Kegigihan Tukang Becak Menabung 20 Tahun untuk Naik Haji

Ibadah haji merupakan panggilan Tuhan. Setidaknya itulah yang tergambar dari keadaan pasangan suami istri (pasutri) asal Dusun Kasuruan, Desa Rejoso Utara, Kabupaten Pasuruan, Asmari (60) dan Misani (51).

Pasutri ini akhirnya akan berangkat haji setelah menunggu selama 20 tahun. Bukan pedagang, pegawai atau karyawan, Asmari merupakan seorang tukang becak. Meski demikian, ia bisa menyisihkan penghasilannya sehingga bisa melunasi biaya naik haji.

“Kami nabung selama 20 tahun, Alhamdulillah tahun ini berangkat,” kata Asmari saat ditemui di rumahnya, Rabu (24/8/2016).

Kehidupan Asmari sangat sederhana. Penghasilan sebagai tukang becak yang tak seberapa menuntutnya untuk berhemat. Meski demikian keluarga ini tampak sangat bahagia.

Setiap hari, Asmari menarik becak dengan perhasilan rata-rata Rp 70 ribu. Karena tekadnya yang kuat ingin berhaji, ia pun sangat rajin menabung. Ia menyisihkan penghasilan setiap hari.

“Setiap hari nabung agar bisa haji,” ujar Asmari.

Bukan hanya mampu berhaji, karena kerja kerasnya Asmari juga mampu menyekolahkan 4 anaknya sampai jenjang sekolah menengah atas. Asmari dan Misani tergabung dalam kelompok terbang (Kloter) 61 Kabupaten Pasuruan dan akan berangkat 2 September nanti.

“Saya minta doanya,” tutup Asmari.

Salah seorang tetangga menuturkan, keluarga Asmari selama ini dikenal keluarga yang saleh. Meski bekerja sebagai tukang becak, keluarga ini tak pernah terlibat masalah.

“Keluarganya seperti tentram, gak pernah ada apa-apa,” ujar Anisatur Rohma, salah seorang tetangga.

 

DETIK

Maksum, Tukang Becak yang Akhirnya Naik Haji

Penantian Maksum bin Wahab (79 tahun), untuk dapat beribadah ke Tanah Suci sebentar lagi tercapai. Dari hasil menabung selama puluhan tahun, Maksum yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak akhirnya akan berangkat haji pada Sabtu (29/7).

Maksum tercatat sebagai calon jemaah haji kloter 6 yang diberangkatkan dari Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Sabtu. Ia akan masuk asrama haji bersama jamaah satu kloternya pada Jumat (28/7). Ia bergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Muhammadiyah Surabaya.

Pria asal Desa Bates, Kecamatan Blegan, Kabupaten Bangkalan, Madura, tersebut mengaku menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil bekerja mengayuh becak. Sehari-hari, ia mangkal di depan pusat perbelanjaan ITC Surabaya yang juga dekat dengan tempat tinggalnya.

Rumah Maksum di Jalan Kapasan Samping III Kecamatan Simokerto hanya berjarak beberapa puluh meter dari pusat perbelanjaan tersebut. “Cita-cita naik haji mulai saya masih muda. Daftar haji tahun 2010 diantar menantu saya, nunggu tujuh tahun baru bisa berangkat,” kata pria kelahiran 1938 tersebut saat ditemui di kediamannya, Kamis (27/7).

Maksum bercerita, ia berasal dari keluarga tidak mampu di Madura. Ayahnya hanya kuli panggul, sedangkan ibunya meninggal sejak ia kecil. Setelah menikah, ia diajak pamannya untuk merantau ke Surabaya menjadi kuli panggul mengikuti ayahnya.

Ia kemudian beralih profesi menjadi pengayuh becak. Nahas, pada 1996, istrinya meninggal dunia. Bapak 13 anak, tujuh di antaranya meninggal, tersebut justru semakin giat bekerja agar bisa menyempurnakan rukum Islam beribadah ke Tanah Suci.

Ilmu yang diperoleh dari mengaji semakin menggiatkan niatnya untuk berangkat haji. “Kalau ngaji rukun iman itu kan salah satunya percaya sama takdir Allah. Saya percaya takdir dari Allah untuk naik haji,” kata kakek puluhan cucu tersebut.

Demi mencapai cita-citanya, Maksum menyisihkan rupiah demi rupiah setiap harinya. Dari mengayuh becak, Maksum mendapat penghasilan rata-rata Rp 50 ribu per hari dan paling sedikit Rp 20 ribu sehari.

Pada 2010, ia meminta Rusdi, menantunya, untuk mendaftar tabungan haji di salah satu bank milik pemerintah. Saat itu, ia membawa KTP, KK dan uang Rp 20 juta sebagai syarat untuk mendapat kursi. Setiap bulan ia menyetor sekitar Rp 500 ribu – Rp 1 juta ke bank hingga lunas pada tahun ini.

“Sambil nunggu berangkat haji saya berusaha terus bekerja dan berdoa. Kalau sudah sampai Makkah saya mau berdoa agar menjadi haji yang mabrur,” katanya.

Sebelum berangkat haji, selain mengikuti manasik, Maksum menjalani persiapan pribadi berupa olahraga ringan. Setiap hari ia berjalan kaki keliling kampung agar tetap bugar. “Habis naik haji nanti saya tetap bekerja menjadi tukang becak,” ujarnya.

Tahun ini, total calon jamaah haji yang berangkat dari Embarkasi Surabaya tercatat sebanyak 36.644 calhaj. Mereka terbagi menjadi 83 kloter yang akan diberangkatkan dari Bandara Juanda mulai 28 Juli sampai 11 Agustus 2017.

 

IHRAM

Tukang Becak Naik Haji, Setiap Hari Nabung Rp 5 Ribu di Bawah Bantal

Karto memang hanyalah tukang becak. Dia membawa pulang rata-rata Rp 30 ribu per hari. Yang luar biasa, dia mampu melaksanakan ibadah haji dengan jerih payah sendiri.

 

FAJAR mulai tampak di ufuk timur. Bagi Karto, itulah saatnya membersihkan becak bututnya yang kini dimodifikasi menjadi becak motor agar tetap terlihat cling.

Ya, Karto adalah salah seorang warga Kota Santri yang berprofesi tukang becak. Setelah salat Subuh, dia mengayuh pedal becaknya dari Kecamatan Kabuh hingga 20 km ke utara Kota Jombang setiap hari.

Meski hanya mengandalkan becak kesayangannya, Karto ternyata menjadi salah seorang calon jamaah haji (CJH) dari Jombang yang melunasi BPIH tahap II. Dia bakal berangkat ke Makkah pada Agustus ini.

Perlu perjuangan ekstrakeras bagi Karto untuk mengumpulkan uang puluhan juta rupiah. ”Awalnya, sangat sulit mengumpulkan uang sambil membaginya untuk kebutuhan belanja keluarga. Bahkan, saya pernah tidak memberikan uang belanja kepada istri,’’ kenangnya.

Lelaki 67 tahun itu melanjutkan, meski awalnya hanya mampu nyelengi Rp 5 ribu per hari, dia diizinkan berangkat tahun ini karena rida Allah. ”Bahkan, saya pernah menyisihkan Rp 1.500 sehari. Karena Sang Pangeran mengizinkan, ya inilah karunia-Nya,’’ tuturnya.

Lembar demi lembar rupiah yang disisihkan Karto tersebut menyimpan cerita khusus. ”Saya kumpulkan di bawah kasur, kadang juga di bawah bantal. Kalau sudah terkumpul banyak, saya tabung (di bank, Red),’’ ujarnya.

Bertempat tinggal di rumah kayu berukuran 5 x 2 meter di Dusun Klubuk, Desa Sukodadi, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, bersama istri dan dua cucunya, Karto menuturkan bahwa kehidupannya dipenuhi perjuangan pahit. ”Sebelum saya jadi tukang becak, di sini (Dusun Klubuk, Red) merupakan tempat lokalisasi. Saya dan istri bekerja sebagai tukang parkir. Dulu sering kena razia,’’ ungkapnya.

Namun, seiring bertambahnya usia, tenaga Karto tak cukup kuat untuk mengayuh becak. Jadi, dia memodifikasi becak dengan menambah beberapa rangkaian mesin hingga menjadi becak motor. ”Setelah itu, saya agak terbantu. Menggunakan becak motor lebih mudah dan saya cukup kuat untuk bekerja,’’ ucapnya.

JAWA POS

Nabung 18 Tahun, Tukang Becak asal Harjamukti Naik Haji

DADA Suhada memang hanya tukang becak. Dia membawa pulang rupiah yang tak tentu setiap hari. Yang luar biasa, dia mampu melaksanakan ibadah haji dengan jerih payah sendiri.

Kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, tak lantas menyurutkan niat seseorang untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Hal itulah yang tercermin dalam diri Dada Suhada. Penarik becak asal RT 2 RW 9 Katiasa, Harjamukti, Kota Cirebon. Di usianya yang sudah senja, Dada kini bisa tersenyum lebar.

Jika tak ada aral melintang, awal bulan September nanti akan menyempurnakan imannya untuk pergi ke Tanah Suci. Sejak puluhan tahun lalu, Dada sudah membulatkan tekatnya untuk bisa menunaikan rukum islam terakhir itu. Kendati memiliki penghasilan yang pas-pasan sebagai penarik becak, namun hal itu tak menyurutkan keinginannya untuk naik haji.

“Dari dulu memang ingin pergi haji. Namun baru bisa berangkat sekarang. Karena uangnya baru cukup,” imbuh pria satu orang anak itu. Perjalanannya menuju Baitullah ternyata tidak semudah calon jemaah haji lainnya. Pria berusia 59 tahun itu harus menabung selama puluhan tahun untuk bisa melihat megahnya kakbah.

Perlu perjuangan ekstrakeras bagi Dada untuk mengumpulkan uang puluhan juta rupiah. Awalnya, Dada mengaku sulit mengumpulkan uang sambil membaginya untuk kebutuhan belanja keluarga. “Nabungnya dari tahun 1998. Setiap hari saya sisihkan, kadang 5 ribu, kadang 10 ribu, kalau udah banyak setiap bulan saya tabungin di bank,” paparnya.

Ketekunan, kerja keras dan kegigihan Dada terjawab. Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) yang dibuatnya sejak 1998 akhirnya terkumpul dan mencukupi biaya Dada ke tanah suci. Ada cerita lain dari seorang Dada. Selain menjadi penarik beca, Dada adalah anggota Komunitas Peduli Masjid yang dikoordinatori oleh H Daben Sudiyana SE.

Bersama rekannya Adam dan Madila, Dada keliling dari satu masjid ke masjid lainnya untuk bersih-bersih. Dengan seijin pengurus masjid yang didatangi, Dada dan rekan Komunitas Peduli Masjid membersihkan karpet, ruangan, halaman masjid, mengganti kran yang rusak, memasang cermin, hingga menempelkan stiker yang berisikan doa-doa masuk atau keluar masjid, doa sebelum dan sesudah wudhu serta lainnya.

Kabar Dada yang akan berangkat ke tanah suci pun mendapat tanggapan yang positif dari tetangga sekitar kediaman pria kelahiran Cirebon, 15 Juni 1957 itu. “Tetangga pada kaget, karena memang saya gak bilang-bilang kalau dari dulu nabung. Alhamdulillah, saya juga gak menyangka, kok bisa. Kuncinya kesungguhan niat dan selalu berdoa kepada Allah SWT, lalu kita berusaha,” ungkap suami dari Imas Rostiyati itu.

Sementara itu, Koordinator Komunitas Peduli Masjid, H Daben Sudiyana SE selaku rekan sejawat menilai Dada adalah sosok pekerja keras, rajin, jujur, ulet, dan taat beragama.

“Saya lihat Mang Dada rajin ibadah, salat sunnah dan puasa sunnah juga gak pernah tertinggal. Man jadda wajada ya, dengan kesungguhan, niat tulus, dan usaha itu Allah memudahkan jalan Mang Dada untuk berangkat haji,” pungkasnya.(mike dwi setiawati)

 

sumber: RadarCirebon