Mustafa Kemal Ataturk: Pemeran Utama Sekularisasi di Kesultanan Utsmani

PADA malam hari di Ankara, Turki 29 Oktober 1923 Musthafa Kemal Ataturk mengumpulkan para anggota Majelis Nasional Turki. Setelah pada siang harinya Mustafa Kemal mendeklarasikan kelahiran Republik Turki dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin pertama negara baru itu.

“Tuan-tuan! Kita akan mendeklarasikan republik besok,” ujar Mustafa Kemal kepada anggota Parlemen dalam acara makan malam 29 Oktober 1923. Besoknya dalam sidang Majelis Nasional Turki, anggota sidang secara resmi republik Turki yang sekuler disahkan dan Mustafa Kemal  dinasbihkan sebagai Presiden pertama.

Hari itu Kesultanan Utsmani yang telah berusia 623 tahun resmi runtuh. Salah satu negara super-power yang berdiri dalam kurun 1299-1923 dan memiliki wiliyah yang terbentang dari Eropa Tenggara, Kaukasus sampai Afrika Utara dan semenanjung Afrika Timur ini dihapus.

Republik Turki sebenarnya telah berdiri secara de facto tiga tahun sebelumnya. Tepatnya sejak berdirinya Majelis Nasional Turki pada 23 April 1920.

Majelis nasional ini berdiri di Ankara ketika Istanbul ibukota Kesultanan Ustmani diduki oleh pasukan Sekutu.

Istanbul diduduki oleh Inggris, Prancis, Italia dan Yunani pada 13 November 1918. Pendudukan ini akibat kekalahan Kesultanan Utsmani dalam partisipasinya di perang dunia pertama.

Inggri secara resmi membekukan pemerintahan Utsmani di Istanbul dan memaksa Kesultanan Ustmani menandatangani Perjanjian Sevres pada 10 Agustus 1920. Di saat bersamaan pihak sekutu setuju untuk mengakui pemerintahan dari Majelis Nasional Turki dengan ketuanya Mustafa Kemal yang berpusat di Ankara.

Dalam proses peralihan yang dramatis dari model kesultanan ke republik ini, salah satu pameran utama adalah Mustafa Kemal. Ia berhasil mengkonsolidasikan kekuatan untuk memisahkan peran agama dalam pemerintahan dengan membangun identitas Turki baru yang sekuler.

Ia juga berhasil menuliskan namanya dalam lembaran sejarah Turki modern dan menasbihkan untuk dihormati sebagai bapak bangsa. Nama “Ataturk” secara harfiah berarti “bapak orang Turki”.

Mustafa Kemal lahir di Thessaloniki, Yunani –daerah yang saat ia dilahirkan masih di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmani. Nama aslinya Ali Reza Oglu Mustafa (Mustafa putra Ali Reza), ia juga dikenal sebagai Mustafa Kemal Pasha. Kehidupan awal Mustaga Kemal dipengaruhi oleh memudarnya kekuatan Utsmani di Eropa.

Ia juga banyak dipengaruhi oleh gerakan intelektual yang berpandangan wordview Barat.

Ada banyak perdebatan tentang etnis asal Mustafa Kemal. Ayahnya dianggap oleh beberapa orang berasal dari Albania, meskipun yang lain menyatakan bahwa dia adalah orang Turki.

Latar belakang ibunya juga menjadi bahan perdebatan sengit apakah dia orang Turki atau bukan.  Namun beberapa orang menyatakan bahwa asal Mustafa Kemal adalah dari Yahudi atau Bulgaria.

Rentetan upaya sekularisasi oleh Barat di Kesultanan Utsmani sebenarnya sudah berjalan panjang. Dimulai sejak abad ke 18 dari Sultan Salim III, kemudian berlanjut dari generasi ke generasi.

Upaya infiltrasi ini sempat mendapatkan perlawan yang kuat di masa Sultan Abdul Hamid II.  Dari proses itu Mustafa Kemal hadir dalam plot akhir sebagai pameran utama untuk menyempurnakan proses ini.

Mustafa Kemal berambisi memodernisasi Turki sesuai pandangan kelompok mereka. Modernisasi dalam pandangan mereka adalah pem-Baratan secara total dengan memutuskan antara Turki dan agamanya.

Adapun cara pertama yang dilakukan Mustafa Kemal adalah penghapusan Khalifah secara resmi. Pada tanggal 3 Maret 1924 Majelis Nasional Turki menyetujui tiga buah undang-undang yang telah dipersiapkan.

Pertama, menghapus Kekhalifahan, menurunkan Khalifah dan mengasingkannya beserta keluarga. Kedua, menghapus Kementrian Syariah dan Wakaf. Ketiga, menggabungkan sistem pendidikan di bawah Kementrian Pendidikan.

Bagi Mustafa Kemal dan kaum sekuler, agama dan ulama adalah penghalang kemajuan suatu negara. Sehingga Islam, simbol  dan tokoh-tokohnya harus dipisahkan dari masalah-masalah politik, sosial dan kebudayaan.

Sejarawan Ali Muhammad Ali Shalabi menyebut dalam al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, bahwa sebenarnya  pemikiran kaum sekuler Turki tentang agama penghalang kemajuan merupakan suatu pemikiran yang tidak mendasar. Bahkan berimplikasi pada perpecahan dalam kekuatan Turki sendiri serta mereka harus berkerjasama dengan Barat sehingga terjadi kemunduran.

Adapun bentuk kerjasama dapat dilihat dari isi perjanjian antara Mustafa Kemal dengan Negara-negara Barat. Rancangan perjanjian itu dikenal sebagai syarat-syarat Carson, diambil dari nama ketua delegasi Inggris. Isi perjanjian tersebut antara lain;

Pertama, pemutusan semua hal yang berhubungan dengan Islam dari Turki. Kedua, penghapusan kekhalifahan Islam untuk selama-lamanya. Ketiga, mengeluarkan Khalifah, para pendukung Khalifah, dan Islam dari Turki serta mengambil harta Khalifah. Keempat, menjadikan undang-undang sipil sebagai pengganti dari undang-undang Turki yang lama.

Ali Hasun menjelaskan Mustafa Kemal menetapkan kebijakan sekularisasi secara total. Dalam ‘Awāmil Inhiyar al-Daulat al-‘Utsmāniyyah, Ali Hasun menyebut kebijakan tersebut, antara lain;

Pertama, menghapus Kesultanan Utsmani dan mendirikan negara yang mengadopsi hukum-hukum Barat.

Kedua, menutup seluruh lembaga-lembaga keagamaan serta melarang menulis dengan bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki.

Ketiga, menghapus hukum-hukum syar’i dan menggantinya dengan undang-undang sekular.

Keempat, mengganti kelender Hijrah dengan Masehi.

Kelima, menghapus Kementrian Urusan Agama dan Waqaf.

Kelima, melarang memakai pakain-pakai Islami, seperti Hijab, Ṭarbūsy. Keenam, memerintahkan kepada para Khatib untuk memuji pemerintah sekular ketika khutbah Jum’at.

Ketujuh, membatasi masjid-masjid yang boleh digunakan untuk melaksanakan sholat, dan mengosongkan Masjid Aya Shofiyah dan Masjid Al-Fatih, kemudian dijadikannya sebagai meseum.

Kedelapan, menghapus rasa persaudaraan sesama agama dengan fanatik nasionalisme dengan jargon liberlal (al-Hurriyah wa al-Musāwah).

Namun karena adanya kehadiran mayoritas Muslim di Turki dan praktik berislam yang kental, sangat bertentangan dengan gagasan Mustafa Kemal tentang negara sekuler. Saat itu, identitas Muslim Sunni menjadi bagian penting dalam menjadi orang Turki.

Sehingga pendekatan pemerintahan Mustafa Kemal adalah kepemimpinan otoriter. Ia mewariskan Republik Turki yang kental dipengaruhi oleh militer.

Bahkan dalam Undang Undang Dasar Turki, militer diberi peran sebagai penjaga sekularisme. Maka tak heran jika dalam sejarah Turki modern, sudah ada 5 kali kudeta militer.*/Rofi Munawwar

HIDAYATULLAH

Adzan Pertama Sejak 86 Tahun Berkumandang dari 4 Menara Masjid Hagia Sophia

Shalat Jum’at perdana setelah 86 tahun ini mendapat respon antusias yang luar biasa baik oleh warga Turki maupun Muslim dunia.

Adzan pertama sejak 86 tahun akhirnya berkumandang dari 4 menara Masjid Hagia Sophia Turki pada Jum’at, 24 Juli 2020. Shalat Jum’at perdana sejak pengembalian status Masjid Hagia Sophia di awal bulan Juli ini dihadiri oleh ribuan orang.

1.500 kapasitas Masjid Hagia Sophia penuh oleh jama’ah, sedang ribuan lainnya yang tak mendapat kesempatan masuk, memenuhi jalanan, jalan raya hingga setapak, di sekitaran masjid. Hingga 1,6 KM jauhnya dari Masjid Hagia Sophi dipenuhi oleh Muslim yang menghadiri Shalat Jum’at tersebut.

Pengeras suara berukuran besar telah dipasang di atas bangunan Masjid Hagia Sophia agar jama’ah yang berada di luar bisa turut menunaikan shalat Jum’at dengan baik.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga menghadiri shalat Jum’at tersebut. Dalam tangkapan siaran langsung dari Anadolu Agency, Erdogan tampak khusyuk di barisan depan ruangan masjid. Ia memilih untuk tidak menempati spot khusus untuk Sultan yang masih terjaga di dalam Masjid Hagia Sophia. Erdogan juga membacakan ayat suci Al-Qur’an beberapa saat sebelum adzan berkumandang.

Sebelumnya, Huriyet Daily News melaporkan, erdogan mengundang beberapa pemimpin luar negri seperti Presiden Azerbaijan dan Emir Qatar untuk turut menghadiri shalat Jum’at di masjid bersejarah tersebut. Belum ada konfirmasi apakah para pemimpin tersebut memenuhi undangan.

Shalat Jum’at perdana setelah 86 tahun ini mendapat respon antusias yang luar biasa baik oleh warga Turki maupun Muslim dunia.

Hagia Sophia, sebuah harta karun arsitektur dunia yang tak tertandingi, menjalani pekerjaan restorasi selama era Ustmaniyyah, termasuk penambahan menara untuk panggilan adzan oleh arsitek terkenal Mimar Sinan.  Di bawah Kemal Attaturk yang sekuler,  masjid itu diubah menjadi museum pada tahun 1935.

Dalam beberapa tahun terakhir para pemimpin Turki telah menyerukan penggunaannya sebagai masjid lagi dan mengizinkan pembacaan Al-Quran di sana pada acara-acara khusus.

Berbagai ulama dunia seperti Mufti Oman Syeikh Ahmed bin Hamed, ketua Harakah Islamiah Palestina Syeikh Ra’ad Salah, dan anggota Persatuan Ulama Dunia Syeikh Nawwaf At-Takruri, memuji langkah pemerintah Turki dan presidennya Recep Tayyip Erdogan atas pengembalian status masjid Hagia Sophia ini.

Pernyataan Erdogan bahwa kembalinya Hagia Sophia sebgai Masjid adalah awal pembebasan Masjid Al-Aqsha pun diamini oleh para ulama dan tokoh Muslim Palestina dan dunia.*

HIDAYATULLAH

Hagia Sophia, Bangunan Rupawan di Jantung Konstantinopel

Hagia Sophia di Turki menjadi magnet bagi umat Kristen dan Islam dunia.

Setelah Konstantinopel takluk, Kekhalifahan Ustmani membagi menjadi empat wilayah administratif. Pada 1459, Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul, yang berkembang menjadi sebuah kota terbesar pada zamannya.

Sultan Mehmed II selain terkenal sebagai jenderal perang yang berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan lainnya, dia juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang dibuatnya sendiri.

Selama masa kejayaannya, dia mendirikan berbagai sarana dan prasarana publik. Seperti dibangun 300 masjid besar atau pun sedang, tersedianya 57 madrasahh, 59 tempat pemandian, diberbagai wilayah Utsmani termasuk Istanbul.

Masjid-masjid yang dibangun juga dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Hagia Sophia (Aya Sofya), hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang ada sebelumnya.

Pada 1727 berdiri badan penerjemah. Lalu buku-buku tentang kedokteran astronomi, ilmu pasti, sejarah dan lainnya pun mulai dicetak.

Pada masa dinasti Turki Utsmani, dibangun empat buah menara sebagai simbol Islam. Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia.

Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia.

Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran.

Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.

Gereja dan Museum

Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus.

Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya.

Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive–struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi–yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas.

Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14.

Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur.

Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.

Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam.

Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara.

Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi.

Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja.

Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat.

Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona.

Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam

Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.

Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan–yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya–untuk diterapkan dalam pembangunan masjid.

Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid.

Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.

Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium.

Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme.

KHAZANAH REPUBLIKA

Syekah Ali Jaber: Turki Makmur karena Sedekah

Ulama kelahiran Madinah, Arab Saudi Syekh Ali Jaber menyebut negara Islam harus mencontoh Turki dalam hal sedekah. Negeri yang dulu berjaya di masa Turki Ustmani itu kini perlahan mulai bangkit lagi menjadi negeri yang makmur.

Kunci yang digunakan oleh Turki, menurut Syekh Jaber, adalah mengutamakan sedekah. “Turki bisa makmur karena sedekah. Mereka berani bersedekah kepada masyarakat di negara-negara yang sedang dilanda konflik,” kata Syekh Jaber di dalam tabligh akbar jelang pelepasan truk bantuan beras 1.000 ton dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan masyarakat Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Ahad (15/4).

Syekh Ali Jaber mengimbau umat Islam khususnya Indonesia agar tidak segan-segan mengeluarkan infaq dan sedekah untuk membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Sejatinya, menurut Syekh Jaber, memberikan sedekah akan mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT. Rejeki orang yang berinfaq akan semakin dilipatgandakan oleh Allah.

Selain itu yang tak kalah penting menurut dia sedekah akan mengeratkan tali persaudaraan umat Islam walaupun berbeda negara. “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara,” ujar Syekh Jaber.

 

REPUBLIKA