Toleransi dalam Al-Qur’an (Bag 2)

Al-Qur’an memberikan cara yang begitu indah dalam bersikap kepada orang yang berbeda dengan kita. Bukan seperti maraknya intoleransi atas nama Islam, Al-Qur’an memberikan cara yang berbeda.

Dalam Surat Saba’, Allah memberikan pelajaran tentang toleransi yang begitu tinggi. Allah berfirman:

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ -٢٤-

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
(Saba’ 24)

Coba perhatikan ayat ini, Allah mengajarkan cara yang indah kepada Rasulullah dalam menghadapi orang yang berbeda. Di akhir ayat itu disebutkan bahwa kami atau kalian pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan. Tidak akan lepas dari dua hal tersebut.

Coba bayangkan, Rasulullah saw sangat yakin akan kebenaran yang ia bawa. Tak ada keraguan sedikitpun. Namun, ketika menghadapi orang yang berbeda, Rasulullah seakan memposisikan diri beliau sama dengan orang yang berbeda dengannya. Kami dan kalian, mungkin berada di pihak kebenaran atau kesesatan. Maka marilah kita duduk dan berdialog untuk sama-sama mencari kebenaran.

Ada kata-kata populer yang indah. Ia sedang berbicara tentang toleransi.

“Pendapatku benar tapi mungkin ada salahnya. Pendapat selainku salah tapi mungkin ada benarnya”

Kata-kata ini sepertinya cukup menggambarkan indahnya toleransi. Namun kualitas toleransi Al-Qur’an berada diatas itu. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk tidak mengatakan bahwa kita benar dihadapan orang yang berbeda. Al-Qur’an mengajarkan untuk menyamakan posisi ketika kita menghadapi mereka, kita sama-sama dalam posisi mungkin benar mungkin salah. Karenanya, mari kita berdialog untuk sama-sama mencari kebenaran. Walaupun, kita tetap meyakini bahwa pilihan kita adalah yang terbaik tanpa keraguan sedikitpun.

Kita lanjutkan kepada ayat setelahnya, masih dalam Surat Saba’. Allah berfirman:

قُل لَّا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ -٢٥-

Katakanlah, “Kalian tidak akan dimintai tanggung jawab atas dosa yang kami lakukan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kalian lakukan.”
(Saba’ 25)

Masih tentang toleransi Al-Qur’an yang amat tinggi. Perhatikan ayat diatas, saat Rasulullah berkata tentang dirinya, beliau memakai kata “perbuatan dosa”.

“Kalian tidak akan dimintai pertanggung jawaban atas dosa yang kami lakukan.”

Andai pilihan beliau itu menyebabkan dosa, orang yang berbeda dengan Rasul tidaklah dimintai pertanggung jawaban. Padahal Rasulullah bersih dari itu segala dosa. Namun lihatlah, saat Rasulullah  mengatakan tentang perbuatan mereka, beliau tidak menggunakan kata “berbuat dosa”.

“Kami juga tidak akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan yang kalian lakukan”

Lihatlah ! Betapa tinggi Islam menjunjung toleransi. Masih adakah mereka yang berbuat intoleran dengan mengatasnamakan Al-Qur’an? Sungguh, mereka hanya berdusta atas nama Al-Qur’an. Dan hanya Allah lah yang akan menghakimi perbedaan dan perselisihan yang terjadi.

قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ -٢٦-

Katakanlah, “Tuhan kita akan Mengumpulkan kita semua, kemudian Dia Memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia Yang Maha Pemberi keputusan, Maha Mengetahui.”

(Saba’ 26)

Begitulah Al-Qur’an mengajarkan tentang cara menghadapi orang yang beda pilihan dengan kita. Ayat-ayat diatas bercerita tentang Rasulullah yang menghadapi orang-orang yang belum menerima risalahnya. Al-Qur’an sangat menghormati mereka padahal mereka adalah non-muslim. Lalu bagaimana dengan saudara sesama muslim kita? Mereka yang non-muslim saja diberi penghormatan dan toleransi yang amat tinggi oleh Al-Qur’an, bagaimana saudara kita yang sama-sama percaya ke-Esaan Allah, percaya Nabi terakhir Muhammad Rasulullah dan percaya pada Hari Akhir. Harusnya, kita wajib beri penghormatan lebih kepada saudara satu agama kita yang berbeda hanya pada masalah-masalah kecil. Semoga dengan Al-Qur’an, kita bisa memperbaiki kualitas toleransi kita.

Lihatlah bagaimana Imam Ali begitu mengutamakan persatuan diatas segalanya. Ketika perang Shiffin berkecamuk, ada seorang sahabat Imam Ali yang bertanya, “Wahai Imam, jika saat perang ini berkecamuk, tiba-tiba pasukan Romawi menyerang muslimin di Syam, apa yang akan kita lakukan?” Imam menjawab, “Aku dan pasukan Muawiyah akan bersatu untuk melawan pasukan Romawi di Syam.”

Bayangkan, ditengah permusuhan Muawiyah kepada Imam Ali, beliau tetap memikirkan Persatuan Islam yang besar. Masalah-masalah kecil harus dikesampingkan demi kekuatan Islam untuk bisa bertahan melawan musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam. Musuh Islam bersorak sorai melihat sesama muslim saling bunuh, mereka tertawa seperti melihat pertarungan sabung ayam yang bersaudara.

Tapi kan tetap kita harus Nahi Munkar?

Memang benar, amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib. Tapi sampai mana batasannya?

Dalam kisah bani Israil, Allah pernah melarang mereka untuk memancing di hari sabtu. Dan yang melanggar akan terkena adza dari Allah. Saat itu bani Israil terbagi menjadi tiga kelompok. Ada yang melanggar, ada yang diam dan membiarkan mereka yang melanggar dan ada yang tidak melakukan sekaligus menegor mereka yang melanggar. Kelompok yang acuh itu berkata kepada mereka yang sibuk menegor:

وَإِذَ قَالَتْ أُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْماً اللّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَاباً شَدِيداً قَالُواْ مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ -١٦٤-

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan Dibinasakan atau Diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhan-mu, dan agar mereka bertakwa.”
(Al-A’raf 164)

Mereka yang mengingatkan orang-orang yang melanggar punya dua alasan kenapa mereka melakukan nahi munkar. Yang pertama adalah agar punya alasan dihadapan Allah karena mereka telah mengingatkan saudaranya yang berbuat salah. Yang kedua adalah agar saudara mereka tidak sampai melakukan maksiat.

Dari ayat itu, kita temukan bahwa batasan seseorang dalam nahi munkar adalah sebatas mengingatkan. Tidak boleh menghukum atau mengambil sikap lainnya. Jika yang diingatkan tetap tidak peduli maka dia telah melakukan kewajiban nahi munkar. Tidak ada wewenang untuk memaksa dan menghukum. Yang berhak menghukum adalah pemimpin disaat itu. Rasulullah saw melakukan potong tangan bagi pencuri dan merajam pezina saat beliau sudah menjadi pemimpin di Madinah. Lihatlah Nabi Nuh, apakah beliau tidak berhasil berdakwah saat anaknya sendiri berpaling darinya? Lihatlah Nabi Luth, apakah beliau tidak berhasil karena tak mampu menjadikan istrinya beriman? Mereka semua berhasil karena yang dinilai oleh Allah adalah proses nahi munkar dan kewajiban mereka hanya menyampaikan. Mereka walau berstatus nabi tidaklah punya mandat untuk memaksa seseorang. Nabi saja tidak boleh memaksa, layakkah kita memaksa orang lain dalam nahi munkar? Akankah ada gejala ingin mengungguli para nabi?

Orang yang suka teriak dalam menjelaskan, suka menggunakan kekerasan dalam bertindak adalah mereka yang tidak memiliki argumen. Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang berhak memaksa orang lain. Jika mereka tetap memaksa dan menggunakan pakaian islam, sebenarnya mereka bukanlah belajar dari Al-Qur’an.

Untuk mengakhiri kajian kali ini, ada 6 tips untuk mereka yang ingin berdialog dengan orang yang berbeda.

1.    Tujuan berdialog adalah untuk mencari kebenaran bukan untuk mencari siapa yang menang dan kalah.
2.    Tidak meremehkan atau menghina orang yang diajak berdialog. Mereka adalah manusia dan Allah memuliakannya karena kemanusiaannya. Apalagi lawan bicara kita adalah saudara sesama muslim, kita harus memberi penghormatan kepada mereka.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ -٧٠-

“Dan sungguh, Kami telah Memuliakan anak cucu Adam”.
(Al-Isra’ 70)

3.    Berdialog untuk kemaslahatan islam yang besar, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
4.    Memberi penghargaan dan penghormatan kepada lawan bicara tanpa berburuk sangka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ -١٢-

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
(Al-Hujurat 12)

5.    Jangan memancing emosi lawan bicara dengan kalimat kasar.
6.    Jangan pernah memaksa orang untuk menerima argumen kita.

 

KHAZANAH ALQURAN

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Toleransi dalam Al-Qur’an (Bag 1)

Islam datang sebagai agama penyempurna. Islam hadir sebagai agama yang memberikan solusi bagi semua permasalahan. Rasulullah saw pun telah menyampaikan seluruh Risalah dari Allah swt. Risalah yang begitu lengkap dengan aturan, perintah dan larangan. Bahkan, dalam urusan-urusan kecil dan sepele sekalipun. Kini muncul pertanyaan, mengapa Islam harus datang dengan segudang aturan? Apa yang menyebabkan aturan-aturan itu begitu detail diberikan untuk manusia?

Sebenarnya, Islam mengatur hidup manusia bahkan dalam urusan terkecil pun karena dunia ini penuh dengan perbedaan. Jika semua yang ada itu sama, mungkin tidak dibutuhkan aturan yang begitu banyak dan mendetail.
Islam memberikan aturan bagaimana bersikap kepada sesama muslim, bagaimana bersikap kepada orang selain islam, bagaimana berhubungan dengan selain manusia. Semua itu diatur karena mereka berbeda.

Perbedaan yang ada di dunia ini bisa dibagi menjadi dua bagian. Yang pertamaadalah perbedaan yang alami dan ciptaan. Dalam hal ini ia tak bisa memilih. Seperti tak bisa memilih bentuk wajah dan tubuh. Ia juga tak bisa memilih dari suku mana dia terlahir. Bahkan saudara satu ibu pun bisa berbeda-beda dalam bentuk, sifat dan kepribadiannya. Semua itu ciptaan tanpa ada pilihan

Perbedaan yang kedua adalah perbedaan karena pilihan. Saya berbeda dengan anda karena pilihan ideologi saya. Dia berbeda karena pilihan agamanya. Dan banyak lagi pilihan-pilihan hidup yang membuat orang saling berbeda. Intinya, perbedaan adalah hal yang lumrah dan lazim.

Lalu, sebenarnya apa tujuan Allah meciptakan dunia yang serba berbeda? Bukankah Allah mampu menjadikan semuanya sama? Bukankah Dia mampu membuat semua orang tunduk dan beriman?

Allah menjawab pertanyaan ini dalam Firman-Nya:

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ -٤٨-

“Kalau Allah Menghendaki, niscaya kamu Dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak Menguji kamu terhadap karunia yang telah Diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
(Al-Ma’idah 48)

Dunia adalah tempat ujian. Semua sisi kehidupan ini adalah ujian. Ada yang diuji dengan kekayaannya, ada yang diuji dengan jabatannya, ada pula yang diuji dengan wajah tampannya. Dan salah satu ujian bagi manusia adalah harus hidup dalam perbedaan. Memang bukan hal mudah untuk bisa menerima perbedaan di sekitar kita. Namun itulah ujian dari Allah untuk meningkatkan kualitas diri setiap manusia. Dalam ayat itu, Allah swt sama sekali tidak membahas perbedaan yang ada, namun pada akhir ayat itu Allah memfokuskan agar manusia berlomba dalam kebaikan. Tak usah sibuk dengan perbedaan yang dipilih orang, berlombalah untuk menjadi lebih baik dihadapan-Nya.

Sekarang apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi perbedaan ini?

Bukankah akhir-akhir ini sering kita dengar kelompok yang memaksakan keyakinannya pada orang lain. Kelompok yang intoleran yang mengharuskan semua orang sama dengannya. Mereka bahkan sampai membunuh mereka yang memilih pilihan yang berbeda. Mereka mengatasnamakan islam, namun apakah Islam mengajarkan pemaksaan dalam menghadapi perbedaan?

Mari kita lihat bersama bagaimana Al-Qur’an membimbing kita untuk menyikapi perbedaan.

Salah satu tujuan Allah menciptakan perbedaan adalah untuk saling mengenal. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ -١٣-

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(Al-Hujurat 13)

Allah ciptakan mereka berbangsa dan bersuku yang berbeda adalah untuk saling mengenal kelebihan masing-masing. Untuk saling belajar dan saling menghormati. Saling belajar dan hidup berdampingan.  Tapi nyatanya, kini suku-suku dan bangsa-bangsa tidaklah saling menghargai satu sama lain. Mereka saling berbangga diri dan meremahkan selain sukunya. Mereka menganggap selain rasnya adalah orang rendahan bahkan layak untuk dibunuh. Padahal dengan tegas Allah mengakhiri ayat itu bahwa yang paling mulia diantara kalian bukanlah bergantung dari suku atau bangsanya. Yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa.
Mengenal bukanlah saling mengejek. Mengenal bukanlah saling merendahkan. Perkenalan menurut al-Qur’an adalah dengan saling memuji dan menghormati. Di Surat yang sama Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ -١١-

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).”
(Al-Hujurat 11)

Jelas, bagi mereka yang hobi mengolok-olok dengan membawa bendera islam, mereka sama sekali tidak mengamalkan ajaran Al-Qur’an. Sebenarnya Allah sangat mampu untuk membuat semua menjadi sama. Namun sekali lagi Allah tidak melakukan itu karena untuk menguji manusia. Dia sangat mampu untuk membuat semua orang tunduk dan beriman. Tapi Allah tidak menginginkan itu, karena keyakinan dan perbuatan yang dipaksakan tidak akan bernilai.

Allah swt mengulang beberapa kali kalimat “Jika Allah berkehendak maka kalian akan dijadikan umat yang satu”. Allah mengulangnya berkali-kali seakan agar kita tergugah. Kalau Allah saja tidak mau melakukan pemaksaan atas keyakinan manusia, lalu siapa kita yang memaksa orang lain untuk sama dengan keyakinan kita? Apakah sudah mulai ada gejala untuk mengungguli tuhan?

Allah swt memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih jalannya masing-masing. Dia mengabarkan tentang surga yang dapat diperoleh dengan kerelaan-Nya. Dia juga menceritakan tentang pedihnya neraka karena murka-Nya. Jalan menuju surga telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Kini pilihan ditangan manusia. Surga dan neraka, pahala dan dosa tak akan berarti jika manusia melakukan sesuatu karena dipaksa. Semua akan bernilai jika mereka memilih jalannya sendiri.  Allah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ -٢٩-

Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhan-mu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”
(Al-Kahfi 29)

Kita semua mengetahui bahwa agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Dengan tegas Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ -٨٥-

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima”
(Ali Imran 85)

Namun lihatlah, walaupun demikian Allah tetap tidak memaksa hambanya untuk memilih Islam.

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ -٢٥٦-

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama”
(Al-Baqarah 256)

Jika Tuhan saja tidak memaksa, apakah mereka akan mengungguli Tuhan dengan memaksakan agama kepada orang lain?
Allah swt juga tidak pernah memberi mandat kepada siapapun untuk memaksa seseorang masuk ke dalam agama islam. Bahkan kepada orang yang paling dicintai-Nya, Rasulullah saw. Dalam Firman-Nya, Allah tidak memberi mandat kepada Rasulullah untuk memaksa seseorang masuk Islam.

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ -٩٩-

“Dan jika Tuhan-mu Menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus 99)

Apakah ada yang mampu memaksa seseorang untuk mencintai sesuatu? Cinta adalah urusan hati yang tidak bisa dipaksakan. Begitupula agama dan syareat, tidak semudah itu memaksakan hati seseorang untuk menerima Islam. Para Nabi saja tidak diberi mandat untuk memaksa seseorang mengikutinya, lalu siapa kita yang berani memaksa seseorang harus sama dengan kita?

Tugas Rasulullah saw adalah sebagai penyampai wahyu. Pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Rasul telah menyampaikan semua yang harus disampaikan kepada manusia tanpa boleh memaksa. Allah berfirman:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ -٢١- لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ -٢٢-

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”
(Al-Ghasiyah 21-22)

مَّا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ -٩٩-

“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan”
(Al-Ma’idah 99)

نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ -٤٥-

“Kami lebih Mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan engkau (Muhammad) bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka.”
(Qaf 45)

Sekarang, masih adakah alasan untuk memaksa atas nama Islam?

 

KHASANAH ALQURAN

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Rasulullah Larang Toleransi Kebablasan dalam Agama

SIKAP toleransi, ternyata sudah diajarkan dalam agama Islam. Kita harus menghargai perbedaan satu sama lain, terutama dalam hal yang berhubungan dengan keyakinan. Ya, setiap orang memiliki kepercayaannya tersendiri. Dan kita harus menghargai itu.

Tapi, banyak orang yang kebablasan dalam bertoleransi. Mereka cenderung melakukan hal yang diyakini oleh agama lain. Padahal, kita tahu bahwa ajarannya berbeda dengan kita. Dan seharusnya, kita tidak mengikuti apa yang dilakukan oleh non-Muslim, yang bertentangan dengan syariat Islam.

Ternyata, toleransi berlebihan ini, sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperjuangkan agama Islam.

Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menawarkan toleransi kebablasan kepada beliau, mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”

Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku,” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Maka, dalam bertoleransi, kita pun harus memiliki sikap yang bijak. Toleransi bukan berarti kita mengikuti keyakinan non-Muslim. Tetapi, kita cukup menghargai saja apa yang mereka lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. [muslim.or.id]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346285/rasulullah-larang-toleransi-kebablasan-dalam-agama#sthash.BZI2YhE9.dpuf

Beginilah Nabi Mengamalkan Toleransi

Hindari membuaat pernyataan yang menyakiti pihak lain, jauhi membuat status di media sosial yang menggambarkan kebencian kepada siapapun

 

SEBAGAI penduduk suatu negeri, umat Islam patut bersedih hati, kecewa, bahkan mungkin marah dengan apa yang dialami saudara seiman di Karubaga Kabupaten Tolikara Papua. Terlebih, kezaliman itu terjadi disaat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul Fitri.

Namun demikian, perasaan itu tidak boleh menjadi rambu-rambu umat Islam dalam berbuat, sekalipun luka semacam itu sering dialami kaum Muslimin di negeri ini, seperti di Ambon, Bali, dan sekarang Papua. Umat Islam harus merujuk dan mengikuti apa yang telah Rasulullah ajarkan tentang bagaimana menyikapi orang yang menzalimi beliau.

Terhadap penduduk Thaif, yang tidak saja menolak, tetapi melukai fisik beliau yang disertai dengan cacian, beliau sama sekali tidak membenci penduduk Thaif. Meskipun, pada saat yang sama tawaran dari malaikat penjaga gunung datang untuk membinasakan kaum Thaif.

Rasulullah malah mendoakan kaum Thaif. Jika tidak sekarang, Islam diterima, semoga segenap keturunan mereka kelak mendapat hidayah. Di sini Rasulullah menunjukkan sikap toleransi yang sangat luar biasa.

Sebagai pemimpin negara, Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam juga menunjukkan bagaimana bersikap toleran.

Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada pasal 16 yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Lebih memukau lagi kala umat Islam bersama Rasulullah berhasil membebaskan kota Makkah dari paganisme (Fathu Makkah), beliau menunjukkan toleransi yang sangat indah.

Penduduk Makkah yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Setiap saat mereka menghalang-halangi dakwah Islam dengan beragam cara, teror dan intimidasi.

Tetapi, apa yaang terjadi saat umat Islam menang? Rasulullah memaafkan sikap intoleran, barbarian dan teror mereka. Tidak ada kebencian apalagi balas dendam. Beliau malah bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, ‘Tiada celaan atas kalian pada hari ini’. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi).

Oleh karena itu, penting bagi umat ini kembali pada apa yang Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam teladankan. Jangan terjebak perasaan, kebencian apalaagi kemarahan.

Hindari membuaat pernyataan yang menyakiti pihak lain, jauhi membuat status di media sosial yang menggambarkan kebencian kepada siapapun. Biarlah kasus ini menjadi tanggung jawab negara, sembari kita dorong untuk bisa tertuntaskannya kasus ini secara menyeluruh.

Tunjukkan saja sifat-sifat kasih sayang, meskipun kita tidak pernah berhenti dizalimi dan diintimidasi. Ini semata memang kita berbeda dengan agama lain.

Percayalah, agama (Islam) ini adalah milik-Nya. Pada saatnya, nurani mereka yang tertidur akan terjaga dan bersegera menangkap cahaya hidayah dari-Nya. Meskipun tak berarti umat Islam harus selalu diam tanpa pembelaan. Wallahu a’lam.*

 

sumber: Hidayatullah