Amalan yang Pertama Kali Dihisab di Akhirat


Hari kiamat merupakan hari yang datangnya pasti terjadi, hanya saja mengenai waktunya tak ada seseorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’alaa saja. Maka, kerahasiaan terjadinya hari kiamat seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi kita untuk senantiasa memperbaiki diri dan memaksimalkan ikhtiar dalam beribadah kepada ALlah Ta’alaa.

Tahukah Anda? Diantara banyaknya macam amalan yang dianjurkan oleh syariat Islam, tenyata ada satu amalan yang akan ditanya dan dihisab pada saat pertama kali ketika di hari kiamat. Amalan tersebut adalah shalat. Mengapa demikian? Berikut ini penjelasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Faedah dari Hadits

Perkara yang pertama kali akan dihisab pada hamba dari perkara ibadah pada hari kiamat adalah shalat.

Siapa yang mendirikan shalat, maka bagus amalnya. Siapa yang tidak bagus shalatnya, maka amalnya pasti rusak.

Allah sangat penyayang pada hamba di mana Allah menyempurnakan amalan wajib yang ia lakukan dengan amalan sunnah sebagai penutup kekurangannya.

Umumnya amalan wajib akan disempurnakan dengan amalan sunnah sampai bertambahlah kebaikan hingga mengalahkan kejelekan sampai masuk surga dengan rahmat Allah.’

Hendaklah setiap orang bisa memperbanyak dan menjaga amalan sunnah, bukan hanya mementingkan yang wajib saja.

Keutamaan Shalat Sunnah

Pertama, dihapuskan dosa dan ditinggikan derajat.

Ma’dan bin Abi Tholhah Al-Ya’mariy, ia berkata, “Aku pernah bertemu Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-,  lalu aku berkata padanya, ‘Beritahukanlah padaku suatu amalan yang karenanya Allah memasukkanku ke dalam surga’.” Atau Ma’dan berkata, “Aku berkata pada Tsauban, ‘Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai Allah’.” Ketika ditanya, Tsauban malah diam.

Kemudian ditanya kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, ‘Aku pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

“Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud (memperbanyak shalat sunnah, pen.) karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu’.” Lalu Ma’dan berkata, “Aku pun pernah bertemu Abu Darda’ dan bertanya hal yang sama. Lalu sahabat Abu Darda’ menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku.” (HR. Muslim, no. 488).

Kedua, akan dekat dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga

Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudhunya dan air untuk hajatnya. Maka beliau berkata kepadaku, “Mintalah kepadaku.” Maka aku berkata, “Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.” Beliau bertanya lagi, “Adakah permintaan yang lain?” Aku menjawab, “Tidak, itu saja.” Maka beliau menjawab, “Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak shalat).” (HR. Muslim, no. 489)

Ketiga, shalat adalah sebaik-baik amalan.

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

“Beristiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak dapat istiqomah dengan sempurna. Ketahuilah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat. Tidak ada yang menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah, no. 277 dan Ahmad, 5:276. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Keempat, menggapai wali Allah yang terdepan.

Orang yang rajin mengamalkan amalan sunnah secara umum, maka ia akan menjadi wali Allah yang istimewa.

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Wali Allah itu ada dua macam: (1) As Saabiquun Al Muqorrobun (wali Allah terdepan) dan (2) Al Abror Ash-habul yamin (wali Allah pertengahan).

As-saabiquun al-muqorrobun adalah hamba Allah yang selalu mendekatkan diri pada Allah dengan amalan sunnah di samping melakukan yang wajib serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang makruh.

Al-Abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak menahan diri dari berlebihan dalam yang mubah.

Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Waqi’ah ayat 1-14. (Lihat Al-Furqon baina Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 51)

Kelima, Allah akan beri petunjuk pada pendengaran, penglihatan, kaki dan tangannya, serta doanya pun mustajab

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 2506)

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256.

Wallahu a’lam bish shawab.

UMMA.id

Anda mau mewakafkan Jam Masjid? Silakan kunjungi Toko Albani!


Hubungan antara Shalat dan Melihat Wajah Allah Ta’ala

Melihat wajah Allah: nikmat terbesar penduduk surga

Nikmat dan karunia terbesar bagi penduduk surga adalah ketika mereka bisa melihat wajah Allah Ta’ala. Inilah nikmat terbesar yang akan dirasakan oleh penduduk surga di akhirat kelak, melebihi nikmat surga lainnya. 

Dari sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman, “Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian?”

Mereka (penduduk surga) menjawab, “Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugerah (dapat) memandang Rabb mereka.” (HR. Muslim no. 181) 

Hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala

Terdapat hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala. Jika selama di dunia seseorang itu memperhatikan dan menjaga shalat, maka tentu dia layak untuk melihat wajah Allah Ta’ala. Sebaliknya, jika selama di dunia dia menyia-nyiakan shalat, maka tentu dia layak untuk terhalang dari melihat wajah Allah Ta’ala.

Hubungan anatar dua hal ini Allah Ta’ala jelaskan dalam Al-Qur’an dan juga dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Adapun Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25) كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32)

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nya mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya), “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat. Tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).” (QS. Al-Qiyaamah [75]: 22-32)

Pada bagian pertama, Allah Ta’ala sebutkan kondisi orang-orang mukmin yang berbahagia dan berseri-seri wajahnya. Hal ini karena “Kepada Tuhan-nya mereka melihat”, yaitu melihat dengan mata kepala secara langsung. 

Setelah itu Allah Ta’ala sebutkan kondisi orang-orang kafir yang berwajah muram. Kemudian Allah Ta’ala sebutkan perbuatan apa yang mereka lakukan selama di dunia. Dan salah satu sebabnya adalah “tidak mau mengerjakan shalat.” 

Adapun penjelasan dari as-sunnah, dari sahabat Jarir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu malam, kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda, 

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” (Yang beliau maksud adalah shalat subuh dan shalat ashar, pent.) 

Kemudian Jarir membaca ayat,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

“(Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya).” (QS. Qaaf: 39). (HR. Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633)

Dalam hadits tersebut, terdapat hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

“Dikatakan tentang kesesuaian antara perintah untuk menjaga dua shalat ini (shalat subuh dan shalat ashar) setelah menyebutkan tentang nikmat rukyah (melihat wajah Allah Ta’ala), bahwa sesungguhnya nikmat tertinggi di surga adalah melihat wajah Allah Ta’ala. Sedangkan amal yang paling mulia di dunia adalah dua shalat tersebut. Oleh karena itu, dengan menjaga dua shalat tersebut, seseorang diharapkan masuk surga dan kemudian melihat wajah Allah Ta’ala di dalam surga.” (Fathul Baari, 4: 323)

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut juga terdapat pelajaran bahwa melihat wajah Allah Ta’ala itu tidaklah dicapai dengan angan-angan semata. Allah Ta’ala berfirman,

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.” (QS. An-Nisa’ [4]: 123)

Akan tetapi, pahala melihat wajah Allah itu membutuhkan kesungguhan dan usaha yang besar untuk dapat meraihnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan petunjuk adanya sebab untuk meraihnya, yaitu dengan menjaga pelaksanaan shalat subuh dan shalat ashar. 

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan keutamaan dua shalat tersebut. Namun, kedua shalat ini justru terasa berat dikerjakan oleh mayoritas manusia. Siapa saja yang mendapat taufik dan pertolongan dari Allah Ta’ala untuk menjaga dua shalat tersebut, maka akan lebih mudah baginya menjaga shalat-shalat lainnya. Dan siapa saja yang Allah Ta’ala berikan pertolongan untuk bangun shalat subuh dan menjaga pelaksanaan shalat subuh, Allah Ta’ala akan tolong dia untuk menjaga shalat-shalat setelahnya di hari itu. 

Inilah hubungan antara shalat dan pahala terbesar di surga, yaitu melihat wajah Allah Ta’ala. 

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Info Produk Wakaf:

Bila Anda tertarik untuk mewakafkan Jam Masjid ke masjid atau musholah terdekat, Anda bisa memilih Jam Masjid itu Toko Albani atau klik di sini!

Amalmu Tidak Terhenti dengan Kematianmu

Kita diperintahkan oleh Allah swt untuk selalu berlomba dalam beramal. Semua amal itu akan tercatat dengan detail dan kelak akan kembali kepada kita.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan katakanlah, “Beramal-lah kalian, maka Allah akan melihat amalmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS.At-Taubah:105)

Namun yang ingin kita kaji hari ini adalah bahwa ternyata amal itu tidak terhenti dengan kematian. Manusia masih bisa beramal setelah kematiannya.

Lalu bagaimana cara agar kita selalu dapat transfer pahala setelah kematian kita?

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa amal manusia yang dicatat adalah amalan ketika ia hidup dan setelah ia mati.

Allah swt berfirman,

وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas.” (QS.Ya-Sin:12)

يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS.Al-Qiyamah:13)

Semua yang kita lakukan di masa hidup meliputi ibadah, sosial dan apapun bentuk kebaikannya akan tercatat rapi.

Lalu bagaimana bentuk amal yang tetap mengalir setelah kematian kita?

Ada kebaikan-kebaikan yang memiliki efek jangka panjang.

Seperti nasehatmu kepada saudaramu…

Perbuatan baikmu yang menjadi inspirasi bagi orang lain…

Buku yang kau tulis…

Sesuatu yang kau wakafkan..

Sumur yang kau gali dan terus bermanfaat bagi manusia..

Sesuatu yang kita tinggalkan bisa menjadi sumber pahala setelah kematian kita. Asal bisa terus memberi kebaikan dan manfaat bagi manusia.

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

“Siapa yang melakukan kebaikan akan memperoleh pahala kebaikan tersebut dan mendapat pahala orang yang terinspirasi oleh kebaikan tersebut hingga hari kiamat.

Dan apabila seseorang berbuat keburukan maka akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang terinspirasi dari perbuatannya hingga hari kiamat.

Ayo kita berlomba selama masih ada kesempatan sebelum ajal tiba. Perbanyak investasi amal yang akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah kematian kita.

Bangunlah fasilitas umum yang memberi manfaat bagi orang banyak. Sebarkan inspirasi-inspirasi kebaikan agar semakin banyak orang yang terdorong untuk berbuat baik.

Dan di waktu yang sama, jangan pernah kau tinggalkan contoh perbuatan yang buruk, karena sampai kapanpun keburukan yang menjadi ide bagi orang lain itu akan mengalir walau kita telah mati.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Anda ingin wakafkan Jam Masjid untuk masjid atau musholah? Klik di sini!

Sejarah Wakaf dalam Islam

Disyariatkan Setelah Nabi SAW di Madinah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek Wakaf Menjadi Lebih Luas pada Masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah

Semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Perkembangan Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada Orde Al-Dzahir Bibers Perwakafan dapat Dibagi Menjadi Tiga Katagori

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Undang Undang Pembukuan Wakaf

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

UMMA

——————————-

Tertarik untuk Wakaf Jam Masjid? Silakan kunjungi Toko Albani!

Milenial, Inilah 5 Hal Penting yang Harus Kamu Lakukan Sebelum Ajal Menjemput

Milenial, menjalani hidup di dunia tidak akan ada habisnya. Bukan hanya masalah dan kedukaan yang akan kita hadapi, tapi juga berbagai macam kebahagiaan akan kita temui. Di balik lelahnya bekerja, ada kebahagiaan mendapatkan penghasilan, mendapatkan jabatan, atau bahkan penghargaan maupun prestasi. Di balik masalah rumah tangga, selalu ada kebahagiaan dari kasih sayang orang tua, suami atau istri, bahkan juga anak-anak. Semua silih berganti, antara suka dan duka. Begitulah di semua aspek kehidupan akan kita rasakan.

Sayangnya, hidup di dunia tidaklah lama. Rata-rata manusia zaman sekarang ini hidup sampai dengan usia rata-rata 70 tahun. Setelah usia tersebut, tentu kehidupan kita di dunia selesai dan akan memasuki fase baru kehidupan selanjutnya di akhirat. Bagi umat Islam, tentu hal ini tidak bisa dipungkiri karena kelak akan datang masanya, dan mau tidak mau, kita harus siap.

Karena kehidupan dunia ini hanyalah sebentar dan sementara, ada beberapa hal yang harus kita persiapkan, mengingat waktu berakhirnya usia hidup manusia tidak ada yang tahu dan tidak harus menunggu tua untuk kembali kepada-Nya. Sebelum usiamu berakhir, berikut adalah hal-hal penting yang harus dilakukan.

1.Milenial, Yuk kerja keras mengejar tujuan

Setiap dari kita, tentunya memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Tujuan hidup seperti kompas yang mengarahkan perjalanan kita di dunia. Karena kita tidak pernah tahu kapan usia kita akan berakhir, maka kejar dan kerja keras lah dalam mencapai tujuan tersebut. Kadang penyesalan selalu datang di akhir, untuk itu lakukanlah sebaik mungkin dari sekarang sebelum menyesal saat kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun tujuan tersebut belum tercapai saat kita sudah tutup usia, setidaknya kita sudah berusaha keras untuk mencapainya.

Mulai dari, sekarang tentukan tujuan hidup kita dan pastikan bahwa tujuan tersebut adalah hal yang realistis bisa kita capai. Kerahkan seluruh energi dan segenap pikiran kita untuk bisa mencapai tujuan hidup tersebut.

Milenial, jangan terlena apa yang kita dapatkan dan nikmati hari ini. Kadang hal inilah yang membuat kita lupa kalau kita harus mempersiapkan hal yang lebih besar dimasa depan dan akhirat nanti.

2.Apa manfaat yang akan kita tinggalkan di dunia?

Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah menyampaikan bahwa manusia bertugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah yang memiliki arti sebagai pemimpin, juga memiliki arti untuk memberikan manfaat, mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia di lingkup sosial, dan tentunya tidak berbuat kerusakan.

Seandainya kita sudah tidak ada lagi di dunia, sebenarnya kita sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk memberikan manfaat lagi. Untuk itu, kita bisa melakukannya sejak saat kita masih hidup di dunia. Perbanyaklah berbuat kebaikan, tinggalkanlah banyak manfaat dari pekerjaan yang kita jalani atau, berkaryalah dengan potensi yang kita miliki. Kelak jika usia kita berakhir, manfaat dan karya kita masih tinggal di dunia. Orang-orang akan masih terus merasakan manfaat dari apa yang kita hasilkan.

Contoh saja para pahlawan di Indonesia, para penulis buku, penemu ilmu pengetahuan, pencipta teknologi, dsb. Kita tinggal memilih, apa manfaat dan karya yang ingin kita tinggalkan dari potensi yang kita miliki.

3. Jangan meninggalkan beban untuk orang terdekat

Milenial, sekiranya tidak bisa meninggalkan manfaat dan karya saat meninggalkan dunia ini, janganlah kita meninggalkan beban berat pada orang lain. Misalnya, meninggalkan hutang yang besar dan tidak ada kemampuan untuk membayarkannya. Untuk itu, hal-hal seperti ini perlu dipikirkan agar kita tidak membuat beban berat orang lain yang ditinggalkan.

4.Pastikan jaminan hidup bagi anak atau keluarga yang ditinggalkan

Dalam Surat Annisa, ayat 9, disampaikan oleh Allah bahwa, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Artinya, janganlah kita meninggalkan keluarga khususnya anak-anak dalam keadaan yang lemah dan tanpa persiapan apapun. Bagi yang sudah berkeluarga, memiliki anak atau tanggungan hidup lainnya, pastikan kita meninggal dalam keadaan meninggalkan jaminan untuk mereka. Mulai dari sekarang, kita bisa mulai menabung, atau mengikuti berbagai program untuk mempersiapkan kebutuhan untuk masa depannya.

5.Milenial, Yuk siapkan bekal akhirat

Sebaik-baik persiapan kita meninggalkan dunia adalah mempersiapkan pahala untuk bekal akhirat. Pahala amal kebajikan adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kita dari masa depan akhirat yang kelam dan penuh siksaan. Karena penilaian Allah pada manusia adalah pada amal dan ketaqwaanya, tidak ada yang lain. Itulah yang memustuskan akan berakhir kemana kehidupan manusia, di Surga atau Neraka.

Untuk itu, mulai dari sekarang, sebelum usia kita berakhir, laksanakanlah seluruh perintah Allah, laksanakanlah kehidupan kita sesuai dengan nilai dasar Islam, dan berbuatlah kebajikan sesuai dengan kemampuan maksimal kita. Beribadahlah seolah besok usia kita akan berakhir dan tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki diri.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan bekal akhirat adalah mempersiapkan pahala jariah. Walaupun kita sudah tidak ada di dunia, tapi manfaatnya masih terus berjalan, dan pahala masih akan terus mengalir kepada kita. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan dalam hadist, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak shalih yang selalu didoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

Para ulama, menjelaskan sedekah jariah sama istilahnya dengan berwakaf. Berwakaf adalah menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf adalah Solusi

Milenial, dengan wakaf ada banyak hal yang bisa dibangun atau dibentuk dan memberikan produktifitas tersendiri. Misalnya saja, wakaf untuk pendirian rumah sakit, sekolah, masjid, bahkan kebun. Selama nilai pokok wakaf tersebut tidak berubah dan aset tersebut terus digunakan untuk kemaslahatan ummat, maka pahala tersebut juga akan terus mengalir pada kita, walaupun sudah tidak ada lagi di dunia.

Misalnya saja wakaf yang pernah dilakukan oleh Abdurrahman Bin Auf di masa Rasulullah dulu. Ia memberikan kekayaannya untuk dijadikan summur yang digunakan oleh banyak sekali masyarakat dan tanah di sekitarnya juga dijadikan sebagai lahan produktif seperti kurma dan aset lainnya. Bisa kita bayangkan, bagaimana aliran kebaikan dan pahala yang terus mengalir padanya hingga sekarang, walaupun sudah berumur ribuan tahun.

Adakah kita juga terpanggil untuk melaksanakan ibadah wakaf? Dengan nominal 10.000 rupiah, kita sudah bisa mulai berwakaf dan sedikit demi sedikit mencicil bekal untuk akhirat, sebelum usia kita berakhir. Selamat bersiap diri!

ZAKATorid

————————————-

Tertarik mewakafkan Jam Masjid, silakan order di sini!


Inilah Empat Keutamaan Menunggu Waktu Shalat

Shalat tepat waktu adalah keutamaan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tanda bahwa seseorang telah menjadikan shalat sebagai kebutuhan adalah keistikamahannya dalam memburu shalat secara tepat waktu.

Keutamaannya akan berlipat apabila dilakukan di masjid dan berjamaah. Keutamaan ini akan berlipat lagi tatkala kita mempersiapkan diri sebelum melaksanakannya dengan menunggu sebelum azan berkumandang.

Mengapa menunggu shalat menjadi sebuah keutamaan? Berikut empat alasan mengapa menunggu shalat diutamakan. 

Bukti Kecintaan Hamba

Pertama, menunggu shalat adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagai analogi, seseorang yang sedang dimabuk cinta akan senantiasa merindukan perjumpaan dengan yang dicintainya. Tatkala ada janji bertemu, ia akan berusaha untuk tidak terlambat. Begitu pula saat kita merindukan Allah, kita akan selalu menunggu berjumpa dengan-Nya dan akan selalu menunggu perjumpaan itu.

Mengundang Kebaikan Lain

Kedua, menunggu waktu shalat akan membuka kesempatan bagi kita untuk melakukan banyak kebaikan lainnya, seperti membaca Alquran, i’tikaf, berdzikir, membereskan tempat shalat, dan lainnya. Satu kebaikan biasanya akan mengundang kebaikan lainnya. 

Kecilnya Peluang Bermaksiat

Ketiga, saat menunggu shalat kemungkinan bermaksiat menjadi sangat kecil. 

Menjaga Kebersihan Diri dan Hati

Keempat, saat menunggu shalat kita akan berusaha menjaga kebersihan diri dan hati. Bukankah salah satu syarat sahnya shalat adalah bersih badan dan tempat shalat dari najis? Karena itu, Rasulullah SAW menjanjikan bahwa seseorang dikategorikan sedang shalat, tatkala ia meniatkan diri menunggu datangnya waktu shalat. Bahkan, saat itu para malaikat terus melantunkan doa agar kita dirahmati Allah SWT. 


Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian (terhitung) di dalam shalat selama tertahan oleh shalat sedang para malaikat mendoakan mereka: ‘Ya Allah, ampunilah dia; ya Allah rahmati dia, selama dia tidak berdiri dari tempat shalatnya atau ber-hadats (batal wudhunya).” (HR Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA

Anda membutuhkan Jam Waktu Sholat untuk diwakafkan ke masjid atau Musholah terdekat, silakan order di sini!