pula dari mereka yang tetap berjalan di atas jalan yang lurus dan selamat dari hal-hal dilarang. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

INILAH MOZAIK