Delapan Keutamaan Ukhuwah Islamiyah

PERSAUDARAAN karena Islam (ukhuwah Islamiyah), atau persaudaraan karena iman (ukhuwah imaniyah), atau persaudaraan karena Allah, memunculkan banyak keistimewaan dan keutamaan.

Ia juga memberikan pahala, berpengaruh positif pada masyarakat dalam menyatukan hati, menyamakan kata, dan merapatkan barisan. Orang-orang yang terikat dengan ukhuwah Islamiyah memiliki banyak keutamaan, diantaranya:

1. Kelak di hari kiamat mereka memiliki kedudukan yang mulia yang dicemburui oleh para syuhada, wajah-wah mereka bagaikan cahaya di atas cahaya.

Umar bin Khattab radhiallahu anhu, berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya dari hamba-hamba Kami ada sekelompok manusia, mereka itu bukan para Nabi dan bukan para syuhada. Para Nabi dan syuhada merasa cemburu kepada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah di hari kiamat. Para sahabat bertanya: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah padahal tidak ada hubungan persaudaraan (saudara sedarah) antara mereka, dan tidak ada hubungan harta (waris), Maka demi Allah sesungguhnya wajah-wajah mereka bagaikan cahaya, dan sesungguhnya mereka di atas cahaya, mereka tidak takut ketika manusia merasa takut, dan tidak pula sedih ketika manusia sedih, kemudian beliau membaca ayat ini: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS Yunus, 10: 62]. (HR Abu Dawud, no: 3060)

2. Mereka kelak di hari Kiamat akan mendapatkan naungan dari Allah yang tidak ada naungan kecuali dari padanya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

“Tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan Allah, (mereka itu ialah): pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar cinta Allah, seorang laki-laki yang diajak (mesum) oleh seorang wanita cantik dan menawan lalu dia berkata: Sesungguhnya saya takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya dan seorang laki-laki yang mengingat Allah dalam sendirian maka kedua matanya meneteskan airnya.” (HR Bukhari, no: 620)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Hari ini Aku menaungi mereka dalam naungan-Ku yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku?” (HR Muslim, no: 4655)

Dari Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Allah subhanahu wa taala berfirman: Orang-orang yang saling mencintai karena Aku akan berada di bawah naungan Arsy-Ku pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku.” (HR Ahmad, no: 16532)

3. Orang yang saling mencintai karena Allah, wajib mendapat kecintaan Allah.

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan berada di bawah naungan Arsy pada hari kiamat.” (HR Ahmad, no: 21022)

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang diriwayatkan dari Rabbnya Azza wa Jalla:

“Cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku; cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang saling menasehati karena Aku; cinta kasih-Ku wajib bagi orang-orang yang bersilaturrahim karena Aku. Dan orang-orang yang saling mencintai karena Aku berada di atras mimbar-mimbar dari cahaya di bawah naungan Arsy pada hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Ku.” (HR Ahmad, no: 21052)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Suatu hari, seseorang melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal di suatu kampung. Maka Allah mengutus seorang Malaikat untuk mencegat di suatu tempat di tengah-tengah perjalanannya. Ketika orang tersebut sampai di tempat tersebut, Malaikat bertanya: Hendak kemana engkau? Ia menjawab: Aku hendak mengunjungi saudaraku yang berada di kampung ini. Malaikat kembali bertanya: Apakah kamu punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya? Ia menjawab: Tidak, kecuali karena aku mencintainya karena Allah. Lantas Malaikat itu berkata: Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang dikirim kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah telah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu.” (HR Muslim, no: 4656)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai Fulan maka cintailah dia. Jibril pun mencintainya, kemudian dia mengumumkan pada penduduk langit: Sesungguhnya Allah mencintai Fulan maka cintailah dia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkan untuknya kecintaan di muka bumi. Dan apabila Dia membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku membenci Fulan maka bencilah dia. Jibril pun membencinya, kemudian dia mengumumkan pada penduduk langit: Sesungguhnya Allah membenci Fulan maka bencilah dia. Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian diletakkan untuknya kebencian di muka bumi.” (HR Muslim, no: 4772)

Dari Anas radhiallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Tiga perkara siapa yang memiliknya dia akan merasakan manisnya iman: Orang yang mencintai seseorang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah, orang yang Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai dari selain keduanya, dan orang yang lebih suka dicampakkan kedalam api neraka daripada ia kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya (kekafiran).” (HR Muslim, no: 16)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa yang ingin merasakan kelezatan iman, maka mestilah ia mencintai seseorang, tidak dicintainya melainkan karena Allah Azza wa Jalla.” (HR Ahmad, no: 10321)

4. Mereka merasakan manisnya iman. Sedangkan selain mereka tidak.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)

5. Mereka berada di bawah naungan cinta Allah, di bawah Arasy Al-Rahman.

Allah Taala berfirman,

“Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)

6. Mereka dijamin sebagai ahli surga di akhirat kelak.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat berseru, Berbahagialah kamu, berbahagialah dengan perjalananmu, dan kamu telah mendapatkan salah satu tempat di surga.” (HR. At-Tirmizi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya di sekitar arasy Allah ada mimbar-mimbar dari cahaya. Di atasnya ada kaum yang berpakaian cahaya. Wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukanlah para nabi dan bukan juga para syuhada. Dan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Beritahukanlah sifat mereka wahai Rasulallah. Maka Rasul bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersaudara karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.” (Hadis yang ditakhrij Al-Hafiz Al-Iraqi, ia mengatakan, para perawinya tsiqat)

7. Bersaudara karena Allah adalah amal mulia yang mendekatkan hamba kepada Allah.

Rasul pernah ditanya tentang derajat iman yang paling tinggi, beliau bersabda,

“Hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” (HR. Al-Munziri)

8. Semua dosa-dosa mereka diampunkan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Jika dua orang Muslim bertemu dan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka dosa-dosa mereka hilang dari kedua tangan mereka, bagai berjatuhan dari pohon.” (Hadis yang ditakhrij oleh Al-Imam Al-Iraqi, sanadnya dhaif).

Wallahualam bish shawab []

 

INILAH MOZAIK

Membangun Ukhuwah dengan Kelembutan

KAUM muslim dan mukmin itu bersaudara, kelembutan hati adalah buah dari ketauhiidan, yang akan membuat kita bisa bersama-sama membangun indahnya ukhuwah islamiyah.

Sahabat yang baik, salah satu pilar yang paling penting setelah membangun ketauhiidan dan memperbaiki akhlak adalah membangun ukhuwah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan kita dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, dengan ukhuwah lah setiap kekurangan kita bisa diperbaiki, dan kelebihan kita bisa lebih bermanfaat. Jika tanpa ukhuwah kita akan langgeng di dalam kekurangan dan kelebihan kita tidak akan bisa bermanfaat.

Marilah kita sikapi perbedaan dengan sikap penuh kemuliaan, sehingga perbedaan itu bisa menjadi energi bukan menjadi sarana perpecahan.

Hanya dengan kebeningan hatilah kita bisa menyikapi semua ini dengan baik, dan hanya dengan hidayah dan taufik Alloh Subhanahu Wa Ta’ala lah kita akan menjadi bagian dari bersatunya ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Aamiin Yaa Robbal aalamin. [*]

 

 

KH Abdullah Gymnastiar

Ketum MUI: Keutuhan Bangsa Harus Diutamakan

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Rais ‘Am PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa keutuhan bangsa harus diutamakan. Karenanya, kerukunan antar semua komponen bangsa, khususnya ulama dan umara, harus diperkuat.

Pesan ini disampaikan KH Ma’aruf Amin saat memberikan sambutan pada Zikir Kebangsaan dan Rakernas Majelis Zikir Hubbul Wathon di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (21/02).

Hadir dalam kesempatan ini Presiden Joko Widodo, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin beserta sejumlah menteri Kabinet Kerja, serta para kyai, ulama, dan pimpinan pondok pesantren dari berbagai wilayah di Indonesia.

“Keutuhan bangsa harus diutamakan. Kerukunan antara semua komponen bangsa, khususnya ulama dan umara, harus terus diperkuat,” tegasnya.

“Melalui zikir kebangsaan ini, akan kita satukan dan terus bina hubungan baik antara ulama dan umara,” sambungnya.

Menurutnya, bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki dua warisan besar berupa Pancasila dan UUD 1945. KH Ma’ruf mengajak agar masyarakat menjaga keduanya.

“Warisan pertama adalah Pancasila yang merupakan kalimatun sawa (titik temu) dari seluruh komponen bangsa Indonesia,” terang KH Ma’ruf.

“Kita juga patut bersyukur telah diwariskan satu kesepakatan (mitsaq) para pendiri bangsa, yaitu piagam jakarta yang telah dihilangkan tujuh katanya dan menjadi mukaddimah UUD 1945,” sambunganya.

Pancasila dan UUD 1945, lanjut KH Ma’ruf, keduanya ikut menjadikan Bangsa Indonesia menjadi satu. “Karenanya kalimatun sawa dan kesepakatan ini harus terus dijaga. Terutama saat ini, di tahun penyelenggaraan pilkada dan pilples. Salah satunya dengan terus menggelorakan zikir di seluruh Indonesia,” ujarnyanya.

“Marilah kita terus berjuang mewujudkan cita-cita bangsa melalui upaya lahiriah dan batiniyah. Melalui zikir di seluruh pelosok Tanah Air, kita berhahrap mendapat pertolongan dari Allah dan kita menjadi orang yang minadz-dzaakiriin wadz-dzaakiraat,” sambungnya. (Arif)

 

KEMENAG RI

Meski Beda Pendapat, Imam Ahmad Doakan Syafi’i 40 Tahun

IMAM Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum,  akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku:  “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).

Juga diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hambal juga pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum meninggalkan shalat, maka berkata kepada dia Imam Syafi’i: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) kafir?” Ahmad menjawab: “Iya.” Imam Syafi’i lantas bertanya: ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?” Imam Ahmad menjawab: “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah.” Dijawab Syafi’I; “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”Ahmad berkata lagi: “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.” Syafi’i menjawab; “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan hanya shalat.” Maka Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).

Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)

Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.

Berkata Ahmad bin Al Laits: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i.” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).*/Thoriq

 

HIDAYATULLAH

Beda Ijtihad, Utamakan Ukhuwah

SALAH satu persoalan yang masih menjadi sebab sulitnya umat Ahlus Sunnah bersatu atau mudah terjatuh pada pemikiran sesat adalah belum dipahaminya antara perkara furu dan ushul dengan baik. Ketika perkara ushul diyakini sebagai furu’, maka yang terjadi adalah kesesatan. Seperti yang terjadi dalam Islam Liberal. Sebaliknya, jika perkara furu’ dianggap ushul, maka yang terjadi adalah penghakiman takfir, dan tadhlil  kepada saudara sesama Ahlus Sunnah.

Harus dipahami bahwa ijtihad ulama tidak berada pada wilayah ushul tapi furu’. Dalam persoalan ijtihad dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin. Jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah).

Adapun perselisihan dalam perkara furu jika diangkat sampai menimbulkan perdebatan panjang akan mengakibatkan perpecahan umat Islam. Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu’ akan membawa pada lingkaran kehancuran. Jidal dalam perkara tersebut merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin  I/41). Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Coba perhatikan orang-orang yang senang mendebat lawan madzhab fikihnya pada masa sekarang, ketika lawan debatnya memenangkan maka orang-orang itu tersulut api dendamnya. Mereka merasa malu dan berupaya sekuat tenaga untuk menolak lawan debatnya dengan menjelek-jelekkan dan mencari-cari alasan agar kredibilitas lawan debatnya jatuh di hadapan masyarakat” (Ihya Ulumuddin I/44).

Karakter tersebut tumbuh dikarenakan kerusakan hatinya yang terserang penyakit sombong, riya, ‘inad (menolak kebenaran), dengki, hasud dan lain sebagainya.  Padahal di kalangan imam mujtahid sendiri jauh dari sifat tersebut.

Dikisahkan, Imam Syafi’i pernah duduk bersimpuh di hadapan seorang bernama Syaiban al-Ra’i. Simpuh imam Syafi’i mirip seorang anak kecil yang duduk di majelis seorang Syaikh, karena ketawadhu’an sang Imam. Lalu Imam Syafii tidak malu untuk bertanya tentang beberapa soal. Maka, ada yang heran dengan perilaku Imam Syafii dan bertanya; “Bagaimana orang hebat seperti kamu bertanya kepada orang Baduwi yang ilmunya lebih rendah dari kamu”? Imam Syafii menjawab; “Sesungguhnya, dia memiliki sesuatu yang aku tidak mengetahuinya?”.

Karena itu, ketika berinteraksi dengan fikih, kita tidak boleh fanatisme buta. Seakan akan menempatkan posisi fikih itu sebagai ushul. Ini yang menimbulkan caci maki antar pengikut madzhab fikih. Yang diutamakan adalah persatuan dan kesatuan umat.

Aa beberapa hal yang perlu dipahami tentang perbedaan hukum fikih. Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ikhtilaf ini merupakan fenomena yang syar’i. Yang tidak syar’i itu adalah iftiraq. Karena iftiraq itu konteksnya perkara haq, batil, dlalal dan salamah.

Fenomena ikhtilaf fikih ini bukanlah bid’ah tapi memang begitulah adanya karakteristik syari’ah. Oleh sebab itu, selama fenomena ini masih dalam konteks ijtihad fiqhiyyah, maka ia diterima oleh syari’at dan para ulama salaf. Para ulama salaf dari kalangan Ahlus Sunnah mayoritas hanya berbeda dalam fatwa ijtihad fikih bukan akidah. Jika bedanya akidah maka urusannya adalah antara sesat dan tidak. Jika fatwa fikih persoalannya cuma pada penilain benar (shahih) dan salah (khata’).

Ikhtilaf furu telah terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhtilaf ini sesuatu yang dianggap lumrah oleh generasi salaf. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. terkadang menjawab satu soal yang berbeda kepada para sahabat. Tapi bukan bertentangan.

Oleh sebab itu, ikhtilaf dalam furu’iyyah sesungguhnya merupakan bagian dari keindahan Islam. Para ulama salaf tidak pernah mengajarkan untuk menafikan madzhab fikih yang berbeda.

Mengikuti pada satu madzhab, merupakan keharusan, tapi dilarang untuk fanatik. Fanatik dengan memvonis madzhab fikih lainnya tidak benar dan sesat. Sebab, fanatisme madzhab fikih bukan etika ulama salaf, tapi karakter orang tidak berilmu. Fanatisme kepada madzhab fikih menimbulkan perpecahan yang tidak dikehendaki agama.

Syeikh Dr. Wael al-Zard, ahli hadis dari Universitas Gaza Palestina, pada beberapa hari lalu berkunjung ke Surabaya berpesan bahwa, sebab hilangnya al-Quds adalah khilaf nya(persilisihan) para pencari ilmu terhadap masalah fikih, di mana umat Islam tidak mungkin bersatu dalam urusan fikih.

Karena khilaf sangat kuat, di masa itu masalah qunut tidak qunut, masalah jahr atau sirr, masalah membaca al-Fatihah atau tidak, persoalan wajah wanita aurat atau bukan. Masalah-masalah ini menyebabkan stigma ahlu bid’ah, fasiq hingga tuduhan kafir. Di masa itu, perbedaan sangat menguat hingga sampai ke masjid. Hingga masjid memiliki mihrab 4, di antaranya mihrab untuk penganut Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Akibat khilaf fikih ini merembet dan menyebabkan perpecahan lebih besar. Bahkan antar penganut mazdhab tidak mau mengikuti (hidayatullah.com, 27/08).

Pada Rabu, 29 Juli 2013 Dr. Al-Zard berkesempatan berceramah di hadapan aktivis muda Surabaya. Ia menasihati agar umat Islam memikirkan hal-hal besar yang sedang dihadapi kaum Muslimin. Menurutnya, orang yang kesibukannya hanya memperdebatkan urusan-urusan kecil furu adalah orang yang wawasannya sempit. Ia menganjurkan untuk mempelajari seluruh pendapat-pendapat para ulama, agar wawasan luas dan bijak dalam menghakimi.

Pola-pola terburu-buru memperdebatkan hasil ijtihad ulama itulah yang dikritik oleh Imam al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, selama seorang mujtahid itu menggunakan dalil-dalil, maka tidak boleh dikafirkan. Karena kesalahan menggunakan dalil dan perbedaan pandangan politik bukanlah sebab seorang jatuh kepada kekafiran. Di sini yang diutamakan al-Ghazali adalah mendidik generasi-generasi Muslim agar mereka mengutamakan persatuan daripada fanatisme buta sehingga menyebabkan terpisahnya dari jamaah kaum Muslimin. Jika terdapat kesalahan ijtihad, maka persatuan lah yang harus diutamakan.

Karena itu, hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan ijtihadiyah, hingga sampai saling menyesatkan. Satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah.*

Oleh: Kholili Hasib, peneliti InPAS Surabaya

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Inilah 5 Keutamaan Manisnya Ukhuwah Islamiyah

UKHUWAH adalah satu konsepsi Islam yang menyatakan bahwa setiap Muslim dengan Muslim lain hakikatnya ialah bersaudara. Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang menjadi landasan konsep ini. Bahkan dalam beberapa keterangan kerap sekali kata “ukhuwah” atau turunannya digandengkan dengan kata “iman”, “Islam” atau “mukmin”.

Hal ini mengindikasikan bahwa ukhuwah merupakan salah satu parameter utama keimanan dan keislaman seseorang.

Ukhuwah merupakan salah satu dari tiga unsur kekuatan yang menjadi karakteristik masyarakat Islam di zaman Rasulullah , yakni pertama, kekuatan iman dan aqidah. Kedua, kekuatan ukhuwah dan ikatan hati. Ketiga, kekuatan kepemimpinan dan senjata.

Dengan tiga kekuatan ini, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam. membangun masyarakat ideal, memperluas Islam, mengangkat tinggi bendera tauhid, dan mengeksiskan umat Islam di muka dunia kurang dari setengah abad.

Buku-buku sejarah menceritakan kepada kita bahwa kaum Anshar sangat bahagia menerima tamu Muhajirin, hingga mereka berlomba-lomba untuk dapat menerima setiap sahabat Muhajirin yang sampai di Yatsrib (Madinah). Karena para Anshar saling bersaing dan berlomba untuk dapat menerima sahabat Muhajirin hingga mereka harus diundi untuk menentukan siapa yang menang dan dapat giliran menerima tamu Muhajirin. Ini sungguh terjadi hingga disebutkan bahwa tidaklah seorang Muhajirin bertamu ke Anshar kecuali dengan undian.

Mungkin kita akan berdecak kagum dengan sikap unik para sahabat Anshar ini yang kita tidak mampu berbuat seperti mereka, mungkin kita juga bertanya apa yang membuat mereka bisa sampai seperti itu, tindakan mereka di luar batas kemampuan manusia?

Al-Quran telah menjawab pertanyaan-pertanyaan kagum kita, Al-Quran telah menjelaskan rahasia yang mendorong para Anshar melakukan itsar luar biasa walaupun keadaan mereka yang sangat fakir dan juga sangat membutuhkan. Allah SWT berfirman memuji mereka:

والذين تبوءوا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولايجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة.. (الحشر: 9).

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan (beriman) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Ukhuwah, taakhi, cinta, dan itsar sejatinya syarat kebangkitan dan kemenangan, itulah strategi pertama yang ditempuh oleh Rasullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam dengan mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin dan membangun masjid tempat membina persaudaraan dan persatuan kaum Muslimin.

Risalah ini juga dilanjutkan Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam membangun komunitas dan gerakan yang kuat, menjadikan persatuan sebagai senjata, dan taaruf saling mengenal sebagai asas dakwah.

Ukhuwah tak bisa dibeli dengan apa pun. Tapi ia diperoleh dari penyatuan antara ikatan hati dan hati serta karakteristik istimewa dari seorang mukmin yang shaliih. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

المؤمن إلف مألوف، ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف

“Seorang mukmin itu hidup rukun. Tak ada kebaikan bagi yang tidak hidup rukun dan harmonis.”

Ukhuwah juga membangun umat yang kokoh. Ia adalah bangunan maknawi yang mampu menyatukan masyarakat mana pun. Ia lebih kuat dari bangunan materi, yang suatu saat bisa saja hancur diterpa badai atau ditelan masa. Sedangkan bangunan ukhuwah Islamiyah akat tetap kokoh. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا

“Mukmin satu sama lainnya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian lainnya.” (HR. Bukhari)

Halim Mahmud menuliskan dalam bukunya yang berjudul Fiqh Al-Ukhuwah fi Al-Islami,“Orang-orang yang berukhuwah dalam Islam harus saling mengokohkan kekuatan satu sama lain dalam skala dunia Islam dengan melakukan perencanaan, koordinasi, dan segala persiapan yang mesti dilakukan. Kemenangan itu tidak lain hanyalah dari sisi Allah. Dia akan menolong dan memenangkan siapa saja yang di kehendaki-Nya. Dia Maha Perkasa lagi Penyayang.”

Keutamaan Ukhuwah Islamiyah

Dari ukhuwah Islamiyah lahir banyak keutamaan, pahala, dampak positif pada masyarakat dalam menyatukan hati, menyamakan kata, dan merapatkan barisan. Orang-orang yang terikat dengan ukhuwah Islamiyah memiliki banyak keutamaan, di antaranya:

  1. Mereka merasakan buah dari lezatnya iman. Sedangkan selain mereka, tidak merasakannya. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

ثلاثة من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا الله، وأن يكره أن يعود إلى الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما يكره أن يُقذف في النار

Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)

  1. Mereka berada dalam naungan cinta Allah, Di akhirat Allah SWT berfirman,

أين المُتحابُّون بجلالي، اليومُ أُظِلُّهم في ظلي يوم لا ظلَّ إلا ظِلي

“Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam. bersabda,

إن رجلاً زار أخًا له في قرية أخرى، فأرصد الله تعالى على مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فلما أتى عليه، قال: أين تريد؟ قال: أريد أخًا لي في هذه القرية، قال: هل لك من نعمة تَرُبُّها عليه؟ قال: لا، غير أنني أحببته في الله تعالى، قال: فإني رسول الله إليك أخبرك بأن الله قد أحبَّك كما أحببْتَه فيه

“Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)

  1. Mereka adalah ahli Syurga di akhirat kelak. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallambersabda,

من عاد مريضًا، أو زار أخًا له في الله؛ ناداه منادٍ بأنْ طِبْتَ وطاب مَمْشاكَ، وتبوَّأتَ من الجنةِ مَنْزِلاً

“Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat berseru, ‘Berbahagialah kamu, berbahagialah dengan perjalananmu, dan kamu telah mendapatkan salah satu tempat di surga.” (HR. At-Tirmidzi)

  1. Bersaudara karena Allah adalah amal mulia dan mendekatkan diri kepada Allah.

وقد سُئل النبي صلى الله عليه وسلم عن أفضل الإيمان، فقال: “أن تحب لله وتبغض لله…”. قيل: وماذا يا رسول الله؟ فقال: “وأن تحب للناس ما تحب لنفسك، وتكره لهم ما تكره لنفسك

Rasul pernah ditanya tentang derajat iman yang paling tinggi, beliau bersabda, “…Hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah…” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” (HR. Imam Al-Munziri)

  1. Diampuni dosanya oleh Allah. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,

إذا التقى المسلمان فتصافحا، غابت ذنوبهم من بين أيديهما كما تَسَاقَطُ عن الشجرة

“Jika dua orang Muslim bertemu dan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka dosa-dosa mereka hilang dari kedua tangan mereka, bagai berjatuhan dari pohon.”

Persaudaraan yang terjaga dengan tali Allah merupakan kenikmatan yang diberikan Allah atas jamaah Muslimah; yaitu nikmat yang diberikan bagi mereka yang dicintai dan dikehendaki Allah dari hamba-hamba-Nya. Hal ini mengingatkan kepada kita akan nikmat yang begitu besar, dan mengingatkan kita bagaimana kita sebelumnya dalam keadaan jahiliyah dan saling bermusuhan.

Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki permusuhan antara kaum Aus dan Khazraj di kota Madinah sebelum Islam. Namun setelah masuk Islam, Allah menyatukan hati di antara mereka. Tidak ada solusi sedikit pun kecuali Islam yang dapat menyatukan hati yang beragam bentuknya, tidak ada yang terjadi kecuali karena tali Allah yang dapat menyatukan mereka menjadi saudara, dan tidak mungkin hati-hati itu akan bersatu kecuali karena ukhuwah fillah.*/Nurlaillah Sari Amallah Mujahidah

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Kunjungi Mahasiswa Madinah, Bachtiar Nasir : Jangan Saling Serang, Bangun Persatuan Umat

Di sela kesibukan mengikuti program haji Kedutaan Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Ustadz Bachtiar Nasir menyempatkan diri untuk bertatap muka dengan puluhan Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Universitas Islam Madinah (UIM), Jumat (18/9/2015) malam di salah satu hotel di lingkungan Masjid Nabawi.

Dalam kesempatan tersebut, Bachtiar Nasir yang juga alumnus UIM mengajak Adik-adiknya untuk membangun Ukhuwah Islamiah dalam tubuh umat, khususnya di Tanah Air.

“Umat Islam di Indonesia sudah sangat memerlukan persatuan dan rapatnya barisan. Ukhuwah harus dinomorsatukan,” kata Ustadz Bachtiar.

Menurutnya, hal tersebut dilandasi oleh tantangan umat Islam tanah air yang sudah banyak diperhadapkan kasus yang menggugah hati untuk bersatu, ditambah dengan banyaknya PR yang harus diselesaikan umat Islam di Indonesia.

“Baru-baru ini kita diperhadapkan dengan kasus Tolikara, sebelumnya kasus Syiah, belum lagi kasus Miras, pernikahan sesama jenis di Bali dan masih banyak lagi. Sudah saatnya kita bersatu menyelesaikan berbagai persoalan umat, jangan malah saling serang sesama saudara Muslim,” terangnya.

Bachtiar juga mengajak untuk tidak terpancing dengan pemberitaan yang mengadu domba antar umat Islam. Menurutnya, banyak upaya yang dilakukan musuh untuk memecah persatuan umat, di antaranya dengan mengangkat masalah-masalah furu’iyah ke debat publik dengan menghadirkan dua figur berbeda madzhab.

“Kelihatannya kita dengan Ustadz Fulan saling tegang dan tidak mungkin bertemu, padahal tidak ada apa-apa di antara kita. Semua itu bisa cair dengan silaturrahim, buktikan bahwa kita bersaudara,” pesan Bachtiar yang juga Sekjen MIUMI Pusat.

Temu Kedua di Kampus UIM

Pengurus Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) cabang Madinah memaksimalkan keberadaan Ustadz Bachtiar di Kota Nabi untuk tatap muka kembali dengan ratusan mahasiswa Indonesia lainnya.

Informasi yang dihimpun hidayatullah.com, PPMI Madinah akan mengadakan pertemuan kedua dengan ketua alumnus UIM se-Indonesia tersebut di Masjid Kampus UIM, Sabtu (19/9/2015) pagi waktu Madinah.*/Muhammad Dinul Haq, koresponden hidayatullah.com di Madinah

 

HIDAYATULLAH

Fahmi Salim: Umat Jangan Sibuk dengan Khilafiyah

Fenomena perselisihan antar umat Islam dalam persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) sebaiknya dihentikan saja. Demikian imbauan Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Pusat, Fahmi Salim, MA.

Imbauan itu disampaikannya dalam rangka menyikapi terjadinya eskalasi penistaan terhadap Masjid Al-Aqsha oleh Zionis Israel belakangan ini.

Menurut Fahmi Salim, perselisihan internal umat Islam dimanfaatkan Israel sebagai momen menggempur habis-habisan Al-Aqsha.

“Imbauan (MIUMI) kepada kaum Muslimin untuk merapatkan shaf, bersatu. Karena Israel berani mengambil alih Al-Aqsha, pada saat umat ini sedang sibuk berkelahi dengan sesamanya,” ujarnya di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jumat (18/09/2015).

Menurutnya, umat Islam saat ini terlalu banyak melakukan kompromi politik yang sangat merugikan umat Islam sendiri.

“Kita disibukkan dengan khilafiyah yang tidak ada ujung pangkalnya,” ujarnya pada acara penyampaian pernyataan bersama 21 tokoh Indonesia itu.

Daripada sibuk dengan khilafiyah, menurutnya, lebih baik umat bersatu menentang penjajahan Zionis Israel terhadap Al-Quds.

“Mari kita sama-sama mendukung perjuangan kawan-kawan kita untuk Palestina,” imbaunya dalam acara gelaran Asia Pasific Community (ASPAC) for Palestine itu.

Sementara itu, Sekretaris Umum Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP), Heri Efendi, mengatakan sejak saat ini mestinya umat Islam konsen terhadap Palestina.

“Apakah harus menunggu Al-Aqsha betul-betul hancur baru kaum Muslimin bergerak? Kita jawab, ‘tidak!’,” ujarnya menegaskan.

“Tidak berlebihan jika kita menyebut permasalahan Al-Aqsha adalah masalah utama umat manusia di muka bumi ini saat ini,” tambah Sekjen PB Mathla’ul Anwar Oke Setiadi.

Diberitakan sebelumnya, Sekjen MIUMI Pusat Ustadz Bachtiar Nasir juga menyerukan persatuan kaum Muslimin.

“Umat Islam di Indonesia sudah sangat memerlukan persatuan dan rapatnya barisan. Ukhuwah harus dinomorsatukan,” kata Ustadz Bachtiar.” (baca di artikel berikutya)

 

HIDAYATULLAH

 

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Dalam Naungan Islam Semua Orang Bersaudara

UKHWA dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada golongan manusia yang lebih tinggi daripada golongan yang lain. Harta, kedudukan, keturunan, status sosial, atau apa pun, tidak boleh menjadi penyebab sombongnya manusia atas manusia yang lain.

Pemerintah adalah saudara rakyat, sebagaimana termaktub dalam hadist Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian sukai dan mereka menyukai kalian, kalian selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian.” (HR. Muslim)

“Tuan” adalah saudara bagi hamba sahaya, meskipun kondisi khusus kadang-kadang memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya.

Dalam hadist sahih, Nabi bersabda,

“Saudara-saudara kalian adalah para pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka berada di bawah kekuasaan kalian. Jika Allah berkehendak, maka Ia akan menjadikan kalian di bawah kekuasaan mereka. Barangsiapa saudaranya berada di bawah kekuasaannya, maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia makan, memberi pakaian kepadannya sebagaimana ia berpakaian, dan janganlah kalian memaksa mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang mereka tidak mampu. Jika kalian memaksa mereka juga, maka bantulah mereka itu.” (HR. Mutafaq alaih)

Orang-orang kaya, orang-orang miskin, para buruh, karyawan, dan orang-orang yang disewa adalah bersaudara. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi mereka dalam naungan ajaran Islam untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.

Dalam masyarakat Islam tidak terdapat kasta-kasta, sebagaimana dikenal dalam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Di sana golongan cendekiawan, para penunggang kuda, para uskup, dan orang-orang tertentu lainnya, adalah yang berhak menentukan nilai, tradisi, dan hukum yang berlaku.

Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa yang memiliki sekolompok tertentu berhak menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya, serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya, misalnya negara India.

Memang, dalam masyarakat Islam terdapat orang-orang kaya. Akan tetapi, mereka tidak membentuk kolompok tersendiri yang mewariskan kekayaannnya. Mereka adalah individu-individu biasa seperti lainnya. Si kaya pun, suatu saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi kaya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (QS. Al- Insyirah: 5)

Dalam Islam memang ada ulama. Namun mereka tidak membentuk golongan yang mewarisi tugas tersebut. Tugas itu terbuka bagi siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan, seperti yang dilakukan para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah, dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama, bukan pendeta.

Allah berfirman kepada Rasul-nya SAW, sebagaimana berikut,

Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21-22)

Bagaimana dengan pewarisnya para ulama ? Sesungguhnya mereka itu bukanlah yang menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah mengajar dan pemberi peringatan.

 

*/Sudirman STAIL (sumber buku Masyarakat Berbasis Syariat Islam, penulis Dr. Yusuf Qardhawi)

HIDAYATULLAH

Berjamaah Menuju Jannah

Setelah serangan mematikan bertubi-tubi dilancarkan musuh-musuh Islam terhadap kedaulatan Islam dan kaum muslimin dimana dinamika internal yang silih berganti bergejolak juga mewarnai perjalanan sejarah Ummat Islam dalam menuntaskan perannya sebagai ummat pilihan Alloh di era akhir zaman, akhirnya khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924 dengan dihapuskannya kesultanan Turki Utsmani oleh seorang ketururunan Yahudi bernama Musthapa Kemal. Semenjak itu, kaum muslimin memasuki era yang membingungkan karena konsep kehidupan berjama’ah yang dikenal Islam adalah satu bentuk kehidupan yang tertata dibawah seorang Imam Mumakkan (berkuasa penuh memimpin ummat). Akibatnya, jangankan mengemban misi rahmatan lil ‘alamiin sedangkan untuk mempertahankan eksistensi dan menjalankan tugas-tugas internal saja, kaum muslimin sudah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan yang sangat hebat.

Musthapa Kemal tentunya tidak bekerja seorang diri bersama kelompoknya, disamping ia adalah seorang perwira tinggi militer yang amat memahami kerja-kerja tersistem dan terorganisasi dengan baik maka ia juga disokong sepenuhnya oleh gerakan Yahudi Internasional baik yang bergerak tertutup maupun institusi-institusi terbuka yang dimiliki jaringan Zionisme yang telah menguasai dunia ekonomi dan perbankan. Langkah-langkah revolusioner Musthapa Kemal hanyalah menyamakan irama dan derap langkah konspirasi Yahudi bagi terwujudnya impian mereka akan Israel Raya ditanah yang dijanjikan Tuhan versi mereka, yakni negara Yahudi di bumi Syam (khususnya Palestina).

Jadi Musthapa Kemal sebenarnya bekerja dengan sistem yang dalam Islam disebut sebagai Jama’ah. Sedangkan ia hanyalah icon pendobrak dan pemersatu yang menghancurkan sistem kehidupan Islam yang tersisa dari perjalanan sejarah Ummat Islam. Maka sangat disayangkan jika kaum muslimin justru melupakan hakekat ini, sehingga sistem Jama’ah semakin ditinggalkan kecuali pada hal-hal parsial saja atau paling maksimal adalah munculnya klaim berjama’ah namun ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ditambah lagi musibah munculnya fanatisme kelompok (quyyud hizbiyyah) yang semakin menjerat ummat pada posisi saling berhadapan dengan penuh persaingan dan ambisi saling menjatuhkan sesamanya. Dimana fenomena berbahaya ini telah ditangkap oleh seorang da’i dari Jama’ah Islamiyah Libanon (salah satu wilayah Syam) yakni ustadz Fathi Yakan rohimahulloh dengan istilah beliau yakni Aids Haroki. Wallohul Musta’an!

Tragedi keruntuhan Khilafah Islamiyah juga sekaligus menandakan masuknya kaum muslimin dalam kejatuhan kehidupan tanpa Jama’atul Muslimin sementara musuh kemanusiaan, yakni kaum Yahudi justru berhasil membangun kehidupan berjama’ah (sesuai versi mereka). Ketiadaan Jama’atul Muslimin dalam pengertian dan kriteria Syar’i  juga setidaknya telah dibuktikan secara ilmiah dihadapan para Masyaikh di Jamiyyatul Islamiyah Madinah Munawarroh oleh Ustadz Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir ,MA  dalam tesis masternya yang mendapat nilai imtiyyaz (Excellent). Padahal Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ Dan aku memerintahkan kepada kalian lima hal yang Alloh memerintahkan aku dengan kelima hal tersebut, yaitu: berjama’ah, mendengarkan, mematuhi, berhijrah dan berjihad di jalan Alloh. Barangsiapa keluar dari jama’ah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya hingga ia kembali lagi…” Mereka bertanya: “ Wahai Rasululloh, sekalipun dia sholat dan puasa ?” Rasululloh menjawab: “ Sekalipun dia puasa, sholat  dan mengaku (dirinya) muslim.”  (HR. Ahmad, 4/202)

Tauhid dan Jama’ah adalah Kesatuan

Pembicaraan tentang Jama’ah membutuhkan kajian yang serius dan mobilisasi umum (keterlibatan semua unsur), oleh karena persoalan Jama’ah merupakan batu pondasi pertama untuk mewujudkan suatu ide (wacana) pikiran menjadi nyata dan kongkrit. Tanpa jama’ah, maka ide pikiran apapun tak akan pernah bisa menjadi eksis dan bertahan kekal. Barangkali kita masih ingat dengan perkataan Imam besar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rohimahulloh saat beliau melihat kefaqihan Laits bin Sa’ad, ilmunya dan periwayatan haditsnya. Lalu beliau mengucapkan perkataannya yang amat masyhur: “ Laits bin Sa’ad lebih faqih dari Malik, hanya saja para shahabatnya tidak ada yang menjadi penerusnya.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi suatu ide pemikiran serta kelangsungannya. Tanpa jama’ah, perkumpulan dan tanzhim, maka suatu ide pemikirian tidak akan bisa eksis dan bertahan. Maka jika kita memahami hal ini, kemudian berpikir sejenak mengenai prikehidupan nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam dan kita mengkaji secara seksama dari permulaan dakwah beliau hingga kemenangan diinnyaserta apa yang diserukan beliau kepada manusia, niscaya kita akan melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa yang pertama diserukan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam adalah Tauhid dan Jama’ah.

Dahulu, apabila seseorang menjawab seruan nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam dan masuk menjadi muslim muwahhid maka dia memutuskan segala pertaliannya yang sebelumnya. Dia keluar secara psychis maupun phisiknya dari segala ikatan lama, baik ikatan keluargaatau kabilah atau ikatan apapun selainnya dan bergabug pada jama’ah yang baru (yakni jama’atul muslimin) dan terikat dengannya secara total dalam hal loyalitas, pembelaan, menjalankan perintah, empati maupun simpatinya. Gambaran ini tercermin pada sabda nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam:

Permisalan seorang mukmin dalam berkasih sayang dan berlemah lembut serta kecintaan diantara mereka adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tak dapat tidur.”

Jika prikehidupan orangorang Islam adalah demikian maka tidaklah aneh syiar seorang muslim yang benar (dalam aqidah dan manhajnya) adalah intima’ dibawah syiar (Firqoh An Naajiyah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak kisah generasi pertama yang berkaitan dengan konsepsi pemikiran kaum Sunni dalam permasalahan aqidah. Mereka menulis didalamnya apa yang disebut Kitaabul Aqoo’id. Dimana kitab-kitab tersebut disusun dengan satu maksud dan tujuan untuk menjelaskan konsep pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana seharusnya dan untuk menolak i’tiqod-i’tiqod yang menyelisihinya dari berbagai aliran pemikiran, yang oleh sebagian orang jsutru dianggap sebagai bagian dari Diinulloh (padahal samasekali bukan), yakni aqidah golongan Mu’tazilah, golongan jabariyah, golongan Syia’ah, golongan Khawarij dan golongan-golongan yang beraqidah sesat lainnya.

Namun demikian, masalah jama’ah masih belum diterangkan secara terperinci dalam kitab-kitab tersebut, oleh karena jama’ah yang perlu mendapatkan penjelasan pada era kehidupan mereka adalah masalah Imam Mumakkan dan sejauh mana kesyar’ian pembrontakan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Imam Mumakkan itu yang didorong sikap baghyun (sikap aniaya dan durhaka) dan fasik. Demikian pula sejauh mana kesyar’ian Imam Mafdhul (Imam yang kalah keutamaannya) dengan adanya Imam Afdhol (yang ebih unggul keutamaannya). [1] jadi wajar kalau kaum muslimin sekarang mengalami kebingungan dalam mengimplementasikan konsep Jama’ah dalam kehidupan yang nyata-nyata dikalahkan oleh musuh-musuh Islam, baik dari kalangan Kuffar Internasional maupun penguasa lokal yang murtad.

Tsauroh Suriah menjanjikan Kembalinya Jama’atul Muslimin

Jika bahasan diatas cukup mengerenyutkan dahi dan menyesakkan dada hingga mampu meneteskan air mata, fenomena yang kita tangkap dari apa sedang terjadi di Suriah saat ini insya Alloh akan mampu memberi harapan baru bagi kembalinya kehidupan berjama’ah yang hakiki dan syar’i bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Namun semua cita-cita butuh biaya dan pengorbanan maksimal serta dedikasi total. Hanya orang malas dan tolol saja yang terus-menerus berteriak tentang apa yang diinginkannya namun tidak mau beranjak dari kenyataan pahit yang melingkupinya.

Tragedi yang dilanjutkan dengan perlawanan total kaum muslimin di Suriah telah memperlihatkan kwalitas Ahlus Syam yang gagah perwira sebagaimana yang disebutkan berbagai keutamaan mereka dalam hadits-hadits nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Ratusan ribu orang dari berbagai strata sosial dan usia yang telah dibantai rezim Basyar Asad an Nushoiry dengan dibantu Republik Syiah Iran, Negara Komunis China dan Rusia serta milisi-milisi bersenjata Syiah dari berbagai negara seperti Irak, Libanon, Yaman bahkan kaum Syiah di Indonesia ikut membuka pendafataran Relawan Combatan (tempur) dan non Combatan untuk berperang membela rezim jahat dimana kejahatannya melampui kekejian yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Namun jihad kaum muslimin Syam semakin menampakkan ketahanan dan daya juang yang amat luar biasa sehingga Alloh Azza wa Jalla berkenan menggerakkan hati-hati kaum Mujahidin dari kurang lebih 29 negara di dunia padahal mereka juga sedang sibuk berjihad melawan para thughyaan di negri mereka sendiri. Mereka kini hadir di Suriah dengan seluruh dedikasi dan kemampuan tempurnya dalam mengokohkan Jihad di bumi Syam.

Dan yang paling menggembirakan hati setiap orang mukmin, seruan revolusi Suriah telah bermetamorfose pada penegakkan Khilafah Islamiyah bagi dunia Islam. Hal inilah kemudian yang diantispasi kaum Kuffar sedunia dengan gembong-gembongnya dari kalangan munafik dan zindiq di seluruh negri kaum muslimin, mereka bukan saja mendatangkan segala kekuatan bersenjatanya ke Suriah dan sekitarnya namun juga membrangus segenap potensi dan kekuatan Jihad di negri-negri mereka dengan issu terorisme. Mereka meratifikasi konvensi PBB dalam bentuk undang-undang anti terorisme yang pada asal dan muaranya adalah menghancurkan kekuatan Islam.

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfaal: 30)

Wallohu Ta’ala A’lamu bis showwab.

Ngruki,  Sya’ban 1434

Abu Fatih Abdurrahman S.

Red : Abdul Aziz Al Makassary

[1] Syekh Abu Qotadah Al Filisthiny fakkalohu asroh, Al Jihad wal Ijtihad.

 

 

sumber: BumiSyam,com