Khotbah Jumat: Wasiat Nabi Perihal Tetangga

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat untuk diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena tidaklah kita semakin mulia, kecuali dengan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Di antara hak-hak yang ditekankan oleh agama Islam untuk dijaga adalah hak tetangga, bahkan hak tetangga ini harus dipenuhi dan dijaga meskipun tetangga tersebut adalah seorang nonmuslim.

Sayangnya, kondisi manusia di masa sekarang mulai dipenuhi oleh bayang-bayang kegelapan. Kehidupan yang lepas dari budi pekerti dan akhlak yang baik. Masyarakat yang akhirnya sering melupakan hak-hak orang lain yang hidup di sekitarnya.

Padahal jemaah Jumat sekalian, menjaga hak tetangga dan berbuat baik kepada mereka merupakan salah satu keunggulan dan kebaikan Islam di atas agama lainnya. Banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis yang menekankan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”  (QS. An-Nisa’: 36)

Besarnya kedudukan tetangga dalam ajaran Islam ini hingga Allah Ta’ala gandengkan wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan perintah yang paling agung, yaitu menauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari menyekutukan-Nya. Sungguh ayat ini merupakan dalil paling jelas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan tetangga dan besarnya hak mereka.

Wasiat menjaga hak tetangga ini juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang mulia,

مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بالجارِ، حتَّى ظَنَنْتُ أنَّه سَيُوَرِّثُهُ

“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala. Baik dalam bertetangga merupakan salah satu perkara pertama yang didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dahulu kala, ketika kaum muslimin hijrah ke negeri Etiopia, Raja Najasyi mengajak diskusi sahabat Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam diskusi tersebut Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

“Wahai raja, sesungguhnya sebelum Islam datang, kami merupakan kaum jahiliyyah yang menyembah patung-patung, memakan bangkai, dan melakukan perbuatan-perbuatan keji. Memutus hubungan silaturahmi, berbuat buruk kepada tetangga, dan bahkan orang yang kuat di antara kami menindas orang yang lemah. Hingga kemudian Allah utus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami, seorang rasul yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Lalu, kemudian beliau mengajak kami untuk menauhidkan Allah Ta’ala, memerintahkan kami untuk jujur dalam berucap, amanah dalam bertindak, menyambung silaturahmi, dan berbuat baik kepada tetangga.”

Berbuat baik kepada tetangga merupakan wasiat yang diteruskan turun temurun antara satu generasi ke generasi yang berikutnya. Dari zaman Nabi, para sahabat, hingga generasi tabiin, dan tabiut tabi’in radhiyallahu ‘anhum jami’an.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah berwasiat kepada sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,

يَا أَبَا ذَرٍّ ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً ، فَأكثِرْ مَاءَهَا ، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah (berikanlah sebagian untuk) tetanggamu.” (HR. Muslim no. 2625)

Para sahabat juga telah mengajarkan kebaikan ini, mereka penuhi hak-hak tetangga mereka meskipun mereka adalah orang-orang nonmuslim. Merekalah generasi yang paling semangat dalam memuliakan tetangga, dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud dikisahkan,

أنَّ عبدَ اللهِ بنَ عمرٍو رضِي اللهُ عنهما ذُبِحت له شاةٌ في أهلِه فلمَّا جاء قال أهدَيْتم لجارِنا اليهوديَّ أهديتم لجارِنا اليهوديَّ سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ مازال جبريلُ يُوصيني بالجارِ حتَّى ظننتُ أنَّه سيُورِّثُه

“Suatu ketika Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhuma pernah disajikan seekor kambing di tengah keluarganya. Saat beliau datang, beliau bertanya, ‘Sudahkah kalian memberikan hadiah (sajian kambing ini) untuk tetangga Yahudi kita? Sudahkah kalian memberikan hadiah (sajian kambing ini) untuk tetangga Yahudi kita? Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.”” (HR. Abu Dawud no. 5152 dan Tirmidzi no. 1943)

Para salaf saleh  pendahulu kita mengetahui dan meyakini akan betapa berharganya tetangga yang baik. Mereka tahu bahwa tetangga yang baik lebih berharga dari harta duniawi dan kenikmatan-kenikmatan lainnya yang ditawarkan oleh kehidupan dunia.

Lihatlah bagaimana kisah salah seorang dari mereka, Muhammad bin Jahm rahimahullah saat menawarkan rumahnya untuk dijual seharga seribu dirham.

Ketika orang-orang yang ingin membeli rumahnya datang, dia berkata kepada mereka, “Kita telah sepakat akan harga rumahnya. Akan tetapi, berapa harga yang kalian tawarkan untuk tinggal bertetangga dengan Said bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu?”

(Mereka yang ingin membeli rumah tersebut terheran-heran, lalu) dikatakan kepadanya, “Apakah tetangga itu dijual?”

Dia (Muhammad bin Jahm) berkata, “Bagaimana mungkin tidak kujual, sedang beliau adalah tetangga yang jika engkau sedang duduk bersantai, akan menanyakan kabarmu. Dan jika dia melihatmu, maka akan menyambutmu dengan hangat. Dan jika engkau sedang pergi, maka ia akan menjagamu (rumahmu). Dan jika engkau sedang terlihat, maka ia akan mendatangimu. Dan jika engkau meminta bantuan kepadanya, maka akan dia penuhi. Dan jika pun engkau tidak memintanya, maka dia yang akan berinisiatif (membantumu). Dan jika engkau sedang tertimpa sebuah kesulitan, maka ia akan membantu meringankannya.”

Kemudian berita ini terdengar oleh sahabat Said bin Al-Ash, hingga ia pun mendatanginya sambil memberikan uang seratus ribu dirham seraya berkata, “Pegang rumahmu dan jangan dijual.”

Sungguh tetangga yang baik adalah sebuah kenikmatan yang sangat besar, kenikmatan yang seharusnya senantiasa kita minta kepada Allah Ta’ala, kenikmatan yang seharusnya juga kita amalkan dan praktikkan kepada tetangga kita.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Sebuah akhlak yang mulia tentu akan membuahkan kemuliaan dan keutamaan. Begitu pula dengan berbuat baik kepada tetangga, tentu saja ia memiliki beberapa keutamaan yang sangat mulia.

Ketahuilah wahai jemaah sekalian, berbuat baik kepada tetangga merupakan bagian dari kesempurnaan iman seseorang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa tetangga yang baik merupakan salah satu manusia terbaik di sisi Allah Ta’ala,

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap tetangganya.” (HR. Tirmidzi no. 1944 dan Ahmad no. 6566)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya di antara buah kebaikan dari perbuatan baik kita kepada tetangga adalah masuknya kita ke dalam surga. Seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Nabiyallah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang apabila aku menepatinya, aku akan masuk surga.”

Maka beliau menjawab,

كُنْ مُحْسِنًا

“Jadilah kamu seorang yang baik.”

Laki-laki tersebut bertanya kembali, “Bagaimana cara mengetahui jika aku ini adalah orang yang baik?”

Nabi pun bersabda,

سَلْ جِيرَانَكَ ، فَإِنْ قَالُوا : إِنَّكَ مُحْسِنٌ فَأَنْتَ مُحْسِنٌ ، وَإِنَّ قَالُوا : إِنَّكَ مُسِيءٌ فَأَنْتَ مُسِيءٌ 

“Tanyakanlah kepada tetanggamu, jikalau mereka berkata kamu itu seorang yang baik, maka sesungguhnya kamu itu baik. Jikalau mereka berkata kamu itu seorang yang jelek, maka sesungguhnya kamu itu jelek.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 8278)

Sungguh, tetangga adalah patokan untuk menilai hakikat asli diri kita, apakah kita termasuk orang-orang yang baik ataukah tidak.

Oleh karena itu, wahai jemaah sekalian.

Marilah kita jaga dan kita lestarikan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Marilah kita saling berbuat baik serta tidak mengganggu tetangga kita masing-masing, menjaga hak-hak mereka, menjenguk mereka ketika ada yang sakit, berbagi makanan, ikut melayat saat ada yang meninggal, dan yang lain sebagainya.

Sehingga nantinya jemaah sekalian, saat ajal datang menjemput kita, tidak ada satu pun dari tetangga kita yang merasa terzalimi. Justru sebaliknya, mereka bersaksi akan kebaikan diri kita kepada mereka selama ini.

Jemaah yang berbahagia.

Ada keutamaan khusus yang Nabi sebutkan tatkala seorang muslim meninggal dunia sedang tetangganya rida dan bersaksi akan kebaikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِن مُسلِمٍ يَموتُ فيَشهَدُ له أربَعةٌ أهلُ أبياتٍ مِن جيرانِه الأَدْنينِ؛ أنَّهم لا يَعلَمونَ إلَّا خَيرًا؛ إلَّا قال اللهُ تَعالى: قد قَبِلتُ عِلْمَكم، وعَفَوتُ عَمَّا لا تَعلَمونَ

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu empat orang tetangga dekatnya bersaksi tentangnya bahwa mereka tidak mengetahui apapun perihal muslim tersebut kecuali kebaikan, kecuali Allah Ta’ala berfirman, ‘Sungguh Aku telah menerima apa yang kalian ketahui tentangnya (berupa kebaikan), dan aku mengampuni bagian yang kalian tidak mengetahuinya (keburukan-keburukannya).’” (HR. Ahmad no. 13541, Abu Ya’la no. 3481 dan Ibnu Hibban no. 3026)

Sungguh sebuah keutamaan besar yang bisa diraih oleh mereka yang bertetangga baik, tidak pernah mengganggu, dan selalu memenuhi hak-hak mereka meskipun mereka bukanlah seorang muslim. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai pribadi berakhlak mulia, seorang muslim yang baik kepada tetangganya. Semoga Allah Ta’ala berikan kita tetangga yang baik, karena itu merupakan salah satu kenikmatan terbesar yang bisa didapatkan oleh seorang hamba. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wallahu A’lam bisshawab.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81954-khotbah-jumat-wasiat-nabi-perihal-tetangga.html

Siapakah Tetangga Anda?

Bismillahirrahmanirrahim

Di dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia. Haknya sangat besar atas kita. Bahkan, Allah Ta’ala menyandingkan perintah berbuat baik kepada tetangga dengan perintah untuk menyembah dan mentauhidkan-Nya serta berbakti kepada kedua orangtua,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabīl, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tegas mengingatkan umatnya soal tetangga. Beliau sampai mengabarkan orang yang mengganggu tentangga tidak akan masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk surga, orang yang membuat tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Saking seringnya malaikat Jibril mengingatkan Nabi tentang hak tentangga, sampai beliau berprasangka tentangga akan menjadi ahli waris,

مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril terus berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga. Hingga aku mengira, tetangga akan menjadi ahli warisnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk mengilmui apa definisi atau batasan tetangga yang dimaksud dalam perintah-perintah suci di atas. Ada sejumlah pendapat ulama mengenai batasan tetangga. Berikut pendapat-pendapat tersebut:

1. Yang rumahnya menempel dengan dinding rumah kita.

2. Jama’ah salat masjid yang sama dengan kita.

3. Warga yang tinggal satu kampung

5. Warga satu kota.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَّئِن لَّمۡ يَنتَهِ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡمُرۡجِفُونَ فِي ٱلۡمَدِينَةِ لَنُغۡرِيَنَّكَ بِهِمۡ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلَّا قَلِيلٗا

“Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan Engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), kecuali sebentar.” (QS. Al-Ahzab: 60)

Di ayat ini, Allah menyebutkan orang-orang munafik yang tinggal di kota Madinah sebagai tetangga.

6. Empat puluh rumah (40) dari setiap penjuru arah rumah kita.

7. Kembali kepada budaya atau padangan umumnya masyarakat di tempat yang kita tinggali (‘Urf).

(Mughnil Muhtaj, 4: 95; Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 2: 259; kami kutip dari Islamqa dan Al-Inshaf, 7: 243)

Wallahua’lam, dari rangkuman pendapat ulama tentang batasan tetangga di atas, pendapat yang paling tepat adalah pendapat terakhir. Bahwa tetangga adalah siapa saja yang dianggap tetangga secara budaya daerah yang kita tinggali (‘urf).

Keterangan ini dikuatkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah,

والجار عرفا : الملاصق ، أو من يسكن في المحلة” انتهى

[والمحلة : المكان تنزله القبيلة وتقيم فيه، وهو أشبه بالحي الصغير].

“Tetangga dalam pandangan budaya adalah rumah yang menempel atau yang tinggal satu mahallah.” (Hasyiah Ibni ‘Abidin, 3: 146, cet. Darul Kutub Ilmiyyah)

Mahallah adalah kampung. Jadi, menurut budaya masyarakat di tempat Ibnu Abidin tinggal, tetangga adalah dimulai dari rumah yang paling dekat dengan kita sampai warga satu kampung.

Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,

وَقِيلَ : يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .
قُلْت : وَهُوَ الصَّوَابُ ، إنْ لَمْ يَصِحَّ الْحَدِيثُ

“Ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa batasan tentangga dikembalikan kepada budaya.” Komentarku (Imam Al-Mardawi), “Inilah pendapat yang benar, jika memang hadis batasan tetangga tidak sahih.” (Al-Inshof, 7: 244)

Hadis yang dimaksud adalah hadis yang mengabarkan bahwa tetangga adalah 40 rumah dari semua arah angin rumah kita. Hadis tersebut dinilai dha’if oleh para ulama hadis, di antaranya Syekh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (6: 100, cetakan Al-Maktab Al-Islami). Andai hadis itu sahih, maka tidak perlu ada perdebatan dalam mendefinisikan tetangga. Namun, ternyata tidak sahih, sehingga dikembalikan kepada ‘urf (adat budaya setempat). Sekian, wallahu a’lam bis showab.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71282-siapakah-tetangga-anda.html

Adab Islam dalam Bertetangga

ISLAM sangat menekankan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini sering diingatkan oleh Nabi besar Muhammad ﷺ melalui hadis-hadisnya yang menyerukan untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa membedakan agama, ras dan warna kulit.

Di antara firman Allah SWT yang menuntut agar terjadi pada tetangga dan menunjukkan adab bertetangga adalah:

وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, rekan sejawat, musafir yang terlantar dan juga hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS: An-Nisa’:36).

Para ulama menyatakan dalam ayat ini, Allah SWT mengikat ayat tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga dengan ayat tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT tanpa melakukan syirik kepada-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk berbuat baik kepada tetangga merupakan tuntutan yang besar seperti halnya tuntutan untuk beribadah kepada Allah SWT. Untuk itu, Allah SWT memberikan azab yang pedih bagi orang yang suka menyakiti tetangganya seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Di antara hadits yang menceritakan tentang pentingnya bersikap baik dan memiliki adab bertetangga adalah dari Abi Syuraih RA, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya.” [HR Muslim)

Dari Abdillah bin ‘Amr RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيْرُ الجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara sahabatnya. Sedangkan tetangga yang terbaik di sisi Allah adalah yang paling baik dengan tetangganya.” [HR: al-Tirmizi, Imam al-Tirmizi).

  • Dari Ibn Umar R.anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

 “Jibril sentiasa berwasiat kepadaku agar berlaku baik kepada tetangga sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi hartaku.” [HR: Bukhari)]

Imam al-Nawawi menukilkan kata-kata daripada Qadhi ‘Iyadh bahwa makna hadis ini adalah siapapun yang beriltizam dengan syariat Islam maka wajib ke atasnya untuk memuliakan atau berlaku baik kepada tetangga dan tetamunya. Semua ini menunjukkan akan kepentingan hak bertetangga serta galakan memeliharanya. Ini karena, Allah SWT telah berpesan atau mewasiatkan agar berlaku baik kepada mereka melalui firman-Nya di dalam al-Quran dan juga hadis Nabi ﷺ . [Lihat: al-Minhaj ‘ala Syarh Sahih Muslim, 18/2]

Demikian itu adalah beberapa buah hadis yang membicarakan berkaitan adab bertetangga karena kedudukan tetangga itu amat tinggi di dalam agama. Berdasarkan masalah di atas, kami ingin menukilkan sebuah kisah yang berlaku di zaman Rasulullah ﷺ  apabila seorang lelaki datang kepadanya dan mengadu akan perihal tetangganya yang suka menyakitinya:

  • Dari Abu Hurairah RA berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ. فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ. فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ: فَعَلَ اللَّهُ بِهِ، وَفَعَلَ، وَفَعَلَ، فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ

Maksudnya: “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ  mengadu perihal tetangganya. Maka Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah serta bersabarlah.” Setelah itu, lelaki itu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ  sebanyak dua atau tiga kali. Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Pergilah dan campakkanlah barang-barang di rumah kamu ke jalan.” Lelaki tersebut kemudiannya mencampakkan barang-barang rumahnya ke jalan hingga menyebabkan orang-orang bertanya kepadanya. Lalu lelaki tersebut menceritakan apa yang berlaku kepada dirinya yang menyebabkan manusia (yang mendengar cerita tersebut) melaknat tetangga tersebut dengan mengatakan: “Allah akan membalas perbuatannya (mendoakan keburukan), Allah akan balas dan Allah akan balas.” Selepas itu, lelaki tersebut didatangi oleh tetangga tersebut dan tetangga itu berkata: “Pulanglah kamu, kamu tidak akan melihat (mendapati) sesuatu yang kamu benci itu lagi.” [Riwayat Abu Daud (5153)][Sanadnya adalah baik menurut Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Hadis ini menceritakan akan petunjuk Nabi ﷺ  kepada lelaki ini apabila sentiasa disakiti oleh tetangganya. Akan tetapi, berkemungkinan perbuatan atau cara tersebut biasa dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman itu tetapi ia tidak lagi sesuai untuk dilakukan pada zaman ini.

Tambahan pula, Imam Ibn Ruslan ketika mensyarahkan hadis ini menyatakan bahwa di dalam hadis ini menunjukkan kelebihan bersabar menghadapi tetangga walaupun perkara tersebut berulang-ulang kali terjadi, di samping berusaha untuk mencegahnya mengikut kemampuan yang ada. Hadis ini juga menunjukkan keharusan berdoa kepada orang yang menyakiti orang lain secara kuat (terang-terangan) sebagai pengajaran kepada orang tersebut serta meninggalkan perbuatan tersebut. [Lihat: Syarah Abi Daud, 440/19]

Seseorang yang disakiti oleh tetangganya sama ada dengan perbuatan atau ucapan perlulah bersabar terlebih dahulu.  Sabar merupakan sifat mulia dan sifat yang dikasihi oleh Allah SWT. Di samping itu juga, seseorang yang disakiti perlulah berusaha dan berikhtiar dengan sehabis-baik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti menasihatinya dengan penuh hikmah, berbuat ihsan (baik) kepadanya walaupun dibalas dengan kejahatan, membantu mereka di dalam kesusahan, menggunakan saluran yang tepat dalam menegur dan lain-lain lagi.

Mudah-mudahan dengan cara sebegini akan melembut hatinya dan tidak lagi akan menyakiti orang tersebut. Selain itu, doa juga merupakan salah satu elemen yang penting dan tidak patut diabaikan karena hanya Allah SWT sahaja yang mampu membaca dan mengubah hati seseorang itu. Sekiranya, seseorang itu telah berusaha dan berikhtiar, memilih berpindah dari tempat tersebut merupakan langkah yang terakhir bagi seseorang yang mampu melakukan sedemikian.

Apa hukumnya menyakiti tetangga?

Di sana terdapat hadis yang menceritakan akan akibat dan balasan yang akan diterima bagi orang yang suka menyakiti tetangganya:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak akan masuk Surga, orang yang membuat tetangganya tidak merasa aman daripada gangguannya.” [Riwayat Muslim (73)]

Di dalam hadis yang lain pula, juga dari Abu Hurairah RA berkata:

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: هِيَ فِي النَّارِ

Telah berkata seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah ﷺ , sesungguhnya wanita ini terkenal dengan banyaknya solat, berpuasa dan bersedekah tetapi dia sentiasa menyakiti tetangganya dengan lidahnya.” Lalu Nabi ﷺ  bersabda: “Dia akan masuk ke dalam neraka.” [Riwayat Ahmad (9675)][Sanadnya adalah hasan berdasarkan penilaian daripada Syeikh Syu’aib al-Arna’outh]

Berdasarkan kedua hadis ini, orang yang suka menyakiti tetangganya sama ada dengan perbuatannya atau lisannya (ucapannya) maka orang seperti ini akan dicampakkan ke dalam api neraka di akhirat kelak walaupun dia merupakan seorang yang banyak melakukan ibadah. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga (Bagian 3)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan, ”Maksud sabda Nabi, ”Tidak beriman” adalah tidak sempurna iman seseorang. Disebutkan dengan beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai isyarat awalnya kehidupan dan tempat kembali manusia.”

Dalam hadits lain diterangkan bahwa orang yang menyakiti tetangga termasuk orang yang belum sempurna imannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Nabi ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, ”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari).

Ibnu Baththal menuturkan, ”Hadits ini menegaskan betapa besarnya hak bertetangga, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memulainya dengan bersumpah yang diulangi sampai tiga kali, dan juga menafikan keimanan seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Maksud dari tidak beriman di sini adalah iman yang tidak sempurna. Tidak diragukan, bahwa orang yang bermaksiat tidak sempurna imannya.”

Imam An-Nawawi menyebutkan tentang penafian keimanan dalam masalah seperti ini dengan dua jawaban. Pertama, berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan tersebut. Kedua, maknanya adalah orang yang tidak sempurna imannya. Wallahu A’lam.

Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa orang yang tidak menciptakan aman bagi tetangganya tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

”Tidak akan masuk surga seorang muslim, yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Muslim).

Makna kata بَوَائِق (bawa`iq) adalah kejahatan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الْجَارُ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا بَوَائِقُهُ؟ قَالَ: شَرُّهُ

”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman” Rasullah ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Nabi ditanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, ”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan bawa’iquhu? Rasulullah bersabda, ”Kejahatannya.” (HR. Ahmad).

Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berbuat baik kepada tetangga. Aamiin.

Sebagian tulisan ini disadur dari kitab haditsul Ihsan karya Dr. Falih Ash-Shugayyir. Semoga bermanfaat.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga (Bagian 2)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat menekankan kepada umatnya untuk melaksanakan hak-hak tetangga dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus berkata baik atau diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; maka ia harus memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah menerangkan hak-hak tetangga dan cara berbuat baik kepadanya, dia mengatakan,

”Menjaga tetangga termasuk ciri kesempurnaan iman. Orang-orang jahiliyah dahulu selalu menjaga hak tetangganya, memberikan sesuatu yang berguna sesuai dengan kemampuan, seperti memberikan hadiah, wajah yang berseri ketika bertemu, mengetahui keadaannya dan menolongnya jika ia membutuhkan pertolongan, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, secara lahir maupun batin.

Bahkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menafikan keimanan seseorang yang tidak membuat aman tetangganya, sebagaimana hadits yang akan disebutkan dalam bab ini pada tempatnya tersendiri. Hal itu sangat menegaskan betapa besarnya hak tetangga dan membahayakannya termasuk dosa besar.”

Di antara cara berbuat baik kepada tetangga adalah tidak menyakitinya, baik dengan perkataan maupun perbuatan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; harus berkata baik atau diam saja.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus berkata baik atau diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah da hari akhir; maka ia harus memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir; maka ia harus memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi Syarh Shahih Muslim mengatakan, ”Al-Qadhi Iyadh menerangkan, ’Makna hadits adalah siapa yang menjalan syariat Islam, maka harus memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya. Semua itu adalah pengertian hak bertetangga yang dianjurkan untuk selalu menjaganya.”

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Tetangga

Di antara hak sesama hamba Allah yang diajarkan dalam agama Islam adalah hak para tetangga. Allah Ta’ala memerintahkan kepada setiap orang untuk menjaga, menunaikan haknya, bersikap peduli padanya, memberikan manfaat untuknya dan mencegah timbulnya bahaya pada dirinya.

Hal ini terdapat dalam banyak ayat Al-Qur`an dan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisaa`: 36).

Dalam ayat ini, Allah tegaskan perintah menjaga hak tetangga setelah perintah berbuat baik kepada kedua orangtua dan kerabat dekat.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

”Jibril selalu berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai saya mengira Jibril menjadikan seorang tetangga mendapatkan harta warisan (tetangganya).” (HR. Al-Bukhari).

Ibnu Hajar menerangkan, ”Maksud ayat di atas adalah Jibril menyampaikan perintah Allah bahwa seorang tetangga mewarisi harta tetangganya apabila ia meninggal dunia.”

Tetangga adalah orang yang tinggal di dekatmu. Manusia berbeda pendapat dalam menentukan batasan yang disebut dengan tetangga, sehingga sebagian orang mengatakan, bahwa tetangga adalah 40 rumah di sekitar tempat tinggal Anda, yang diukur dari semua arah. Namun yang lebih penting adalah setiap orang diperintahkan untuk berbuat baik kepada semua kaum muslimin dengan memulai dari yang terdekat lebih dahulu.

Tetangga mencangkup orang muslim dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan musuh, orang asing dan penduduk lokal, yang mendatangkan manfaat dan yang membahayakan, kerabat dekat ataupun bukan, rumahnya yang dekat dan yang jauh. Masing-masing mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, sebagian lebih tinggi dari yang lainnya.

Tetangga yang paling tinggi derajatnya adalah tetangga yang memiliki semua sifat-sifat pertama, kemudian yang paling banyak dan seterusnya. Sebaliknya, tetangga yang memiliki semua sifat-sifat kedua tersebut. Berilah hak kepada mereka sesuai dengan keadaannya masing-masing, apabila menemukan tetangga memiliki dua sifat yang berbeda; maka tentukan sifat yang paling dominan.

Menurut sebuah pendapat yang disebutkan dalam kitab Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, ada tiga macam tetangga yaitu:

1. Tetangga yang musyrik, dia hanya memiliki satu hak yaitu hak bertetangga.

2. Tetangga muslim, mempunyai dua hak, yaitu hak tetangga tetangga dan hak sebagai seorang muslim.

3. Tetangga muslim dari karib kerabat, mempunyai 3 hak yaitu hak tetangga, islam dan hak kekerabatan.”

Berbuat baik kepada tetangga dengan menjaga hak-haknya merupakan amalan yang mulia, sifat terpuji, etika yang baik, dan akhlak yang mulia. Bahkan, orang-orang jahiliyah dahulu juga menjaga hak-hak tetangga, menghormati dan menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan tetangganya.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Cara Rasulullah SAW Bertetangga

Banyak diantara kita yang mungkin meremehkan adab bertetangga. Kita tidak menyadari bahwa Islam sangat memperhatikan masalah tersebut. Berikut ada cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW dalam bersikap kepada tetangga:

  1. Tidak menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan
  2. Berbuat baik kepadanya
  3. Membantunya jika ia meminta bantuan
  4. Menjenguknya jika ia sakit
  5. Mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia
  6. Menghiburnya jika ia mendapat musibah
  7. Memulai ucapan salam untuknya
  8. Berkata kepadanya dengan lemah lembut
  9. Santun ketika berbicara dengannya
  10. Membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya
  11. Melindungi area tanahnya
  12. Memaafkan kesalahannya
  13. Tidak mengintip auratnya
  14. Tidak menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya
  15. Tidak menyakiti dengan air yang mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya
  16. Bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya

Bacalah referensi-referensi hadits di bawah ini yang merupakan bukti betapa Rasulullah SAW sangat memperhatikan masalah bertetangga.

 

sumber: CaraMuhammad

Mengenal Adab Bertetangga dalam Ajaran Islam

Sebagai makhluk sosial, manusia butuh bersosialisasi. Di lingkungan terdekat, manusia hidup berdampingan dengan tetangganya. Dalam ajaran Islam, tetangga memiliki peran dan arti penting dalam kehidupan seorang Muslim. Islam mengajarkan, hak tetangga atas tetangga lainnya begitu agung.

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga dekat dan jauh. “… Dan, berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (QS An-Nisaa [4]:36).

Rasulullah SAW juga selalu mengingatkan umatnya untuk berbuat baik dengan tetangganya. Nabi SAW bersabda, “Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira dia akan mewariskannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sayangnya, masih banyak umat Islam yang belum menjalankan perintah Allah dan Rasulullah tentang pentingnya berbuat baik kepada tetangga. Tak jarang, antartetangga ada yang bermusuhan, saling menjelekkan, dan saling mengumbar aib. Akibatnya, seorang yang bermusuhan dengan tetangganya tak akan pernah merasa tenang.

Agar setiap Muslim akur dan akrab dengan tetangganya, ajaran Islam melalui Alquran dan hadis telah menetapkan adab bertetangga (Al-Jiwaar). Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Kitab Mausuu’atul Aadaab Al-Islaamiyah menjelaskan, adab-adab yang perlu diperhatikan seorang Muslim dalam bertetangga.

Memilih tetangga yang saleh

Menurut Syekh Sayyid Nada, sebelum memutuskan tinggal di suatu tempat, seharusnya seorang Muslim memilih tempat tinggal yang saleh tetangganya. Sebab, kata dia, tetangga yang tak saleh suka membuka rahasia rumah tangga orang lain.

“Ada kalanya seseorang membutuhkan bantuan tetangganya. Apabila tetangga itu orang yang saleh, tentu ia akan memberikan manfaat dan meringankan bebannya,” ujar ulama terkemuka itu. Terkait masalah ini, Rasulullah SAW bersabda, “Empat perkara yang dapat mendatangkan kebahagiaan: wanita yang saleh, tempat tinggal yang luas, tetangga yang saleh, dan kendaraan yang bagus.” (HR Ahmad).

Menyukai kebaikan bagi tetangganya

Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya adalah menyukai kebaikan bagi tetangganya, sebagaimana ia menyukai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Hal itu, dalam Islam, menjadi penyempurna keimanan. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak sempurna keimanan seseorang hingga ia menyukai tetangganya apa yang ia suka bagi dirinya.” (HR Muslim).

Tak mengganggu baik dengan ucapan maupun perbuatan

“Mengganggu tetangga adalah perbuatan yang haram,” ujar Syekh Sayyid Nada. Bahkan, Rasulullah SAW secara khusus telah mengingatkan masalah ini. Beliau bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya.” (HR Bukhari).

Selalu berbuat baik kepada tetangga

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar selalu berbuat baik kepada tetangganya. Beliau bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya …” (HR Muslim). Untuk itulah, kata Syekh Sayyid Nada, wajib hukumnya berbuat baik kepada tetangga dengan cara apa pun yang memungkinkan.

Bersabar terhadap gangguan tetangga

“Tetangga yang baik bukan hanya menahan tangannya untuk tidak mengganggu tetangganya. Akan tetapi, ia juga bersabar terhadap gangguannya,” papar Syekh Sayyid Nada. Hendaknya ia membalas gangguan itu dengan kebaikan. Menurut dia, sesungguhnya sikap seperti itu akan menutup pintu bisikan setan.

Memberi makan kepada tetangga yang fakir

Rasulullah SAW selalu menekankan pentingnya umat Islam berbuat baik kepada tetangga. Beliau bersabda, “Bukanlah Mukmin orang yang kenyang, sementara tetangga di sampingnya kelaparan.”

Saat ini, masih banyak orang yang tak memedulikan kondisi tetangganya. Padahal, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya berbagi dengan tetangga. Beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memasak, perbanyaklah kuahnya, kemudian berikan sebagian kepada tetangganya.”

Rasulullah juga melarang umatnya meremehkan sesuatu yang akan diberikan kepada tetangganya. Nabi SAW bersabda, “Wahai, wanita Muslimah, janganlah kalian meremehkan pemberian kepada tetangga meskipun hanya kaki kambing.” Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaknya adab yang agung ini diperhatikan dan jangan sampai diabaikan.

 

sumber: Republika Online

Mari Perkuat Hubungan Bertetangga

MENGAPA kejahatan, ketidakamanan dan kerusakan sosial begitu mudah terjadi? Satu di antara faktor dominan mungkin karena adab bertetangga yang mulai ditinggalkan oleh sebagian besar kaum Muslimin.

Konsep hidup perkotaan sejauh ini telah menggerus nilai-nilai luhur dan penting dalam kehidupan sosial, yakni mengenal dan bersinergi dalam kebaikan bersama tetangga, sehingga kerapkali sering terjadi tindak kejahatan, terutama kepada anak-anak begitu mudah terjadi karena satu dengan lain keluarga tidak ada silaturrahmi bahkan saling tidak mengenal. Akibatnya gotong royong yang merupakan manivestasi ajaran Islam seakan memudar dalam kehidupan nyata masyarakat.

Suasana tersebut tentu sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan, yang tidak saja saling mengenal, tetapi anak dari tetangga yang sudah lama tidak kembali ke kampung halamannya pun mereka masih saling ingat, membicarakan dan tentu saja berharap kebaikan bagi mereka yang meninggalkan kampung halaman sukses di perantauan.

Wajar jika di desa (meski mungkin kini sudah tidak semua desa) kontrol sosial berjalan dengan cukup baik. Sebab saling mengenal dengan tetangga akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk ikut serta saling melindungi. Dan, keakraban di antara mereka begitu kental terasa.

Namun kini tinggal kepada kesadaran dan gaya hidup setiap Muslim. Meski pun di kota, jika memang adab bertetangga dihidupkan, bukan mustahil ketahanan sosial, terutama keamanan bagi anak-anak yang sering menjadi sasaran pelaku kejahatan dan predator seks benar-benar dapat dilindungi.

Sebab, keluarga yang baik tidak menjamin kebaikan selama lingkungan tidak benar-benar aman dan kondusif. Jadi umat Islam tidak saja butuh menguatkan keluarga, tetapi juga sekaligus sangat butuh dengan kebaikan lingkungan yang bisa dimulai dengan adab bertetangga guna terciptanya ketahanan sosial.

Oleh karena itu termasuk perkara penting dan mendesak bagi setiap Muslim, dimanapun berada kembali memahami kedudukan tetangga dan menghidupkan adab-adab bertetangga. Selain memberikan ketenangan hati karena telah menghidupkan sunnah, secara langsung hal ini akan menguatkan lingkungan kita hidup dalam kebaikan demi kebaikan, serta aman dari ancaman predator sek dan kejahatan anak.

Dalam Islam, tetangga itu harus dimuliakan.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya.” (HR. Bukhari).

Memuliakan di sini bisa dipahami dengan tidak cuek terhadap tetangga. Memberi perhatian semampu diri, sehingga tetangga merasa nyaman dan aman hidup bersama kita. Dan, tentu saja, semoga hal itu mendorong tetangga kita semakin dekat dengan Allah Ta’ala.

Dalam hal ini kita bisa beajar dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri. Beliau rela menahan diri tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi yang setiap hari, rumah beliau terkena pembuangan air dapur rumah tetangganya.

Kala Hasan Al-Bashri sakit, tetangga Yahudi itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang menyeruak masuk ke dalam rumah beliau. Sontak Yahudi itu bertanya, “Ini bau apa?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Air dari rumahmu.”

“Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini terjadi?”

Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, “Sudah 11 tahun.”

Mendengar jawaban tersebut, Yahudi itu malu dan segera sadar akan kekeliruannya dan kemudian menyatakan diri masuk agama Islam.

Dari kisah ini dapat dipahami bahwa memuliakan tetangga termasuk kepada yang non Muslim dan sebisa mungkin menghindari bermasalah dengan tetangga. Bersabar dengan keburukannya adalah jalan pintas mendapat kebaikan dan keridhoan-Nya.

Meski hal ini tidak mudah, setidaknya spirit penting ini jangan pernah padam dari dada kita sebagai Muslim. Terlebih, jika tetangga kita adalah saudara seiman. Tentu lebih layak untuk dimuliakan dengan cara yang lebih baik.

Kemudian, berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perintah yang dirangkaikan dengan amanat menjalankan ibadah dengan suci murni hanya kepada-Nya.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An Nisa [4]: 36).

Mengamalkan adab bertetangga ini tidak saja akan menumbuhkan rasa kasih sayang dengan sesama, tetapi juga menguatkan sistem sosial. Bisa dibayangkan jika satu keluarga ke empat penjuru mata angin dengan jumlah 40 rumah alias tetangga saling mengenal, maka pelaku kejahatan mana yang berani berbuat buruk lalu menciderai anak-anak kita?

Berbuat Baik pada Tetangga

Penculikan anak, pergaulan yang salah dapat dicegah jika kehidupan bertetangga berjalan sebagaimana ajaran Islam. Mari kembalikan nafas ajaran Islam dalam keseharian bersama tetangga. Karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat dunia-akhirat.

Untuk itu, tidak mengherankan jika adab bertetangga ini dilanggar, justru akan  menimbulkan banyak kerugian, sekalipun diri termasuk orang yang komitmen beribadah dan beramal sholeh.

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya).” (HR. Bukhari Muslim).

Hal ini dipertegas dalam hadits yang lain.

يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار

“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka.”  (HR. Al Hakim).

Neraka itu mungkin bermakna dua, satu berupa kerugian, kerusakan dan ketidakbahagiaan di dunia. Dan, kedua tentu neraka dalam pengertian aslinya. Tentu kita berlindung kepada Allah dari termasuk orang yang masuk neraka karena abai terhadap tetangga. Semoga Allah mampukan hati dan diri kita hidup bertetangga dengan ajaran sunnah Rasulullah. Wallahu a’lam.*

 

 

sumber: Hidayatullah

Berbuat Baik pada Tetangga Itu Penting (2-Habis)

Memberikan Kenyamanan

MENYAKITI tetangga adalah sebuah kejahatan yang sangat diharamkan dalam Islam. Diriwayatkan oleh Abu Syuraih, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman. Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapa orang itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.” (HR. Bukhari)

Memberi perlindungan bagi tetangga yang lain dari sesuatu hal, misalnya saja pencurian, penipuan dan lain sebagainya adalah anjuran Islam. Sudah jelas bahwa Rasulullah SAW mengulang kalimatnya sampai tiga kali bagi siapa yang membuat rasa ketidaknyamanan bagi tetangganya. Untuk itu, ketika kita mengendari mobil, motor bahkan menyetel musik sebaiknya sekedarnya saja, bisa jadi ada tetangga yang merasa terganggu dengan suara gaduh tersebut.

Dikisahkan ada seorang ‘abid yang mempunyai tetangga non-muslim. Sang tetangga memiliki kamar mandi di atas rumahnya, dan bocor. Sehingga air merembes masuk ke dalam rumah muslim tersebut.

Setiap hari Ia selalu menadahi air yang berasal dari kamar mandi tetangganya dengan ember. Suatu ketika seorang ‘abid ini sakit parah, dan tetangga non-muslim pun menjenguknya. Ketika sang tetangga ini memasuki rumahnya, sang tetangga tahu bahwa air yang menetes itu berasal dari kamar mandinya. Ia pun bertanya, “air dari manakah ini”? sang ‘Abid pun mencoba mengalihkan pembicaraannya. Tetapi sang tetangga terus bertanya, air dari manakah ini yang Anda tampung? Akhirnya Ia menjawab, “Bahwa air itu adalah air rembesan dari kamar mandi Anda”.

Sang tetangga terus bertanya, “Berapa lama Anda menampungnya”? sudah 18 tahun, jawab sang ‘abid. Kenapa anda tidak megadukannya padaku? Sang ‘abid menjawab : “Barang siapa beriman kepada Allaah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, anda adalah tetangga saya maka kewajiban saya adalah memuliakan anda“. Betapa terkejutnya sang tetangga itu, Ia merasa takjub dan akhirnya sang tetangga non-muslim tersebut masuk Islam.

Penutup
Dalam pergaulan sehari-hari tentu peran tetangga sangat penting, baik sebagai teman ngobrol, teman berbagi serta ladang untuk menuai pahala dari Allah SWT. Beruntung jika memiliki tetangga yang baik, karena tetangga yang baik itu lebih mahal dari harga rumah atau tanah yang kita tempati, tetangga yang baik tidak ternilai harganya.

Rasulullah SAW menganjurkan kita berdoa agar terhindar dari tetangga yang jahat. Karena memiliki tetangga yang jahat bisa menjadikan rasa tidak aman, bahkan seluruh kampung tersebut akan terkena dampaknya. Untuk itu maka ketika mencari rumah baru, yang harus diutamakan adalah mencari lingkungan (tetangga) yang baik lebih dahulu, atau dengan kata lain memilih tetangga sebelum memilih rumah.

Menjalani kehidupan bertetangga dengan baik dan saling menunaikan hak masing-masing merupakan suatu kebahagiaan dan tanda kebaikan sebuah masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat perkara yang termasuk dari kebahagiaan: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan ada empat perkara yang termasuk dari kesengsaraan; tetangga yang jelek, istri yang jahat (tidak shalihah), tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban)

Dalam hadits lain rasulullah SAW bersabda,“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang terbaik kepada tetangganya.”(HR. at-Tirmidzi) Marilah kita berbuat baik terhadap tetangga, serta memberikan hak-hak atasnya. Sebelum memasuki Bulan Ramadhan, mari cek kembali bagaimana hubungan kita dengan tetangga sekitar. Jika belum baik, tidak ada salahnya untuk diperbaiki. Jika sudah baik, silakan dipertahankan dan terus dijaga. Semoga kita termasuk orang-orang yang memuliakan tetangga. Amīn []

 

sumber: IslamPos