MUI Sumbar: Tradisi Balimau Jelang Puasa Banyak Mudaratnya

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar) meminta masyarakat tidak melaksanakan tradisi balimau atau tradisi mandi menjelang menunaikan ibadah puasa. Alasannya, makin ke sini tradisi ini justru cenderung lekat dengan maksiat dan jauh dari manfaat.

Sebetulnya, tradisi ini memiliki tujuan sebagai ajang bersih-bersih diri agar ibadah puasa bisa lebih optimal. Dahulu, masyarakat Minangkabau melakukan balimau bersama keluarga dengan cara mandi di tepian sungai. Mandi dilakukan dengan air yang dicampur jeruk nipis dan dilaksanakan sore hari atau selepas shalat Ashar.

Namun, makna dari tradisi ini dianggap mulai bergeser saat ini. Bila dulu kegiatan mandi di sungai dilakukan bersama keluarga mahram, saat ini tradisi balimau dilakukan muda mudi yang yang belum ada ikatan keluarga. Belum lagi, muda mudi ini mencari lokasi balimau yang jauh dari rumahnya. Misalnya, dengan pergi ke sebuah pemandian umum atau datang ke danau dan mata air.

Tradisi balimau saat ini juga dimeriahkan dengan organ tunggal dan acara lain. MUI Sumbar mengingatkan masyarakat agar tidak lagi menjalankan tradisi balimau yang justru makin jauh dari nilai-nilai kearifan lokal. Apalagi sejak awal balimau selalu dikaitkan dengan Ramadhan.

Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar menjelaskan bahwa Islam tidak melarang seorang umat mandi atau bersih-bersih badan. Namun, jika tradisi balimau sudah dijadikan ritual yang membuat seseorang beranggapan bahwa puasa tak akan sempurna tanpa mengawalinya dengan balimau, hal ini yang perlu diluruskan.

“Tidak ada petunjuk syariat Islam tentang mandi balimau sebelum masuk Ramadhan. Semua orang belajar fikih. Apakah ada mandi sunat sebelum Ramadhan, tidak ada kan? Ini harus kita luruskan,” kata Gusrizal, Rabu (16/5).

Sebagian ulama, jelas Gusrizal, juga melihat bahwa balimau justru memiliki lebih banyak mudarat daripada maslahatnya. Sebab, dalam tradisi ini, laki-laki dan perempuan mandi di sungai dengan batasan aurat yang tidak jelas serta batas mahram yang tak jelas pula.

“Apakah itu yang diridhai Allah? Tidak kanBalimau juga dijadikan ajang pacaran muda mudi. Masa pergi balimau ke Puncak Lawang, mana ada air di sana. Jadi, ini jelas membuka peluang kemaksiatan. Tapi, masih dianggap hal biasa dan permisif saja,” katanya.

Bagi Gusrizal, menyambut bulan puasa lebih baik dilakukan dengan aktivitas yang jauh dari maksiat dan lebih banyak manfaat. “Makanya, MUI mengimbau untuk menghentikan kebiasaan itu. Sebab, mudaratnya lebih besar ketimbang manfaatnya,” kata Gusrizal.

 

REPUBLIKA