Brigjen Nurwakhid: Terorisme Musuh Agama dan Negara, Bukan Islamofobia

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid menegaskan bahwa aksi radikalisme dan terorisme adalah musuh agama dan negara, bukan Islamofobia. Penegasan itu disampaikan untuk menanggapi cuitan seorang politisi yang meminta Densus 88 dibubarkan karena menggunakan narasi Islamofobia dalam pemberantasan terorisme.

“Radikalisme dan terorisme musuh agama dan negara karena tindakan radikal terorisme bertentangan dengan prinsip dan nilai agama yang universal dan luhur. Malah penganut radikalisme dan terorisme telah memecah belah umat beragama dan memunculkan Islamofobia,” tegas Nurwakhid di Bogor, Jumat (8/10/2021).

Dianggap musuh negara, menurutnya, karena tindakan dan perbuatan maupun ideologinya bertentangan dengan janji konstitusi yang sudah menjadi kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Mereka bertentangan dengan konsensus nasional, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45,” jelas Nurwakhid.

Ia berkeyakinan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia terutama umat Islam yang moderat selalu mendukung Densus 88 Anti Teror dan BNPT, TNI, Polri dan perangkatnya dalam membantu menanggulangi radikalisme dan terorisme.

“Kami yakin, lebih 87,8 persen masyarakat Indonesia khususnya seluruh muslim moderat mendukung Densus 88 Anti Teror dan BNPT, TNI, Polri dan semua perangkatnya dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme. Kalaupun ada tokoh, oknum pejabat publik maupun politisi menuduh hal tersebut maka tidak berdasar dan tidak realistis,” ungkap mantan Kabagops Densus 88 ini.

Menurutnya, akar masalah radikalisme dan terorisme adalah ideologi keagamaan yang menyimpang atau pemahaman yang terdistorsi.  Selain itu salah satu faktor pemicu munculnya niat atau motif radikalisme adalah politisasi agama atau menggunakan doktrin agama yang dipolitisir untuk kepentingan politik.

“Yang jelas saya tidak sepakat kalau ada yang mengatakan adanya upaya Islamofobia di Indonesia,” katanya.

Ia mengungkapkan pemerintah telah berjuang keras melawan Islamofobia, seperti halnya ketika negara menetapkan separatis KKB sebagai kelompok teroris. Menurutnya, demokrasi Indonesia mengedepankan supremasi hukum, sehingga penetapan separatis KKB sebagai teroris sudah sesuai unsur tindak pidana terorisme sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 2018.

Nurwakhid menjelaskan, terorisme oleh PBB dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan kemanusian. Ketika KKB terlabeli terorisme, maka menjadikan kelompok tersebut sebagai musuh bersama. Dengan demikian akan meminimalisir atau mencegah pihak-pihak asing ikut campur atau intervensi urusan dalam negeri Indonesia tersebut.

“Itu menunjukan kepedulian negara untuk menghilangkan stigma negatif bahwa seolah-olah terorisme hanya diidentikan dengan agama Islam saja. Perlu diingat, mayoritas agama kelompok teroris  separatis KKB tersebut adalah non-muslim, bukan Islam,” kata Nurwakhid.

Dengan alasan itu, tegasnya,  maka pernyataan bahwa adanya upaya menyebarluaskan Islamofobia di Indonesia adalah fitnah dan tidak mendasar.

ISLAM KAFFAH

Teror Bunuh Diri dan Jalan Pintas Spiritual

Istilah jalan pintas spiritual (spiritual bypass) mula-mula diperkenalkan oleh John Welwood pada 1984, yang mengacu kepada penyalahgunaan spiritualitas sebagai pelarian dari masalah psikologi yang tengah dihadapi seseorang. Jadi, jalan pintas spiritual ini merupakan bentuk pengalihan yang membuat seseorang menghindari berhadapan langsung dengan rasa sakit, kesulitan hidup, dan kebutuhan untuk tumbuh. Banyak manusia tidak cukup toleran untuk menghadapi, masuk ke dalam, dan memroses luka. Sebagian mereka memilih mematikan rasa sebagai solusi yang tampak lebih mudah.

Jalan pintas spiritual bisa diejahwantakan dengan berbagai cara: hasrat berlebihan untuk mengendalikan dan menghakimi orang lain (sindrom “dasar bid’ah, sesat, kafir, riba, penghuni neraka!”), kurang memiliki tanggung jawab personal, represi emosi, obsesi terhadap ritual, dan narsisisme spiritual (bisikan ego “saya sudah mendapat hidayah” atau “saya sudah syar’i”, ungkapan untuk memberikan perasaan ekslusif).

Jalan spiritual yang salim melibatkan kesadaran dan penerimaan terhadap realitas saat ini. Sebaliknya, para pelakon jalan pintas akan menyangkal sejumlah pengalamannya sendiri. Misalnya, pelakon jalan pintas mungkin terobsesi dengan ritual karena sebelumnya sangat lama tenggelam dalam gaya hidup duniawiyah yang profan. Jadi, orang ini menggunakan ritual sebagai wahana menghukum dirinya (bawah sadar), bukan sebagai latihan atau suluk untuk meningkatkan level kesadaran transendental, kebijaksanaan, serta memperluas kasih. Dia menolak menerima realitas kehidupan hura-hura sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Kenarsisan Spiritual

Terkait kasus teror bunuh diri di Makassar dan Jakarta baru-baru ini yang tak merenggut nyawa siapa pun kecuali pelakunya, tentu ada banyak sudut pandang untuk menjelaskan motif pelaku. Saya sendiri lebih leluasa untuk membahasnya dari sisi perilaku dan latar keluarga, dengan melihatnya sebagai jalan pintas spiritual tadi. Tulisan ini berangkat dari informasi dari media, termasuk surat wasiat dari pelaku (Lukman dan Zakiah).  Sebetulnya, untuk melihat lebih dalam, kita membutuhkan data lebih detil terkait riwayat pelaku, termasuk genogramnya.

Yang pertama perlu dicermati adalah lelakon jalan pintas spiritual tak bisa dilakukan kecuali dengan merepresi emosi (misalnya dengan mengatakan, “Tak bahagia di dunia fana tak mengapa, yang penting happy di dunia lain”) atau dengan menghindari pemrosesan luka (menyangkal dengan kalimat, “Saya baik-baik saja kok.”).

Selain itu, pelakon juga biasanya menyalahgunakan narsisisme spiritual, yang dilakukan untuk memberikan rasa aman. “Sejak migrasi ke jalan Tuhan, kesulitan datang bertubi-tubi; aku menangis bukan karena sedih, tapi karena melihat bukti cintaNya dengan didatangkannya berbagai ujian ini.”

Yang sebetulnya terjadi, bisa saja, adalah dia berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa Dia seperti orang tua kejam, yang mengatakan, “Papa itu marah karena sayang sama kamu!” Jadi, sayang tapi marah-marah, cinta tapi menyulitkan; di mana logikanya?

Ketika seseorang mendaku agama atau spiritualitas sebagai bagian terpenting dari kehidupan dirinya, kita perlu selanjutnya melihat apakah ada perasaan yang direpresi atau kenarsisan. Jika keduanya terkonfirmasi ada pada orang tersebut, gejala dia melakukan jalan pintas spiritual patut menjadi perhatian.

Baik Lukman maupun Zakiah terkonfirmasi DO dari kampus. Lukman adalah anak yatim sejak usia 5 tahun dan dikenal penyabar—orang awam bisa saja tak bisa membedakan antara penyabar dan mati rasa. Sementara itu, Zakiah dikenal sebagai perempuan berkepribadian pendiam dan tertutup, lebih-lebih sejak tak lagi menyandang status mahasiswa—orang awam juga sangat mungkin tak dapat membedakan antara tertutup dan represi emosi. Zakiah beberapa kali memosting doktrin jihad ISIS di grup WA keluarga—dan tidak ada tindakan dari anggota keluarga, yang berarti dia diabaikan; apalah beratnya ketika kehadiran kita tak diharap lalu memilih pergi?

Sementara itu, di antara ciri penyalahgunaan narsisisme spiritual adalah delusi telah mencapai maqam tertentu secara spiritual (bandingkan dengan Robert Augustus Masters, 2010). Padahal, spiritualitas yang otentik tidak muluk-muluk, tak terburu-buru (bertahap), dan bukan pelarian dari masalah pribadi. Informasi yang kita terima dari media tentang latar belakang kedua peneror maut tersebut menunjukkan tanda-tanda kedua pelaku memiliki persoalan hidup yang tak mudah.

Pada kasus Lukman dan Zakiah, ciri-ciri kenarsisan spiritual sangat tampak. Mari kita lihat penggalan surat Lukman, pelaku bom bunuh diri di komplek gereja Katedral Makasar, “Ummy sekali lagi minta maaf ka, ku sayang sekali tapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan ki dan bisa ki kembali berkumpul di surga.” Identifikasi bom bunuh diri sebagai jalan Nabi terlalu silap untuk dinalar dan sama sekali bertolak belakang dengan berbagai riwayat yang sampai kepada para pelajar agama yang belajar secara tertib. Dari mana dia tahu Allah lebih suka dia mati daripada hidup bersama ibunya; atau, sebetulnya dia memilih mati hanya karena ingin segera lari dari kehidupannya yang sempit sejak kecil?

Tak berbeda dengan pesan Lukman, surat wasiat Zakiah Aini menyebutkan, ” … Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.” Dia juga menyebut jihad sebagai ekspresi tauhid tertinggi—bandingkan dengan konsep maqamat dan ahwal dalam tasauf yang sama sekali tak menyinggung jihad (dengan makna perang/membunuh) sebagai indikasi kualitas spiritual seseorang. Terlalu naif jika kita membayangkan gaya “berperang” dengan mondar-mandir menodongkan pistol dan tak menghasilkan apa-apa selain tewasnya diri sendiri sebagai jalan para nabi—equivalensi keliru sebab ketidakmampuan bernalar.

Zakiyah adalah bungsu dari enam bersaudara. Jika melihat relasinya di keluarga, sebagai mahasiswa DO pengangguran, dia tentu belum bisa memberikan apa-apa bagi keluarganya (terkait sistem memberi-menerima di keluarga, sila baca Hellinger 1998). Jalan pintas bagi situasi ini adalah fantasi memberi syafaat atau pertolongan masuk surga, seolah-olah dia tahu bahwa keluarganya bakal mencicipi neraka (mungkin karena mereka dianggap bersikap tak sesuai harapannya) sehingga membutuhkan bantuannya untuk membuka pintu firdaus. Gadis ini ingin menebus dengan sesuatu yang muluk, yang tak mungkin diberikan kakak-kakaknya—perlu ditelusur lebih lanjut tentang riwayat apakah dia sering dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain. Selanjutnya, baik Lukman atau Zakiah gagal membedakan antara ajaran agama dan tuntunan sekte.

Untuk menghindari spiritualitas gadungan seperti ini, jika menghadapi masalah, kita perlu memahami prosedurnya, yaitu: (1) jangan lari darinya, (2) kita tak bisa menentukan sepenuhnya bagaimana masalah akan teratasi, dan (3) kita harus siap mengalami apa pun konsekwensi dari tindakan/keputusan yang sudah kita ambil. Jika ketiga prosedur ini kita abaikan, masalah akan tetap ada di sana, dan semua bentuk pengalihan (spiritual, alkohol, sabu, cimeng, makanan, lem, pornografi, atau seks) hanya akan memberikan penyelesaian semu atau bahkan palsu.

BINCANG SYARIAH

Berdialog dengan Teroris

(Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme)

Pengantar

Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan.

Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat1

Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Ibnul Qayyim mengatakan: “Godaan syubhat ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.”2 Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudud, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudud untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudud, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat.

Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasehati pemilik syubhat agar bisa kembali ke jalan yang benar.

Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasehat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Ibnu Abbas – radhiyallah ‘anhuma – yang mendatangi kaum Khawarij untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang.

Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang tobat dari kesalahan pemikiran mereka.3 Juga kisah Jabir bin Abdillah – radhiyallah ‘anhuma – yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jabir tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang.

Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah Jabir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah Ibnu Abbas.

Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, dan kembali ke pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal.

Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi pahala mereka.

Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menawarkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi .

Arab Saudi dan Terorisme

Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Ladin akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.

Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang.

Pemboman di Wadi Laban (Provinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya.

Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.

Koran ASHARQ AL-AWSAT telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi 4. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme didukung oleh negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.

Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan.

Kota suci Makkah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektifitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.

Tapi tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi teror.

Di samping itu ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasehat).

Apa itu Lajnah al-Munashahah?

Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (dibawah komando Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasehat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai kegiatannya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi.5

Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:

  1. Lajnah ‘Ilmiyyah (komisi ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syari’ah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
  2. Lajnah Amniyyah (komisi keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah yang sesuai jika ternyata masih dinilai berbahaya.
  3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (komisi psikologi dan sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
  4. Lajnah I’lamiyyah (komisi penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat. 6

Teknik dialog

Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasehat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.

Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, pejanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab.7

Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.

Pada awalnya banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya.8

Mereka segera menyadari bahwa dialog ini justeru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat di pikiran meraka. Rupanya mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan merekapun dengan senang hati meminumnya.9

Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini Lajnah al-Munashahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah.10

Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.

Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama.11

Program dan Sarana Penunjang

Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.

Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktifitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munashahah (upaya untuk menasehati) di penjara tidak pudar di rumah.12

Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed Bin Naif Center for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan.13

Sangat Berhasil, Tapi Kadang Gagal

Program munashahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.

Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munashahah mengatakan bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faedah yang besar. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini.14

Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allah tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munashahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin.15

Menurut Abdul Aziz al-Khalifah, anggota Lajnah al-Munashahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra.16

Namun kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran17. Dunia internasionalpun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan Yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka.18

Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?

Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktekkan di Arab Saudi insyaallah juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran! Wallahu a’lam.

1 Bi Ayyi ‘Aqlin wa Din Yakunu at-Tafjiru Jihadan?, Syaikh Abdul Muhsin al-Abad, hal. 3, at-Tahdzir min asy-Syahawat, ceramah Dr. Sulaiman ar-Ruhaili.

2 Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim 2/167

3 Sunan al-Baihaqi 8/179.

4 Koran ASHARQ AWSAT edisi 9297, 12 Mei 2004.

Lihat: http://www.aawsat.com/details.asp?article=233530&issueno=9297

5 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Koran al-Riyadh edisi 13.682.

6 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

7 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

8 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

9 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

10 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

11 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Koran al-Riyadh edisi 13.682.

12 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

13 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com

14 Koran al-Riyadh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com.

15 Koran al-Riyadh edisi 14.848

16 Koran al-Riyadh edisi 14.848.

17 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

18 Koran al-Riyadh edisi 15.042.

Penulis: Anas Burhanuddin, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6929-berdialog-dengan-teroris.html