Alasan Mengapa Dai Harus Tawadhu Menurut Imam Shamsi Ali

Tawadhu merupakan sikap yang harus dimiliki setiap dai

Seorang Muslim yang memiliki ketawadhuan dalam menjalani hidup akan menemui keselamatan karena akan terhindar dari riya dan angkuh. Begitupun dalam berdakwah, ketawadhuan sangat penting dimiliki seorang dai

Presiden Nusantara Foundation, Ustadz  Muhammad Shamsi Ali, menjelaskan sikap dam karakter tawadhu penting dalam kerja-kerja dakwah. 

Hal itu penting karena secara prinsip dakwah adalah ajakan menuju jalan Allah (ilaa sabiilillah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. 

Maka menurut Ustadz Shamsi seseorang yang berdakwah namun tidak bernilai mulia atau tidak berkarakter, tidak tawadhu menjadi kontras pada dirinya.  

“Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang da’i yang mengakui ketidak sempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan dakwah ini (para da’i) jauh dari kesempurnaan,” kata Ustadz Shamsi, beberapa waktu lalu, kepada Republika.   

Ustadz Shamsi yang juga imam di Masjid New York ini mengatakan kesadaran akan kekurangan dalam berislam  menjadi motivasi untuk bermujahadah lagi dalam menambah kualitas keislaman. 

Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kualitas dakwah. Karena itu kualitas dakwah ada pada keteladanan dalam berislam itu sendiri. 

Sebaliknya menurut dia, bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter dai yang angkuh, merasa sempurna, merasa mampu, dan hebat. 

Dia menjelaskan tawadhu dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat obyek dakwah itu sendiri. Bahwa siapapun dan bagaimanapun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. 

Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia. 

“Maka dai yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapapun karena apapun dan bagaimanapun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa dai yang tawadhu akan selalu memandang obyek dakwah dengan mata positif,” katanya.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Saja Ciri-ciri Tawadhu?

Manusia adalah makhluk lernah yang tidak berarti apa- apa di hadapan Allah Swt. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah Swt.

Tanpa rahmat, karunia dan nikrnat dari Allah Swt., manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada di atas permukaan bumi ini.

Sikap Rendah Hati

Pengertian tawadhu secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh’a yang berarti merendahkan, serta juga berasal dari kata “ittadha’a” dengan arti merendahkan diri.

Disamping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan.

Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya.

Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya adalah karunia dari Allah Swt.

Sikap rendah hati akan memudahkan individu untuk memaafkan orang lain yang telah menyakitinya. Orang yang memiliki sikap rendah hati atau tawadhu juga akan membuka diri terhadap berbagai hal.

Orang yang terbuka akan mau dan tak malu untuk mengakui bahwa dirinya mungkin pernah melakukan kesalahan pada orang lain sehingga menyebabkan orang lain bertindak tidak menyenangkan.

Sikap rendah hati akan membuat seseorang lebih mudah memahami masalah yang terjadi. Apabila masalah bisa dipahami dengan sebaik-baiknya, maka maaf pun mudah diberikan untuk orang yang telah menyakiti.

Itulah mengapa sifat tawadhu penting dimiliki oleh setiap individu, terutama individu yang memiliki banyak ilmu pengetahuan, seperti para pelajar, santri, dan mahasiswa.

Tawadhu yang dimiliki individu dipengaruhi sejumlah faktor, seperti religiusitas dan kecerdasan emosi.

Religiositas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya berfikir, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata istilah yang menunjuk langsung pada kata tawadhu. Akan tetapi, yang disebutkan adalah beberapa kata yang memiliki kesamaan arti dan maksud sama dengan kata tawadhu.

Ada kata rendah diri, merendahkan, atau rendahkanlah, tidak sombong, lemah lembut, dan seterusnya.

Sikap tawadhu’ tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah dia akan dihormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya.

Dalam buku Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi (2011) karya Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso dituliskan tentang religiositas adalah tingkat keyakinan, pelaksanaan ibadah, perilaku keseharian, pengalaman, dan pengetahuan agama seseorang yang dimotivasi oleh kekuatan spiritual.

Kecerdasan emosi adalah faktor lain yang memengaruhi sikap rendah hati atau tawadhu. Kecerdasan emosi bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami emosi yang dirasakannya.

Selain itu, tawadhu juga bisa diartikan sebagai kemampuan mengendalikan diri dan emosi yang dirasakan, mempunyai daya tahan dalam menghadapi problematika.

Seseorang yang memiliki sikap rendah hati juga akan mampu menyemangati diri, memahami perasaan dan emosi orang lain, dan mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain.

Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik mampu untuk mengidentifikasi intensitas perasaan atau emosi baik itu pada diri sendiri maupun orang lain.

Ada lima aspek dalam kecerdasan emosi yakni memahami emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain, dan membina hubungan sosial dengan orang lain.

Lantas apa hubungannya kecerdasan emosi dengan sikap tawadhu?

Hubungannya adalah bahwa pemahaman seseorang akan dirinya menjadikan seseorang tidak bersikap angkuh atau sombong terhadap orang lain. Itulah mengapa semua orang mesti memiliki sikap rendah hati dalam dirinya.

Ciri-ciri Tawakkal

Sikap rendah hati bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari apabila seseorang telah memahami bagaimana dan apa saja ciri-ciri rendah hati.

Sebagai makhluk sosial, manusia menjalin komunikasi, menjalin hubungan, bekerjasama dengan orang lain, menerima pertolongan dan memberi pertolongan.

Saat berinteraksi dengan orang lain, sikap yang positif sangat dibutuhkan. Sementara sifat yang sebaliknya, seperti sombong dan berbangga diri, sangat merusak relasi dengan orang lain.

Salah satu sikap positif yang sangat dianjurkan dalam relasi dengan orang lain adalah rendah hati atau tawadhu.

Ajaran agama Islam menganjurkan manusia agar menghidupkan sifat tawadhu atau rendah hati dalam kehidupan sehari-hari.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu sehingga seseorang tidak merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan tidak pula berlaku aniaya kepada orang lain” (H.R. Imam Muslim dalam al-Uwaisyah).

Rendah hati adalah sikap yang dimiliki seseorang dimana ia tidak memandang dirinya lebih tinggi dari orang lain.

Sikap untuk merendahkan diri tanpa meremehkan harga diri, sehingga orang lain tidak memandang rendah atau tidak meremehkan yang bersangkutan juga merupakan pengertian lain dari rendah hati.

Sementara itu, apa yang dimaksud tawadhu adalah merendahkan diri dan berperilaku lembut, di mana perilakunya tidak bertujuan untuk dilihat sebagai orang yang terpuji namun semata-mata hanya mengharap ridha dari Allah SWT.

Dalam buku Semulia Akhlak Nabi (2014), Amru Khalid mengartikan bahwa rendah diri atau tawadhu adalah bentuk ketundukan kepada kebenaran.

Kebenaran yang dimaksud adalah kebenran yang datang dari manapun sumbernya, menjalin interaksi dengan kelembutan, dan tidak membedakan satu dan yang lainnya.

Masih menurut Amru Khalid dan masih dalam buku yang sama, ada beberapa ciri tawadhu. Apa saja ciri-ciri rendah hati yang dituliskan? Berikut ciri-cirinya:

Pertama, mengenal diri sendiri.

Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah Hadis yang berbunyi: “Barangsiapa mengenal dirinya pasti ia akan bertawadhu kepada Allah” (HR. Imam al-Syafi’i).

Kedua, mengenal Allah, Sang Pencipta.

Mengenal Allah mencakup empat bagian, yaitu mengenal keberadaannya, keesaan rububiyah, keesaan uluhiyah (hak Allah untuk diibadahi) serta mengenal namanama dan sifat-sifat Allah.

Ketiga, mengaplikasikan tawadhu dalam hal-hal berikut: tawadhu dalam berpakaian, tawadhu kepada pembantu, tawadhu dalam membangun rumah, tawadhu terhadap para kerabat terutama yang miskin, tawadhu terhadap orang di bawah, tawadhu terhadap guru, tawadhu terhadap orang yang diajar, tawadhu kepada orangtua.

Perlu diingat bahwa rendah diri adalah tentang aspek ketulusan, keadilan, serta kesederhanaan yang memiliki kontribusi penting dalam membangun kerjasama dan hubungan interpersonal.

Sikap tawadhu cenderung mengundang rasa simpatik kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, setiap Muslim hendaknya memiliki ciri-ciri rendah diri seperti apa yang telah disebutkan dalam rangka meneladani Nabi Muhammad Saw.

Orang yang memiliki sifat tawadhu akan mengakui kesalahan dan merasa pengetahuannya masih kurang sehingga terbuka untuk menerima ide-ide baru dan nasihat yang bijaksana dari orang lain.

Ciri orang yang mempunyai sikap tawadhu ketika berhadapan dengan Allah Swt. yaitu ketika berdoa, berdzikir, dan memohon dengan suara tidak keras, takut, dan penuh harap sehingga biasanya orang yang tawadhu akan bersikap selalu optimis.

Ciri orang yang mempunyai sikap tawadhu dengan orang yaitu kepada orang tua dan orang lain, ketika berhadapan dengan orang-orang, yang bersikap tawadhu akan patuh, sayang, penuh hormat, dan suka membantu terhadap orang tua.

Sikap tawadhu dengan orang lain adalah tidak menyakiti, suka menolong,dan menyayangi. Ciri orang yang bersikap tawadhu dalam dirinya tidak menyombongkan dan membanggakan diri sendiri.[]

BINCANG SYARIAH

Wasiat Luqman (Bag.8) : Bersikap Tawadhu’

Baca pembahasan sebelumnya Wasiat Luqman (Bag.7) : Jangan Sombong !

QS. Luqman Ayat 19

Nasehat Luqman selanjutnya adalah pelajaran untuk senantiasa tawadhu’ dan tidak sombong, baik ketika berjalan maupun berbicara. Allah Ta’ala berfirman :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan pelankanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman : 19)

Berjalanlah dengan Tawadhu’

Allah Ta’ala berfirman :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ

“ Dan sederhanalah kamu dalam berjalan ”

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan maksudnya adalah bersikap pertengahan dalam segala hal, termasuk saat berjalan. Sikap pertengahan dalam berjalan adalah tidak terlampau cepat namun juga tidak lambat. Sikap pertengahan ini hendaknya diterapkan dalam segala hal. Oleh karena itu di antara doa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkanlah adalah :

وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ

“ Aku minta kepada-Mu agar aku bisa melaksanakan sikap pertengahan (kesederhanaan) dalam keadaan kaya atau fakir. ” ( H.R Ahmad, shahih)

Makna (الْقَصْدَ) adalah sikap pertengahan dalam seluruh perkara. Allah Ta’ala juga berfirman : 

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً

“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al Furqan : 67) (Tafsiir Al Qur’an Al Kariim Surat Luqman)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksudnya berjalanlah dengan sikap pertengahan. Jangan terlalu lambat seperti orang malas dan jangan pula terlalu cepat seperti orang yang tergesa-gesa. Namun bersikaplah adil dan pertengahan dalam berjalan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.” (Tafsiir Al Qur’an Al ‘Adzim)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini bahwa maksudnya berjalanlah dengan tawadhu’ dan sikap tenang. Jangan bersikap sombong dan takabbur serta jangan pula berjalan seperti orang yang malas. ” (Taisir Al Karimir Rahman)

Seorang mukmin hendaknya memiliki sifat tawadhu’, termasuk ketika berjalan. Sikap tawadhu’ akan menjadikan seorang mulia. Hal ini dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau :

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“ Dan tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim). 

Baca Juga:

Adab Tatkala Berbicara

Luqman kemudian mengajarkan pada anaknya bagaimana adab ketika berbicara. Allah Ta’ala berfirman 

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah larangan melampaui batas dalam berbicara dan berbicara keras dalam hal yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu disebutkan dalam ayat bahwa sejelek-jelek suara adalah suara keledai. 

Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” Barangsiapa yang berbicara dengan suara keras, maka ia mirip dengan keledai dalam hal mengeraskan suara. Suara yang seperti ini dibenci oleh Allah Ta’ala. Disebutkan adanya keserupaan menunjukkan akan keharaman bersuara keras dan tercelanya perbuatan semacam itu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ ، الَّذِى يَعُودُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِى قَيْئِهِ

Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” (H.R Bukhari) (Tafsiir Al Qur’an Al ‘Adzim)

Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa merendahkan suara adalah bentuk beradab dalam berbicara kepada manusia dan adab ketika berbicara kepada Allah. Suara keledai adalah suara yang jelek dan menakutkan. Seandainya mengeraskan suara dianggap ada faidah dan manfaatnya, tentu tidak disebutkan secara khusus dengan suara keledai yang sudah diketahui hina dan pandirnya hewan tersebut.” (Taisiir Al Kariimi Ar Rahman ).

Faidah Ayat

  • Manusia hendaknya berajalan dengan sikap yang pertengahahn. Tidak terlalu tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat karena keduanya tercela. Namun tetap diperbolehkan dalam kondisi tertentu yang memang dibutuhkan untuk berjalan cepat. 
  • Tidak sepantasnya setiap insan berjalan cepat dan jangan pula berjalan lambat sehingga tidak mendapatkan yang diinginkan. Adapun bersegera berjalan untuk mendapatkan kebaikan maka Allah telah memerintahkannya asalkan tidak melampaui batas, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا 

Jika kalian mendengar iqomah, maka segeralah berjalanlah menuju shalat. Hendaknya anda dalam kondisi tenang dan pelan. Jangan tergesa-gesa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Hendaknya setiap manusia merendahkan suaranya, karena Allah berfirman : 

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ

“ Dan rendahkanlah suaramu.”

Namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan meninggikan suara semisal ketika adzan, khutbah, dan kondisi lain yang meemang diperlukan. 

  • Meninggikan suara yang tidak pada tempatnya termasuk perbuatan haram, karena Allah berfirman :

إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“ Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Disebutkannya penyerupaan dalam ayat ini agar dihindari perbuatan yang semisal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ليس لنا مثل السوء

“ Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek “ (H.R Bukhari)

  • Ayat di atas menunjukkan bahwa suara keledai adalah suara yang tercela

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55846-wasiat-luqman-bag-8-bersikap-tawadhu.html

Tawadhu Mendatangkan Rahmat

ORANG yang tawadhu adalah orang yang senang dalam mencari ilmu, hikmah, dan juga pengalaman. Sedangkan orang yang sombong adalah orang yang selalu mendustakan segala kebenaran yang ada.

“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku (Rasululloh Shallallahu alaihi Wa Sallam) untuk memiliki sifat tawadhu. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim No 2865)

Oleh karena itu marilah sahabat, kita miliki sikap tawadhu dalam hidup kita. Dan semoga dengan sikap tawadhu kita, Allah mendatangkan rahmat dan juga cintanya kepada kita semua, Aamiin Ya Robbal alamin. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar |

INILAH MOZAIK

Pribadi Tawadhu

ALHAMDULILLAHSegala puji hanya milik Allah Swt, Dzat Yang Maha mengetahui setiap perkara ghaib, Yang Maha Mendengar apa yang terlintas di dalam sanubari kita, Yang Maha melihat segala rahasia. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.

Pohon yang akarnya menghujam ke dalam tanah, akan berdiri kokoh dan kuat. Jikalau dihempas angin, bahkan diterjang badai sekalipun ia akan tetap berdiri. Inilah perumpamaan mengenai orang yang berhasil menanamkan dirinya pada bumi ketawadhuan atau kerendahan hati.

Saudaraku, orang yang tawadhu akan ajeg dan mantap hidupnya. Ia sudah kuat sejak dari hatinya. Ia sudah mantap sejak dari jiwanya. Pribadinya kokoh sejak sebelum bergabung dengan lingkungannya. Karena apa? Karena ia memiliki kerendahan hati, ia tak memerlukan sanjungan dan pujian orang lain, meski jabatan tinggi dimilikinya, harta kekayaan berlimpah ada di rumahnya, gelar berderet di depan dan belakang namanya.

Orang yang rendah hati memiliki pembawaan yang tenang, disebabkan ketenangan hati yang memancar menyinari setiap tutur kata dan perilakunya. Ia tidak akan sibuk mencari penghargaan orang lain. Sebaliknya, ia justru akan sibuk menghargai keadaan orang lain, bagaimanapun keadaannya.

Inilah karakter baik yang penting untuk kita miliki. Lawan dari tawadhu adalah takabur atau sombong. Ini adalah sifat yang sangat berbahaya. Sesuai hadits Rasulullah Saw. bahwa ciri orang yang sombong itu ada dua, ..menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR. Muslim)

Orang yang sombong adalah orang yang tidak suka pada hal-hal yang terkait dengan ilmu agama, tidak suka mendengar nasehat, tidak mau menerima kebenaran, gengsi jika dikoreksi, dan anti terkadap kritik. Orang yang sombong pun selalu melihat orang lain lebih rendah dari dirinya.

Oleh karena itu, bagi siapapun yang mendambakan punya karakter yang baik, milikilah ketawadhuan dan jauhilah kesombongan. Nabi Muhammad Saw adalah seorang yang tawadhu.

Langkah untuk menjadi orang yang tawadhu, cobalah selalu memandang orang lain dari sisi kelebihan dan keunggulannya. Jikalau melihat anak kecil, maka pandanglah ia sebagai sosok yang dosanya masih sedikit, dan jika melihat orang yang lebih tua maka pandanglah ia sebagai orang yang punya pahala lebih banyak dari kita. Jika melihat orang yang melakukan perbuatan dosa, maka pandanglah boleh jadi ia melakukan itu karena belum tahu ilmunya. Melihat seorang non-muslim, maka pandanglah dengan pandangan boleh jadi esok atau lusa Allah Swt. memudahkan hidayah baginya sehingga menjadi seorang muslim yang taat dan lebih baik daripada kita.

Semakin kita tidak merendahkan orang lain, semakin kita tidak memerlukan orang lain mengangkat kita, maka hidup kita akan nyaman. Dan, bila kita merasa nyaman, maka orang lain pun akan nyaman bersama kita.

Orang yang rendah hati akan sangat cepat mendapatkan kondisi yang lebih baik dari waktu ke waktu, baik berkenaan dengan pribadinya, pekerjaannya, ataupun urusan lainnya. Mengapa? Karena ia selalu senang mendengarkan nasehat, masukan, bahkan hingga kritikan. Ia tidak pernah gengsi mengakui kekuarangan dan kesalahannya, sehingga ia pun bersegera memperbaiki dan melengkapi kekurangannya.

Sedangkan orang yang sombong akan dekat sekali dengan kehancuran, ia akan mudah sekali mengalami ketertinggalan. Karena ia selalu merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari orang lain sehingga ia terlena. Orang sombong pun tidak akan bahagia, karena ia selalu cemas dan gelisah mencari-cari penilaian dan pujian manusia.

Padahal ketawadhuan justru akan mengangkat derajat kemuliaan seseorang baik di hadapan Allah Swt maupun di hadapan makhluk-Nya. Rasulullah Saw bersabda, Dan tidak ada orang yangtawadhu (merendahkan diri)karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.(HR. Muslim)

Tidak ada kenyamanan kecuali dengan kerendahanhati, tidak ada kemuliaan kecuali dengan kerendahanhati. Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang tawadhu lillaahi taala. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Kebesaran Jiwa Ulama dalam Mengakui Kesalahan

“Setiap manusia sangat rentan bersalah,  dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang tekun bertaubat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).” Demikian Anas bin Malik mengawali hadits yang pernah ia dengar langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam mengenai kesalahan.

Masalah yang terlihat biasa ini bagi kebanyakan orang, akan begitu terasa sukar jika yang mengalaminya adalah orang yang sudah terlanjur di-ulama-kan, dijunjung tinggi ketokohannya, atau barangkali menempati posisi-posisi penting di hati masyarakat. Ketika mereka bersalah, mampukah hawa-nafsu ditaklukkan untuk mengakui kesalahan? Berikut ini, adalah contoh dari ulama-ulama berjiwa besar yang mau mengakui kesalahannya.

Ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dari suku Syamkh. Pasca nikah, dia tertarik dengan ibunya. Ia pun mendatangi Ibnu Mas’ud seraya bertanya, “Aku telah menikahi seorang perempuan, kemudian aku tertarik pada ibunya. Aku belum menggaulinya, bolehkah aku ceraikan dia lalu aku menikahi ibunya?” “Boleh,” jawabnya. Akhirnya ia pun menceraikannya dan menikahi ibunya.

Saat Abdullah bin Mas’ud datang ke Madinah, ia bertanya kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait masalah ini. Mereka menjawab, “Tidak sah.” Kemudian ia pun mendatangi suku bani Syamkh, lalu bertanya, “Di mana orang yang menikahi ibu perempuan yang pernah dinikahinya?” “Di sini,” jawab mereka. Ibnu Mas’ud dengan tegas menandaskan, “Ceraikanlah dia!” “Bagaimana mungkin, dia sudah hamil?” tanya mereka. “Meski demikian, ceraikanlah dia. Sesungguhnya itu diharamkan Allah subhanahu wata’ala.” (Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur, bab: al-farā`idh, 1/234).

Imam Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (V/321) menceritakan bahwa Makhlad bin Khufāf membeli budak kemudian dimanfaatkan. Dalam perjalan waktu, dia menemukan aib pada budak itu. Akhirnya masalah ini diadukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Beliau pun memutuskan, Makhlad wajib mengembalikannya dan membayar biaya pemanfaatannya. Makhlad pun bertanya pada  ‘Urwah mengenai masalah ini.  Ia pun menyebutkan riwayat ‘Aisyah mengenai kasus seperti ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan si penjuallah yang harus membayar jaminan. Saat Umar diingatkan Makhlad, beliau berkomentar, “Aku anulir keputusanku, dan akan kulaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Imam Ibnu Jauzi menyatakan bahwa, ‘Dalam sejarah ulama salaf ada orang yang jika dia mengetahui dirinya salah, maka dia tidak akan tenang sebelum menyampaikan kesalahannya dan memberitahu orang yang diberi fatwa.’ (Ta’dhīmu al-Futya, hal: 91). Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Jauzi menceritakan bahwa Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`i dimintai fatwa pada suatu masalah, kemudian dia salah. Pada waktu itu dia tidak kenal pada orang yang meminta fatwa. Ia pun menyewa orang untuk mengumumkan bahwa Hasan bin Ziyad telah diminta fatwa pada hari demikian, kemudian salah. Beliau pun mengumumkan, “Siapa saja yang memberi fatwa demikian, maka segera dicabut!”. Setelah beberapa hari akhirnya beliau bertemu dengan orang yang meminta fatwa lalu memberitahunya bahwa fatwanya salah. (hal: 92).

Saat Syekh Izzuddin al-Hikari pernah berfatwa mengenai suatu permasalahan, kemudian dia baru mengetahui bahwa fatwanya salah. Ia pun mengumumkan dengan keras  di depan khalayak di Kairo, Mesir, “Barangsiapa mendengar fatwa demikian, maka jangan diamalkan, karena itu salah.” (Imam Subki, Thabaqāt al-Syāfi’iyyah, VIII/214).

Lebih dari itu, Syekh Abu al-Fadhl al-Jauhari sampai mengumumkannya kesalahannya di atas mimbar setelah diingatkan oleh Muhammad bin Qasim al-‘Utsmani mengenai masalah talaq, dhihar [mengatakan pada istri, kamu seperti punggung ibuku, sebagai tanda talaq di zaman jahiliyah) dan ila [suami bersumpah tidak mencampuri istrinya]. Karena dia telah berpendapat bahwa nabi pernah melakukan ketiganya sekaligus, padahal nabi tidak pernah dzihar(Ibnu ‘Arabi, Ahkāmu al-Qur’an, I/249).

Itu beberapa contoh dari ulama luar negeri. Di dalam negeri pun ada banyak contoh yang bisa diteladani. Misalnya, Pangeran Diponegoro.  Di samping dikenal sebagai ulama yang jantan di medan tempur, ternyata beliau juga tidak malu mengakui kesalahan jika memang melakukannya. (H.M. Nasruddin Anshoriy, ‘Bangsa Inlander’ Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara,128).

Kisah A Hassan

Adalah cerita tentang kebesaran jiwa Ahmad Hassan. Ada kisah menarik dari ulama yang dikenal sebagai “Guru Utama Persis” ini. Alkisah, seorang dari Sumedang Jawa Barat bernama H. Ali Muhammad Siraj pernah mengunjungi A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan tersebut ia selalu membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling kota atau di kampung-kampung.

Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A. Hassan. Di pinggir ban sepeda itu tertulis kata-kata “inflate hard“. Tuan Hassan menanyakan apa arti kata-kata itu. Saya menjawab, “Pompalah keras-keras, maksudnya supaya ban lebih awet dipakainya dan tak mudah kempes,” jawab saya. “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban ini dibikin sangat teratur, tak usah khawatir,” jawab beliau. Mendengar arti yang diberikan beliau itu, saya tidak membantah, karena saya tahu bahwa Tuan Hassan lebih faham berbahasa Inggris.

Tapi tengah malam, pintu kamar saya diketok beliau dan berseru nama saya berkali-kali. Saya terbangun lalu membukakan pintu. Beliau masuk dan segera mengucapkan minta maaf atas kesalahannya membuat arti kalimat tersebut. Arti itu tidak benar, yang benar ialah arti dari saudara tadi. Mata saya tak mau dipicingkan sejak tadi, karena saya merasa bersalah dan belum minta maaf, “Saya khawatir kalau tidak malam ini juga saya minta maaf, siapa tahu besok kita tak bertemu lagi, karena meninggal salah seorang kita.” (Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, hal: V dan Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, hal: 64). Perhatikan bagaimana jawaban A. Hassan. Jawaban ini menunjukkan betapa besar jiwanya untuk mengakui kesalahannya.

Dari murid A. Hassan pun ada kisah menarik mengenai pengakuan kesalahan. Dikisahkan bahwa di waktu anak kedua M. Natsir akan lahir -mereka lima orang bersaudara- Natsir diperkarakan orang yang punya gedung sekolah, sebab sudah banyak menunggak sewa. Sudah tentu Natsir mengaku salah. Memang hutang belum terbayar. (Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, hal: 38). Demikian besarnya jiwa Natsir sehingga beliau tidak gengsi mengakui kesalahannya.

Masih dalam masalah mengakui kesalahan, ada kata bijak dari Buya Hamka. Terkait masalah ini, beliau pernah berujar, “Berterus terang adalah sikap pahlawan, tetapi berani mengakui kesalahan lebih ksatria.” (Personal Quality Management, E. Widijo Hari Murdoko, hal: 165). Tepat sekali pernyataan beliau, orang yang berani mengakui kesalahannya adalah ksatria.

Demikianlah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama memiliki jiwa besar dan lapang, sehingga ketika melakukan kesalahan, mereka tidak sungkan-sungkan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Mereka melakukan demikian karena terinspirasi dari Rasulullah yang tak sungkan mengaku salah dalam hal pengawinan kurma dengan mengucapkan, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bis shawab.*/Mahmud Budi Setiawan

 

sumber: Hidayatullah

Hiasi Diri dengan Sifat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

Memahami Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)

Keutamaan Sifat Tawadhu’

Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]

Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber: Musil.or.id

Orang Bertauhid Pasti Banyak Istighfar, Tidak Sombong & Semakin Tawadhu’

Mempunyai tauhid yang benar dan lurus memang menjadi idaman dan impian setiap insan dari umat Islam yang beriman. Sebab, tauhid yang benar dan lurus didalam sabda Rasulullah SAW merupakan salah satu hal yang bisa menghantarkan umat Islam menuju jannah(surga).

Akan tetap, menjadi suatu keprihatinan jika seseorang yang mengaku atau mengikrarkan jika dirinya sudah benar dan lurus tauhidnya, ternyata didalam kehidupan sehari-harinya masih ada benih-benih kesombongan dari dalam diri dan hatinya.

Menurut ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah MA, orang-orang seperti itu sejatinya belum benar dan lurus tauhid dan aqidahnya, dan bisa jadi dengan kesombongannya tersebut, justru akan dapat merusak tauhid dan imannya.

Hal ini seperti yang disampaikan ustadz Zain yang juga alumni Universitas Islam Madinah Al-Munawarah pada saat mengisi kajian Islami bertajuk “Membangun Keluarga dengan Ilmu Syar’i” pada Ahad (3/5/2015) pagi di Solo. (Baca: Ustadz Zain An-Najah: Perbanyaklah Istighfar, Karena Istighfar Dapat Menolak Musibah)

Dalam mengawali pemaparannya seputar permasalahan rumah tangga dan hubungan pasangan suami istri (pasutri), alumni Ponpes Al Mukmin Ngruki Solo ini kemudian mengutip QS. Muhammad, surat ke 47 ayat ke 19 dan hadits shahih riwayat Bukhari yang berbunyi, “al-ilmu qoblal qouli wal-‘amali”.

Allah SWT berfirman, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.

Ibarat tanaman padi yang semakin tinggi akan semakin menunduk, maka seseorang yang benar dan lurus tauhidnya serta pemahaman ilmunya, adalah yang semakin tawadhu’ dan banyak istighfar kepada Allah SWT.

“Maka tidak mungkin orang yang bertauhid, yang tauhidnya lurus kok sombong, gak ada. Dalam kamus itu gak ada. Orang yang bertauhid dan kuat pemahaman Islamannya, pasti tawadhu’ dan banyak istighfar kepada Allah dari kesombongan. Sebab dirinya lemah, dan Allah Maha Kuat lagi Maha Sempurna. Itulah makna dari fa’lam annahu laa ilaaha illallah wastaghfir lidzambik,” tegasnya. [GA]

 

sumber:PanjiMas

Memiliki Sifat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

Memahami Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)

Keutamaan Sifat Tawadhu’

Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]

Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Wallahu waliyyut taufiq.

 

 
Sumber : https://rumaysho.com/2056-memiliki-sifat-tawadhu.html


Simak artikel mengenai Tawadhu lainnya, klik di sini!

Menjaga Sikap Tawadhu

“Tiada satu pun karunia yang diperoleh seseorang yang bersikap tawadhu kepada Allah, kecuali Allah meninggikan derajatnya.” (HR Muslim). 

Hadis di atas menjamin ganjaran yang bakal diterima seseorang jika tawadhu. Menghilangkan kesombongan, tinggi hati, merasa hebat, dan segudang penyakit hati lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun seberat biji sawi.” (HR Abu Dawud).

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Pemahaman yang benar terhadap hal tersebut seharusnya tidak melahirkan orang kaya yang merasa lebih hebat dibanding lainnya. Pejabat merasa lebih terhormat ketimbang rakyat biasa, kiai merasa lebih benar daripada santrinya, atau generasi tua merasa lebih tahu ketimbang yang muda. Hadis di atas seharusnya cukup membuat kita sadar dan takut. 

Shalat, puasa, zakat, haji, dan segudang amal saleh lainnya tidak menjamin kita masuk surga jika di dalam hati kita masih ada setitik kesombongan.Bahkan, pejabat setingkat presiden pun tidak berhak sombong. 

Hal ini dikisahkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah. Diceritakan seseorang yang gemetar ketakutan ketika menemui Rasulullah yang dipersepsikan sebagai raja diraja.Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh hina engkau. Sesungguhnya, aku bukanlah seorang raja. Aku hanyalah anak seorang wanita yang memakan dendeng di Makkah.” 

Subhanallah, betapa agungnya ketawadhuan Nabi SAW. Muhammad bin Abdullah yang seorang Nabi, kepala negara, kepala pemerintahan, raja, panglima militer, pengusaha sukses, pendidik, dan manusia yang dijamin masuk surga tidak membuatnya sombong sedikit pun. 

Ketawadhuan beliaulah yang patut diteladani, diikuti, dan ditiru. Seperti telah disebut dalam Alquran surat Alahzab ayat 21, “Sesungguhnya, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang berharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 

Marilah membuang jauh-jauh kesombongan dalam menjalani hidup yang singkat ini, seberapa pun hebatnya kita. Karena, sesungguhnya kekayaan, jabatan, ilmu, tubuh yang sempurna, wajah cantik, kecerdasan, dan bahkan anak istri kita adalah milik Allah yang dititipkan pada kita. Sesungguhnya, orang yang berlaku tawadhu zaman sekarang ini sangatlah sedikit. Apakah kita termasuk di antara mereka?