Kecintaan Ulama Kepada Buku

Kitab – kitab para ulama bukan hanya kita pajang, bukan hanya kita taruh di lemari kita. Sebenarnya kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik kita akan mendapatkan faedah ilmu yang begitu luar biasa.

Memang para ulama gemar untuk mengoleksi buku, memang para ulama gemar untuk mencari buku dan mereka mengumpulkannya bahkan mereka mencari dari berbagai negeri. Ada yang mencari sanad, ada yang mencari buku – buku yang mungkin sudah hampir punah.

Ulama terdahulu semangat mengoleksi dan mempelajari buku

Diantara contohnya para ulama yang gemar mengoleksi buku diantaranya adalah Ibnul Qoyim. Diceritakan oleh Ibnu Hajar Asqalani bahwasannya Ibnul Qoyim ketika meninggal dunia dia memiliki perbendaharaan buku kitab yang begitu banyak sampai sampai anak – anaknya ketika mendapatkan buku – buku dari Ibnul Qoyim mereka menjualnya sampai itu memakan waktu yang lama. Dan padahal itu sudah dibagi bagi jumlahnya untuk anak – anak dari Ibnul Qoyim. Ini menunjukan bahwasannya begitu banyaknya buku – buku yang dikoleksi oleh Ibnul Qoyim.

Yahya bin Ma’in dia punya buku yang tertata di lemari penuh yang tertata dalam seratus empat belas lemari dan ada empat lemari besar yang semuanya berisi penuh dengan buku, yang semuanya penuh dengan kitab, kitab – kitab para ulama.

Contoh lagi para ulama yang punya semangat untuk mengoleksi buku bahkan buku ini yang selalu menemaninya, yaitu seperti guru dari Ibnul Qoyim, yaitu Ibnu Taimiyah.

Ketika Ibnu Taimiyah dalam keadaan sakit, maka yang selalu menemaninya adalah sebuah buku sebuah kitab. Dia ketika sadar dia membacanya, ketika dia tidak sadar dia meletakannya dan ketika itu sampai seorang dokter yang memeriksa Ibnu Taimiyah itu mewanti wanti, wahai Ibnu Taimiyah janganlah engkau menyibukkan waktumu dengan ini, ini bisa memudharatkanmu jika engkau sibuk membaca buku. Apa – apa waktumu engkau habiskan sibuk dengan buku tersebut.

Maka, kita lihat disini semangatnya para ulama untuk mengoleksi buku. Namun, mereka bukan mengoleksinya saja, mereka membacanya, menghayatinya, menarik faedah – faedah didalamnya kemudian mereka amalkan.

Empat kiat mendapat manfaat dari kitab

Intinya disini, kami memberikan kiat – kiat agar kita bisa mendapatkan manfaat dari buku. Kiat singkat yang kami berikan;

Pertama, dalamilah bahasa arab. Karena dengan kita dalami bahasa arab akan terbuka cakrawala ilmu dan itulah yang jadi pembuka. Jadi dengan mempelajari bahasa arab terutama dalam mempelajari kaedah – kaedah dalam ilmu nahwu dan sharaf selain kita memperbanyak kosakata itu akan membuka pintu untuk mempelajari ilmu agama. Beda dengan orang yang tidak menguasai bahasa arab.

Yang kedua, ketika kita menguasai bahasa arab, maka belajarlah dari seorang guru. kita kaji kitab – kitab dari guru tersebut. Kenapa kita musti punya guru?, karena kalau kita cuma otodidak mempelajari buku tersebut tanpa panduan seorang yang lebih paham, seorang yang lebih berilmu kita bisa salah paham dalam memahami buku tersebut. Jadi, duduklah bermajlis dengan seorang guru agar kita bisa mendapatkan faedah ilmu yang bermanfaat.

Kemudian yang ketiga, yang kita lakukan adalah selain kita pelajari dari bahasa arab kemudian mengkajinya dari seorang guru kemudia kami contohkan dari apa yang dilakukan oleh para ulama, yaitu koleksinya buku – buku yang bermanfaat.

Buku – buku apa yang kita pilih kita cari dari ulama – ulama yang sudah punya ilmu yang siqqoh yang kredibel dalam masalah ilmu, ilmu – ilmu yang terpercaya jadi bukan dari sembarang penulis, bukan dari sembarang orang namun dari ulama yang sudah punya ilmu yang terpercaya.

Ada Ibnu Hajar, ada Imam Nawawi, ada juga ulama – ulama besar saat ini yang mereka punya buku – buku yang mumpuni yang ketika itu kita mengkajinya kita akan mendapatkan faedah yang begitu banyak.

Seperti inilah yang kita kaji yang kita koleksi dari apa yang sudah disarankan oleh para ulama mulai dari buku – buku aqidah, fikih – fikih dasar terutama kita mempelajari dari mazhab tertentu tanpa punya sifat untuk fanatik namun ini cuma sebagai dasar saja. Kemudian buku – buku dalam masalah akhlak, tazkiyatu nufus, dan kitab atau buku – buku yang lain.

Kemudian kiat yang terakhir, hendaklah kita punya sikap semangat dan pintar membagi waktu ketika kita belajar. Nabi katakan;

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

— Ihrish ‘ala maa yanfa’uka wasta’in billahi wala ta’jiz

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu minta tolonglah pada Allah dengan banyak berdoa supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan (janganlah — Ed) pantang menyerah, jangan punya rasa malas ketika belajar.” (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, dan yang lainnya).

Inilah kiat – kiat ya ikhwan sekalian, amalkanlah kiat – kiat ini mulai dari kita mempelajari bahasa arab, belajar dari seorang guru, berusaha untuk mengkoleksi buku – buku yang ini adalah buku – buku yang bermanfaat, mulai dari buku – buku bahasa Indonesia yang mungkin kita pahami yang kita koleksi.

Kalau kita sudah punya kemampuan kita mengumpulkan buku – buku bahasa Arab dan pintar dalam membagi waktu serta (jangan — Ed) pantang menyerah untuk terus belajar.

Maka, ingatlah faedah yang besar. Orang yang mempelajari ilmu agama, orang yang menekuni ilmu agama dia tidak akan pernah bingung ketika beramal karena dia punya dasar ilmu.

Kemudian inilah yang menjadi sebab dasar untuk banyak mendapat kebaikan.

Kata Nabi;

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

— Manyudillahu khairan yufaqqihhu fi dinniini…

“Siapa yang menginginkan kebaikan maka Allah akan memahamkan baginya untuk memahami agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Dan mudah – mudahan Allah memberi kita taufik untuk meraih ilmu dari ilmu itu kita bisa amalkan dari kita amalkan bisa kita dakwahkan pada orang lain dan kita sabar dalam menjalani hal – hal tadi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

=== ## ===

Sumber: https://catatankajian.com/991-tausiyah-singkat-kecintaan-ulama-kepada-buku-ustadz-muhammad-abduh-tuasikal.html

7 Ulama Besar Kota Madinah

Bagi Anda yang suka membaca buku-buku biografi dan sejarah Kota Madinah, tentu tak asing dengan istilah fuqoha sab’ah(الفقهاء السبعة). Suatu istilah yang ditujukan kepada tujuh orang tabi’in (murid para sahabat) yang merupakan ulama besar di Madinah zaman itu. Zaman tabi’in adalah zaman banyak ulamanya, namun tujuh orang yang hidup di masa bersamaan ini begitu menonjol dan menjadi rujukan utama. Dari mereka tersebar ilmu dan fatwa di dunia Islam (Haji Khalifah: Salmu al-Wushul ila Tabaqat al-Fuhul, 5/189).

Tujuh ulama (fuqoha sab’ah) itu adalah Said bin al-Musayyib, Urwah bin az-Zubair bin Awwam, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Ubaidullah bin Abdullah, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dan Sulaiman bin Yasar. Untuk nama ketujuh diperselisihkan siapa orangnya; Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf atau Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab atau Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.

Pertama: Said bin al-Musayyib

Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Qurasyi. Kun-yahnya adalah Abu Muhammad. Ia adalah tokoh utama tabi’in. Kedudukannya di tengah-tengah para tabi’in bagaikan kedudukan Abu Bakar di antara para sahabat. Said dilahirkan di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Ibunya adalah Ummu Said binti Hakim.

Dari sisi keilmuan, tentu Said sangat luar biasa. Ia adalah pakar dalam bidang hadits dan fikih. Sosoknya adalah pribadi yang zuhud dan wara’. Walaupun sibuk dengan ilmu dan dakwah, ia juga tetap bekerja untuk kehidupan dunianya. Tabi’in yang mulia ini adalah seorang pedagang minyak zaitun. Dan ia tidak menerima pemberian.

Said bin al-Musayyib wafat di Kota Madinah pada tahun 94 H. Ada juga yang menyatakan beliau wafat pada tahun 89 H. Pendapat lainnya menyebutkan 91 H. Atau 92 H, 93 h, atau 105 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/89-109).

Kedua: Urwah bin az-Zubair

Urwah bin az-Zubair adalah putra dari sahabat yang mulia az-Zubair bin al-Awwam. Satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. saudaranya adalah seorang sahabat. Yaitu Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu. Dengan demikian, Urwah adalah seorang Quraisy yang nasabnya Urwah bin az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab. Kun-yahnya Abu Abdullah.

Ibu Urwah adalah Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia dilahirkan pada tahun 29 H. Pendapat lain menyatakan 23 H.

Ulama yang mulia ini sama sekali tak pernah turut campur dalam fitnah perpecahan. Dan perjalanan hidupnya tidak hanya dihabiskan di Kota Madinah. Ia pernah tinggal di Bashrah. Kemudian menuju Mesir dan menikah di sana. Lalu tinggal di negeri Nabi Musa itu selama tujuh tahun. Setelah itu baru ia kembali ke Madinah dan wafat di kota nabi itu pada tahun 94 H. Ada yang mengatakan 92, 93, atau 95 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/136-139).

Ketiga: al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq.

Dari silsilah namanya tentu kita mengetahui, ulama dengan nasab Quraisy ini adalah cucu dari khalifah pertama Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Kun-yahnya adalah Abu Muhammad atau Abu Abdurrahman. Ibunya adalah seorang budak perempuan yang bernama Saudah.

Al-Qasim dilahirkan di Kota Madinah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tentu al-Qasim adalah seorang yang shalih dan terpecaya riwayat haditsnya. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkomentar tentangnya, “Kalau seandainya aku memiliki hak mengangkat pemimpin, maka akan aku angkat al-Qasim bin Muhammad menjadi seorang khalifah.”

Di masa tuanya, al-Qasim mengalami kebutaan. Dan ia wafat di Madinah pada tahun 106 H. Pendapat lain menyatakan 107 H, 108 H, atau 112 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/142-148).

Keempat: Ubaidullah bin Abdullah

Nasab Ubaidullah adalah Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Hudzali al-Madani adh-Dharari. Kun-yahnya Abu Abdullah. Ia merupakan seorang mufti Madinah dan termasuk tabi’in yang paling berilmu. Ia seorang imam yang kuat hafalan dan argumentasinya. Seorang mujtahid. Yang terpercaya haditsnya, banyak riwayatnya, dan pandai bersyair. Ia adalah salah seorang pendidik Umar bin Abdul Aziz.

Ubaidullah wafat pada tahun 102 H. Atau 97 H, 98 H, atau 99 H (Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat, 5/63).

Kelima: Kharijah bin Zaid bin Tsabit

Nama dan nasabnya adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit al-Anshari an-Najjari. Adapun kunyahnya Abu Zaid. Ibunya adalah Ummu Saad binti Saad bin Rabi’. Ia adalah seorang tabi’in mulia. Seorang ahli ilmu dan ahli ibadah. Di masa hidupnya, ia sempat menjumpai masa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Kharijah wafat pada tahun 90 H atau 100 H. saat itu usianya hanya 40 tahun saja (Ibnu Hibban dalam Masyahir Ulama al-Amshar, Hal: 106).

Keenam: Sulaiman bin Yasar

Sulaiman bin Yasar atau yang juga dikenal dengan kun-yah Abu Abdurrahman adalah bekas budak dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha. Ia merupakan saudara dari Atha’ bin Yasar.

Sulaiman dilahirkan pada tahun 34 H, pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia merupakan seorang ahli ilmu lagi terpercaya. Hadits-haditnya pun banyak. Ia meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhum.

Ulama besar tabi’in ini wafat pada tahun 104 H. Dan beberapa riwayat lain menyebutkan: 107 H, 109 H, dan 110 H. Sementara usianya adalah 73 tahun. Ada pula yang menyatakan 76 tahun (al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir 4/41).

Sementara untuk nama ketujuh ada beberapa pendapat. Mereka adalah Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab, Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.

Ketujuh (1): Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf

Beliau adalah Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf bin Abdu Auf bin Abd bin al-Harits bin Zuhrah bin Kilab (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/118). Kita tahu Abu Salamah adalah kun-yahnya. Dan ia lebih dikenal dengan kun-yah dibanding namanya. Terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdullah. Versi lainnya, namanya adalah Islamil. Dan ada pula yang mengatakan namanya memang Abu Salamah (adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam, 2/1199).

Ibunya adalah Tumadhur (تماضر) binti al-Ashbagh al-Kulabiyah Qurasyi (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/118). Ia dilahirkan pada tahun 20-an H. Dari tahun lahirnya, kita mengetahui bahwa Abu Bakar merupakan seorang generasi awal tabi’in (adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, 4/287-288).

Abu Bakar bin Abdurrahman bin Auf adalah seorang ulama yang terpercaya. Seorang fakih. Dan banyak riwayat haditsnya. Ia termasuk seorang Quraisy yang paling utama dan ahli ibadah di tengah suku elit tersebut. Ia adalah imam dan panutan di Kota Madinah. Kedudukan tinggi yang ia capai tentu tidaklah mengherankan kalau kita mengetahui guru dekatnya. Ia adalah sepupu nabi, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu. Karena ketinggian ilmunya, ia pun sempat menjabat hakim Kota Madinah di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Tabi’in yang mulia ini wafat pada tahun 94 H di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Saat itu usianya tengah menginjak 72 tahun.

Ketujuh (2): Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab

Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-‘Adawi al-Qurasyi. Kun-yahnya adalah Abu Amr. Atau Abu Abdullah. Ibunya merupakan seorang budak. Salim adalah seorang ulama yang dikenal wara’, terpercaya, dan banyak haditsnya. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri, Abdullah bin Umar. Juga Abu Hurairah, Abu Ayyub al-Anshari, dll. radhiallahu ‘anhum. Salim wafat di Kota Madinah, tahun 106 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/149-155).

Ketujuh (3): Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits

Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi al-Qurasyi. Ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar hanyalah kun-yahnya saja. Adapun namanya adalah Muhammad. Namun pendapat yang lebih tepat adalah nama dan kun-yahnya sama. Yaitu Abu Bakar.

Abu Bakar dilahirkan di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Ia seorang ulama yang fakih dan terpercaya. Ia juga meriwayatkan banyak hadits. Ia dijuluki sebagai ahli ibadahnya Quraisy karena begitu banyak ia mengerjakan shalat. Ia wafat di Madinah pada tahun 94 H (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 5/159-161).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6307-7-ulama-besar-kota-madinah.html

Ulama itu Sabar, Tak Mudah Marah dan Berakhlak Mulia

Al Mubaarok bin Al Mubaarok Adh Dhoriir seorang ulama ahli nahwu yang digelari Al Wajiih. Beliau dikenal seorang yang elok akhlak dan perilakunya, lapang dada, penyabar dan tidak pemarah. Sehingga ada sebagian orang-orang jahil yang berniat mengujinya dengan memancing kemarahannya.

Maka datanglah orang ini menemui Al Wajiih, kemudian bertanya kepadanya tentang satu masalah dalam ilmu nahwu. Syaikh Al Wajiih menjawab dengan sebaik-baik jawaban dan menunjukan kepadanya jalan yang benar. Lantas orang itu berkata kepadanya, “Engkau salah. Syaikh kembali mengulangi jawabannya dengan bahasa yang lebih halus dan mudah dicerna dari jawaban pertama, serta ia jelaskan hakekatnya.

Orang itu kembali berkata, “Engkau salah hai syaikh, aneh orang-orang yang menganggapmu menguasai ilmu nahwu dan engkau adalah rujukan dalam berbagai ilmu, padahal hanya sebatas ini saja ilmumu!”. Syaikh berkata dengan lembut kepada orang itu, “Ananda, mungkin engkau belum paham jawabannya, jika engkau mau aku ulangi lagi jawabannya dengan yang lebih jelas lagi dari pada sebelumnya”.

Orang itu menjawab, “Engkau bohong! Aku paham apa yang engkau katakan akan tetapi karena kebodohanmu engkau mengira aku tidak paham”. Maka syaikh Al Wajiih berkata seraya tertawa, “Aku mengerti maksudmu, dan aku sudah tahu tujuanmu. Menurutku engkau telah kalah. Engkau bukanlah orang yang bisa membuatku marah selama-lamanya.

Ananda, konon ada seekor burung duduk di atas punggung gajah, ketika dia hendak terbang ia berkata kepada gajah, “Berpeganglah kepadaku, aku akan terbang!”. Gajah berkata kepadanya, “Demi Allah hai burung, aku tidak merasakanmu ketika bertengger di punggungku, bagamaimana aku berpegang kepadamu saat engkau terbang!”. Demi Allah hai anakku! Engkau tidak pandai bertanya tidak pula paham jawaban, bagaimana aku akan marah kepadamu?!”. (Mujamul Udaba : 5/44).

Menjadi guru, juga seorang dai memang harus banyak belajar bersabar, lapang dada dan berakhlak mulia, semoga Allah Taala memudahkan hal itu untuk kita, aamiin. [Ustadz Abu Zubair Al-Hawary, Lc.]

 

 

Pentingnya Menjaga Adab terhadap Para Ulama

“INGATLAH bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud: 4682).

Syeikh Abdul Aziz bin Baz rohimahulloh mengatakan: Apabila dalil telah tegak dalam suatu masalah, maka wajib hukumnya mengambil pendapat yang sesuai dengan dalil tersebut, baik dalil dari Kitabullah ataupun dari sunah Rasul shallallahu alaihi wasallam-, meskipun pendapat itu menyelisihi imam besar, bahkan walaupun menyelisihi sebagian sahabat.”

Karena Allah menfirmankan (yang artinya): Jika kalian berselisih dalam suatu masalah, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan RasulNya. Allah subhanah TIDAK mengatakan: kembalikanlah kepada orang ini dan orang itu.

Akan tetapi, sudah seharusnya ada langkah memastikan kabar yang sampai kepada kita, serta menghormati dan menjaga adab terhadap para ulama. Jika seseorang menemukan pendapat yang lemah dari salah satu imam, atau ulama, atau ahli hadits yang tepercaya; (harusnya dia ingat bahwa) hal itu tidak menurunkan kedudukan mereka.

Harusnya dia menghormati para ulama, menjaga adab terhadap mereka dan mengatakan perkataan yang baik, serta tidak mencela dan merendahkan mereka. Tapi seharusnya dia menjelaskan yang benar beserta dalilnya, sekaligus mendoakan kebaikan untuk ulama tersebut, juga mendoakan agar dirahmati dan diampuni.

Beginilah harusnya akhlak seorang ulama terhadap ulama lainnya, (yaitu) menghormati para ulama karena kedudukan mereka, dan mengerti akan keagungan, keutamaan, dan kemuliaan mereka. [Majmu Fatawa Ibnu Baz 26/305, Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK

Syarat Spesifik Seseorang Disebut Ulama

MEMANG istilah-istilah itu cukup banyak, terkadang satu dengan lainnya saling bertumpang tindih. Dan wajar bila banyak yang bingung dengan begitu banyaknya istilah itu. Kami tidak akan memberikan definisi masing-masing istilah itu, namun hanya akan memberikan sedikit penjelasan, semoga bisa sedikit membantu.

a. Ulama

Pengertian ulama dalam istilah fiqih memang sangat spesifik, sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarang orang. Semua syaratnya jelas dan spesifik serta disetujui oleh umat Islam. Paling tidak, dia menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Alquran, ilmu hadits, ilmu ifiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Quran dan sunnah. Juga mengerti masalah dalil nasikh mansukh, dalil ‘amm dan khash, dalil mujmal dan mubayyan dan lainnya.

Dan kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa arab dan ilmu-ilmunya. Seperti masalah nahwu, sharf, balaghah, bayan dan lainnya. Ditambah dengan satu lagi yaitu ilmu mantiq atau ilmu logika ilmiah yang juga sangat penting. Juga tidak boleh dilupakan adalah pengetahuan dan wawasan dalam masalah syariah, misalnya mengetahui fiqih-fiqih yang sudah berkembang dalam berbagai mazhab yang ada. Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar mampu mengistimbath hukum dari quran dan sunnah.

b. Kiai

Lain halnya dengan sebutan kiai, yang bukan istilah baku dari agama Islam. Panggilan kiai bersifat sangat lokal, mungkin hanya di pulau Jawa bahkan hanya Jawa Tengah dan Timur saja. Di Jawa Barat orang menggunakan istilah Ajengan. Biasanya istilah kiai juga disematkan kepada orang yang dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan kiai. Melihat realita ini, sepertinya panggilan kiai memang tidak selalu mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama.

c. Ustaz

Sedangkan panggilan ustaz, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita di Indonesia ini saja. Istilah ini konon walau ada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustaz punya kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama. Jadi istilah ustaz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa.

d. Penceramah

Adapun nama tokoh tertentu, mungkin lebih tepat untuk disebut dengan profesinya, yaitu penceramah. Karena kerjanya memang berceramah ke sana ke mari. Sedangkan untuk disebut sebagai ulama atau ustaz, kalau kita mengacu kepada penggunaan istilah yang baku dan formal, rasanya memang kurang tepat. Yang namanya berceramah, memang boleh siapa saja dan juga bisa bicara apa saja. Dari masalah-masalah yang perlu sampai yang tidak perlu. Dengan merujuk langsung kepada literatur hingga yang hanya ngelantur. Yang penting memenuhi selera penonton.

Dan biasanya ceramah mereka selain lucu, juga komunikatif serta seringkali mengangkat masalah yang aktual. Sehingga yang mendengarkannya betah duduk berjam-jam. Itu sisi positifnya. Positif yang lainnya penceramah model begini adalah mampu merekrut massa yang lumayan banyak. Mungkin karena juga dibantu dengan media. Tetapi kekurangannya juga ada. Misalnya, umumnya mereka bukan orang yang lahir dan dibesarkan dengan tradisi keilmuan yang mendalam. Juga bukan jebolan perguruan tinggi Islam dengan disiplin ilmu syariah. Padahal poin ini cukup penting, sebab yang mereka sampaikan ajaran agama Islam, tentunya mereka harus mampu merujuk langsung ke sumbernya. Agar tidak terjadi keterpelesetan di sana sini.

Yang kedua, kelemahan tokoh yang dibesarkan media adalah akan cepat surut sebagaimana waktu mulai terkenalnya. Pembesaran nama tokokh lewat media itu memang demikian karakternya. Cepat membuat orang terkenal dan cepat pula ‘melupakannya’. Yang dimaksud dengan melupakan maksudnya adalah bahwa media bisa dengan mudah menampilkan sosok baru. Dan sosok lama akan hilang sendirinya dari peredaran.

Kecuali hanya pada tokoh yang dikenal berkarakter kuat, sehingga tidak lekang dilewati panjangnya zaman. Kira-kira seperti bintang film juga. Ada aktor yang sampai tiga zaman, tapi ada juga aktor yang terkenal dan meroket dengan cepat, lalu hilang dari peredaran. Namun lepas dari keutamaan dan kelemahannya, para penceramah ini sudah punya banyak jasa buat umat Islam di negeri ini. Banyak orang yang tadinya kurang memahami agama, kemudian menjadi lebih memahami. Yang tadinya kurang suka dengan Islam, berubah jadi lebih suka. Semua itu tentu saja tidak bisa kita nafikan, sekecil apa pun peran mereka.

Tentu bukan pada tempatnya bila mereka melakukan hal-hal yang kurang produktif, kita lalu mencemooh, memaki atau bahkan bertepuk tangan gembira melihat bintang mereka mulai pudar. Kekurang-setujuan kita dengan beberapa hal yang mereka lakukan, jangan sampai membuat kita harus melupakan peran dan jasa mereka selama ini. Bahkan belum tentu kalau kita sendiri yang berada pada posisi mereka, kita akan mampu memenuhi harapan semua orang.

Dan ke depan, tidak ada salahnya kita secara serius dan profesional menyiapkan kelahiran para ulama yang lebih matang. Bukan sekedar yang enak diorbitkan media, tetapi mereka yang kita sekolahkan ke Timur Tengah dengan serius, hingga mendapatkan ilmu yang cukup. Lalu ketika pulang ke negeri ini, mereka bekerja dengan baik menyampaikan ilmunya kepada kita semua.

Mungkin tidak ada salah tiap masjid di negeri ini berinvestasi untuk melahirkan satu ulama. Misalnya, dengan memilih lulusan pesantren yang punya nilai tinggi, untuk dibiayai kuliah S-1 dan S-2 ke Mesir, Saudi, Kuwait, Pakistan, Jordan, Suriah atau pusat-pusat ilmu lainnya. Dengan asumsi, 4 tahun lagi mereka akan segera lulus S-1. Itu saja sebenarnya sudah jauh lumayan dari pada sekedar penceramah. Apalagi kalau bisa sampai S-2 atau bahkan S-3, tentu akan lebih baik lagi.

Nantinya diharapkan tiap masjid dipimpin oleh lulusan-lulusan yang berkualitas seperti mereka. Mereka yang jadi imam, mereka yang juga mengajarkan ilmu-ilmu di masjid, dan mereka juga yang dijadikan rujukan dalam masalah agama. Orang-orang cukup datang ke masjid utuk berkonsultasi masalah syariah. Dan itu bisa dilakukan tiap hari dalam tiap waktu salat. Sebab mereka memang dipekerjakan dan digaji oleh masjid, tentunya dengan standar yang baik. Sehingga para imam masjid ini tidak perlu nyambi jadi tukang ojek, atau jadi karyawan di pabrik dan perusahaan tertentu. Waktunya bisa dimanfaatkan 24 jam untuk umat dan beliau stand-by di masjid.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

Antusias Ulama dalam Membaca Buku

ADA rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama-ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.

Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku.

Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku. Beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.

Kabarnya, yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar. Beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.

Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.

Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku. Setiap hari ada orang yang membacakannya buku hingga menjelang zuhur. Saat pulang ke rumah pasca zuhur pun beliau juga dibacakan buku. Menariknya, beliau sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.

Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.

Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.

Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.

Bahkan dari figur Syeikh Ibnu Taimiyah pun, pembaca bisa menemukan semangat yang sama dalam membaca buku. Beliau ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dan cepat. Dikisahkan bahwa untuk menulis bantahan pada orang-orang pakar manthiq (logika) Yunani, beliau selesaikan dari bakda zuhur hingga ashar. Tidak mengherankan karena beliau adalah orang yang suka baca buku.

Ketika ditanya mengenai produktifitasnya dalam menulis buku, adalah karenah beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam buku “Raudhah al-Muhibbin” bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Oleh dokter disarankan agar mengurangi kegiatannya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah sakit.

Apa jawaban Ibnu Taimiyan? Katanya, “Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?” “Betul,” dokter. “Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya,” ujar Ibnu Taimiyah. Kata dokter, “Berarti ini di luar pengotan kami.”

Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama sangat antusias dalam membaca buku. Dan itu juga sebagai salah satu jawaban atas produktifitas mereka dalam bidang kepenulisan. Demikianlah para ulama. Mereka bisa produktif menulis dan berbagi ilmu kepada umat karena mereka punya bahannya, yang salah satunya diperoleh dengan rajin membaca buku. Sebab, kalau sekiranya mereka tak punya bahan, bagaimana bisa menulis dan berbagi ilmu. Seperti ungkapan Arab “Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu).*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Tak Ada Ulama Jika Manusia Sempurna

Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling saleh di antara kalian.”

Kemudian beliau melanjutkan, “Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.

Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.

Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.

Maka terus meneruslah berada pada majelis-majelis zikir (majelis ilmu), semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita.

Bertakwalah kalian semua kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Pada suatu hari beliau rahimahullah pergi menemui murid-muridnya dan mereka tengah berkumpul, maka beliau rahimahullah berkata:

“Demi Allah Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama umat ini sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Saleh sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang bermain-main di antara mereka.

Dan seseorang yang rajin dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang suka meninggalkan di antara mereka. Seandainya aku rida terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian dengannya, akan tetapi Allah Azza wa Jalla Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.” []

(sumber: Mawaizh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri)

 

 

Ustaz, Kyai: Sebutan di Persia, Pakistan, dan Indonesia

Sastrawan dan Guru Besar Falsafah kebudayaan Islam Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengatakan di banyak wilayah kata ustaz dan kyai sudah akrab dipanggil sebagai sebutan untuk orang yang terhormat. Namun, kalau secara detil dikaji panggian ini unik. Sebab, ternyata tak terbatas kepada sosok pengajar atau orang yang paham secara keagamaan Islam saja, seperti  dalam pemahaman yang lazim di Indonesia.

‘’Bahkan di Persia  pada zaman dahulu (Iran, sekarang) pelukis dan seniman kaligrafi sering dipanggil ustaz. Hal yang sama juga terjadi di Pakistan. Penyanyi dan musikus sufi juga dipanggiil ustaz,’’ kata Abdul Hadi WM, di Jakarta, (21/9).

Bukan hanya itu, lanjut Abdul Hadi, dalam bahasa Inggris kedudukan ustadz sama dengan ‘master’. Mereka di sapa begitu sebagai orang yang melahirkan karya-karya yang bermutu  atau karya ‘masterpice’.

Salah satu contohnya adalah seniman dan penyanyi sangat kondang di Paskitan, yakni Nusrat Fateh Ali Khan. Dia di kalangan orang Pakistan dipanggil ustaz. Apalagi nyanyain Qawali yang dibawakannya, lazim pula atau akrab dikalangam penganut tarikat sufi. Namanya pun akui kalangan musik dunia. Nusrat pernah konser di Wembley, Inggris. Dan pernah berkolaborasi dan mengeluarkan album dengan dedengkot musik Genesis, Peter Gabriel.

“Seniman musik di Pakistan memanggil master Nusrat atau ustaz. Selain itu mereka yang dipanggil ustaz di negara lain juga melahirkan beberapa karya gemilang cabang ilmu agama seperti tasawuf, ilmu kalam, dan falsafah. Di Persia misalnya ada pelukis yang dipanggil ustaz, yakni Ustadz Bihzad,’’ ujarnya.

Khusus di Indonesia, kata Abdul Hadi, beberapa orang yang pengetahuan agamanya sebenarnya belum sekeranjang penuh, karena sering tampil layar TV dan publik, sering dengan mudahnya dipanggil pula ustaz. “Padahal pengetahuan mereka hanya secuil, misalnya dibandingkan pengetahuan ustadz Abdul Somad atau KH Mustiafa Bisri,’’ katanya.

Bagaimana dengan sebutan kiai yang populer dan lazim di Indonesia? Abdul Hadi menjawab itu merupakan panggilan kultural. Dalam budaya Jawa sebutan kyai tersebut adalah untuk menyebut sosok yang dihormati atau dimuliakan. Dan peruntukan panggilan itu biasa disematkan kepada manusia, hewan (ada kerbau kyai Slamet), keris (kyai Sengkelat), tempat (kyai Merapi), gamelan (kyai guntur madu), dan lainnya.

“Jadi kyai panggilan kultural tak sebatas hanya dalam kaitannya dengan agama (fiqh) semata. Di Indonesia juga ada sebutan yang sejenis dengan kyai, yakni Jawa Barat  (budaya Sunda) ada panggilan ajengan. Di Sumatra Barat (budaya Minangkabau) ada panggilan buya),’’ tegasnya.

 

REPUBLIKA

Godaan Para Dai

Dai juga seorang manusia. Dia bisa saja tergelincir, tergoda rayuan materi dunia dan popularitas semu. Tak luput dia diuji kesabarannya dengan polah tingkah objek dakwah. Tak jarang juga dia diancam nyawanya. Godaan dan tantangan tersebut harus dilewati dai dengan baik.

Ustaz muda asal Bandung Erick Yusuf mengaku tak luput dari godaan kala berdakwah. Pria yang akrab disapa Kang Erick ini mengaku godaan terbesarnya adalah ditawari mendirikan pesantren.

Ia kerap dibujuk sebuah aliran dengan dana melimpah untuk bisa mendirikan pesantren. “Tapi, dengan syarat saya berdakwah jika aliran tersebut tidak sesat dan bagian dari Islam,” ungkap Kang Erick. Bersyukur, kata Kang Erick, ia masih diberi kekuatan untuk menolak tawaran itu.

Godaan lain yang ia rasakan adalah kala mendengarkan curahan hati seorang akhwat. Sebagai dai muda, tak sedikit jamaah akhwat yang merasa nyaman kala menceritakan masalahnya kepada pemrakarsa iHAQi itu.

Kadang, ia merasa setan menggodanya kala ada akhwat yang sedang meminta nasihat agama kepadanya. Buru-buru jika bisikan itu datang, Kang Erick mengucap istighfar.

Kang Erick berbagi tips, untuk mempertahankan diri dari godaan-godaan tersebut, ia memperbanyak zikir. “Dan, memperbanyak ibadah sunah,” ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Tengku Zulkarnaen menjelaskan banyak godaan yang bisa menjebak para dai. Banyak dai yang populer, baik di media televisi maupun cetak, yang terkena penyakit sombong. Mereka lebih banyak berdakwah, tetapi lupa untuk kembali mengasah ilmu agamanya.

Mereka yang populer merasa bangga ketika jamaah yang duduk di taklimnya tumpah ruah. Namun, sangat kecewa, bahkan tersinggung jika yang datang padanya hanya satu dua orang. Padahal, tidak berbeda antara jamaah yang sedikit atau banyak. Hal terpenting adalah esensi dari dakwah itu sendiri.

Begitu juga dengan harta dunia yang didapatkan berkat kepopulerannya. Mereka yang merasakan manisnya amplop hasil ceramah lupa diri bahwa berdakwah bukanlah profesi.

“Bahkan, harga diri dai terluka ketika tanpa malu-malu menyindir jumlah amplop yang diterima banyak atau sedikit,” ujarnya.

Menurutnya, uang hasil ceramah yang diterima hukumnya makruh jika diterima cukup dengan kebutuhan makan. Namun, akan menjadi haram jika apa yang didapatkan melebihi kebutuhan makan.

Seharusnya, dai yang memiliki mobil mewah bermiliar-miliar dari hasil ceramah introspeksi diri. Pada saat jamaah mereka mengumpulkan uang tersebut dari hasil ketuk pintu rumah ke rumah.

Ustaz Tengku menyarankan seharusnya dai memiliki pekerjaan lain sehingga tidak menggantungkan dari amplop ceramah. Untuk menjaga diri, Ustaz Tengku menekankan dai harus membekali diri dengan doa dan ibadah malam.

Doa tidak hanya berdampak positif bagi diri sendiri, tetapi juga agar apa yang disampaikan berpengaruh pada bergetarnya hati objek dakwah.

Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Ihya Qalbun Salim di Ciputat, Dr Rusli Hasbi Lc MA, mengatakan berdakwah itu memiliki tiga tujuan. Tujuan tersebut, di antaranya mengajak orang berbuat baik, mengamalkan ibadah, dan memperkenalkan Islam.

Seorang dai harus paham benar dengan Islam, bukan orang yang baru belajar. “Bukan dai jika hanya pintar bicara tanpa mengamalkannya,” ujarnya.

Kepopuleran merupakan godaan dai saat ini. Jangan sampai seorang dai tidak tepat waktu melaksanakan shalat lima waktu karena harus shooting atau lelah karena terlalu sering berdakwah.

Menurut Dosen Fiqih UIN Syarif Hidayatullah ini, jika terlalu menggadaikan idealisme, dai bisa terjebak dalam kebutuhan industri semata. “Banyak dai yang berdakwah hanya untuk ketertarikan penonton dan menaikkan rating,” ujarnya.

Padahal, seorang dai harus memiliki sikap ikhlas. “Jika ustaz tersebut tidak menarik penonton dan menguntungkan, maka tidak diterima, tetapi jika menguntungkan akan terus dipakai,” ujarnya.

Popularitas saat ini memang penting. Tanpa media berdakwah, pesan dakwah akan berjalan lambat dan tidak tersebar.

Popularitas yang didapatkan dari masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan media. Karenanya, media merupakan salah satu cara untuk mempercepat dakwah Islam.

Namun, pihaknya tidak setuju jika berdakwah dijadikan sebagai mata pencaharian. Rasulullah SAW pun dalam berdakwah tidak mendapatkan imbalan.

 

Oleh: Ajeng Retno Tejomukti

REPUBLIKA

Bila Ulama Tergelincir (Bagian-3, habis)

Godaan dunawi bisa menggelapkan mata hati seorang ulama dan berakibat fatal bagi integritas serta moralitasnya.

Tidaklah merusak agama kecuali para pemimpin, ulama, dan pendetanya. (Abdullah bin al-Mubarak, 181 H/797).

Tidak lama kemudian, tiba-tiba keledainya berhenti. Atas izin Sang Khaliq, binatang berkaki empat itu pun berbicara. “Celakalah kamu wahai Bal’am, hendak pergi ke mana kamu?’‘ tanya sang keledai.

Keledai itu bertanya lagi, ”Apakah kamu tidak melihat para malaikat di depanku yang memalingkan wajahnya? Apakah kamu hendak menemui Nabi? Dan, orang-orang mukmin untuk mendoakan dengan sesuatu yang buruk?

Akibat terbelenggu nafsu, Bal’am menghiraukan ucapan keledainya. Ia tetap berjalan menuju Puncak Husban, bahkan dengan cara menyakiti keledainya.

Sesampainya di Puncak Husban, ia berdoa seperti permintaan warga Kan’an agar Musa celaka. Tetapi, justru doa itu, atas seizin Allah, diubah hingga Bal’am malah mendoakan keburukan bagi Kan’an.

Mendengar hal itu, kaum Kan’an kaget. “Hai Bal’am, apa yang kamu lakukan? kamu telah mendoakan dengan sesuatu yang baik kepada mereka dan mendoakan sesuatu yang buruk untuk kami?” kata mereka.

Bal’am sadar doa itu keluar di luar kuasanya. Ia pun akhirnya membuat tipu daya dengan mengumpulkan segenap perempuan agar melakukan perzinahan massal.

Salah satu perempuan itu ialah Kasbi binti Suar, tetapi Nabi Musa AS terjaga dari perbuatan nista tersebut. Peristiwa itu pun terjadi dan mengakibatkan sanksi fisik ataupun nonfisik.

Sanksi fisik ialah penduduk Kan’an sempat terkena wabah kolera yang menewaskan tak kurang dari 70 ribu penduduk ketika itu. Dan, hukuman nonfisik, akibat kemujaraban doa Bal’am, Nabi Musa AS beserta pengikutnya tersesat di Lembah Tin (di sekitar Sinai, Mesir), selama 40 tahun.

Kejadian luar biasa ini pun sontak membuat Musa terheran-heran, apa gerangan penyebabnya. “Bersumber dari doa Bal’am,” jawab Allah kepada Musa.

Musa pun berdoa agar Allah berkenan mencabut keimanan dari hati Bal’am. Doanya dikabulkan, sang ulama yang zalim meninggal dalam kondisi kafir dan lidahnya menjulur seperti anjing.

 

Oleh: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA