Antara Fitrah Iman dan Tabiat Kekafiran

SIKAP rendah hati adalah fitrah iman. Sebaliknya, kesombongan pasti menyertai kekafiran.

Iman dan kesombongan adalah dua hal yang mustahil bersatu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرِيَاءَ

“Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan masuk neraka, seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari iman, dan tidak akan masuk Surga seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR: Muslim).

Tidak aneh jika Al-Qur’an pun sangat sering menggambarkan sikap kedua golongan ini (mukmin dan kafir) secara bertentangan. Tabiat mereka tampak sangat berbeda terutama ketika berhadapan dengan petunjuk-petunjuk Allah.

Golongan pertama akan tunduk, khusyu’, dan memohon agar diberi taufik untuk mengikutinya, sementara golongan kedua justru angkuh, ingkar, dan menantang agar didatangkan azab. Mari kita telusuri penggambaran Al-Qur’an ini, agar menjadi nasehat bagi kita bersama.

Ketika sebagian Ahli Kitab (yang mukmin) mendengar bacaan Al-Qur’an pada masa-masa awal dakwah Islam di Makkah, beginilah sikap mereka:

قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَّيَقُوۡلُوۡنَ سُبۡحٰنَ رَبِّنَاۤ اِنۡ كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُوۡلًا

وَيَخِرُّوۡنَ لِلۡاَذۡقَانِ يَبۡكُوۡنَ وَيَزِيۡدُهُمۡ خُشُوۡعًا ۩‏

“…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 107-109).

Begitulah seorang mukmin. Hatinya sangat lembut dan peka terhadap tanda-tanda kebenaran yang diisyaratkan Tuhannya. Cermin nuraninya yang bening spontan dapat mengenali cahaya Allah, dan segera memantulkannya.

Maka, seketika jiwanya menjadi terang dan lapang, sebagaimana ruangan gelap yang terasa lega dan nyaman begitu lampu dinyalakan di dalamnya. Dalam menapaki kehidupan ini, mereka senantiasa memanjatkan doa dengan penuh ketawadhu’an, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang Maha Pemberi.” (QS: Ali ‘Imran: 8).

Sebaliknya adalah tabiat kaum kafir. Ketika menghadapi kebenaran, serta-merta hatinya tertutup.

Bahkan, secara sengaja mereka menutupnya sendiri. Permusuhan mereka terhadap kebenaran adalah kebencian sejati yang sangat mengerikan.

Dengarkanlah apa kata Al-Qur’an tentangnya:

وَقَالُوۡا قُلُوۡبُنَا فِىۡۤ اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ اِلَيۡهِ وَفِىۡۤ اٰذَانِنَا وَقۡرٌ وَّمِنۡۢ بَيۡنِنَا وَبَيۡنِكَ حِجَابٌ فَاعۡمَلۡ اِنَّنَا عٰمِلُوۡنَ‏

“Mereka berkata: “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi kami dari) apa yang kamu serukan, dan pada telinga kami ada sumbatan. Antara kami dan kamu ada dinding. Maka, bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula).” (QS: Fusshilat: 5).

Apakah iman bisa masuk ke dalam hati seperti ini? Sungguh mustahil, karena pemiliknya telah menguncinya dari dalam.

Ibaratnya, jauh lebih mudah membangunkan orang tidur sungguhan dibanding menyadarkan orang yang pura-pura tidur. Membimbing orang bodoh yang mau belajar pasti lebih gampang dibanding mengajari seseorang yang keras kepala dan sok tahu. Ini sangat menjengkelkan.

Tidak hanya sampai di situ, Al-Qur’an bahkan menceritakan tabiat kekafiran yang jauh lebih parah. Dalam Surah al-Anfal: 32, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالُوا۟ ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ ٱلْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini adalah yang benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”

Sungguh ganjil permohonan mereka ini, dan betapa mendalamnya kebencian mereka terhadap kebenaran. Bukankah seharusnya mereka memohon agar dibimbing mengikuti Al-Qur’an jika ia terbukti sebagai kebenaran dari Allah? Akan tetapi, mengapa mereka justru minta dihujani batu dari langit atau ditimpa siksa yang sangat pedih? Tidak ada istilah yang lebih tepat untuk sikap-sikap aneh begini selain “gila kuadrat”!

Maka, Rasulullah ﷺ pernah menyimpulkan fitrah keimanan dan tabiat kekafiran dalam sabdanya: “

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

Dari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni Surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni Neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran lagi sombong.” (HR: Al-Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Segenap ayat dan hadits diatas sebenarnya merupakan diagnosa atas gejala-gejala keimanan dan kekafiran dalam hati manusia. Sebagaimana dimaklumi, iman dan kufur adalah hakikat ruhiyah yang tidak bisa ditangkap panca indra, dan hanya bisa dikenali dari tanda-tandanya.

Setelah mendiagnosa, Allah kemudian memberikan terapi, yaitu syariat-Nya yang terangkum dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Allah sendiri telah menyifati Al-Qur’an sebagai obat dari segala penyakit hati, petunjuk, dan rahmat bagi kaum beriman (Qs. Yunus: 57 dan al-Isra’: 82).

Dengan kata lain, kita diajari untuk melakukan self-diagnostic, memeriksa sendiri tanda-tanda mana yang bersemayam dalam jiwa kita. Jika didominasi gejala iman, mari berdoa agar senantiasa diteguhkan. Iringi pula dengan amal shalih.

Jika didapati gejala kufur, Allah pun telah menuliskan resep-resep manjur untuk mengatasinya. Langkah diagnosa ini dapat pula dipergunakan untuk kepentingan lain, misalnya memilih guru, calon pasangan hidup, teman bergaul, rekan berbisnis, karyawan, atau pembantu rumah tangga. Semoga saja kita selalu diberkahi dan terselamatkan. Amin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar, Penulis pengasuh di PP Arrahmah, Malang

HIDAYATULLAH

Mengapa Orang Pintar Agama Bisa Tersesat?

Dalam berbagai forum pengajian, banyak jamaah yang bertanya, mengapa ada orang-orang pintar ilmu agama tetapi bisa tersesat? Mengapa ada orang-orang yang melecehkan al-Quran, menolak syariat Allah, dan bahkan yang menghalalkan perkawinan sesama jenis (homo dan lesbian), adalah orang-orang yang dikenal pintar ilmu agama? Ada apa dengan mereka?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita memperhatikan sejumlah ayat al-Quran yang artinya sebagai berikut:

وَاتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَاَ الَّذِىۡۤ اٰتَيۡنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنۡهَا فَاَتۡبَعَهُ الشَّيۡطٰنُ فَكَانَ مِنَ الۡغٰوِيۡنَ

وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰهُ بِهَا وَلٰـكِنَّهٗۤ اَخۡلَدَ اِلَى الۡاَرۡضِ وَاتَّبَعَ هَوٰٮهُ‌ ۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الۡـكَلۡبِ‌ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ اَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ‌ؕ ذٰ لِكَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِيۡنَ كَذَّبُوۡا بِاٰيٰتِنَا‌ ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya), tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS: al-A’raf:175-176).

Ayat ini menjelaskan orang-orang yang sebenarnya sudah menerima ayat-ayat Allah, sudah memahaminya, tetapi dengan sengaja dia meninggalkan semua kebenaran itu. Faktor-faktor duniawi, hawa nafsu, menjadi pendorong untuk meninggalkan kebenaran.

Cara melepas kebenaran adalah laksana ular yang melepas kulitnya, dan menggantinya dengan yang baru. Kebenaran yang selama ini dia terima, seperti tidak berbekas sama sekali. Dia lebih memilih hawa nafsunya, lebih memilih kenikmatan dunia – harta, tahta, popularitas, dan sebagainya — ketimbang memilih kebenaran dan keselamatan akhirat.

Al-Quran menyebut, bahwa manusia-manusia jenis ini adalah laksana anjing, yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. Para pemuja nafsu dunia ini memang akan tertutup hatinya dari kebenaran. Meskipun berbagai hujjah ditunjukkan pada mereka. Namun, hawa nafsu telah membutakan mata hatinya. Allah menjelaskan tentang manusia-manusia pemuja hawa nafsu semacam ini:

”Maka pernahkah kamu melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan penghalang atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberi petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia ini saja; kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu; mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan dari mereka selain mengatakan: Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.”  (QS: al-Jaatsiyah:23-25).

Namun, orang-orang yang tersesat bukan hanya karena soal hawa nafsu. Ada juga yang tersesat karena ketiadaan ilmu.

“Akankah kami beritakan tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya. Yaitu orang-orang yang sesat amalnya di dunia, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amal perbuatannya, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amal) mereka pada Hari Kiamat.” (QS: al-Kahfi:103-105).

Manusia-manusia jenis ini tersesat karena tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar; mana yang iman dan mana yang kufur; mana tauhid dan mana syirik, mana al-ma’ruf dan mana al-munkar. Akibat kebodohannya itulah, maka seseorang bisa tersesat. Karena itulah, manusia diperintahkan untuk mencari ilmu, agar tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ilmu adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa cahaya, manusia tidak dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Termasuk diantara perkara yang  aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Orang pintar bisa saja keliru! Apalagi orang bodoh, tetapi merasa pandai. Tidak tahu tetapi merasa tahu. Sebenarnya dia tidak memahami agama dengan baik. Dia sudah dijangkiti sikap sombong, tidak tahu diri, sehingga enggan bertanya kepada orang yang alim.

Atau, jika ia pintar, tetapi tidak tahu diri. Mungkin dia merasa sebagai seorang mujtahid, dan kemudian merasa mampu menafsirkan al-Quran dengan semaunya sendiri. Padahal, ilmunya dalam bidang syariah Islam sangat jauh dari memadai. Dia belum pernah menulis satu kitab pun tentang ushul fiqih, tetapi sudah berani mencerca Imam asy-Syafii.

Saat ini, tidak sedikit yang merasa lebih hebat dari para ulama mazhab, hanya karena sudah mendapat gelar doktor atau profesor dalam bidang politik, sejarah, pendidikan, dan sebagainya. Padahal, ilmu agamanya masih jauh dari memadai jika dibandingkan dengan para ulama tersebut. Sayangnya, para profesor ini tidak mau belajar; dan tidak mau mengakui kelemahan ilmunya. Fenomena semacam inilah yang bisa dikatakan sebagai ”sikap tidak tahu diri”.

Untuk itu, agar kita selamat dunia dan akhirat, maka perlu sikap ”tahu diri”. Perlu tahu adab dalam keilmuan. Jika tidak tahu satu bidang tertentu, apakah ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, dan sebagainya, maka sebaiknya kita tidak jumawa untuk bertanya dan merujuk kepada para ahlinya.

Jika tidak tahu masalah fiqih, maka tidak semestinya kita mengeluarkan fatwa tanpa merujuk kepada para ahlinya. Dengan cara itulah, kita senantiasa belajar, dan ilmu kita pun – Insyaallah – akan terus bertambah dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dengan sikap beradab seperti itu, insyaAllah, kita tidak tersesat; selamat dunia akhirat. (Depok, 18 Februari 2021).*

Oleh: Adian Husaini  , Penulis pengasuh PP Attaqwa College (ATCO), Depok

HIDAYATULLAH