Tiga Tingkatan Marah Menurut Imam Ghazali, Hanya Nomor Tiga yang Dilarang

Pada diri setiap orang terdapat kecenderungan untuk menolak kebinasaan dan ingin tetap eksis. Marah merupakan sebuah kekuatan untuk membela eksistensi diri yang muncul dari dalam batin. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyebutkan, Allah Ta’ala menciptakan marah dair unsur api dan menyimpannya dalam batin manusia.

Ketahulah marah ibarat sekam yang tersimpan dalam hati, seperti terselipnya bara di balik abu. Meski amarah merupakan sifat yang diberikan Allah untuk hamba-Nya, namun Rasulullah mengajarkan umatnya agar menahan amarah. Beliau bersabda

عَنْ أَبَيْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ». قَالُوا فَالشَّدِيدُ أَيُّمَ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ ». (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat.” Para sahabat pun bertanya, “Lalu orang yang paling kuat itu yang seperti apa wahai Rasulullah?.” Beliau bersabda, “Orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Muslim)

Menurut Imam Ghazali, dalam hal marah manusia memiliki tiga tingkatan. Yakni;

Pertama. Tidak memiliki rasa marah sama sekali. Dalam kondisi seperti ini seseorang telah kehilangan kekuatan atau menjadi lemah pada saat dibutuhkan akibat kekurangannya itu. Dan ini adalah sikap tercela. Sebagaimana diisyaratkan dalam ucapan Imam Syafi’i, “Siapa yang pada saat dibutuhkan untuk marah namun tidak bersikap tegas, maka ia laksana seekor keledai.”

Kedua. Marah yang terkontrol. Inilah yang ideal sebagaimana yang diucapkan Rasulullah dalam hadis di atas. Yaitu mengontrol amarah dengan bersikap tegas dan tidak bercampur emosi sesaat.

Ketiga. Marah yang berlebihan. Maksudnya ialah kemarahan yang melewati batas toleransi, sehingga orang yang bersangkutan harus kehilangan kontrol akalnya dan mengabaikan petunjuk syariat. Sehingga ia seperti orang yang sehilangan arah dan bertindak membabi-buta. Kemarahan ini sangat tercela dan dilarang dalam ajaran Islam, sebab secara lahiriah pelakunya berubah menjadi buruk dan batiniahnya terlihat lebih buruk lagi.

Meskipun sikap marah tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, setidaknya bisa diredam dan dialihkan. Terlebih jika tidak menyangkut persoalan prinsip dalam hidup. Caranya ialah, dengan mengenali nafsu diri sendiri dan menyadari bahwa tidak seharusnya ia tunduk pada nafsunya.

Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH