Ciri Ulama Akhirat Menurut Ihya’ Ulumuddin

Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin (I/77). Di dalamnya, beliau mengutip  lima akhlak yang merupakan ciri-ciri ulama’ akhirat.

Imam Al-Ghazali menyimpulkan dari lima ayat Kitabullah, yaitu khasyyah, khusyu’, tawadhu’, husnul khuluq, dan lebih mengutamakan akhirat di banding dunia (zuhud).” Apa sajakah ayat-ayat yang beliau maksud, dan bagaimana penjelasannya?

Ciri Pertama, khasyyah, yakni takut kepada Allah

Akhlak ini di simpulkan dari firman Allah:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘ulama’.” (QS: Fathir: 28).

Ciri pertama, menurut Ibnu Katsir, takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya hanyalah para ulama’ yang mengenal-Nya (al-‘ulama’ al-‘arifuuna bihi). Sebab, setiap kali pengenalan terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, yang disifati dengan sifar-sifat kesempurnaan dan disifati pula dengan al-asma’ul husna; setiap kali pengenalan terhadap-Nya lebih sempurna dan ilmu terhadap diri-Nya lebih lengkap, maka rasa takut terhadap-Nya pun lebih besar dan lebih banyak.

Oleh karenanya pula, Ar-Rabi’ bin Anas pernah berkata, “Siapa pun yang tidak takut kepada Allah, maka dia tidak layak disebut sebagai ‘alim.” Khalifah ‘Umar juga pernah menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ari, walinya di Kufah.

Didalamnya beliau menyatakan, “Sesungguhnya fiqh (yakni: kedalaman ilmu) itu bukan dinilai karena banyaknya paparan keterangan, luasnya pembicaraan, atau banyaknya riwayat yang disampaikan. Akan tetapi, yang disebut fiqh itu adalah rasa takut kepada Allah ‘azza wajalla.”

Ciri Kedua, khusyu’

Khusu’  adalah terpancarnya cahaya ketenangan dan ketundukan kepada Allah dari dirinya. Sifat ini disarikan dari firman Allah:

وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا

“Sedang mereka khusyu’ kepada Allah dan tidak menukarkan ayat-ayat-Nya dengan harga yang sedikit.” (QS: Ali ‘Imran: 199)

Dalam kitab Faidhul Qadir, al-Munawi berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendatangkan kekhusyu’an.”

Dengan kata lain, jika seseorang memiliki banyak ilmu namun tidak terlihat tanda-tanda kekhusyu’an padanya, ilmunya pasti tidak bermanfaat. Maka, diantara ciri semakin sedikitnya ulama akhirat adalah semakin berkurangnya kekhusyu’an di tengah-tengah umat, bahkan di masjid sekalipun.

‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang Sahabat) berkata kepada muridnya, “Kalau mau, sungguh aku akan memberitahumu tentang ilmu pertama yang di angkat (dari tengah-tengah manusia). Dialah kekhusyu’an. Sudah dekat waktunya, engkau memasuki masjid sebuah komunitas namun engkau tidak melihat seorang pun yang khusyu’.”

Ciri Ketiga, tawadhu’, yaitu ulama rendah hati dan tidak sombong

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS:  al-Hijr: 88, senada juga QS: asy-Syu’ara’: 215)

Kerendahhatian adalah teladan para Nabi, sedangkan kebalikannya merupakan ajaran Iblis. Bukankah Allah melaknat Iblis karena ia menyombongkan diri?

Oleh karenanya, Maulana al-Husain bin al-Manshur al-Yamani berkata dalam kitab Adabul Ulama’ wal Muta’allimin:  “Ketahuilah, jika kesombongan menguasai hati, maka ilmu-ilmu yang berguna akan tersingkir pula dari dalamnya. Sungguh, sebagaimana air yang tidak pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi, maka demikian pula ilmu tidak akan mau memasuki hati yang di warnai kesombongan.

Ciri Keempat, khusnul khuluq, yaitu berakhlak baik

Inilah akhlak ﷺsebagaimana di nyatakan Al-Qur’an:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

 “Maka di sebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS: Ali ‘Imran: 159).

Jika Rasulullah saja demikian lemah lembut dan santun kepada umatnya, maka mengapa “sebagian orang” bersikap sangat keras dan kasar kepada sesama muslim? Sungguh, kekasaran dan kerasnya sikap orang berilmu akan menjauhkan orang bodoh dari ilmu. Akibatnya, mereka akan abadi dalam gelapnya kejahilan, tidak terterangi cahaya hidayah.

Betapa besar dosa orang-orang yang memalingkan manusia dari agama Allah dengan sikap kasarnya itu. Nyaris saja, sikap ini menyerupai kaum kafir yang gemar memalingkan manusia dari Islam dengan uang, intimidasi, dan rekayasanya!

Al-Ashma’iy berkata: dulu kakek dan nenek kami berpesan, “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. Jika engkau tidak ada, mereka merindukanmu. Jika engkau meninggal, mereka memohonkan rahmat Allah atasmu.” Beliau kemudian bersyair: “Semua perkara akan musnah dan berakhir darimu, kecuali sanjungan karena sesungguhnya ia akan abadi. Seandainya aku di suruh memilih semua keutamaan, pasti aku hanya memilih akhlak-akhlak yang mulia.”

Ciri Kelima, zuhud, yaitu ulama mengerti dan mengutamakan akhirat di banding dunia

Allah berfirman:

فَٱلْتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا ۗ إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا۟ خَٰطِـِٔينَ

 “Berkatalah orang-orang yang di anugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu! Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.” (QS: al-Qashash: 80).

Konteks utuh ayat ini sebenarnya bercerita tentang kekaguman Bani Israil di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam terhadap kekayaan Qarun. Mereka menyangka bahwa kekayaan itu menjadi pertanda keridhaan Allah dan lurusnya kehidupan.

Namun, para ulama di kalangan mereka membantahnya. Sungguh, pahala di sisi Allah itu jauh lebih baik di banding kemegahan duniawi. Wallahu a’lam.

Jadi, bila kita termasuk barisan orang berilmu, mari merenung: apakah sifat-sifat tersebut sudah ada dalam diri kita?*

Pengasuh PP Arrahmah Putri, Batu, Jawa Timur

HIDAYATULLAH

Penyebab Gelap dan Terangnya Hati

Dalam kitabnya yang berjudul Nashaihul ‘Ibad terbitan Mueeza, Syekh Nawawi mengatakan, Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu pernah berkata,

أزبعة من ضلمة القلب: بطن شبعان من غير مبالاة، وصبحة الضالمين، ونسيان الذنوب الماضية، وطول الأمل

“Empat hal yang termasuk penyebab gelapnya hati,”

Pertama, perut yang terlalu kenyang. Menurut Syekh Nawawi, kenyangnya ini lebih dari sepertiga isi usus sebagaimana batas kenyang yang disyariatkan.

Kedua, berteman dengan orang-orang zalim. Menurut Syekh Nawawi, orang yang zalim tersebut maksudnya adalah orang yang melampaui batas menuju kebatilan.

Ketiga, melupakan dosa yang pernah dilakukan. Dengan demikian, menurut Syekh Nawawi, orang tersebut kembali mengerjakan dosanya tersebut tanpa merasa menyesal.

Keempat, panjang angan-angan. Artinya, mengharap sesuatu yang sulit dicapat. Menurut Syekh Nawawi, Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Sesungguhnya sesuatu yang sangat aku khawatirkan atas kalian ada dua, yaitu: mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu berarti menjauhi kebenaran, sedangkan panjang angan-angan mencerminkan cinta dunia.” (HR Ibn Abi al-Dunya).

Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu juga berkata,

وأربعة من نور القلب: بطن جائع من حذر، وصبحة الصالحين، وحفظ الذنوب الماضية، وقصر الأمل

“Ada empat hal yang termasuk penyebab terangnya hati.”

Pertama, yaitu perut lapar karena tindakan hati-hati. Menurut Syekh Nawawi, maksud dair pekataan itu adalah melaparkan perut untuk bersikap waspada dan hati-hati.

Kedua, berteman dengan orang-orang saleh, yaitu orang yang selamat dari segala kerusakan.

Ketiga, mengingat dosa yang pernah dilakukan. Menurut Syekh Nawawi, orang tersebut selalu mengingat dosanya sembari menyesal telah melakukannya.

Keempat, tidak panjang angan-angan. Artinya, orang tersebut menahan dan membastasi angan-angannya.

Ulama asal Banten yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab gelapnya hati dan terangnya hati. Saat mengajarkan hal ini, Syekh Nawawi mengutip perkataan Abdullah ibn Mas’ud.

IHRAM

Ciri-ciri Ulama Palsu

KETENARAN adalah fitnah, popularitas adalah bencana, dan ingin terkemuka adalah penyakit yang menahun. Di antara orang yang terkenal sebagai ulama ada yang bisanya cuma memakai jubah yang lebar, menyisir-nyisir jenggot, membawa siwak yang panjang, dan menampakkan kekusyhuan yang semu, gemar menggoyang goyangkan kepala, suka mencium dahi orang, serta menyukai kata-kata penghormatan dan ungkapan ungkapan pujian.

Bila dikatakan bahwa dirinya adalah berkah bagi seluruh manusia, bahwa Allah menjaga bangsa ini karena dirinya, bahwa semua manusia besar atau kecil berdoa untuknya, dia pasti percaya. Musuh utama ulama palsu itu adalah orang yang tidak mengakui haknya, tidak mencium tangannya, tidak menyebut-nyebut jasanya, dan tidak menyinggung-nyinggung keutamaan keutamaannya. Lawan nomor satunya adalah orang yang mengkritik atau mengoreksinya atau memberikan catatan kepadanya. Tindakan seperti ini menurutnya tidak santun, tidak sopan, dan tidak beradab.

Jika anda sebut namanya tanpa gelar, dan tanpa kata-kata sanjungan, ia akan mengganggap sebuah kesalahan yang tak terlupakan. Jika anda memuji ulama lain dihadapannya, dia pasti mencela anda, mukanya memerah dan murka.

Semua pendapat harus berujung dan berpangkal padanya, dia pikir dia mengetahui berbagai hal dan ilmu. Dia tidak boleh disebut tidak tahu dan tidak boleh dianggap tidak mampu. Itulah ujub dan takabur. Dada orang itu sempit, tidak mungkin dilapangkan kecuali oleh Allah.

Tiga pernyataan para Thagut di muka bumi, dan binasa karena pernyataannya,

– pertama kata “Aku” seperti perkataan Iblis, “Aku lebih baik”

– kedua kata “Kumiliki” yang dikatakan Qarun,” Berkat ilmu yang kumiliki”

– ketiga kata “Milikku” , yang dikatakan Firaun, “Bukankah kerjaan Mesir ini milikku”

Wahai orang yang dibalut ujub, terselimuti kesombongan, dan terbius kelalaian, takkah kau dengar Bilal menyerukan tobat di fajar umurmu, “Marilah mengejar kemenangan”. Maka basuhlah hatimu dengan berwudhu dengan linangan air mata, duduklah di barisan pertama orang-orang yang tobat untuk mendengar takbiratul ihram menghadap Allah, sampai malaikat penjaga Surga Ridwan memanggilmu dengan kemenangan,” Masukilah surga dengan sejahtera dan aman sentosa (QS al Hijr : 46). [Syeikh Aidh Al Qarni]

INILAH MOZAIK

Muhammad bin Sirin, Tabi’in Yang Utama

Selalu banyak ibroh dari perjalanan kehidupan seorang shaleh. Tindakan mereka adalah teladan. Ucapan mereka tuntunan. Bahkan takdir yang mereka alami pun membuahkan faidah pelajaran. Seorang tabi’in (murid para sahabat Nabi) yang bernama Muhammad bin Sirin rahimahullah adalah salah satu di antara mereka.

Ayahnya masuk ke wilayah Islam dengan status seorang budak tawanan perang. Tapi dari sanalah jariyah sang ayah dilahirkan. Anaknya, Muhammad, hidup di tengah sahabat Rasulullah. Terlahir dengan status sebagai anak budak menyandang status sosial terendah. Kemudian melejit melampaui bintang tsurayya di langit sana. Sang anak menjadi seorang faqih, ahli hadits, dan Syaikhul Islam. Inilah di antara kejaiban-keajaiban takdir Allah untuk manusia.

Kisah Awal Kehidupan

Muhammad bin Sirin al-Anshari al-Anasi al-Bashri berkun-yah Abu Bakr. Ia adalah seorang imam panutan dan Syaikhul Islam. Ayahnya adalah bekas sahaya Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Anas membelinya dari Khalid bin al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar. Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila ia mampu membayar sejumlah uang. Sirin pun berhasil melunasinya hingga menjadi seorang yang merdeka. Adapun Ibu Muhammad bin Sirin bernama Shaffiyah. Sang ibu pernah menjadi sahaya Abu Bakar.

Nasab dan status sosial rendah tidak menghalangi seseorang dari kemuliaan. Kedua orang tua Muhammad bin Sirin adalah bekas budak, namun sang anak menjadi tokoh terkemuka. Diingat hingga sekarang, belasan abad lamanya. Siapa yang nasabnya tinggi, memiliki jabatan dan kedudukan, tapi jauh dari ketakwaan, hal itu hanyalah kebanggaan yang tak bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ومن بطع به عمله لم يسرع به نفسه

“… Siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim, No. 6299).

Anas bin Sirin -saudara Anas- berakta, “Saudaraku, Muhammad, dilahirkan dua tahun sebelum kekhalifahan Umar berakhir. Sedangkan aku dilahirkan satu tahun setelahnya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/606).

Mengenal Muhammad bin Sirin

Diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya bahwa Muhammad bin Sirin adalah seorang yang sibuk setiap harinya (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Beliau adalah seorang yang sering was-was. Sampai-sampai kalau berwudhu, ia mencuci kakinya hingga betis (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/618).

Di zaman dulu, orang-orang membuat stempel (bisa mewakili tanda tangan) dengan cincin yang mereka pakai. Karena itu, cincinnya biasanya diberi nama. Muhammad bin Sirin pun demikian. Ia menamai cincinnya dengan kun-yahnya Abu Bakr. Dan ia kenakan cincin itu di tangan kirinya (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/618). Ia juga terbiasa menggunakan syal. Di musim dingin ia memaki jubah putih, imamah putih, dan pakaian dari kulit hewan (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153). Sulaiman bin al-Mughirah mengatakan, “Aku melihat Ibnu Sirin mengenakan pakaian tebal, syal, dan imamah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153).

Kehati-hatian Dalam Mencari Rezeki

Dari as-Sirri bin Yahya, ia berkata, “Muhammad bin Sirin pernah meninggalkan nilai keuntungan 40.000 dalam suatu permasalahan yang masih diperselisihkan oleh seorang ulama.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar Salaf ash-Shalih. Tahqiq Dr. Karom bin Hilmi. Cet. Dar ar-Rayah li an-Nasyr wa at-Tauzi, Riyadh. Hal: 920).

Terkadang ada suatu permasalahan yang diperselisihkan hukum fikihnya. Apakah ini mubah atau makruh. Kasus lainnya, ini makruh atau haram. Dalam kasus Muhammad bin Sirin, banyak ulama menyebutkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan adalah sah. Namun ada minoritas ulama yang menyebutkan cara memperoleh keuntungan tersebut adalah cara yang tidak sah. Artinya, keabsahannya diperselisihkan. Walaupun dominannya menyatakan sah. Tapi untuk kehati-hatian Muhammad bin Sirin lebih memilih meninggalkannya.

Kerendahan Hati

Muhammad bin sirin adalah seseorang yang dikenal memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Suatu hari Ma’mar berkata, “Ada seseorang yang datang menemui Ibnu Sirin. Ia berkata, ‘Aku melihat dalam mimpiku ada seekor merpati memakan mutiara. Keluarlah dari merpati itu sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia makan. Aku lihat merpati lain yang juga memakan Mutiara. Kemudian keluar sesuatu yang lebih kecil dari apa yang dia makan. Setelah itu, kulihat merpati lain memakan Mutiara. Kemudian keluar darinya sesuatu yang sama besarnya dengan yang ia makan.” Muhammad bin Sirin berkata, “Yang pertama, itu adalah al-Hasan. Ia mendengar hadits dan ia perbagus pengucapannya. Kemudian ia dapatkan hikmah-hikmahnya. Adapun yang kecil, itu adalah aku. Aku mendengar hadits, namun aku lupa hadits tersebut. Adapun yang keluar sama dengan yang masuk, itu adalah Qatadah. Ia adalah orang yang paling kuat hafalannya.” (Khalid ar-Ribath/Sayid Azat Id: al-Jami’ li Ulumi al-Imam Ahmad, 18/469).

Mimpi Ma’mar ini ditafsirkan oleh Muhammad bin Sirin dengan bagaimana para pewarta (perawi) hadits tatkala menerima hadits. Di antara nama yang beliau sebutkan adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, dan beliau sendiri. Yang paling terbaik dalam menerima hadits adalah al-Hasan. Ia hafal teksnya secara utuh. Dan mampu memahami kandungannya dengan baik. Sementara Qatadah di bawah al-Hasan. Dan ia sendiri menyatakan bahwa dua tabi’in tersebut lebih baik darinya.

Berbakti Pada Ibu

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin sendiri bahwa setiap ibunya memandang dan berbicara dengannya, pasti ia menunduk dan merendah pada ibunya (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf ash-Shalih. Hal: 923).

Hisyam bin Hasan berkata, Hafshah binti Sirin (saudari Muhammad) berkata, “Ibu Muhammad bin Sirin adalah ibu Muhammad al-Hijaziyah. Sang ibu sangat suka dengan pakaian yang diwantek. Apabila Muhammad bin Sirin membeli pakaian, ia akan belikan pakaian terbaik untuk ibunya. Saat tiba hari Id, ia wantek pakaian itu. Aku tak pernah melihatnya meninggikan suara kepada ibu. Saat ia bicara dengannya, ia bicara penuh dengan kelembutan.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/216).

Diriwayatkan, apabila Muhammad bin Sirin bersama ibunya dan orang yang tak mengenalnya melihat hal itu, pastilah orang orang itu menyangka dia sedang sakit. Karena ia menundukkan suaranya saat berbicara dengan sang ibu.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/148).

Wara’ (Menjauhi Yang Haram dan Syubhat)

Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.

Dari Bakr bin Abdullah al-Mazini, ia berkata, “Siapa yang senang melihat orang yang paling wara’ di zamannya, maka lihatlah Muhammad bin Sirin. Demi Allah, kami tidak menemui orang yang lebih wara’ melebihi dirinya.” (al-Ka’bi: Qubul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/213).

Dari Ashim al-Ahul, ia mendengar Muriqan al-Ujli berkata, “Aku tak pernah melihat seorang yang paling paham tentang wara’ dan paling wara’ dalam fikihnya melebih Muhammad bin Sirin.” (al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 3/283).

Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman al-Buti, ia berkata, “Tidak ada seorang pun di Kota Bashrah yang paling berilmu tentang hukum melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/608).

Asy’ats berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin ditanya tentang perkara halal dan haram, rona wajahnya berubah. Sampai orang-orang berkata, ‘Seakan-akan itu bukan dia’.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/153).

Ketika orang mendesaknya untuk memutuskan hukum suatu permasalahan, apakah halal, haram, mubah, atau makruh, ia tidak senang dengan hal itu. Karena ia tidak bermudah-mudahan dalam berfatwa.

Hisyam bin Hasan, “Suatu hari Muhammad bin Sirin tampak murung dan bersedih. Ada yang bertanya, ‘Mengapa murung seperti ini, Abu Bakr (kun-yah Ibnu Sirin)?’ Ia menjawab, ‘Kesedihan ini dikarenakan dosa yang kulakukan 40 tahun yang lalu’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/226).

Dari ucapan Ibnu Sirin ini, kita mengetahui dari mana datangnya perasaan sedih dan gundah yang sering kita alami. Itu adalah buah pahit dari dosa yang telah kita lakukan. Bedanya adalah kita tidak mengetahui gundah tersebut akibat dosa yang mana. Karena terlalu banyak kita melakukan perbuatan dosa. Kita tak mampu menunjuk dari dosa mana kesedihan itu berasal. Sedangkan Muhammad bin Sirin, ia bisa tahu gundah itu berasal dari dosa yang mana. Karena sedikitnya perbuatan dosa yang ia lakukan, masyaallah… Seperti halnya Nabi Ibrahim, ia mampu mengingat jumlah kebohongannya. Karena beliau sedikit sekali berbohong. Sementara kita tak bisa menghitung lagi berapa jumlah kebohongan kita. Karena terlalu banyak untuk diingat.

Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh aku tahu dosa mana yang membuatku memiliki utang. 40 tahun yang lalu aku pernah berkata pada seseorang, ‘Hai orang yang bangkrut’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 43/545-546). Ucapan ini serupa dengan riwayat sebelumnya. Menunjukkan betapa beliau sedikit berbicara. Kalaupun berbicara, ia jaga lisannya sehingga sedikit terjatuh dalam salah ucapan.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, “Tidak ada orang Kufah atau Bashrah yang memiliki sifat wara’ semisal Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/610).

Ibnu Syubrimah berkata, “Aku berjumpa dengan Muhammad bin Sirin di Wasath. Aku tak pernah melihat seorang yang ‘pelit’ dalam fatwa dan paling mampu menafsir mimpi melebihi dirinya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614). Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab permasalahan agama. Walaupun ia seorang ulama yang diakui keilmuannya.

Yunus bin Ubaid berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin dihadapkan pada dua perkara tentang jaminan/perjanjian, pastilah ia ambil salah satu yang paling yakin ia mampu tunaikan.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614).

Hisyam berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang paling teguh pendiriannya di hadapan penguasa melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/155).

Teguh pendirian di hadapan penguasa tidaklah mudah. Kita sendiri saja sering goyah ketika berhadapan dengan teman kita. Teman kita meminta suatu hal, padahal urusan tersebut menimbulkan dosa, tapi karena merasa tidak enak, kita pun melakukannya. Banyak orang yang tahu hukum jabat tangan dengan non mahram itu haram, tapi karena tidak enak beda sendiri, ia pun jabat tangan non mahram tersebut. Baru diuji dengan teman saja kita sudah tak mampu mempertahankan prinsip. Apalagi diuji berhadapan dengan penguasa. Wallahul musta’an.

Menjaga Kehormatan dan Wibawa

Ada yang mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin tidak makan di hadapan banyak orang. Saat ia diundang, ia akan datang namun tidak makan. Apabila Muhammad bin Sirin diundang ke sebuah acara, beliau masuk ke rumahanya dan berkata, “Beri aku sedikit minuman.” Orang-orang bertanya mengapa hanya sedikit saja. Ia menjawab, “Aku tidak suka memuaskan rasa laparku dengan mengambil jatah makan orang.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 921). Mungkin kondisi di zaman dulu, jamuan makan itu tidak sebanyak di zaman sekarang. Sehingga ia lebih mengedepankan orang lain dibanding dirinya.

Muhammad bin Sirin mendengar seseorang yang mencela al-Hajjaj bin Yusuf, ia datangi orang tersebut dan berkata, “Ada apa? Di akhirat nanti, dosa terkecil yang pernah kau lakukan lebih berat bagimu dari dosa terbesarnya al-Hajjaj. Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Adil. Kalau Allah menyiksa al-Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang lain, pasti Allah juga akan mengadzab seseorang yang menzalimi al-Hajjaj. Karena itu, jangan sibukkan dirimu dengan mencela seorang pun.” (ash-Shufdi: al-Wafi bil Wafiyat, 11/241).

Pemimpin yang zalim akan dihisab bahkan diadzab karena kezalimannya. Tapi hal itu tidak membuat mencelanya dihadapan orang-orang atau di sosial media menjadi halal dan legal. Mencela orang tetaplah perbuatan tercela. Dan akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Ibadahnya

Ibnu Sirin punya kebiasaan membaca tujuh wirid di malam hari. Kalau ada bacaan tersebut yang ia lewatkan, maka akan ia baca di siang hari (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Ia terbiasa berpuasa satu hari dan tidak puasa di hari berikutnya (puasa Dawud) (Ibnu Asakit: Tarikh Dimasyq, 53/210). Hal ini menunjukkan konsistennya dalam menunaikan amalan hariannya. Dan amalan yang utama adalah amalan yang dilakukan secara konsisten.

Dari Bisyr bin Umar, ia berkata, “Ummu Ibad istri dari Hisyam bin Hasan menyampaikan padaku, ‘Kami pernah singgah bersama Muhammad bin Sirin di suatu tempat. Kami mendengar tangisnya di malam hari dan tawanya di siang hari’.” (Jamaluddin al-Mizzi: Tahdzib al-Kamal fi Asma-i ar-Rijal, 25/352). Artinya, saat ia menyendiri dengan mengagungkan Allah, ia menunjukkan rasa takut dan merenungi kesalahan-kesalahannya. Saat bersama dengan manusia di siang hari, ia menunjukkan wajah yang ceria. Bukan sebaliknya. Ia tidak bersedih-sedih menampilkan keshalehan dan rasa takut saat bersama orang-orang. Tapi, saat sendiri tak ada manusia yang melihat malah berbuat dosa.

Kalau lewat di pasar dan bertemu orang-orang, ia ingatkan mereka untuk bertasbih mensucikan Allah dan mengingat-Nya Azza wa Jalla (Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 2/420). Inilah di antara gambaran pasa di zaman salaf. Aktivitas pedagang dan pengunjung tidak hanya membicarakan dunia semata. Tapi juga tetap berdzikir bahkan terdapat riwayat mereka ngobrol-ngobrol permasalahan fikih di pasar. Masyaallah…

Diriwayatkan pula bahwa Muhammad bin Sirin rahimahullah tidaklah memasuki pasar di siang hari kecuali dalam keadaan bertakbir, bertasbih, dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kemudian seseorang berkata padanya, “Hai Abu Bakr, apakah di waktu seperti ini?” Ia menjawab, “Ini adalah waktu dimana banyak orang sedang lalai.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 923).

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang demikian:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Bercanda

Dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian. Penasihat. Kuat memegang kebenaran. Semua itu bukan berarti beliau tak memiliki selera humor yang baik. Bahkan ia dikenal sebagai seorang yang suka tertawa dan bercanda. (al-Ka’bi: Qabul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/215).

Sebagian orang kalau sudah menjadi tokoh hilanglah selera humornya. Ia menganggap wibawanya akan jatuh kalau sesekali bercanda dan tertawa. Padahal canda tan tawa adalah pemanis interaksi. Dan merekatkan hubungan. Selama itu tidak berlebihan.

Tafsir Mimpi

Sebagian orang dikaruniakan Allah memiliki ketajaman firasat dan kemampuan menafsirkan mimpi dengan tepat. Di antara orang tersebut adalah Muhammad bin Sirin. Pernah ada seseorang bertanya padanya, “Aku bermimpi bahwa aku menjilat madu dari sebuah gelas minum yang terbuat dari permata.” Ibnu Sirin menjawab, “Bertakwalah kepada Allah. Ulangilah hafalan Alquranmu. Karena sesungguhnya engkau membacanya kemudian melupakannya.”

Ada seorang yang bertanya, “Aku bermimpi buang air kecil darah.” Ia menjawab, “Apakah kau mendatangi istrimu dalam keadaan haidh?” “Iya”, jawabnya. “Bertakwalah kepada Allah dan jangan kau ulangi hal itu,” kata Ibnu Sirin.

Ibnu Sirin bermimpi seolah melihat bintang al-jauza mendahului bintang tsurayya. Kemudian ia berwasiat. Dan berkata, “al-Hasan al-Bashri akan wafat. Kemudian aku. Dan dia lebih mulia dariku.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 924-925).

Ada seseorang yang berkata pada Ibnu Sirin, “Aku bermimpi bahwa aku memegang gelas terbuat dari kaca yang berisi air. Kemudian gelas itu pecah. Tapi airnya tetap ada.” Ibnu Sirin menanggapi, “Bertakwalah pada Allah. Engkau tidak mimpi apapun.” “Subhanallah,” kata orang tersebut. Ibnu Sirin melanjutkan, “Siapa yang dusta, aku tidak menanggungnya. Tapi istrimu akan melahirkan kemudian meninggal. Sementara anaknya tetap hidup.” Saat orang tersebut pergi, ia berkata, “Demi Allah, aku memang tak memimpikan apapun.” Kemudian istrinya melahirkan dan meninggal (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/232).

Wafat

Sejarawan sepakat kalau Muhammad bin sirin wafat di Kota Bashrah pada tahun 110 H. Tepat 100 hari setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri. Muhammad bin Zaid berkata, “Hasan wafat di awal Rajab tahun 110 H. Kemudian Muhammad bin Sirin wafat 9 hari setelah berlalu bulan Syawal tahun 110 H (An-Nawawi: Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/84 dan adz-Dzahabi: Tarikh al-Islami, 3/159).

Wasiat Muhammad bin Sirin rahimahullah untuk keluarganya sepeninggalnya adalah agar mereka bertakwa kepada Allah. Dan memperbaiki hubungan sesama mereka. Kemudian agar mereka menaati Allah dan Rasul-Nya kalau mereka benar-benar orang yang beriman. Ia juga mewasiati keluarganya dengan wasiat Ibrahim dan Ya’qub kepada keluarganya:

يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

Ia juga mewasiatkan agar keluarganya menjadi saudara yang saling menolong dan mencintai di atas agama. Dan mengatakan bahwa menjaga kesucian diri dan jujur adalah lebih baik, lebih kekal, dan lebih mulia dari zina dan dusta (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153-154).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)


KISAH MUSLIM

Hasan al-Bashri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, salah satu imam tabi’in terkemuka yang ucapan hikmahnya menyerupai perkataan seorang nabi, seorang yang kafah dan rupawan yang telah menghabiskan seluruh umurnya untuk ilmu dan amal.

Nama ayah beliau adalah al-Yasar maula Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu sahabat pilihan dan penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, ibu beliau adalah Khoiroh maula Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau lahir di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, tepatnya dua tahun terakhir beliau menjadi khalifah.

Kelahiran al-Hasan sangat menggembirakan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahkan sang ibunda (Khoiroh) menyerahkan kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha untuk memberikan nama pada anaknya. Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu pun memberi nama dengan nama yang beliau senangi, al-Hasan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha begitu sangat mencintai al-Hasan sehingga takala sang ibu keluar untuk memenuhi hajat ummul mukminin, maka beliaulah yang mengasuh, mendiamkan tangisnya bila ia menangis, bahkan ia menyusuinya. Karena besarnya kasih sayang Ummu Salamah radhiallahu ‘anha kepada al-Hasan hingga air susunya keluar membasahi kerongkongannya sehingga Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menjadi ibu susuan al-Hasan setelah sebelumnya ia adalah ibu bagi seluruh kaum muslimin. Maka tinggallah ia di bawah kepengasuhan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak ilmunya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kurang lebih sebanyak 387 hadis telah ia hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang wanita yang mampu baca tulis sejak masa jahiliah sehingga al-Hasan kelak akan menjadi seorang pemuda yang gagah, rupawan, dan pemberani yang akan mewarisi warisan nubuwwah berupa ilmu dan amal.

Demikian pula kegembiraan itu tampak pada keluarga Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu karena al-Yasar adalah orang yang sangat ia cintai.

Setelah al-Hasan mencapai usia baligh, ia dan keluarganya pindah ke Bashrah sehingga ia dikenal sebagai al-Hasan al-Bashri.

Al-Imam AAdz-Dzahabi berkata, “Al-Hasan adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan pemberani.”

Pujian Ulama Kepada Hasan al-Bashri

Setelah al-Hasan tumbuh menjadi seorang pemuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kecerdasan kepadanya, maka beliau menimba ilmu kepada para sahabat kibar (senior) seperti Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan sejumlah sahabat kibar lainnya radhiallahu ‘anhum. Dengan kemapanan ilmu dan kesungguhan dalam ibadah hal itu semakin menambah keutamaan bagi al-Hasan. Sehingga tidak heran bila Qotadah mengatakan, “Al-Hasan adalah orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram.”

Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih serupa dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding beliau.”

Humaid bin Hilal berkata, “Suatu hari Abu Qotadah berwasiat kepada kami, “Tekunilah Syaikh ini, karena aku tidak melihat seorang yang pendapat-pendapatnya lebih mirip dengan pendapatnya Umar selain beliau.”

Anas bin Malik berkata, “Bertanyalah kalian kepada al-Hasan, karena beliau selalu ingat tatkala kami lupa.”

Potret Ibadah Beliau

Ibrahim bin Isa al-Yaskuri berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang selalu berada dalam kesedihan (takut akhirat ed.) kecuali al-Hasan. Aku tidak melihatnya melainkan seperti seorang yang baru terkena musibah.”

As-Surri bin Yahya berkata, “Adalah al-Hasan selalu berpuasa bidh, puasa pada bulan-bulan haram (mulia), demikian juga puasa Senin dan Kamis.”

Dari Syu’aib ia berkata, “Aku pernah melihat al-Hasan tengah membaca Alquran sedang ia menangis sampai mengalir air matanya membasahi jenggotnya.”

Sikap Beliau Terhadap Fitnah

Di kala itu, kepemimpinan kaum muslimin jatuh ke tangan seorang pemimpin zalim, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Karena kezalimannya banyak kaum muslimin yang dibunuh secara zalim. Sebagian orang tidak sabar melihat kekejaman dan kezaliman pemimpin mereka itu di saat mereka seharusnya memberikan ketaatannya kepada kholifah kaum muslimin. Di antara mereka adalah sebagian kelompok yang dipimpin oeh Ibnu Asy’ats yang tengah merekrut dan menyusun kekuatan untuk mengkudeta pemimpin mereka al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Di tengah gejolak fitnah besar yang merata semacam itu, seorang muslim akan diuji siapakah di antara mereka yang tetap berada dalam jalan selamat yang ditunjukkan oleh syariat dan tampaklah orang-orang yang tidak sabar lalu meninggalkan syariat. Oleh karena itu, mari kita menimba ilmu dari seorang alim tabi’in tentang bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi fitnah.

Dari Sulaiman bin Ali ar-Rab’i ia berkata, “Tatkala terjadi fitnah Ibnu Asy’ats yang hendak meemrangi al-Hajjaj, pergilah Uqbah bin Abdil Ghafir, Abul Jauza, dan Abdullah bin Ghlalib untuk menemui al-Hasan dan meminta fatwa kepada beliau. Mereka memerangi seorang thaghut ini (al-Hajjaj bin Yusuf, pen.) yang telah menumpahkan darah yang haram untuk ditumpahkan, dan merampas harta yang haram untuk dirampas, telah meninggalkan shalat, dan telah melakukan ini dan itu…’ (Mereka menyebutkan semua tindak-tanduk dari al-Hajjaj bin Yusuf). Lalu al-Hasan berkata, ‘Namun, aku berpendapat kalian jangan memeranginya. Karena kalaulah ia adalah suatu hukuman untuk kalian, maka sekali-kali kalian tidak akan mampu menolak hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pedang-pedang kalian, namun bila ia adalah musibah dan ujian untuk kalian, maka bersabarlah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukum kepada kalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik yang memutuskan hukum.’ Namun, mereka tidak menggubris perkataan al-Hasan bahkan mengatakan, ‘Apakah kita akan menaati perkataan keledai liar itu..!? (Hajaj)’ Mereka pun tetap nekad keluar bersama Ibnu Asy’ats hingga akhirnya mereka terbunuh semua.”

Beliau juga mengatakan, “Seandainya manusia tatkala diuji dari sisi pemimpinnya mereka mau bersabar, tentu mereka akan mendapat jalan keluarnya. Namun, mereka begitu tergesa-gesa menghunus pedang-pedang mereka. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah mereka datang dengan membawa kebaikan.”

Beberapa Perkataan Mutiara Hasan al-Bashri

Dari Imran bin Khalid bahwa al-Hasan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mukmin yang sesungguhnya adalah yang selalu merasa sedih baik di kala pagi maupun sore, karena dia akan selalu di antara dua rasa takut, antara dosa yang sebelumya telah ia perbuat sedang ia tidak atahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perbuat kepadanya dan ajal yang akan menjemputnya yang juga ia tidak tahu apa yang akan menimpanya dari kebinasaan.”

Dari Hazm bin Abi Hazm ia mengatakan, “Aku pernah mendengar al-Hasan berkata, ‘Sungguh jelek dua sahabat ini yaitu dinar dan dirham, karena keduanya tidak akan memberi manfaat kepadamu sampai keduanya berpisah darimu’.”

Beliau juga mengatakan, “Tidaklah seorang yang memuliakan dirham kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.”

Dari Zuraik bin Abi Zuraik ia berkata bahwa al-Hasan pernah mengatakan, “Sesungguhnya fitnah apabila datang maka akan diketahui oleh setiap yang alim dan apabila ia lenyap baru diketahui oleh setiap yang jahil.”

Wafatnya Beliau

Dari Abdul Wahid bin Maimun maulah Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seorang kepada Ibnu Sirin seraya mengatakan, ‘Aku bermimpi melihat seekor burung mengambil kerikilnya al-Hasan di masjid.’ Lalu Ibnu Sirin berkata, ‘Seandainya yang kamu ucapkan benar maka berarti al-Hasan akan meninggal dunia.’ Tidak berselang lama lalu meninggallah al-Hasan.”

Dari Hisyam bin Hassan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Muhammad bin Sirin pada sore hari di hari Kamis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki selepas shalat Asar seraya mengabarkan bahwa al-Hasan telah meninggal dunia, maka Muhammad bin Sirin mendoakannya dan sepontan raut mukanya berubah kemudian diam seribu basaha. Beliau tidak berbicara sampai tenggelam matahari.”

Al-Hasan al-Bashri meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 110 H dalam usia 88 tahun. Jenazahnya disaksikan oleh semua orang. Ia dishalatkan setelah selesainya shalat Jumat di Bashrah, dan orang-orang berdesak-desakan sampai-sampai shalat Asar tidak ditegakkan di masjid jami’ tersebut.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Hasan al-Bashri dengan rahmat yang luas dan memasukkan kita semuanya ke surga-Nya yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat untuk diraih. Amin.

Mutiara Teladan

Beberapa teladan yang dapat kita petik dari imam besar ini di antaranya.

  1. Kegagahan dan ketampanan serta nasab bukanlah tolok ukur keutamaan seseorang. Ketakwaan, ilmu, dan amal seseorang itulah yang menjadi landasan penilaian keutamaan.
  2. Kewajiban rakyat adalah tetap wajib menaati pemimpinnya, sekalipun mereka berbuat zalim kepada kita, selama mereka tetap muslim dan melaksanakan shalat, karena hal itu membawa maslahat yang lebih umum, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada umatnya dalam mengahdapi pemimpin yang zalim: “Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat kepada pemimpin sekalipun ia menzalimimu dan mengambil hartamu, maka tetaplah kalian wajib mendengar dan menaatinya,” (HR. Muslim)
  3. Sikap seorang mukmin tatkala terjadi fitnah adalah bersikap wara’ dan menjauhkan diri dari fitnah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita tentang hal ini dalam sabdanya,

Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih utama dari orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan masih lebih baik dari yang memiliki andi di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 4/486)

Maka jalan yang selamat tatkala terjadi fitnah adalah berusaha menjauhkan diri dari fitnah sejauh-jauhnya dan jangan sekali-kali menceburkan diri dalam fitnah tersebut karena hal itu berarti kebinasaan. Wallahul muwaffiq.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H

KISAH MUSLIM

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 2)

Dalil-dalil larangan ghuluw terhadap orang shalih

Bismillah walhamdulillah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du:

Disebutkan oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abiid sebuah bab yang berjudul :

باب ما جاء أن سبب كفر بني آدم وتركهم دينهم هو الغلو في الصالحين

Bab (tentang) sebab kekafiran manusia dan sebab mereka meninggalkan agama Islam adalah melampaui batas terhadap orang shalih.

Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil tentang larangan bersikap melampaui batas terhadap orang shalih atau yang dikenal dengan istilah ghuluw terhadap orang shalih.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian!”

Dalam Ash-Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” (QS. Nuuh: 23)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا، وسموها بأسمائهم، ففعلوا. ولم تعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسي العلم عُبدت

“Ini adalah nama-nama orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan godaannya kepada kaum mereka,

“Dirikanlah patung-patung di majelis-majelis yang dahulu didatangi oleh orang-orang shalih itu. Dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.”

Kemudian kaum itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, dan sewaktu itu patung-patung tersebut belumlah disembah. Sampai orang-orang yang mendirikan patung tersebut telah mati dan (ketika itu) ilmu tauhid telah dilupakan, akhirnya patung-patung tersebut disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah Ta’ala menjelaskan,

“Lebih dari seorang salaf shalih yang berkata,

لما ماتوا عكفوا على قبورهم، ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم

“Tatkala orang-orang shalih itu meninggal dunia, mulailah orang-orang berlama-lama berdiam diri di makam mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung orang-orang shalih tersebut. Berlalulah masa yang panjang, hingga mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut.”

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nashara melampaui batas dalam menyanjung Nabi Isa putra Maryam! Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah ) hamba Allah dan Rasul-Nya!” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas! Karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan kaum sebelum kalian!” (HR. An-Nasaa’i dan selainnya, dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahumallah)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون ، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas!” (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali)

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Dia yang Kita Sebut Ulama

Terkadang saya bertanya dalam hati, apa yang harus disenangi dari melihat dan mendengar sebuah ceramah seorang ulama, yang isinya hanya menjelek-jelekan seseorang dengan diselingi teriakan teriakan asma Tuhan.

Alih-alih mendapatkan siraman rohani untuk meningkatkan ketaatan kepada Sang Khaliq, malah kita mendapatkan setruman untuk meningkatkan kebencian yang seharusnya direda, malah disengaja untuk dihidupkan.

Dewasa ini kita sedang mengalami krisis moral. Krisis moral yang terjadi ditandai dengan maraknya kenakalan-kenakalan remaja yang makin hari makin marak terjadi. Pemerintah, melalui pendidikan, mencoba menciptakan suatu sistem pembelajaran untuk menangani hal tersebut.

Dari ini lahirlah apa yang kita kenal dengan kurikulum 2013, kurikulum yang berfokus untuk membentuk karakter anak didik. Meski terus mengalami pembenahan sana-sini, pemerintah berharap melalui penerapan kurikulum ini, anak didik dapat tumbuh menjadi anak-anak yang menjaga nilai-nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Itu peran pemerintah, umara kita. Namun, yang perlu diingat adalah untuk membangun suatu bangsa yang kuat dan sehat tentu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Kita tidak hanya bisa berpangku tangan menyerahkan segalanya kepada pemerintah, oleh karenanya masyarakat juga dituntut aktif di dalam menjaga bangsa yang dielu-elukan menjadi istimewa ini.

Dalam masyarakat, ada seseorang yang ditokohkan. Baik karena ilmunya, sikapnya, bijaknya atau karena agamanya, yang dalam hal ini bisa kita sebut sebagai seorang ustad, kiai, habib yang biasanya kesemuanya sering kita samakan dengan istilah ulama.Ya, ulama yang lahir dan hidup secara langsung di masyarakat mempunyai peranan penting di dalam menjaga keutuhan bangsa. Ia seharusnya menjadi garda terdepan di dalam melayani umat terutama melalui pendidikan agama yang ia ajarkan dan amalkan.

Ulama yang baik adalah ulama yang benar-benar mengayomi dan mendidi masyarakan dengan mengamalkan dalil-dalil agama yang ia ketahui, bukan dengan cara mendalili amal-amal yang ia kerjakan. (kalimat ini saya dapatkan dari dosen saya di kampus).

Ulama, dengan karifan dan kebijaksanaannya seharusnya bersama ikut membantu Umara di dalam mewujudkan karakter anak bangsa yang menjaga nilai-nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh Ulama dalam mewujudkannya, melalui ceramah, melalui pengajian-pengajian, atau melalui pesantren yang ia miliki. Dalam hal ini, santri yang menjadi penghuninya, menjadi sasaran ajaran dari sang ulama tersebut.

Namun, seribu sayang, ulama yang seharusnya ikut membantu menciptakan karakter anak bangsa yang baik, malah justru melumpuhkannya dengan cara menanamkan benih-benih kebencian pada anak bangsa.

Ulama yang seharusnya bersama umara saling melengkapi, malah justru menyerang umara tanpa henti, merendahkan, dan memfitnah. Mengkritisi beda dengan mencaci. Yang kedua ini justru lebih sering digaungkan daripada yang pertama.

Narasi-narasi kebencian, menjadi hidangan lezat masyarakat kita saat ini. Dibumbui dengan dalil-dalil agama yang semakin menambah cita rasa kebencan yang haqiqi.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Ibnu Abi Dawud rahimahullah

Bismillah.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa mengenali para ulama akan memberi pengaruh besar bagi seorang muslim. Karena seorang muslim wajib beribadah kepada Allah dengan landasan ilmu dan petunjuk. Maka, mengenali para ulama sang pembawa ilmu akan lebih mendorong dan memotivasi kita dalam belajar dan mendalami Islam.

Salah satu di antara ulama terdahulu yang patut dijadikan teladan dan panutan oleh kaum muslimin adalah seorang ulama yang bernama Abdullah bin Sulaiman bin al-Asy’ats yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Dawud. Hal itu disebabkan beliau adalah anak dari seorang ulama hadits yang populer yaitu Imam Abu Dawud sang penulis Sunan Abu Dawud.

Perjalanan menuntut ilmu

Ibnu Abi Dawud lahir di daerah Sijistan pada tahun 230 H. Sejak belia, Allah telah berikan taufik kepadanya untuk menimba ilmu agama. Beliau menceritakan, “Pertama kali aku ikut menulis hadits pada tahun 241 H dari Muhammad bin Aslam ath-Thusi. Hal itu terjadi di daerah Thus. Beliau adalah seorang yang salih. Ayahku -Abu Dawud- merasa senang mengetahui bahwa aku menulis hadits darinya. Beliau pun berkata kepadaku, “Pertama kali kamu menulis hadits ini adalah dari seorang lelaki yang salih.”.”

Ibnu Abi Dawud juga menuturkan, “Aku pun sempat melihat jenazah Ishaq bin Rahawaih -beliau adalah ulama ahli hadits besar salah satu guru dari Imam Bukhari- dan beliau, yaitu Ishaq bin Rahawaih, meninggal pada tahun 238 H. Sedangkan aku ketika itu bersama dengan anaknya belajar di sekolah/madrasah kuttab.”

Ayahnya -yaitu Imam Abu Dawud- pun mengirim putranya itu untuk menimba ilmu ke berbagai wilayah dari Sijistan untuk mengembara ke daerah timur dan barat. Dan beliau pun mengajak putranya itu untuk mendengar hadits dari para ulama di masanya. Sehingga beliau pun ikut hadir dalam majelis para ulama hadits di Khurasan, Ashbahan, Naisabur, Bashrah, Baghdad, Kufah, Mekkah, Madinah, Syam, Mesir dan yang lainnya hingga menetap di Baghdad.

Guru dan murid beliau

Ibnu Abi Dawud adalah seorang yang sangat bercita-cita tinggi dalam mencari ilmu semenjak usia belia. Beliau mendengar hadits dari para ulama di antaranya:

  • Ishaq bin Manshur al-Kusaj
  • Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -salah satu guru dan rekan Imam Bukhari-
  • Muhammad bin Basyar Bundar
  • Muhammad bin al-Mutsanna
  • Ya’qub ad-Dauraqi, dan lain-lain

Adapun murid-muridnya adalah para penimba ilmu tulen yang kemudian tumbuh menjadi para ulama rujukan, di antaranya adalah :

  • Abu Bakr asy-Syafi’i
  • Imam ad-Daruquthni
  • Imam Abdurrahman bin Abi Hatim
  • Imam al-Ajurri
  • Imam Ibnu Baththah, dan lain-lain 

Ulama pembela aqidah ahlus sunnah

Ibnu Abi Dawud yang juga dikenal dengan panggilan Abu Bakr bin Dawud adalah salah satu ulama pemuka dan pembela Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau sosok yang mengikuti dan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, walaupun secara fikih furu’ beliau adalah seorang penganut madzhab Hambali. Namun dalam hal pokok-pokok agama beliau konsisten mengikuti jalan Ahlus Sunnah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang terkenal dengan julukan Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Walaupun sebutan ini tidak berarti hanya Imam Ahmad yang menjadi satu-satunya tokoh pemuka Ahlus Sunnah. Karena pada hakikatnya, Ahlus Sunnah adalah para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan di antara para ulama Ahlus Sunnah yang terkenal adalah para imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad, semoga Allah merahmati mereka semuanya.   

Imam Ibnu Abi Dawud adalah seorang panutan dalam aqidah dan manhaj Islam. Beliau memiliki kemuliaan akhlak dan ketegasan sikap terhadap kaum yang menyimpang. Beliau pernah mengatakan, “Semua orang yang pernah menceritakan keburukan atau menggunjing diriku maka dia telah aku maafkan kecuali orang yang menuduhku membenci Ali bin Abi Thalib.” Hal ini karena ada sebagian orang yang menuduh beliau membenci Ahlul Bait, padahal itu adalah kedustaan.

Beliau telah menyusun sebuah sajak atau pantun manzhumah yang menjadi rujukan para ulama sesudahnya dalam memaparkan Aqidah Islam. Kitab itu terkenal dengan nama Manzhumah Haa-iyah. Disebut dengan “Haa-iyah” karena akhir dari setiap baitnya diakhiri dengan huruf haa’ (tipis). Karena saking berpegang teguhnya dengan dalil dan pemuliaannya kepada para ulama maka sebagian ulama Syafi’iyah pun memasukkan beliau dalam kelompok ulama pembela madzhab Syafi’I, sementara sebagian ulama lain memasukkan beliau dalam jajaran ulama pembela madzhab Hambali. Dan hal ini menunjukkan kedudukan beliau yang tinggi di hadapan para ulama.

Pujian para ulama

Para ulama memuji dan memuliakan Abu Bakr bin Dawud. Berikut ini di antara pujian dan penghormatan mereka kepada sosok ulama ini :

  • Abu Abdirahman as-Sulami berkata : Aku bertanya kepada ad-Daruquthni mengenai Abu Bakr bin Dawud. Maka beliau mengatakan, “Dia adalah orang tsiqah/terpercaya.”
  • Al-Hafizh Abu Muhammad al-Khallal berkata : “Ibnu Abi Dawud adalah seorang imam penduduk Iraq, bahkan penguasa pada saat itu telah memberikan untuknya mimbar khusus untuk berbicara dan memberikan pelajaran …” 
  • Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Beliau adalah seorang fakih/ahli agama, alim, dan hafizh/penghafal hadits yang handal.”
  • Imam adz-Dzahabi berkata : “Beliau termasuk pembesar ulama kaum muslimin dan tergolong hafizh/juru hafal hadits yang paling tsiqah/kredibel.”

Beliau wafat pada tahun 316 H dan meninggalkan delapan orang anak. Semoga Allah merahmati belliau dan membalas kebaikannya terhadap kaum muslimin dengan ilmu yang telah beliau ajarkan dan faidah yang beliau curahkan. 

Di antara bukti ketinggian karya beliau yaitu Manzhumah Haa-iyah ini adalah para ulama pun mengupas faidah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya, di antaranya adalah :

  • Ulama besar Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam pelajaran yang diadakan di masjid Pangeran Mut’ib bin Abdul Aziz di kota Riyadh, Saudi Arabia
  • Ulama besar Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah
  • Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, dan lain-lain

Demikian sedikit kumpulan faidah yang kami rangkum untuk menggambarkan kepada kita tentang kemuliaan Imam Ibnu Abi Dawud. Semoga bisa menjadi inspirasi dan penyemangat bagi para penimba ilmu dalam menempuh perjuangan di jalan ilmu dan amal. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57227-mengenal-ibnu-abi-dawud-rahimahullah.html

Kisah Hidup Syaikh al-Albani, Pakar Hadits Abad Ini (2/2)

Di Perpustakaan Azh-Zhahirah

Perpustakaan azh-Zhahirah menjadi saksi kecintaan Syaikh al-Albani akan membaca dan menilit hadits. Perpustakaan yang merupakan salah satu pusat perbendaharaan ilmu Kota Damaskus itu, menyimpan ribuan arsip, karya tulis, dan buku-buku klasik. Bagi Syaikh al-Albani, perpustakaan ini adalah surga dunia, kegemarannya membaca bisa ia tumpah ruahkan di sana, di tengah ketidak-mampuannya membeli buku-buku.

 

Syaikh Al-Albani terus menyibukkan diri dengan ilmu hadits yang ia cintai. Kesibukan yang membuatnya tidak memiliki aktivitas lainnya. Bagi seorang yang kasmaran, tak ada rasa bosan duduk seharian bersama kekasihnya. Terbit dan terbenamnya matahri adalah detik-detik yang tak terasa. Begiulah keadaan Syaikh al-Albani dengan ilmu hadits. Ia duduk 18 jam sehari di perpustakaan azh-Zhahirah mengkaji, meneliti, memberikan komentar, dan men-tahqiq (penelitian ilmiah tentang suatu) riwayat-riwayat hadits. Waktu istirahatnya hanya jam shalat. Karena kesungguhan dan keseriusannya itu, pegawai perpustakaan memberikan ruang khusus untuknya. Agar ia lebih konsentrasi dalam kegiatan ilmiahnya (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 51-52).

Jika Anda melihat orang sukses atau ahli di bidang tertentu, jangan hanya kagum dengan pencapaian mereka. Lihatlah bagaimana usaha mereka mendapatkannya. Mereka mendapatkannya dengan kesungguhan dan jerih payah. Syaikh al-Albani duduk membaca 18 jam sehari bahkan lebih. Sehingga ia mencapai kedudukannya sekarang. Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk membaca dalam sehari? Atau berlatih melakukan suatu bidang yang Anda tekuni?

Al-Mutanabbi mengatakan,

لَوْلا المَشَقّةُ سَادَ النّاسُ كُلُّهُمُ؛            ألجُودُ يُفْقِرُ وَالإقدامُ قَتّالُ

Kalau bukan karena rintangan, semua orang akan jadi tokoh yang sukses.
Kedermawanan bisa menyebabkan kemiskinan. Dan maju ke medan perang mengundang kematian.

Penjara Yang Sama dengan Ibnu Taimiyah

Di sela-sela kesibukkannya menelaah buku-buku dan menulis, Syaikh al-Albani rahimahullah juga meluangkan waktu untuk berdakwah. Dalam satu perjalanan dakwahnya, terjadilah dialog dan diskusi antara dirinya dengan ulama dan imam-imam masjid. Hingga akhirnya ia dicap sebagai seorang Wahabi yang sesat. Para imam-imam masjid menyuarakan pengingkaran terhadap al-Albani di mimbar-mimbar masjid. Hingga ia diboikot dari menyampaikan pelajaran di masjid-masjid Damaskus, Aleppo, Latakia, dan kota-kota Suriah lainnya.

Desas-desus tentang Syaikh al-Albani semakin liar, hingga ia difitnah hendak melakukan makar terhadap pemerintah. Kontan, pemerintah Suriah yang sangat sensitif dengan isu ini segera menahannya. Al-Albani pun mendekam di penjara Damaskus pada tahun 1967. Penjara yang sama dengan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Saat di penjara, ia menegakkan kembali shalat berjamaah dan Jumat yang telah hilang di sana. Ada yang mengatakan, tidak lagi ditegakkan shalat jamaah dan Jumat setelah masa Ibnu Taimiyah hingga al-Albani masuk penjara (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 51-52).

Perjalanan Dakwah Sang Ulama

Syaikh al-Albani hampir mengunjungi semua kota di Suriah dalam rangka kunjungan dakwah. Aleppo, Idlib, Latakia, Hama, Homs, dll sudah ia hampiri. Ia juga pernah datang ke wilayah-wilayah di Jordania, Libanon, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Palestina, Mesir, Maroko, Spanyol, dll.

Dalam setiap kunjungan tersebut Syaikh al-Albani selalu memberikan ceramah, menjawab pertanyaan, dan memberikan fatwa. Biasanya kegiatan-kegiatan itu didokumentasikan dalam bentuk kaset. Selain ceramah secara non formal, Syaikh al-Albani juga memiliki pengalaman mengajar secara formal. Seperti menjadi staf pengajar Universitas Islam Madinah dari awal tahun 1381 H/1961 M sampai akhir tahun 1383 H/1964 M.

Metode dakwahnya tidak hanya dilakukan secara tatap muka, beliau juga sering menjawab pertanyaan-perntanyaan melalui surat dan telepon.

Beliau pernah shalat di Masjid al-Aqsha. Dan berkunjung ke Granada menghadiri Muktamar ath-Thalabah al-Muslimin.

Ada beberapa sunnah yang di masa hidupnya terasa begitu asing, namun beliau populerkan kembali sunnah-sunnah tersebut. Seperti mengerjakan dua shalat Id (Idul Adha dan Idul Fitri) di lapangan. Beliau populerkan hal itu di Damaskus dan Beirut. Kemudian sunnah aqiqah, shalat tarawih di malam Ramadhan dengan 11 rakaat, membaca khotbah hajah pada khotbah Jumat, jilbab yang syar’i, mengingatkan umat agar tidak membangun masjid di atas kuburan dan shalat di dalam masjid yang demikian. Di tahun 60-an tentu sunnah-sunnah tersebut belum dikenal seperti sekarang. Bahkan saat ini, sebagian sunnah itu pun masih terasa asing.

Beliau juga memotivasi para pemuda agar memberi perhatian besar terhadap pengkajian sunnah. Kemudian menciptakan sarana-sarana modern untuk memudahkan masyarakat mempelajari hadits-hadits Nabi ﷺ  (A’lam ad-Da’wah Muhammad Nashiruddin al-Albani Muhaddits al-‘Ashr Nashir as-Sunnah oleh Abdullah al-Aqil, Hal: 1063-1064).

Faidah yang dapat kita petik adalah walaupun Sunnah Nabi ﷺ dianggap asing, mulailah dulu melakukannya. Seiring waktu, masyarakat akan mengenalnya.

Menjalin Hubungan Dekat Sesama Ulama

Syaikh al-Albani bertemu dengan banyak ulama dan penuntut ilmu. Beliau belajar dari mereka dan juga sebaliknya. Al-Albani bertemu dan memberi ijazah sanad kepada sejarawan dan muhadits Aleppo, Syaikh Raghib ath-Thabbakh (A’lam ad-Da’wah Muhammad Nashiruddin al-Albani Muhaddits al-‘Ashr Nashir as-Sunnah oleh Abdullah al-Aqil, Hal: 1062).

Beliau juga pernah bertemu Syaikh Hamid al-Faqi ketua Jam’iyah Anshar as-Sunnah al-Muhammadiyah di Mesir dan al-Muadditsh al-Muhaqqiq Ahmad Syakir.

Syaikh al-Albani memiliki hubungan spesial dengan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Keduanya kadang kala berdiskusi dan saling menyurati.

Dan banyak ulama-ulama lainnya yang pernah bertemu dan memiliki hubungan dekat dengannya. Tidak hanya berasal dari Jazirah Arab, tapi ada juga yang berasal dari India, Turki, Syam, Mesir, Maroko, dll (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 64-73).

Kepakaran Dalam Bidang Hadits

Seseorang dikatakan seorang ahli, pakar atau maestro dalam suatu bidang dilihat dari karyanya dalam bidang yang ia geluti. Syaikh al-Albani rahimahullah memiliki banyak karya ilmiah dan penelitian dalam bidang hadits. Karya-karyanya tersebar di penjuru dunia dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Banyak da’i dan pelajar ilmu agama yang mengambil faidah dari karya-karyanya. Ia pun menjadi rujukan utama, khususnya dalam bidang hadits.

Kepakarannya diakui berbagai kalangan. Di antaranya:

Pertama: Fakultas Syariah Universitas Damaskus memilihnya sebagai orang yang mengecek status sebuah hadits pada Mausu’ah al-Fiqh al-Islami (Ensiklopedi Hukum Islam), khusus bab perdagangan. Universitas menjadikan hasil penelitiannya itu sebagai standarisasi status sebuah hadits pada tahun 1955.

Kedua: Universitas as-Salafiyah di Kota Varnasi, India, memintanya sebagai mentor syaikh-syaikh universitas dalam bidang hadits. Namun Syaikh al-Albani tidak menyanggupi permintaan tersebut.

Ketiga: Pada tahun 1395 H/1975 M sampai 1398 H/1978 M, melalui permintaan Raja Khalid bin Abdul Aziz (Raja Arab Saudi kala itu) meminta Syaikh al-Albani menjadi anggota dewan guru besar (dewan senat) Universitas Islam Madinah.

Kelima: Dewan Fatwa di Riyadh, Arab Saudi, menugaskannya ke Mesir, Maroko, dan Inggris mengadakan kuliah tentang akidah tauhid dan metode beragama Islam yang benar.

Dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan ilmiah Syaikh al-Albani. Semuanya merupakan pengakuan tentang kepakarannya dari lembaga-lembaga besar Islam hingga tingkat internasional (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 75-76).

Karya Ilmiah

Syaikh al-Albani adalah seorang ulama yang produktif. Banyak karya ia lahirkan dalam rangka berkhidmat memperjuangkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Karya-karya itum masih bisa kita nikmati hingga hari ini. Lebih dari 100 karya ilmiah ia hasilkan. Ada yang murni tulisannya, ada yang merupakan tahqiq (penelitian ilmiah secara seksama tentang status suatu hadits: shahih, hasan, dhaif, atau maudhu), ta’liq (komentar), dan takhrij (menisbatkan hadits pada sumbernya).

Di antara karya-karyanya adalah:

  1. Adabu az-Zifaf fi Sunnati al-Muthahharah.
  2. Ahadits al-Isra wa al-Mi’raj.
  3. Ahkam al-Jana-iz.
  4. Irwa-u al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil.
  5. Al-As-ilatu wa al-Ajwibah.
  6. Shifatu Shalat an-Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam min at-Takbir ila at-Taslim Ka-annaka Taraha.
  7. Shahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu.
  8. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah.
  9. Shahih wa Dha’if at-Targhib wa at-Tarhib.
  10. Jilbab al-Mar-ah al-Muslimah.
  11. Silsilatu al-Ahadits ash-Shahihah wa Syaiun min Fiqhiha wa Fawa-iduha.
  12. Silsilatu al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah.
  13. Manzilatu as-Sunnah fi al-Islam.

Ini beberapa karya ilmiahnya. Bagi Anda yang pernah membaca salah satunya, Anda akan menemukan metodologi yang berbeda dengan penulis-penulis lainnya. Karena kita akan menikmati kajian periwayat-periwayat hadits dalam catatan-catatan kakinya. Di situlah terasa gaya penulisan seorang ahli hadits.

Pujian Ulama Terhadapnya

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Al-Albani adalah seorang reformis abad ini dalam ilmu hadits.”

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin memujinya dengan mengatakan, “Sesungguhnya al-Albani memiliki ilmu yang luas dalam bidang hadits, dirayat dan riwayat-nya. Dialah pakar hadits abad ini.”

Al-Muhaqqiq Muhibuddin al-Khatib mengatakan, “Sesungguhnya al-Albani adalah orang yang menyeru kepada sunnah. Ia mendermakan hidupnya untuk beramal dan menghidupkan sunnah (hadits Nabi ﷺ).

Syaikh Ali ath-Thanthawi mengatakan, “Syaikh Nashiruddin al-Albani lebih berilmu dariku dalam permasalahan hadits. Aku menaruh hormat padanya karena kesungguhannya, semangatnya, dan banyaknya karya tulisnya yang dicetak oleh saudaraku sekaligus orang tuaku (ucapan penghormatan) Zuhair asy-Syawisy. Aku merujuk pada Syaikh Nashir dalam permasalahan hadits dan aku tidak mempertanyakannya karena mengetahui keutamaannya (dalam permasalahan hadits) (A’lam ad-Da’wah Muhammad Nashiruddin al-Albani Muhaddits al-‘Ashr Nashir as-Sunnah oleh Abdullah al-Aqil, Hal: 1068).

Menggabungkan Ilmu dan Amal

Syaikh al-Albani adalah orang yang sangat bersemangat menyelaraskan praktik ibadah dengan sunnah Nabi ﷺ. Baik dalam tata cara ibadah tersebut, jumlahnya, dan waktunya. Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengatakan, “Yang aku kenal dari Syaikh al-Albani dari perjumpaanku dengannya, ia adalah seorang yang sangat bersemangat menyelaraskan amal dengan sunnah dan mengkritik bid’ah. Baik dalam hal akidah atau amal ibadah”.

Tidak jarang ketika mendengar lantunan Alquran atau hadits Nabi ﷺ tentang janji dan ancaman Allah, Syaikh al-Albani menangis. Alquran dan hadits begitu mudah menyentuh hatinya.

Di antara kebiasaan Syaikh al-Albani adalah merutinkan puasa Senin dan Kamis. Saat musim dingin maupun di musim panas. Kecuali apabila ia sakit atau sedang bersafar. Saat memasuki hari Jumat, ia senantiasa shalat dua rakaat, dua rakaat, hingga khotib naik ke mimbarnya. Ia berhaji dan berumrah setiap tahun, jika tidak ada yang menghalanginya. Terkadang beliau berumrah dua kali dalam setahun. Ia berhaji sebanya 30 kali (al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar oleh Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, Hal: 88).

Tentu haji ketika itu tidak seperti sekarang. Sehingga lebih memungkinkan dilakukan berulang kali.

Murid-Muridnya

Murid-murid Syaikh al-Albani tersebar luas di dunia Islam. Beberapa yang masyhur di antara mereka adalah:

  • Syaikh Muqbin bin Hadi al-Wadi’i,
  • Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu,
  • Syaikh Husein al-Awaisyah,
  • Syaikh Ali Hasan al-Halaby,
  • Syaikh Masyhur Hasan Salman,
  • Syaikh Salim bin Id al-Hilay,
  • Syaikh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani,
  • Syaikh Hamdi bin Abdul Majid as-Salafy, dll (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 94-106).

Wafatnya Sang Mujaddid

Di akhir hayatnya, Syaikh al-Albani menderita beberapa penyakit. Dengan keadaan itu, beliau tetap sabar dan berharap pahala dari Allah ﷻ. Di antara penyakit yang beliau idap adalah Anemia, gangguan hati dan ginjal. Kondisi ini tidak membuatnya beristirahat. Ia tetap meneliti dan mengkaji hadits. Sampai-sampai ketika tidur, orang-orang mendengarnya mengigau, “Berikan aku buku al-Jarh wa at-Ta’dil, juz sekian dan halaman sekian” dan ia menyebut nama-nama buku yang lain.

Hal itu dikarenakan semangatnya dalam membaca dan meneliti. Hingga dalam buku-buku itu terbawa ke dalam mimpi (Shafahat Baidha min Hayati al-Albani oleh Athiyah Audah, Hal: 93-94).

Setelah mengisi hidupnya dengan ilmu, amal, dan dakwah, juga mengidap beberapa penyakit, Syaikh al-Albani pun wafat. Beliau wafat pada hari Sabtu 22 Jumadil Akhir 1420 H/ 2 Oktober 1999 M. Pada hari itu pula prosesi jenazahnya diselesaikan. Hal ini merupakan wasiatnya agar menyegerakan pemakamannya. Karena yang demikianlah yang terbaik menurut tuntunan (sunnah) Nabi ﷺ. Muridnya, Muhammad bin Ibrahim Syaqrah menjadi imam shalat jenazahnya. Beliau dimakamkan setelah shalat Isya (al-Imam al-Albani Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar oleh Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, Hal: 292).

Semoga Allah merahmati Syaikh al-Albani dengan rahmat yang luas. Menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi. Membalas jasa-jasanya berkhidmat kepada Sunnah Nabi ﷺ.

Sumber:
– islamstory.com/ar/islamstory.com/ar/

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5674-kisah-hidup-syaikh-al-albani-pakar-hadits-abad-ini-22.html

Kisah Hidup Syaikh al-Albani, Pakar Hadits Abad Ini (1/2)

Kali ini, kita membuka lembaran kisah tentang seorang pakar ilmu hadits. Seorang yang menghidupkan Sunnah Nabi, membelanya, dan menghibahkan usia untuknya. Ia habiskan hari-hari untuk membela Sunnah dari para pengikut hawa nafsu dan pembuat ajaran baru. Sosok ulama hadits dalam arti yang sebenarnya terperankan oleh dirinya. Dialah Syaikh al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah. Yang lebih kita kenal dengan Syaikh Nashiruddin al-Albani.

Nasab Syaikh al-Albani

Nama beliau adalah Muhammad bin Nuh bin Adam bin Najati al-Albani. Ia dilahirkan para tahun 1332 H/1914 M di Kota Shkodër, ibu kota Albania kala itu. Allah menganugerahkannya nikmat lahir di lingkungan keluarga yang taat dan akrab dengan ilmu agama. Ayahnya, Nuh bin Adam, merupakan alumni al-Ma’had asy-Syar’iyah di ibu kota Daulah Utsmaniyah, Istanbul. Setelah menyelesaikan pendidikan di sana, sang ayah kembali ke Albania. Berkhidmat kepada umat dengan mengajarkan mereka agama. Sampai akhirnya ia dikenal sebagai ulama besar Albania dan rujukan kaum muslimin di negeri Balkan itu (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 44).

Hijrah ke Negeri Syam

Pada tahun 1922-1939, Albania dipimpin oleh seorang raja sekuler yang mengidolakan modernitas ala Eropa. Namanya Ahmad Mukhtar Zogoli atau Zog I atau Zogu. Di dua tahun pertama kekuasaannya, ia mulai mengubah Albania Islam menjadi lebih beraroma barat sekuler. Ia meniru langkah Kemal Ataturk dalam me-westernisasi Turki dan menyingkirkan Kerajaan Ottoman pada tahun 1343 H/1924 M. Zogu menyusun undang-undang sekuler untuk masyarakat Albania. Ia tetapkan aturan yang memaksa muslimah melepaskan hijabnya. Mewajibkan militer memakai topi dan celana panjang ala Eropa. Dan segala sesuatu yang berbau Arab diganti dengan kultur barat.

Menariknya, langkah sekulerisasi di berbagai negeri, mirip bahkan tak jauh berbeda sehingga mudah terbaca. Segala sesuatu yang berbau Arab diganti atas nama nasionalisme dan menjaga budaya lokal. Syariat dianggap adat, kemudian dilarang mengamalkannya.

Sekulerisasi yang dilakukan Zogu membuat ayah Syaikh al-Albani mengambil sikap. Ia khawatir agamanya dan anggota keluarga rusak gara-gara terhembus korosit sekuler. Ia berazam untuk hijrah ke negeri Islam yang lebih menangkan hati. Dibawanyalah anggota keluarganya menuju Syam. Tepatnya di ibu kota Suriah, Damaskus. Saat itu al-Alabani baru berusia 9 tahun.

Mengkaji Ilmu

Al-Albani kecil baru saja tiba di salah satu negeri Arab. Anak Eropa ini sama sekali tidak mengetahui bahasa masayarakat padang pasir itu. Ia pun mulai mempelajari bahasa ini di Madrasah al-Is’af al-Khoriyah. Kemudian pindah ke sekolah lain di Pasar Sarujah, Damaskus, karena sekolah pertamanya itu mengalami musibah kebakaran. Di tempat ini, al-Albani menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya dalam masa 4 tahun. Rasa cintanya terhadap bahasa Alquran ini kian berbinar di hati. Kemahirannya diakui dan mengalahkan teman-temannya, anak-anak Suriah asli.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, al-Albani yang berasal dari Albania tidak mengetahui sama sekali tentang bahasa Arab. Namun ia bisa mahir memahami bahasa itu. Bahkan di kemudian hari menjadi seorang ahli hadits. Anda yang ingin mempelajari bahasa Arab jangan patah semangat dan mundur menyerah. Tidak kurang dari 1.495 kata bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab. Artinya, kita masyarakat Indonesia ‘tidak buta-buta amat’ tentang bahasa Arab.

Al-Albani kecil telah tumbuh remaja. Ia mulai menemukan kegemaran lain pada dirinya. Yaitu membaca. Namun selera membacanya masih begitu umum. Ia suka membaca Syair-syair Antharah bin Syaddad. Kisah detektif Arsene Lupin. Dan kisah-kisah detektif lainnya (Ahdats Mutsirah fi Hayati asy-Syaikh al-Alamah al-Albani oleh Muhammad Shalih al-Munajjid, Hal: 9). Inilah perjalanan awal kehidupan al-Albani dalam dunia membaca dan menimba ilmu.

Seiring berjalannya waktu, konten bacaan al-Albani pun berubah. Dari bacaan masyarakat awam beralih memperdalam ilmu agama. Hal itu bermula ketika sang ayah melihat sesuatu yang buruk –dari sisi agama- di sekolah negeri. Ayah al-Albani pun memutus sekolah putranya. Ia menyediakan waktu khusus untuk mendidik anaknya dengan pelajaran Alquran, tauhid, sharf, dan fikih Madzhab Hanafi (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 9).

Ada saja jalan yang Allah ﷻ takdirkan bagi mereka yang Dia kehendaki kebaikan. Memalingkan mereka dari yang tidak bermanfaat menuju kepada yang manfaat. Dan kebaikan yang paling baik adalah memahami dan mengamalkan agama ini.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .

“Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 71, 3116, 7312), Muslim (no. 1037), Ahmad (IV/92, 95, 96), dll).

Selain belajar dengan sang ayah, al-Albani juga belajar dari banyak guru dan ulama yang merupakan kolega ayahnya. Seperti: mengkaji kitab fikih Hanafi, Muraqi al-Falah Syarh Nur al-Idhah bersama Syaikh Muhammad Said al-Burhani. Mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama bersama Syaikh Izuddin at-Tanukhi (Shafahat Baidha min Hayati al-Albani oleh Athiyah Audah, Hal: 22, 71-72).

Ulama Pun Bekerja Mencari Nafkah

Sambil menyibukkan diri dengan ilmu agama, al-Albani meluangkan sebagian waktunya untuk menghidupi diri. Tentu ini langkah yang bijaksana. Agar di kemudian hari, ketika terjun di dunia dakwah, ia tidak menjadikan dakwah sebagai sumber mata pencariannya.

Tukang Kayu

Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh al-Albani adalah menjadi tukang kayu. Ia bekerja dengan pamannya dan seorang warga Suriah yang dikenal dengan Abu Muhammad. Pekerjaan ini ia geluti selama dua tahun. Kemudian karena dirasa melelahkan, menghabiskan banyak waktu dan tenaga, al-Albani pun meninggalkan pekerjaan ini.

Reparasi Jam

Di musim panas, tukang kayu tidak mendapat pekerjaan. Pada waktu itu, al-Albani lewat di depan toko ayahnya. Sang ayah sedang mereparasi jam. Ayahnya menyarakannya agar ia memanfaatkan waktu dengan mereparasi jam. Ia pun menerima saran sang ayah. Profesi baru itu ia jalani dengan sungguh-sungguh, hingga ia terkenal sebagai tukang reparasi jam yang handal.

Profesi baru ini tidak memakan banyak tenaga dan waktu. Sehingga waktu-waktunya bisa ia sibukkan dengan belajar agama (Hayatu al-Albani wa Atsaruhu wa Tsana-u al-Ulama ‘Alaihi oleh Muhammad Ibrahim asy-Syaibani, Hal: 48).

Mempelajari Ilmu Hadits

Pada saat menginjak usia 20 tahun, al-Albani mulai menyukai ilmu hadits. Ia terinspirasi dari kajian hadits di Majalah al-Manar yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah.

Syaikh al-Albani menceritakan bahwasanya ia tertarik membaca riwayat-riwayat sejarah. Suatu hari, ia melihat di tumpukan buku seorang pedagang buku, satu pembahasa dari Majalah al-Manar. Ia baca komentar Syaikh Rasyid Ridha terhadap buku Ihya Ulmuddin yang ditulis oleh Imam al-Ghazali rahimahullah. Dalam pembahasan tersebut Syaikh Rasyid Ridha mengutip komentar al-Hafizh al-Iraqi terhadap Ihya Ulumuddin. Al-Iraqi mengomentari dan memilah mana hadits yang shahih dan mana yang dhaif. Kemudian mengumpulkannya dalam al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij ma Fi al-Ihya mi al-Akhbar.

Karya al-Iraqi ini menarik perhatian al-Albani. Ia pun mengadakan kajian hadits terhadap kitab tersebut. Sebuah kajian yang memberinya jalan memperdalam ilmu-ilmu lainnya. Seperti: ilmu bahasa, balaghah, gharib al-hadits, dll. Itulah kajian ilmiah pertamanya dalam bidang hadits. Kajian ini bagai candu yang membuat al-Albani terus bersemangat meniliti hadits-hadits lainnya.

Bagi al-Albani, ilmu hadits menjadi jalan yang membuka cabang-cabang keilmuan lainnya. Dan ia terus mengenang Syaikh Rasyid Ridha sebagai wasilahnya dalam mempelajari ilmu hadits.

Sumber:
– islamstory.com/ar/islamstory.com/ar/

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

 

Read more https://kisahmuslim.com/5668-kisah-hidup-syaikh-al-albani-pakar-hadits-abad-ini-12.html