Menag: Toleransi Itu tidak Harus dengan Cara Meleburkan Diri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan fatwa Majelis Ulama Indonesia soal haramnya Muslim menggunakan atribut non-Islam merupakan bentuk toleransi umat beragama tanpa meleburkan diri dengan keyakinan agama lain. “Jadi semangatnya adalah toleransi itu tidak harus ditunjukkan dengan cara masing-masing pihak meleburkan diri,” kata Lukman di Jakarta, Jumat (16/12).

Lukman mengatakan fatwa tersebut agar dipatuhi umat Islam tanpa harus mengurangi rasa hormat pada lingkungan sekitar dan rasa menghargai keyakinan agama lain. “Semangat itulah menurut saya harus kita tangkap,” kata dia.

Menag mengatakan prinsip dari fatwa tersebut adalah toleransi, saling menghargai dan menghormati keyakinan serta kepercayaan agama lain. “Tidak harus masing-masing dari kita menggunakan atribut keagamaan yang bukan dari keyakinan kita,” kata dia.

Terkait Hari Natal yang jatuh pada 25 Desember, Lukman berharap umat Islam dan saudara sebangsa untuk menghargai dan menghormati perayaan itu. Karena warga Indonesia juga tidak sedikit yang memeluk agama Kristiani.

Sumber : Antara

Toleransi Bukan Berarti Mencampuradukkan Ajaran Agama

Islam telah mengajarkan secara tegas mengenai prinsip toleransi. Dalam Islam, toleransi bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama termasuk penggunakan atribut atau simbol agama lain.

Demikian ditegaskan Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Karenanya, dia melarang, umat Islam untuk berpakaian menyerupai dan menggunakan simbol-simbol ajaran agama lain. “Terkait dengan pemakaian simbol-simbol natal, pegawai Muslim sebaiknya tidak perlu menggunakannya,” ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).

Namun, pegawai Muslim di sebuah perusahaan harus tetap berkomunikasi dengan pimpinan perusahaan tersebut terkait komitmen agamanya. Ini merupakan hal penting untuk menghindari konflik. “Komunikasi dengan pimpinan kantor penting agar tidak terjadi ketegangan dan dugaan pemaksaan oleh pemeluk agama tertentu,” kata dia.

Sementara itu, MUI saat ini sedang membahas mengenai fatwa penggunaan atribut Natal. Fatwa tersebut rencananya akan selesai dalam waktu sepekan kedepan.

Sebelumnya, MUI dimasa kepemimpinan Buya Hamka telah mengeluarkan fatwa mengenai haram umat Muslim yang ikut serta dalam acara Natal. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 7 Maret 1981.

 

 

sumber: Republika Online

Di Saat ‘Toleransi’ Dipertanyakan

“Pak, teman-teman pada bertanya dan kecewa. Kok Bapak nampaknya sekarang kurang memperlihatkan toleransi?”.

Itulah penggalan pesan singkat seorang teman, teman yang saya anggap dekat, bahkan selama ini mempromosikan dan bangga dengan kerja-kerja saya dalam membangun hubungan ‘antaragama’. Intinya, beliau dan teman-teman dekatnya, kecewa berat dengan beberapa pernyataan saya, baik di media maupun di tulisan-tulisan yang pernah dimuat oleh media sosial.

Mendengar kekecewaan itu, saya kemudian bertanya pada diri sendiri. Benarkah saya tidak toleran? Benarkah toleran itu artinya sejalan dengan kepentingan orang lain? Benarkah bahwa toleransi itu tidak berhak menyuarakan apa yang dianggap benar jika berseberangan dengan pihak lain?

Saya kemudian teringatkan oleh ayat-ayat Alquran, sejarah perjalanan umat ini, hingga kepada realita abad modern. Sesungguhnya siapa yang paling toleran di antara manusia?

Kekhawatiran saya adalah terjadi dogmatisasi bahwa toleran itu adalah mendukung kepentingan kelompok tertentu. Bukan kelompok yang berseberangan, walau kebenaran berpihak kepada kelompok seberang itu.

Atau dogmatisasi yang seolah mengatakan membela kelompok sendiri, walau benar, adalah bentuk intoleran.

Ayat-ayat toleransi Alquran seolah kembali ditampilkan depan mata saya. Ayat per ayat kembali mengingatkan bahwa bersikap toleran itu bukan sekadar isu sosial, bahkan bukan sekadar isu legal dan moral. Tapi merupakan bagian dari keimanan itu sendiri.

Pertama, kalaupun umat ini diperintah mendakwahkan agama ini, tapi kewajiban itu sebatas pada kewajiban ‘tabligh’ (penyampaian). Ini karena memang hidayah ada sepenuhnya di tangan Allah. “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”.

Kedua, umat ini meyakini bahwa keyakinan itu adalah kata hati yang paling dalam. Oleh karenanya, ‘iman’ harus tumbuh secara alami dalam hati. Pemaksaan itu adalah antitesis dari iman. Maka Alquran menegaskan: “tiada paksaan dalam agama”.

Ketiga, umat ini meyakini bahwa kebebasan itu adalah “Godly guaranteed” (pemberian dan jaminan Tuhan). Oleh karenanya, kebebasan, termasuk kebebasan dalam memilih keyakinan adalah hak dasar. Di sinilah Islam menghormati pilian setiap orang: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Keempat, umat ini meyakini bahwa keragaman itu adalah ‘sunnatullah‘ (hukum Allah) yang baku. Hingga kapan pun keragaman akan selalu ada, dan dalam segala aspeknya, termasuk keyakinan. Oleh karenanya, hadirnya agama lain tidak perlu dilihat sebagai ancaman: “Kalau Allah berkehendak, niscaya Allah menjadikan kamu satu umat (kelompok manusia”.

Praktik Rasul SAW

Segera setelah pindah dan menetap di Madinah, Rasulullah SAW melakukan berbagai kebijakan, baik secara internal (umat) maupun secara umum (penduduk Madinah).

Salah satu di antaranya adalah dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin Madinah (sebagai negara baru) adalah pembentukan konstitusi negara yang dikenal dalam sejarah sebagai ‘Piagam Madinah’. Piagam Madinah sekaligus dikenal dalam sejarah sebagai konstitusi sipil pertama dalam sejarah manusia.

Terlepas dari konten konstitusi itu, barangkali yang paling menarik sekaligus diterima sebagai kenyataan yang membanggakan adalah bahwa proses pembentukannya ternyata bukan ketetapan rasul seorang. Bahkan bukan komunitas Muslim sebagai komunitas mayoritas saat itu. Tapi, melibatkan seluruh komponen masyarakat Madinah sebagai share holders, termasuk Yahudi, Kristen, bahkan Arab musyrik sekalipun.

Sehingga, tidak mengherankan bahwa salah satu pasal terpanjang dalam konstitusi itu adalah jaminan hak-hak minoritas yang tinggal di tengah-tengah mayoritas Muslim.

Sebagai jaminan pribadi sekaligus jaminan iman, Rasulullah SAW kemudian bersabda: “barangsiapa yang menyakiti kelompok non-Muslim minoritas, maka saya akan menjadi musuhnya di hari kiamat”.

Tentu kekaguman kita tidak saja pada proses dan konten dari Piagam Madinah itu. Tapi, juga pada konteks waktu dan tempat di mana Piagam itu dibentuk. Awal abad ketujuh dan padang pasir Arabia. Mungkinkah sebuah konstitusi yang highly civilized dibuat?

Benar kata sebagian ahli tafsir bahwa Muhammad (SAW) membawa pemikiran dan perubahan yang jauh melampaui zamannya. Di mana diakui pula bahwa penerus-penerus beliau memang belum siap untuk meneruskan peradaban itu.

Sejarah umat

Sepeninggal rasul alam semesta, Muhammad SAW, para sahabat lalu thobiin dan penerus mereka mengambil amanah kepemimpinan itu. Toleransi rasul bahkan ketika kembali masuk Makkah dengan kekuatan tentaranya tetap dilanjutkan.

Kita kenal bahwa di saat rasul masuk kembali ke tanah kelahirannya setelah terusir selama kurang dari 13 tahun, Beliau memberikan public amnesty  kepada kaum yang pernah mengusirnya. Tidak satu kata pun yang terlontar dari mulut beliau memerintahkan penduduk Makkah untuk menerima Islam sebagai agama mereka.

Dari zaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali (radhiyallahu anhum), bahkan penerus mereka dari kalangan thabi’in dan murid-murid mereka (thabi’i at-thaabi’in), senantiasa menjaga toleransi ini sebagai amanah “iman”.

Dan sejujurnya, inilah pula fakta-fakta besar yang hingga kini masih kita dapatkan di dunia modern. Bandingkan sebagai misal saja, di negara-negara yang dulu dikuasai oleh Kristen, lalu kini dikuasai oleh dunia Islam. Insya Allah karena amanah iman itulah Anda niscaya masih menemukan gereja-gereja yang tetap utuh terjaga. Anda bisa dapati itu misalnya di negara-negar yand saat dikenal dengan nama Syaam (Suriah, Jordan, Palestina dan Lebanon).

Sebaliknya, jika Anda melakukan kunjungan ke negara-negara yang dulu dikuasai oleh Islam, lalu saat ini dikuasai oleh Kristen, masihkah ada masjid-masjid megah yang pernah dibangun di masa keemasan Islam itu? Anda akan temukan kalau tidak dijadikan gereja sudah pasti menjadi museum atau bahkan tempat-tempat kemaksiatan seperti night club.

Intinya adalah bagi saya toleransi itu adalah amanah iman dan sejarah. Oleh karenanya, komitmen saya kepada tolerasi tidak bisa dipertanyakan. Mempertanyakan toleransi saya kepada agama lain sama dengan mempertanyakan iman itu sendiri.

Kejujuran dalam toleransi

Saya kembali berpikir tentang toleransi itu sendiri. Kok rasanya ada yang salah dalam menempatkan toleransi. Atau mungkin ada pemaksaan defenisi tentang toleransi itu sendiri. Atau ada dogmatisasi tentang makna toleransi.

Seolah jika saya membela apa yang saya anggap benar, dan kebetulan kebenaran itu barada di pihak umat Islam, itu bukan toleransi. Tapi intoleransi yang seolah mengoyak hak orang lain.

Saya sangat yakin bahwa semua nilai yang kita bangun dan junjung itu harus terbangun di atas nilai-nilai ‘kebenaran dan keadilan’ (shidqan wa adlan). Toleransi yang dibangun di atas ketidakjujuran, tapi kepalsuan lewat pemaksaan persepsi dengan kekuatan media dan sebagainya, pada akhirnya melahirkan kepura-puraan.

Akibat dari toleransi kepura-puraan ini adalah mudahnya hilang nilai-nilai tolerasi pada sikap manusianya di saat teruji. Pada tingkatan tertentu sebagian masyarakat Amerika saat ini sedang teruji. Bahwa, selama ini, Amerika tidak saja menjamin kebebasan beragama. Tapi juga mempromosikannya ke berbagai penjuru dunia.

Yang parah pula adalah ketika toleransi dipahami secara tidak adil. Toleransi kita hormati di saat berpihak pada kita. Ketika toleransi itu memang harus berpihak kepada orang lain, maka dengan mudah dialihkan menjadi intoteransi. Di sini pun terjadi ‘kemunafikan’ besar dalam toleransi.

Maka toleransi, sebagaimana konsep-konsep lainnya, mutlak bebas batas. Artinya, tidak dimaksudkan hanya untuk sebagian. Tapi untuk keseluruhan.

Ketika orang lain berdemo atas ketidaksetujuan mereka atas sesuatu, itu adalah ekspresi kebebasan dalam ruang lingkup demokrasi. Tapi, di saat umat Islam melakukan demo karena menuntut hak, mereka melakukan intoleransi. Bahkan, dianggap berbahaya dan makar.

Yang lebih runyam, dengan kehebatan propaganda yang didukung oleh media dan corporates, mereka mampu membalik konsep-konsep itu. Toleransi menjadi intoleransi. Dan intoleransi boleh berbalik menjadi “kebebasan ekspresi”.

Itu dunia yang penuh sandiwara dan kemunafikan!

 

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America

================

sumber:Republika oline

Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya

Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan

Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]

Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.

Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:

1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim

Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.

Lalu ada salah seorang yang berkata,

آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.

‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]

2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim

Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

3. Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.

Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”[3]

4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim

Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkanYerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian.

Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.

Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”

Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:

يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه

Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”[4]

Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Demikian semoga bermanfaat.

@Perpus FK UGM

 

Catatan kaki

[1] Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H
[2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

Beginilah Nabi Mengamalkan Toleransi

Hindari membuaat pernyataan yang menyakiti pihak lain, jauhi membuat status di media sosial yang menggambarkan kebencian kepada siapapun

 

SEBAGAI penduduk suatu negeri, umat Islam patut bersedih hati, kecewa, bahkan mungkin marah dengan apa yang dialami saudara seiman di Karubaga Kabupaten Tolikara Papua. Terlebih, kezaliman itu terjadi disaat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul Fitri.

Namun demikian, perasaan itu tidak boleh menjadi rambu-rambu umat Islam dalam berbuat, sekalipun luka semacam itu sering dialami kaum Muslimin di negeri ini, seperti di Ambon, Bali, dan sekarang Papua. Umat Islam harus merujuk dan mengikuti apa yang telah Rasulullah ajarkan tentang bagaimana menyikapi orang yang menzalimi beliau.

Terhadap penduduk Thaif, yang tidak saja menolak, tetapi melukai fisik beliau yang disertai dengan cacian, beliau sama sekali tidak membenci penduduk Thaif. Meskipun, pada saat yang sama tawaran dari malaikat penjaga gunung datang untuk membinasakan kaum Thaif.

Rasulullah malah mendoakan kaum Thaif. Jika tidak sekarang, Islam diterima, semoga segenap keturunan mereka kelak mendapat hidayah. Di sini Rasulullah menunjukkan sikap toleransi yang sangat luar biasa.

Sebagai pemimpin negara, Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam juga menunjukkan bagaimana bersikap toleran.

Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada pasal 16 yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Lebih memukau lagi kala umat Islam bersama Rasulullah berhasil membebaskan kota Makkah dari paganisme (Fathu Makkah), beliau menunjukkan toleransi yang sangat indah.

Penduduk Makkah yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Setiap saat mereka menghalang-halangi dakwah Islam dengan beragam cara, teror dan intimidasi.

Tetapi, apa yaang terjadi saat umat Islam menang? Rasulullah memaafkan sikap intoleran, barbarian dan teror mereka. Tidak ada kebencian apalagi balas dendam. Beliau malah bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, ‘Tiada celaan atas kalian pada hari ini’. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi).

Oleh karena itu, penting bagi umat ini kembali pada apa yang Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam teladankan. Jangan terjebak perasaan, kebencian apalaagi kemarahan.

Hindari membuaat pernyataan yang menyakiti pihak lain, jauhi membuat status di media sosial yang menggambarkan kebencian kepada siapapun. Biarlah kasus ini menjadi tanggung jawab negara, sembari kita dorong untuk bisa tertuntaskannya kasus ini secara menyeluruh.

Tunjukkan saja sifat-sifat kasih sayang, meskipun kita tidak pernah berhenti dizalimi dan diintimidasi. Ini semata memang kita berbeda dengan agama lain.

Percayalah, agama (Islam) ini adalah milik-Nya. Pada saatnya, nurani mereka yang tertidur akan terjaga dan bersegera menangkap cahaya hidayah dari-Nya. Meskipun tak berarti umat Islam harus selalu diam tanpa pembelaan. Wallahu a’lam.*

 

sumber: Hidayatullah