Pengobatan yang Menisbatkan pada Islam dan Sunnah

Prinsip Memandang Berbagai Metode Pengobatan

Kaum muslimin, saudaraku  yang semoga dirahmati Allah. Kami berprinsip bahwa selama tidak menyelisihi syariat Islam semua pengobatan itu sama baiknya, baik itu pengobatan kedokteran modern, herbal, thibbun nabawi, kedokteran cina, kedokteran yunani, kedokteran Arab kuno dan lain-lainnya.

Asalkan pengobatan tersebut dilakukan oleh ahlinya yang ahli dan berpengalaman. Ahli dalam hal ini adalah perlu belajar dalam dalam waktu yang cukup lama (mohon maaf, bukan hanya mengikuti sekali-dua kali pelatihan kemudian langsung buka praktek dan berani mendiagnosis berbagai macam penyakit), serta telah berpengalaman dalam mengobati (tidak menjadikan pasien sebagai ujicoba tanpa pengawasan).

Metode Pengobatan yang Menisbatkan pada Islam

Silahkan mengembangkan ilmu kedokteran dan pengobatan dengan tehnik atau teori valid apapun selama tidak menyelisihi syariat. Tentu kita akan senang ilmu tersebut akan bermanfaat bagi masyarakat dan membuat masyarakat sehat, akan tetapi apabila tehnik pengobatan dan teori kesehatan tersebut tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunnah serta tidak ada tafsir dan penjelasan ulama mengenai hal ini, maka TIDAK BOLEH DINISBATKAN kepada Islam & sunnah. 

Selama pengobatan dan teori kesehatan tersebut valid dan ilmiah (bukan berdasarkan testimoni semata), tidak akan dipermasalahkan teori kesehatan tersebut, tetapi yang dipermasalahkan adalah “menisbatkan kepada Islam, Sunnah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” ini lah yang dipermasalahkan. Kami ambil contoh pengobatan yang bermanfaat, misalnya akupuntur. Pengobatan ini bermanfaat dan tidak “membawa-bawa” nama Islam dan sunnah. Tentu pengobatan ini tidak dipermasalahkan.

Konsekuensi Penisbatan tanpa Dalil

Apabila menisbatkan pengobatan kepada Islam dan sunnah atau menyatakan bahwa inilah metode pengobatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tidak ada dalilnya, maka termasuk dalam ancaman berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”.[1] 

Termasuk “berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” adalah mengatakan ini adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal tidak ada ajaran seperti itu dan ini juga mencakup pengobatan dan teori kesehatan.

Jangan Asal Menisbatkan pada Islam

Di pengantar tulisan ini kami mengambil contoh pengobatan akupuntur, pengobatan ini bermanfaat dan tidak “mebawa-bawa nama Islam & sunnah”. Beberapa ulama pun menjelaskan pengobatan ini, misalnya Syaikh prof. Abdullah bin Jibrin, beliau berkata,

وأما الأبر الصينية فإن ثبت نفعها أو كان نفعها أكثر من ضررها إذا وجد لها ضرر ، فلا بأس باستخدامها

“Adapun pengobatan akunpuntur dari Cina maka telah benar manfaatnya dan manfaatnya lebih banyak dari madharatnya (rasa sakit yang sangat sedikit, pent), jika memang ada madharatnya. Tidak mengapa menggunakannya.” [2] 

Dalam Fatwa Al-Islamiyah,

والإبر الصينية نوع من أنواع العلاج استخدم منذ خمسة آلاف سنة، بعد أن لوحظ أن ‏تدليك نقاط معينة في الجسم يحدث تأثيراً إيجابياً في تحفيف الألم.‏….‏

ولا حرج في التداوي بهذه الأنواع – وكذا الإبر الصينية- مادامت تستخدم من قبل ‏مختص خبير في هذا النوع من العلاج، لأن العلاج عند غير مختص قد يسبب ضرراً بالغاً ‏لخطورة

“Pengobatan akupuntur salah satu metode pengobatan yang digunakan sejak 5000 tahun yang lalu. Setelah diteliti peminjatan/penekanan pada satu titik tertentu di badan menghasilkan pengaruh yang positif dan mengurangi rasa sakit… demikian juga pengobatan akupuntur, selama dilakukan oleh ahli yang khusus dan berpengelaman, karena berobat dengan bukan ahlinya bisa menimbulkan bahaya. Tidak mengapa berobat dengan ini.” [3]

Pengobatan atau teori kesehatan yang menisbatkan kepada Rasulullah dikenal dengan istilah thibbun nabawi dan telah dijelaskan oleh para ulama. Berikut penjelasan mengenai thibbun nabawi.

Pengertian Thibbun Nabawi

Ada beberapa pengertian mengenai thibbun nabawi yang didefinisikan oleh ulama di antaranya:

Definisi 1

الطب النبوي هو كل ما ذكر في القرآن والأحاديث النبوية الصحيحة فيما يتعلق بالطب سواء كان وقاية أم علاجا

Thibbun nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.

Definisi 2

الطب النبوي هو مجموع ما ثبت في هدي رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم في الطب الذي تطبب به ووصفه لغيره.

Thibbun nabawi adalah semua shahih dari tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bidang kedokteran, yang beliau gunakan sendiri atau beliau gunakan untuk mengobati orang lain.

Definisi 3

تعريف الطب النبوي: هو طب رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي نطق به ، واقره ، او عمل به وهو طب يقيني وليس طب ظني ، يعالج الجسد والروح والحس.

Definisi thibbun nabawi adalah (metode) pengobatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ucapkan, beliau tetapkan (akui) beliau amalkan, merupakan pengobatan yang pasti bukan sangkaan, bisa mengobati penyakit jasad, roh dan indera.”[4]

Itu beberapa definisi tentang thibbun nabawi.

Contoh Thibbun Nabawi

Dari beberapa definisi tersebut, maka thibbun nabawi contohnya seperti apa yang beliau ucapkan tentang keutamaan habbatussauda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” .[5]

Contoh thibbun nabawi yang Nabi Shallallahu’alaihi  Wasallam tetapkan (akui), yaitu kisah sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang me-ruqyah orang yang terkena gigitan racun kalajengking dengan hanya membaca Al-Fatihah saja. Maka orang tersebut langsung sembuh. Disebutkan dalam hadis:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para  sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa me-ruqyah karena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. Pembesar tersebut pun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah? Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian. [6]

Contoh thibbun nabawi yang beliau amalkan, beliau melakukan Hijamah (bekam) serta menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan bekam. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأمرني فأعطيت الحجام أجره

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan menyuruhku untuk memberikan upah kepada ahli bekamnya”[7]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52358-pengobatan-yang-menisbatkan-pada-islam-sunnah.html

Thibbun Nabawi Ibarat Pedang yang Sangat Tajam

Sudah pasti benar karena berdasarkan wahyu. Hanya saja pedang juga tergantung yang memegang pedang, ada yang mahir, ada yang pemula bahkan ada yang angkat pedang saja kurang kuat. Sehingga kalau tidak sembuh dengan thibbun nabawi berarti bukan thibbun nabawi yang salah.

Kenapa tidak sembuh? Bisa jadi :

1.Praktisi thibbun nabawi yang kurang kompeten

2.Proses dan tahap pengobatannya yang kurang tepat

3.Thibbun Nabawi juga terkait dengan unsur keimanan

Misalnya:

-Hadits sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang tersengat racun kalajengking, orangnya langsung sembuh  dan sehat (tidak perlu penawar racun)

Akan tetapi, ada yang meruqyah orang lain tetapi tidak sembuh-sembuh. tentu bukan thibbun nabawinya yang salah atau tidak manjur

-Dalam hadits dijelaskan bahwa habbatus sauda adalah obat segala macam penyakit kecuali kematian

Akan tetapi, ada yang sakit demam tinggi kemudian minum habbatus sauda, tetapi demam tidak turun-turun malah tambah tinggi (kisah ini nyata, insyaAllah). tentu bukan hadits mengenai habbatus saudanya yang salah atau tidak benar.

-Dalam hadits dijelaskan bahwa sebaik-baik pengobatan adalah bekam (ini juga perlu penjelasan ulama, apakah ini shigah mubalaghah dalam bahasa Arab saja atau memang makna dzahirnya, sebaiknya tidak diterjemahkan leterleg, sebagaimana hadits ‘sebaik-baik lauk adalah cuka’, apakah lauk terbaik adalah cuka?)

Ada yang ketika kena sakit gagal ginjal kronik sadium akhir, tidak mau terapi cuci darah, hanya mau bekam saja, tetapi ternyata tidak kunjung sembuh dan bahkan tambah parah. Akhirnya dengan penjelasan yang baik, dia mau cuci darah dan iapun mengakui bahwa jauh lebih baik setelah cuci darah. Dan iapun mengkombinasikannya sekarang (kisah ini nyata, insyaAllah)

Karenanya istilah  Thibbun (طب) adalah pengobatan, yang namanya pengobatan itu:

-Butuh kemampuan mendiagnosa jenis  penyakit

karena penyakit bermacam-macam, tidak bisa mendiagnosa secara umum dan terlalu general:

“ada penyakit  di lambungnya pak”

karena lambung bisa karena tukak/luka, infeksi bateri, penyakit psikologis dll

-Butuh kemampuan meracik bahan thibbun nabawi, menentukan dosis dan indikasinya

Karena bahan-bahan thibbun nabawi dalam Al-Quran dan Hadits SANGAT GENERAL sekali. Hanya disebutkan bahannya saja

Seorang dokter, herbalis, praktisi thibbun nabawi harus tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.” (Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah)

Logikanya: apabila ada info buah merah bisa menjadi obat AIDS, maka tentu kita bertanya-tanya bagaimana cara meraciknya, dosis, indikasi dan cara minumnya

Dari mana tahu dosis dan indikasinya? Dari penelitian para thabib/dokter dan pengalaman mereka. Atau di zaman modern ini bisa diteliti dengan penelitian ilmiah mengenai dosis dan indikasinya.

semoga semakin banyak ahli thibbun nabawi, sehingga tidak ada lagi yang melakukan praktek thibbun nabawi yang kurang tepat sehingga bisa menjadi bumerang bagi thibbun nabawi itu sendiri dan ini tidak kita harapkan bersama.

Kami sangat berharap semoga Thibbun nabawi ada yang bisa mengembangkannya, melakukan penelitian dengan membuka buku-buku para ulama, meneliti ke pengobatan thabib sehingga jelas thbbun nabawi bisa diterapkan sesuai dengan prinsip “thibb” yaitu pengobatan. Bahkan thibbun nabawi diakui oleh dunia internasional, ada ilmuan muslim yang melakukan penelitian ilmiah dan menerbitkan jurnal internasional mengenai thibbun nabawi

Amin yaa mujibas saailiin

@Laboratorium Klinik RSUP DR. Sardjito,Yogyakarta tercinta

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Pengobatan Ala Rasulullah (1)

Jangan terjebak jaminan langsung sembuh.



Banyak masyarakat protes pengobatan atas nama simbol Islam dan metode yang tidak jelas asal muasalnya. Sehingga, perlu diketahui metode dan cara pengobatan yang sesuai serta disunnahkan oleh Rasulullah SAW.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnaen mengatakan pengobatan apa saja yang bentuknya dari ilmu tabib Cina, Arab, rukyah, maupun modern diperbolehkan asalkan meyakini kesembuhan berasal dari Allah SWT.

Sedangkan obat, teknik pengobatan, orang yang mengobati merupakan perantara saja. “Jika seseorang meyakini kesembuhan bukan selain Allah SWT maka dianggap syirik,” ujarnya.

Ustaz Tengku mewanti-wanti agar umat tetap berhati-hati memilih pengobatan. Masyarakat diimbau tidak lantas percaya dengan iming-iming sembuh seketika. Menurut Ustaz Tengku, itu merupakan kebohongan besar jika ada pengobatan yang langsung menjamin kesembuhan setelah berobat. “Kesembuhan merupakan hak Allah SWT,” ujarnya.

Begitu juga dengan pengobatan alternatif dengan memindahkan penyakit. Dalam pengobatan Rasul bahkan sejak Nabi Adam tidak pernah ditemui pengobatan memindahkan penyakit ke hewan, tumbuhan, maupun benda-benda lain. “Pengobatan tersebut merupakan kebohongan besar,” kata ustaz yang juga ahli thibbun nabawi ini.

Selain itu, orang yang mengobati juga harus berjiwa sosial. Niatnya harus tulus mengobati bukan mencari keuntungan. “Apalagi, sampai menagih biaya hingga puluhan juta,” ujarnya.

Rasulullah SAW sendiri mengajarkan banyak ilmu kesehatan dan pengobatan. Ustaz Tengku menjelaskan, umumnya penyakit bersumber dari perut sehingga kita harus menjaga kondisi lambung.

Lambung harus diisi seimbang antara makanan, air, dan udara. Satu saja tidak seimbang, pasti akan menimbulkan masalah hingga terserang penyakit. “Makanan jatahnya hanya sepertiga dari ruang lambung, sesuai kaidah Rasulullah,” katanya.

Rasulullah dalam menjaga kesehatan juga dengan menjaga makanannya. “Tidak pernah Rasul memakan makanan dengan menggabungkan karbohidrat dan protein hewani,” ujarnya.

Rasul juga berdiet dengan tidak pernah makan bersamaan daging dan susu. Jika Rasul memakan daging maka tidak minum susu begitu juga sebaliknya.

Selain itu, Rasul juga mengajarkan konsumsi madu untuk mengobati diare. Selain madu, obat yang digunakan rasul adalah habatussaudah. Habatussaudah merupakan lada hitam yang rasanya pahit untuk mengobati segala jenis penyakit yang saat ini telah kembali populer.

Tepung talbinah juga menjadi salah satu obat pada zaman Rasulullah. Tepung yang kembali popular ini berwarna merah keunguan dan sering dibuat bubur.

Siti Aisyah, kata Ustaz Tengku, selalu memasak tepung tersebut, terutama saat ada kematian yang terjadi di rumahnya. Tepung talbinah dapat mengobati penyakit liver dan membantu dalam mengurangi kesedihan. Saat ini, tepung itu masih dapat ditemukan di Afrika.

 

Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti

 

sumber: Republika Online

Thibbun Nabawi, Pengobatan Pertama dan Utama

Sungguh, sebuah keniscayaan bahwa perkembangan dunia medis berjalan seiring dengan derasnya arus kapitalisme global dan modernisasi yang kian sulit dikendalikan, Namun perkembangan jenis penyakit juga tidak kalah cepat berkembang dan beregenerasi. Sementara itu banyak  manusia yang tidak menyadari bahwa SangKhaliq tidak pernah menciptakan manusia dengan ditinggalkan begitu saja tanpa ada aturan dari-Nya. Setiap kali penyakit muncul, pasti Allah SWT juga menciptakan obatnya, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan penyembuhnya.(HR. Al-Bukhari dan  Ibnu Majah).

Faktanya, memang ada manusia yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. Kenyataan  lain  yang  harus  disadari  oleh  manusia, bahwa apabila Allah SWT dan Rasul-Nya secara jelas dan tegas menetapkan suatu penjelasan -termasuk dalam memberikan petunjuk pengobatan- maka petunjuk pengobatan itu sudah pasti lebih bersifat pertama dan utama. Dan memang demikianlah kenyataannya, Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW secara Kaffah, bukan saja memberi petunjuk tentang perikehidupan dan tata cara ibadah kepada Allah SWT secara khusus yang akan membawa keselamatan dunia dan akhirat, tetapi  juga memberikan  banyak petunjuk praktis dan formula umum yang dapat digunakan untuk menjaga keselamatan lahir dan batin, termasuk  yang  berkaitan dengan  terapi, penanganan penyakit  atau pengobatan secara holistik.

Petunjuk praktis dan kaidah medis tersebut telah sangat banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diajarkan kepada para sahabat Nabi SAW. Bila keseluruhan formula dan kaidah praktis itu dipelajari secara saksama, tidak salah lagi! Bahwa kaum Muslimin dapat mengembangkannya menjadi sebuah sistem dan metode (thariqah) pengobatan  yang  tidak  ada  duanya. Disitulah  akan  terlihat korelasi yang erat antara sistem pengobatan Ilahi dengan sistem pengobatan manusia. Karena Allah SWT telah menegaskan: “Telah  diciptakan  bagi  kalian  semua  segala  apa  yang  ada  di muka  bumi  ini” (QS. Al Baqarah [2]: 29. Ilmu pengobatan beserta segala media dan materinya, termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT tidak hanya untuk kaum muslimin saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh umat manusia.

Ingatlah! Islam adalah  agama dan Ideologi  yang  sempurna,  yang dibawa  Rasulullah  SAW  bukan hanya kepada orang sehat tapi juga kepada orang yang sakit, maka cara pelaksanakannya juga disediakan. Untuk  itu,  sudah seharusnya kaum  Muslimin  menghidupkan  kembali  kepercayaan  terhadap berbagai jenis obat (Madu, Habatussauda, Zaitun, dsb.) dan metode pengobatan (Alqur’an, Bekam, Ruqyah, dll.) yang telah diajarkan Rasulullah SAW sebagai metode terbaik untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Namun tentu semua jenis pengobatan dan obat-obatan tersebut hanya terasa khasiatnya bila disertai  dengan  sugesti  dan  keyakinan.  Karena -demikian  dinyatakan  Ibnul  Qayyim- bahwa “keyakinan adalah doa”. Bila pengobatan manusia mengenal istilah placebo (semacam penanaman sugesti lalu memberikan obat netral yang sebenarnya bukan obat dari penyakit yang dideritanya), maka  Islam mengenal istilah Do’a dan keyakinan.

 

Dengan pengobatan yang tepat, dosis yang sesuai disertai doa dan  keyakinan (Spiritual Healing),  tidak  ada  penyakit  yang  tidak  bisa  diobati,  kecuali  penyakit  yang  membawa pada kematian. Jabir RA membawakan hadits dari Rasulullah SAW: “Setiap penyakit ada obatnya, Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah SWT.” (HR. Muslim)

 

Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat  dengan  izin Allah  SWT.  Sehingga seharusnya  kita  tidak  terlebih  dahulu  berpaling  dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang. Karena itulah Ulama Salafus Sholeh, sekaligus Ahli Kedokteran & Pengobatan Islam, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyahberkata: “Sungguh Mereka (para tabib) telah sepakat bahwa ketika  memungkinkan  pengobatan  dengan  bahan  makanan  maka  jangan  beralih  kepada  obat-obatan kimiawi. Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka  jangan beralih memakai  obat  yang  kompleks.  Mereka mengatakan bahwa setiap  penyakit  yang  bisa  ditolak  dengan  makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan kimiawi.” Ibnul  Qayyim  juga  berkata:  Berpalingnya  manusia  dari  cara  pengobatan  Nubuwwah seperti  halnya  berpalingnya  mereka  dari  pengobatan  dengan  Alqur’an,  yang  merupakan  obat  bermanfaat.”

 

Maka, tidak sepantasnya seorang  muslim menjadikan  pengobatan Nabawiyyah sekadar sebagai pengobatan “tradisional” maupun alternatif lain. Justru  sepantasnya dia menjadikannya  sebagai  cara pengobatan yang UTAMA, karena kepastiannya datang dari Allah SWT  lewat  lisan Rasulullah SAW. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi (pengobatan cara barat), boleh saja manusia menggunakannya sebagai pelengkap dan pendukung pengobatan, namun kepastiannya tidak seperti kepastian  yang didapatkan dengan Thibbun Nabawi, Pengobatan yang diajarkan Nabi SAW  diyakini  kesembuhannya  karena  bersumber dari wahyu. Sementara  pengobatan dari selain Nabi Muhammad SAW kebanyakan hanyalah berangkat dari dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba semata. Ibnul Qayyim kembali berpesan: “Pengobatan  Ala Nabi  tidak  seperti  layaknya  pengobatan  para  ahli medis”.

Dengan demikian, Pengobatan Ala Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i), bernuansa  ilahiah, Alamiah, berasal dari wahyu dan misykat Nubuwwah, Ilmiah serta berasal dari kesempurnaan akal melalui proses berfikir (aqliyah). Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh bersandar semata dengan  pengobatan tertentu, dan tidak  boleh meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan sakitnya. Seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Al Khaliq, Dzat yang memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah SWT Robbul Izzati. Seorang hamba hendaknya selalu bersandar pada hukum dan aturan-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya seseorang yang sakit selalu berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan dan mengambil hikmah dari berbagai penyakit yang telah menimpa dirinya. Wallohu a’lam bish-showaab.

 

Oleh : Amin Yusuf, S.Pd. 

sumber: Era Muslim