11 Bulan ke Depan yang Penuh Duri

Suatu hati, Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab tengah berbincang. Ubay bertanya kepada Umar tentang makna takwa. Khalifah kedua ini malah balik bertanya, Pernahkah engkau berjalan di tempat yang penuh duri?Ubay bin Ka’ab menjawab, Ya, pernah. Apakah yang engkau lakukan? tanya Umar kembali.

“Tentu aku sangat berhati-hati melewatinya! jawab Ubay bin Ka’ab. Itulah yang dinamakan takwa, ujar Umar.

Apakah yang dikatakan Sayyidina Umar akan dihadapi umat Islam selama 11 bulan ke depan. Ramadhan telah dilalui, dengan beragam ilmu di dapat. Sikap disiplin, welas asih, sabar, dan lainnya telah kita pelajari selama sebulan. Ujian sesungguhnya bukan di bulan Ramadhan melainkan setelah Ramadhan. Di bulan-bulan berikutnya, kita akan tahu apakah Ramadhan telah mengubah kita?

Sekiranya, Ramadhan merupakan anuegerah bagi umat Islam. Dalam setahun, ada satu lagi nikmat yang harus disyukuri. Ketika memasuki bulan Rajab, Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa, Ya Allah anugerahkan kami keberkahan di bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikan kami bulan Ramadhan dan wujudkanlah tujuan kami.”. Dari doa Rasulullah ini, dapat simpulkan betapa istimewanya Ramadhan. Keistimewaan inilah yang harus kita jaga.

Kuncinya adalah Istiqomah. Manusia itu bila diibaratkan seperti sinyal ponsel. Kadang naik. Kadang Turun. Kadang banyak turunnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami ialah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) berdukacita.  Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka  kerjakan.” (QS al-Ahqaf [46] : 13-14).

Ayat tersebut memberikan petunjuk kepada kita, akan pentingnya istiqamah. Apa itu Istiqamah? Begini cirinya, seseorang yang istiqamah tak ada sedikit pun di hatinya rasa ragu lagi bimbang. Ia teramat yakin  sehingga ia terus melaju dalam rel keimanan. Tak pula didapati dalam hati orang yang istiqamah  kesedihan. Ia bergembira, maka ia ingin terus mempertahankan kegembiraan itu.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Mohammad Siddik dalam tulisannya yang dimuat di Republika.co.id, menyebut untuk menjadi Istiqamah ada caranya. Pertama, kita harus menguatkan keyakinan jika Allah SWT. Selanjutnya memperbanyak istighfar, berkumpul dengan orang saleh, dan memperbanyak belajar dari kaum Muslimin.

Pimpinan Majelis Zikir Az-Zikra, Ustaz Muhammad Arifin Ilham menuliskan, amal istiqamah adalah amal malaikat. Seperti kita tahu, dari awal penciptaannya, malaikat terus beribadah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Berarti orang yang istiqamah sedang beramal sebagaimana amal malaikat. Dan, karena itu sangat dikaguminya.

Dalam petuahnya Hujattul Islam, Imam Al Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya. Apakah yang paling besar di dunia ini. Mendengar pertanyaan tersebut, para murid ada yang menjawab, gunungm matahari, bumi dan lainnya. Lalu beliau menjawab, yang paling besar di dunia ini adalah hawa nafsu.

Kata kunci dari fitrah adalah hawa nafsunya bisa dikendalikan. Karena semua yang mengotori fitrah manusia adalah hawa nafsu.Pakar Fiqih Muamalah, Ustaz Oni Sahroni menyebut, kemampuan manusia menjaga hawa nafsu akan melindungi dirinya dari hal buruk seperti korupsi dan tidak amanah.

Ustaz Hasan Basri Tanjung dalam bukunya Karunia Tak Ternilai menuliskan Idul Fitri akan melahirkan manusia yang mencintai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang merupakan nilai-nilai universal. Ia kemudian menjadi tipe manusia yang positif, kontributif, dan produktif.

Manusia-manusia inilah yang akan optimistis menghadapi 11 bulan ke depan. Ingat, tahun politik, tak lama lagi datang. Dapat dipastikan, suhu akan memanas. Manusia-manusia lulusan Ramadhan yang akan membuat perbedaan. Ia akan santun saat memilih dan bijak ketika melihat perbedaan.

Perhatikan sabda Nabi SAW, yakni Sebaik-baiknya manusia di sisi Allah adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi sesama. Rasulullah mendorong setiap individu untuk mengambil peran, berbagi kelebihan (ilmu, harta, tenaga, dan kekuasaan) kepada insan yang kurang beruntung. Menjadi bagian dari solusi, dan bukan menjadi bagian dari masalah.

Selamat Idul Fitri, Mohon Lahir dan Batin. Selamat datang manusia Ramadhan..

oleh Agung Sasongko, Penulis adalah redaktur Republika.co.id

 

REPUBLIKA

Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan (2)

Alkisah, akhirnya Hurmuzan menghadap amirul mukminin, Umar Bin Khattab.

‘Umar memerhatikan Hurmuzan dan pakaian yang dikenakannya lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari api neraka dan aku memohon pertolongan-Nya.”

“Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menghinakan orang-orang seperti ini dan para pengikutnya dengan Islam. Wahai kaum muslimin, berpegangteguhlah kamu dengan agama ini, ikutilah petunjuk Nabi kalian dan janganlah dunia ini membuat kalian jadi sombong dan congkak, karena sesungguhnya dunia ini pasti lenyap,” lanjut Khalifah Umar.

Salah satu utusan berkata, “Ini adalah Raja Ahwaz, berbicaralah dengannya!”

“Tidak, sampai semua perhiasan yang dipakainya itu disingkirkan darinya,” kata ‘Umar.

Setelah  Hurmuzan berganti dengan pakaian biasa,  ‘Umar kemudian berkata, “Hai Hurmuzan, kamu lihat bagaimana hasil pengkhianatanmu dan ketetapan Allah?”

“Hai ‘Umar, kami dan kamu sebelum ini hidup dalam kejahiliahan. Waktu itu, Allah membiarkan antara kami dan kamu lalu kami mengalahkan kamu, karena ketika itu Dia tidak bersama kami dan tidak pula bersama kamu. Namun, ketika Allah bersama kamu, kamu pun berhasil mengalahkan kami,” ujar Hurmuzan.

“Kamu dapat mengalahkan kami di masa jahiliah, tidak lain adalah karena kalian bersatu, sementara kami berpecah belah.”

Beliau melanjutkan, “Apa alasanmu melanggar perjanjian berkali-kali?”

Kata Hurmuzan, “Aku takut kau membunuhku sebelum aku menerangkannya.”

“Tidak usah takut.”

Hurmuzan meminta air, lalu segera diberikan padanya dengan sebuah cangkir yang buruk, tetapi dia berkata, “Andaikata aku mati kehausan pasti aku tidak akan mungkin dapat minum dengan cangkir seperti ini.”

Kemudian, dibawakan kepadanya air dalam cangkir lain yang disukainya. Ketika dia memegangnya, tangannya bergetar hebat dan dia berkata, “Aku takut dibunuh ketika sedang minum.”

“Tidak apa-apa, minumlah.”

Hurmuzan mulai minum.

‘Umar berkata, “Berikan lagi, dan janganlah kamu jatuhkan hukuman mati padanya, padahal dia masih haus.”

Tiba-tiba Hurmuzan membuang air tersebut. Melihat hal itu Umar menyuruh seseorang agar mengambilkan air dan memberikannya kepada Hurmuzan. “Jangan sampai kalian membunuhnya dalam keadaan haus,” kata Umar.

Tapi ternyata Hurmuzan menolak pemberian ‘Umar.

“Aku tidak butuh air,” jawabnya. “Aku sengaja melakukan hal itu untuk mendapatkan jaminan keselamatan darimu,” tandasnya dengan tenang.

“Kalau begitu, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata ‘Umar.

“Tapi engkau telah memberikan jaminan keselamatan padaku.”

“Engkau bohong,” sahut ‘Umar.

Tiba-tiba Anas bin Malik yang berada di tempat itu berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukminin,” Anas membenarkan ucapan Hurmuzan. “Engkau telah memberinya jaminan keselamatan,” lanjutnya.

“Celaka engkau wahai Anas,” kata ‘Umar kepada Anas. “Mungkinkah aku memberikan jaminan keselamatan kepada orang yang telah membunuh al-Barra’ bin Malik?, (yang tak lain saudara kandung Anas bin Malik sendiri, red).  Sebaiknya engkau menjelaskannya. Kalau tidak, aku akan menghukummu,” tegas Umar kepada Anas bin Malik.

“Pertama engkau mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau meminumnya” kepada Hurmuzan,” kata Anas menjelaskan. Engkau juga mengatakan, “tidak ada yang akan menyentuhmu hingga engkau menceritakannya kepadaku.” Lanjut Anas mengingatkan Umar.

Bahkan orang-orang yang berada di situ juga membenarkan perkatan Anas.

Umar lalu menghadap kepada Hurmuzan dan mengatakan, “Engkau telah menipuku,” katanya. “Demi Allah aku tidak akan tertipu kecuali engkau masuk agama Islam,” tambah ‘Umar.

Ternyata setelah itu Hurmuzan menyatakan diri masuk Islam. Maka Umar pun memperlakukan Hurmuzan dengan baik dan menyuruhnya menetap di Kota Madinah.

Sebagai penutup, kata-kata bersejarah Umar yang dicatat oleh Sayyid bin Husain Al-‘Affani ini patut untuk dijadikan renungan terkait betapa pentingnya nilai Izzah bagi umat Islam:

“Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Jika kita mencari Izzah pada selainnya, maka Allah akan menjadikan kita hina.”  (dalam buku Anwâr al-Fajr fî Fadhâ`ili Ahli Badr”, 2006:504).*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLH

Izzah Islam; Antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan

ISLAM sebagai agama penutup yang sempurna dan paripurna, mengajarkan kepada pemeluknya untuk memiliki karakter “Izzah”. Dalam al-Qur`an misalnya –Surah Al-Munafiqun [63]: 8- termaktub bahwa Izzah itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Maka sudah seharusnya, setiap mukmin menjadikan Izzah sebagai karakter pribadinya. Bahkan, dalam Surah Al-Ma’idah [5] ayat 54, disebutkan bahwa ciri orang beriman adalah bersikap Izzah (tegas) kepada orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada sesamanya.

Dalam bahasa Arab, kata “Izzah” mengandung beberapa makna, yaitu: kuat, keras, menang, tinggi, menahan diri dan unik atau langka (Murtadha, Tâj al-‘Arûs, XV/219) Di dalam bahasa Indonesia pun, rupanya kata ini sudah masuk idiom kamus bahasa Indonesia. Dalam kamus tersebut, ‘Izzah’ ditulis ‘izah’ yang bermakna: kehormatan, harga diri dan kekuasaan. Arti ini tentu tidak menyimpang dari bahasa asalnya.

Salah satu sosok legendaris yang patut diteladani dalam masalah Izzah adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab “al-Bidâyah wa al-Nihâyah” (1998: VII/70) mencatat dengan baik kata-kata bersejarah khalifah kedua ini yang menggambarkan kapasitas Izzahnya yang diilhami oleh Islam, “Kami adalah kaum yang dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Maka, kami tidak akan mencari alternatif (Izzah) selain (yang dianugerahkan) Allah.”

Semua orang mengenal ‘Umar bin Khattab, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin. Keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan pemerintahan sangat masyhur.

Umar bin Khattab terkenal dengan keadilannya ketika menjabat Khalifah ar-Rasyidin kedua. Semasa kekuasaanya wilayah Islam sudah meliputi seluruh wilalah Jazirah Arabiyah, sebagian Asia kecil, Afrika Utara, bahkan sampai ke Eropa.

Namun siapa sangka, bahwa suatu kali Umar pernah tertipu saat berbicara dengan Raja Persia yang bernama Hurmuzan.

Tiga orang kepercayaan Khalifah Umar –Anas Bin Malik, Mughirah bin Syu’bah dan Ahnaf bin Qais– mendatangi negeri Hurmuzan dan berhasil menangkapnya atas permintaan Khalifah Umar.

Dikisahkan bahwa dalam salah peperangan pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia dan menangkap Hurmuzan. Dia kemudian dibawa ke kota Madinah untuk dihadapkan kepada Umar bin Khattab.

Menjelang tiba di Kota Madinah, mereka memakaikan Hurmuzan baju kebesarannya yang terbuat dari sutra yang telah dipenuhi dengan perhiasan emas, permata, dan mutiara. Setelah itu barulah mereka masuk ke kota Madinah bersama Hurmuzan dengan pakaian lengkapnya dan langsung mencari rumah Amirul Mukminin.

Sepanjang perjalanan, sang tawanan membayangkan alangkah megah dan hebatnya istana Umar mengingat daerah kekuasaannya yang begitu luas meliputi dua pertiga dunia. Fikirannya  sang Kisra merasa rendah diri (inferor) ketika hendak menemui sang Khalifah.

Kisah pertemuan antara Hurmuzan dan Umar bin Khattab berikut adalah di antara contoh nyata bagaimana karakter Izzah ini benar-benar tercermin dalam diri sahabat yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dijuluki Al-Faruq ini.

Dalam buku “Nizhâm al-Hukûmiyah al-Nabawiyyah” (II/250) Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattani menulis sepenggal kisah antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan. Kisah ini ditulis dalam bab “Fîman Kâna Yudhrabu bihi al-Matsal fi al-Haibah min al-Shahâbah” (Bab tentang orang yang dijadikan percontohan dari kalangan sahabat terkait masalah kemuliaan).

Menukil cerita Sya’bi, dikisahkan bahwa tongkat kecil Umar bin Khattab –karena begitu hebat Izzah beliau- lebih ditakuti daripada pedang Hajjaj. Suatu hari saat Hurmuzan (Raja Khurasan) menjadi tawanan yang dibawa beberapa sahabat –di antaranya Anas- untuk menemui langsung orang nomer satu umat Islam kala itu (‘Umar).

Kebetulan, saat sampai di Madinah, Umar tidak ada di rumah. Kemudian beliau dicari hingga ditemukan di salah satu masjid Madinah. Saat itu posisinya sedang tidur bersandar tongkatnya. Melihat fenomena demikian, Hurmuzan berseloroh, “Ini -demi Allah- adalah raja yang baik. Anda telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (dengan nyenyak). Demi Allah, sesungguhnya aku telah melayani empat Raja Kisra (Persia) yang memiliki mahkotah, tidak ada satu pun di antara mereka yang aku rasakan kehebatan –Izzah nya- melebihi orang yang sedang tidur beralas tongkat ini.”

Izzah yang dimiliki Umar benar-benar membuat Hurmuzan terkagum-kagum. Sosok nomer satu yang memimpin pasukan hebat yang bisa mengalahkan Imperium Persia ini ternyata jauh dari yang dibayangkannya. Dalam benaknya, ‘Umar ini pasti raja hebat yang memiliki istana mega, harta melimpah, penjagaan yang super ketat dan lain sebagainya.

Hurmuzan tidak yakin berhadapan dengan seorang pria sederhana, khalifah besar, pemimpin pasukan Islam yang menguasai Timur dan Barat, yang mampu menjatuhkan dua raksasa super power dunia kala itu, kekuasaan Persia dan Byzantium (Rum/Romawi Timur).

Terkejutnya Hurmuzan,  pemimpin besar umat Islam ini gaya hidupnya begitu bersahaja dan tanpa penjagaan. Sebuah fenomena aneh yang belum pernah Hurmuzan dapati sebelumnya. Namun, Hurmuzan menyadari bahwa salah satu kunci yang bisa membuka rasa penasaran terkait kehebatan dan izzah Umar adalah keadilan yang ditegakkan oleh Umar bin Khattab.

‘Umar baru bisa tidur nyenyak ketika keadilan ditegakkan dan didistribusikan secara merata kepada rakyatnya. Sebuah tipikal pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan rakyat daripada diri dan kerabat; lebih memilih hidup melarat demi terciptanya keadilan untuk rakyat.

Senada dengan kisah Hurmuzan, Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhâj al-Muslim” (1964: 126) menceritakan bagaimana utusan Kaisar Romawi yang kagum kepada Umar bin Khattab. Saat sampai Madinah, dia bertanya kepada para penduduk, “Dimana raja kalian?” Oleh penduduk dijawab, “Kami tidak memiliki raja, tapi Amir (Pemimpin). Ternyata setelah dicari-cari, Umar ditemukan sedang tidur di atas pasir berbantalkan tongkat kecilnya.

“Orang yang seluruh raja goncang kerajaannya karena kehebatannya ternyata keadaannya seperti ini. Tapi, wahai Umar engkau telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (nyenyak). Sedangkan raja kami berbuat zalim. Tidak mengherankan jika (raja kami) selalu merasa takut dan tidak bisa tidur malam.” Demikianlah contoh dari izzah Umar bin Khattab. Bagi para pemimpin yang ingin memiliki izzah seperti Umar, maka jadikanlah keadilan sebagai pusat perhatian.

 

HIDAYATULLAH

Delapan Nasehat Umar yang Bikin Kita “Tertampar”

Sejak masuk Islam, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu telah membuat bumi Makkah bergetar. Orang-orang kafir Quraisy pun gemetar.

Tak lama setelah memproklamirkan diri sebagai muslim, ia mengajak para sahabat untuk terang-terangan keluar. Melihat para sahabat thawaf mengelilingi ka’bah dipimpin Hamzah dan Umar, kaum musyrikin Makkah serasa menyaksikan kobaran kilat dan suara halilintar.

Ketika hijrah, Umar pergi dengan tantangan terbuka. “Aku mau berangkat hijrah. Siapa yang ingin anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, silahkan hadang aku!” Dan tak ada yang berani menghalangi. Seluruh ksatria kaum musyirin gentar.

Ketika menjadi khalifah setelah wafatnya Abu Bakar, Umar menorehkan sejarah sebagai pemimpin Islam yang fenomenal. Keadilannya tersebar dari Madinah hingga batas negeri terluar. Maka Michael H Hart pun memasukkannya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Umar tercatat menghasilkan futuhat Islamiyah terbesar.

Sahabat mulia bergelar al faruq ini tak hanya ahli memimpin negara dan perkasa di medan perang. Ia juga seorang inspirator ulung yang nasehat-nasehatnya menyentuh jiwa dan produk ijtihadnya menjadi khazanah keilmuan dari zamannya hingga zaman kita.

Salah satu nasehat Umar bin Khattab diabadikan dalam kitab Nashaihul ‘Ibad. Ada delapan nasehat Umar bin Khattab dalam sebuah atsar beliau yang oleh Syekh Nawawi Al Bantany diberi judul Delapan Nasehat Umar:

  1. Barangsiapa meninggalkan ucapan yang tidak perlu maka dia akan diberi hikmah
  2. Barangsiapa meninggalkan penglihatan yang tidak perlu maka dia akan diberi kekhusukan dalam hati
  3. Barangsiapa meninggalkan makan yang berlebihan maka dia diberi kenikmatan beribadah
  4. Barangsiapa meninggalkan tertawa yang berlebihan maka dia akan diberi kewibawaan
  5. Barangsiapa meninggalkan humor maka dia akan diberi kehormatan
  6. Barangsiapa meninggalkan cinta duniawi maka dia akan diberi kecintaan kepada akhirat
  7. Barangsiapa meninggalkan perhatiannya kepada aib orang maka dia akan diberi kemampuan untuk memperbaiki aibnya sendiri
  8. Barangsiapa meninggalkan pembahasan tentang bagaimana wujud Allah maka dia akan terhindar dari nifaq

Nasehat-nasehat ini luar biasa. Mari kita berusaha mengamalkannya. Meskipun di zaman sekarang, tantangannya relatif lebih besar. Medsos yang memfasilitasi kita lebih banyak berucap, mobilitas dan media yang memfasilitasi kita lebih banyak memandang, aneka acara humor yang menstimulus kita untuk lebih banyak tertawa, hingga mudahnya akses informasi yang membuat kita terjebak menguiti aib sesama. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Uwais Al-Qarni, Pemuda Sederhana Yang Dicari-Cari Oleh Khalifah Umar Bin Khattab

“Mohon kalian semua duduk,” kata Umar kepada rombongan yang datang di sekitaran Ka’bah. Saat itu Umar sudah menjabat sebagai seorang khalifah. Artinya, itu adalah era di mana Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalaam dan Abu Bakar As-Shidiq sudah meninggal dunia.

Keadaan cukup ramai karena sudah memasuki bulan Dzulhijjah. Musim haji telah tiba. Orang-orang dari segala penjuru mendatangi kota Mekah untuk beribadah. Dan wajarnya ibadah haji pada era itu, yang dibawa pun sekalian barang dagangan. Ibadah sekalian berjualan. Itulah yang membuat keadaan di pusat kota Mekah saat Umar mengumpulkan para calon jamaah haji jadi terlihat semakin riuh.

“Silakan duduk, kecuali orang-orang yang berasal dari daerah Qaran,” lanjut Umar bin Khattab. Semua orang-orang yang di hadapan Umar duduk bersila. Sedangkan orang-orang dari Qaran tetap berdiri.

“Siapa di antara kalian yang bernama Uwais?” tanya Umar kepada orang-orang yang masih berdiri.

Semua orang yang berdiri bergeming. Saling pandang satu sama lain, seperti saling menyelidik dan bertanya-tanya. Umar pun paham, di antara orang-orang ini, tidak ada orang yang dimaksud.

“Adakah di antara kalian yang mengenal orang yang bernama Uwais al-Qarni?” tanya Umar lagi dengan suara keras mengingat di hadapannya ada cukup banyak orang.

Kasak-kusuk mulai terdengar, orang-orang ini mulai bingung. Ada apa sosok seterhormat khalifah Umar menanyakan Uwais? Orang-orang Qaran ini heran. Uwais hanya orang biasa, rakyat jelata, dan tidak punya kedudukan apapun. Bahkan bagi penduduk Qaran, Uwais hanyalah orang gila yang dikucilkan dari masyarakat. Itulah yang kemudian membuat salah satu pria yang berdiri sedikit maju ke depan untuk berbicara kepada Umar.

“Wahai, Umar. Apa yang Anda inginkan darinya? Uwais adalah orang yang tidak dikenal kecuali oleh orang-orang sekitarnya. Ia tinggal di gubuk reyot. Hidup sendiri dan tidak bergaul dengan manusia,” kata perwakilan orang Qaran ini.

Tanpa diduga oleh orang-orang Qaran dan calon jamaah haji yang duduk, Umar justru sumringah. Seperti menemukan seseorang yang selama ini ditunggu-tunggu. Dengan sedikit terburu-buru Umar mendatangi orang tersebut.

“Sampaikan salamku padanya. Pada Uwais. Mohon, mintakan kepadanya untuk segera menemuiku di Mekah,” kata Umar.

Tentu saja semua yang melihat ini bertanya-tanya. Siapa orang yang dimaksud Umar itu? Dan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu istimewa sampai seorang Umar—salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad, khalifah penerus Abu Bakar As-Shidiq—seperti berupaya keras untuk menyelidiki dan mencari sosoknya. Rasa penasaran yang tidak hanya muncul dari orang-orang Qaran, tapi juga jamaah haji yang sedang duduk.

Rasa penasaran itu mengerucut pada satu pertanyaan: Siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni?

Uwais adalah pria tambun, berkulit coklat gelap, kepalanya botak, berjenggot tebal dan lebat. Sering mengenakan sorban dari kain wol, wajahnya cukup menjengkelkan sekaligus punya tatapan mata yang menakutkan.

Paling tidak, itulah kesan yang dilihat oleh Harim bin Hayyan al-‘Abdi, seorang muslim yang bertemu dengan Uwais setelah kabar seorang Khalifah Umar mencari sosok tidak dikenal itu sampai ke Kota Kufah di tepi Sungai Efrat.

Seperti yang diceritakan ulang oleh Abu Al-Qasim An-Naisaburi dalam kitab Uqola al-Majaaniin, kitab kebijaksanaan orang-orang yang dianggap gila atau memang gila betulan, setelah mendapat pesan dari Umar, orang Qaran ini pun pulang ke kampung halamannya setelah ibadah haji. Ia menyampaikan pesan istimewa ke Uwais dengan penuh tanda tanya. Barangkali dalam hatinya, ada urusan apa seorang Uwais, sosok yang dicampakkan di perkampungannya, malah mendapat “undangan kenegaraan” langsung dari khalifah umat Islam sedunia.

Mendapat undangan istimewa tersebut, tentu saja Uwais segera ke Mekah mendatangi Umar. Begitu keduanya bertemu, Umar langsung menyapa, “Apakah benar Anda adalah Uwais? Uwais Al-Qarni?” tanya Umar.

“Ya, benar, wahai Amirulmukminin,” jawab Uwais.

“Apakah Anda pernah memiliki penyakit kusta, lalu Anda berdoa dan penyakit Anda sembuh? Lalu Anda berdoa kembali agar dikembalikan lagi penyakit kusta tersebut, lalu dikabulkan lagi, tapi hanya setengah dari penyakit yang pertama?” tanya Umar.

Uwais terkejut luar biasa melihat Umar tahu hal tersebut. Mengingat Uwais hanyalah sebatang kara dan dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.

“Benar apa yang Anda sampaikan, Amirulmukminin,” kata Uwais masih terkejut, “Siapa yang mengabari Anda tentang semua itu? Demi Tuhan, tidak ada yang mengetahui peristiwa tersebut kecuali Tuhan.”

Umar lalu menjawab, “Yang memberitahuku adalah Rasulullah. Beliau memerintahkanku untuk memohon kepada Anda agar berkenan mendoakan saya.”

Karuan saja Uwais semakin heran dengan penjelasan Umar. Namun sebelum keluar kata-kata dari Uwais, Umar kembali melanjutkan kata-katanya.

“Karena beliau bersabda tentang seorang pria yang memberi syafaat kepada orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar. Lalu beliau menyebut namamu,” jelas Umar.

Apa yang disampaikan Umar adalah hadis dari riwayat Hasan. Suatu kali Nabi Muhammad bersabda, “Ada orang-orang dalam jumlah lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar kelak yang akan masuk surga karena syafaat seorang pria dari umatku. Maukah kalian aku beritahu siapa nama pria itu?”

Para sahabat menjawab, “Tentu saja, Wahai Rasulullah.”

“Pria itu adalah Uwais Al-Qarni.”

Setelahnya lalu keluar perintah Nabi untuk Umar, “Wahai Umar, apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya sehingga dia mendoakanmu.” Sebuah riwayat yang juga terdapat dalam kitab Shahih al-Jami ash-Shaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi.

Mendengar segala keistimewaan itu Uwais bukannya jadi besar kepala, pesannya pun sederhana kepada Umar, “Wahai Amurilmukminin, saya punya permohonan untuk Anda,” kata Uwais.

“Apa itu, Uwais?” tanya Umar.

“Tolong sembunyikan soal jati diri saya yang Anda dengar dari Rasulullah dan izinkanlah saya untuk segera beranjak dari tempat ini,” kata Uwais.

Umar pun mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesaksian Harim bin Hayyan, Uwais berkata kepadanya, “Aku tidak suka perkara ini,” setelah Harim meminta hadis dari riwayat Uwais.

“Aku tidak ingin menjadi mukhaddits (ahli hadis), kadi (hakim), dan mufti (pencetus fatwa). Aku tak suka diriku sibuk dengan manusia,” jawab Uwais yang ingin menjauh dari gelar-gelar duniawi sekalipun itu terlihat seperti gelar dari agama.

Di tempat persembunyiannya itulah Uwais menghabiskan sisa hidupnya. Sampai kemudian keberadaan Uwais yang tidak terdeteksi oleh orang banyak itu muncul kembali saat ditemukan dalam keadaan syahid saat Perang Shiffin bergejolak. (fath/tirto/arrahmah.com)

 

ARRAHMAH

Doa Umar bin Khattab Usai Berhaji

Saat berhaji, Khalifah Umar bin Khattab pernah diundang Sufyan bin Umayyah. Dalam acara makan tersebut, tersedia empat nampan besar beserta pelayannya.

Mereka pun makan, tetapi Umar melihat pelayan-pelayan itu berdiri saja menyaksikan orang lain makan. Umar bertanya kepada Sufyan,”Mengapa para pelayanmu tidak makan bersama?”

“Tidak demi Allah ya, Amirul Mukminin,” jawab Sufyan. “Mereka makan sesudah kita makan untuk menunjukan kebesaran kita”.

“Tidak bisa begitu,” kata Umar geram.

“Setiap kaum yang merendahkan pelayannya, maka dia akan direndakan Allah. Ayo para pelayan, silahkan makan bersama-sama,” kata Umar.

Pelayan itu akhirnya makan bersama-sama. Sudah menjadi prinsip Umar mendahulukan kepentingan rakyatnya. Karena prinsip itu, Umar pernah hanya memakan minyak selama sembilan bulan. Beliau bersumpah tidak akan makan lauk selain minyak sehingga Allah memberi kelapangan kepada kaum Muslimin. Beliau juga pernah memikul karung-karung sendiri untuk diberikan kepada janda-janda dan anak-anak yatim.

Selesai berhaji pada tahun 23 hijriyah, Umar berdoa kepada Allah di Abtha. Beliau mengadu kepada Allah tentang usianya yang senja, kekuatan yang melemah, sementara rakyatnya menyebar luas di berbagai penjuru. Umar khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya dengan sempurna. Beliau pun berdoa kepada Allah agar wafat dengan mati syahid serta dimakamkan di Madinah.

Doa itu diwujudkan Allah. Umar bin Khattab wafat 25 Zulhijah 23 Hijriyah setelah ditikam seorang majusi bernama, Abu Luluah Fairuz ketika hendak melaksanakan shalat Subuh.

 

REPUBLIKA

Cara Umar Bin Khattab Mendidik Diri

SUATU hari, Umar bin Khattab, kepala negara yang gagah berani itu, membawa kantong kulit untuk wadah air. Orang-orang heran bagaimana seorang khalifah masih berkenan melakukan hal remeh seperti itu.

Mereka bertanya alasannya. Umar menjawab: ” Diriku telah berhasil membuatku kagum pada diriku sendiri. Saya harus menghinakannya.” Luar biasa usaha Umar bin Khattab mendidik diri agar tak sombong.

Beliau juga berkata: “Setiap hari ada yang bercerita si fulan meninggal dan si fulana meninggal. Hmmm, suatu waktu mereka pasti tiba waktunya mereka mengatakan Umar meninggal.” Luar biasa kesadaran Umar bin Khattab akan kematian. Tak kan pernah sombong mereka yang sadar bahwa semua akan mati. Bagaimana akan sombong, sementara yang dimilikinya di dunia akan terlepas dan yang tertinggal hanyalah hisab dan tanggung jawab.

Pada kali yang lain beliau juga berkata, “Tidak ada nilai pada suatu perbuatan yang tak memiliki niat. Tak ada kebaikan bagi orang yang tak ada rasa takit kepada Allah. Dan tak ada yang baru bagi orang yang tak punya etika kepribadian.” Luar bisa Umar bin Khattab, semua amalnya adalah berniat, gerak hidupnya disertai rasa takut kepada Allah dan segalanya adalah patut, pantas dan baik.

Lalu, bagaimanakah dengan kita? Apa yang telah kita lakukan untuk mendidik diri kita menjadi lebih baik? Apa yang telah kita pesiapkan untuk kematian kita dan kehidupan pasca kematian kita? Ah sepertinya kita terlalu sibuk dengan dunia ya. Ah, maaf, bukan kita, yang saya maksud adalah saya. Ampuni hamba Ya Rabb. Salam, AIM. [*]

 

sumber: Mozaik Inilahcom

 

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com
atau hubungi handphone/WA 08119303297

Rasulullah dan tangis kesedihan Umar bin Khattab

Suatu hari, Rasulullah sedang berbaring di atas tikar kasar. Tikar itu tidak dapat menampung seluruh anggota tubuh Rasulullah, hingga ada yang berada di atas tanah. Rasulullah juga hanya berbantal pelepah kurma yang keras.

Umar bin Khattab kemudian meminta izin untuk bertemu. Rasulullah pun mengizinkannya, dan Umar menemui Rasulullah di rumahnya.

Saat masuk ke dalam rumah Rasulullah, Umar melihat sendiri keadaan “Sang Pemimpin Agung’ itu, yang sangat sederhana. Akibatnya, Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.

“Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.

“Bagaimana saya tidak menangis, tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasihNya,” kata Umar.

“Saya melihat kekayaanmu hanya ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” lanjut Umar.

Kisra adalah nama dari penguasa Persia. Sedangkan kaisar yang dimaksud adalah Heraclius, raja Romawi. Keduanya merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh di dunia kala itu.

Namun demikian, Rasulullah tidak mau mengeluh. “Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga, yang tidak lama lagi akan berakhir,” sabda Rasulullah.

Rasulullah kemudian melanjutkan perkataannya, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian pada musim panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”

 

sumber: Merdeka

Ketika Umar Bin Khattab Menangis

SIAPA yang tak mengenal Umar Ibnul Khattab radhiallahu anhu. Sosok yang memiliki tubuh kekar, watak yang keras dan berdisiplin yang tinggi serta tak kenal gentar. Namun di balik sifat tegasnya tersebut beliau memiliki hati yang lembut.

Suatu hari beliau masuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- di dalam rumahnya, sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil di sisi Masjid Nabawi. Di dalam bilik sederhana itu, beliau mendapati Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- sedang tidur di atas tikar kasar hingga gurat-gurat tikar itu membekas di badan beliau.

Spontan keadaan ini membuat Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.

“Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.

“Bagaimana saya tidak menangis, Kisra (Raja Kisra dari Persia) dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, yaRasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.

Rasulullah kemudian menghibur Umar, beliau bersabda: “Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…?”

Beliau, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melanjutkan lagi, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”

Begitulah

Tangisan Umar adalah tangisan yang lahir dari keimanan yang dilandasi tulusnya cinta kepada Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-. Apa yang dilihatnya membuat sisi kemanusiaannya terhentak dan mengalirkan perasaan gundah yang manusiawi.

Reaksi yang seolah memberi arti bahwa semestinya orang-orang kafir yang dengan segala daya dan upaya berusaha menghalangi kebenaran, memadamkam cahaya iman, dan menyebarkan keculasan dan keburukan, mereka itulah yang semestinya tak menikmati karunia Allah.

Sebaliknya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Islamlah semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak, begitu fikir Umar.

Tangisan Umar juga memberi arti lain, bahwa betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan bagi Umar sekalipun, untuk menerima ganjilnya “pemihakan” dunia kepada orang-orang bejat.

 

Namun sekejap gundah dan tangisnya berubah menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Yaitu apabila kita mengukur hidup ini dengan timbangan duniawi, maka terlalu banyak kenyataan hidup yang dapat menyesakkan dada kita. Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan.

Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia bejat dipuja dengan segala simbol penghargaan.

Tak perlu heran, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan akan masa-masa sulit itu. Masa di mana orang-orang benar didustakan dan orang-orang dusta dibenarkan.

Tangis Umar juga mengajari kita bahwa dalam menyikapi gemerlapnya dunia, kita tidak boleh hanya menggunakan sisi-sisi manusiawi semata, dibutuhkan mata hati bukan sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan bukan semata kalkulasi duniawi. Dan semua itu tercermin dalam jawaban Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- kepada Umar.

Beliau memberi gambaran yang membuat sesuatu yang secara lahiriah aneh dan ganjil bisa jadi secara substansial benar-benar adil. Bagaimana sesuatu yang yang secara kasat mata terlihat pahit, menjadi benih-benih bagi akhir yang manis dan membahagiakan.

Jawaban Rasulullah juga memberi pesan agar orang beriman jangan sampai mudah silau dan terpukau dengan gemerlapnya dunia yang dimiliki oleh orang kafir. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat, pada keaslian kampung halaman yang sedang dituju.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561)

Sebagaimana diketahui, Umar Bin Khattab -radhiallahu anhu- bernama asli Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza dikenal dengan postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, berani dan berdisiplin tinggi.

Di masa remajanya, dia dikenal sebagai petarung yang tangguh dan disegani di Makkah. Tidak hanya itu, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkan-nya terpilih menjadi wakil kabilahnya. Beliau selalu diberi kepercayaan dalam melakukan perundingan dengan suku-suku lain di Jazirah Arab.

Keunggulannya berdiplomasi mem-buatnya populer di kalangan berbagai suku Arab. Karena keunggulannya itu Nabi shallalahu alaihi wasallam pernah meminta kepada Allah, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang. Amr bin Hisyam atau Umar bin Khaththab.” Dan Allahpun meperkenankan do’a nabi-Nya dengan masuk Islamnya Umar Banyak prestasi yang berhasil diraihnya selama menjabat sebagai khalifah Islam.

Di masa kekhalifaannya Mesopotamia, Mesir, Palestina, Afrika Utara dan Byzantium berhasil di ambil alih. Persia sebagai negara adidaya kedua setelah Romawi pun berhasil ditaklukkan, itulah rahasia mengapa Syiah Majusi sangat membenci Umar bin Khattab.

Selama menjabat sebagai khalifah, Umar membuat peraturan untuk para gubernurnya. Di antaranya peraturannya adalah:

Pertama, mereka tidak boleh memiliki kendaraan mewah, kedua, dilarang memakai pakaian tipis halus dan mahal harganya, ketiga, dilarang makan makanan yang enak-enak, keempat,tidak boleh menutup rumah bila orang memerlukannya.

Umar wafat pada tahun ke 23 H setelah ditikam oleh Abu lu’lu’ah al Majusy. Dan di makamkan disamping dua sahabatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan Abu Bakar As -Siddiq -radhiallahu anhu-Rahimakallahu

Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka, manusia-manusia langit yang pernah menapakkan kakinya di bumi Allah ini. Baarakallahu fiikum.

 

 

oleh: Aan Chandra Thalib, mahasiswa Universitas Madinah

sumber: Hidayatullah

Kisah Umar bin Khattab menghukum putranya hingga mati

Sebagai seorang Khalifah, Umar bin Khattab terkenal sangat tegas dan tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran. Dia menghukum semua pelaku pelanggaran tanpa pandang bulu, termasuk putranya sendiri, Abdurrahman.

Abdurrahman merupakan salah satu putra Umar yang tinggal di Mesir. Dia telah melakukan pelanggaran dengan meminum khamr bersama dengan temannya hingga mabuk.

Abdurrahman kemudian menghadap ke Gubernur Mesir waktu itu, Amr bin Ash, meminta agar dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Amr bin Ash pun menghukum Abdurahman dan temannya dengan hukuman cambuk.

Tetapi, Amr bin Ash ternyata memberikan perlakuan yang berbeda. Jika teman Abdurrahman dihukum di hadapan umum, maka si putra Khalifah ini dihukum di ruang tengah rumahnya.

Umar bin Khattab pun mendengar kabar itu. Dia kemudian mengirim surat kepada Amr bin Ash agar memerintahkan Abdurrahman kembali ke Madinah dengan membungkuk, dengan maksud agar si anak dapat merasakan bagaimana menempuh perjalanan dengan kondisi yang sulit.

Amr bin Ash kemudian melaksanakan isi surat itu dan mengirim kembali surat balasan yang berisi permohonan maaf karena telah menghukum Abdurrahman tidak di hadapan umum. Umar tidak mau menerima cara itu.

Mendapat perintah itu, Abdurrahman kemudian kembali ke Madinah sesuai perintah, yaitu dengan berjalan membungkuk. Dia begitu kelelahan ketika sampai di Madinah.

Tanpa memperhatikan kondisi putranya, Umar bin Khattab langsung menyuruh algojo untuk melaksanakan hukuman cambuk kepada putranya. Seorang sahabat sepuh, Abdurrahman bin Auf pun mengingatkan agar Umar tak melakukan hal itu.

“Wahai Amirul Mukminin, Abdurrahman telah menjalani hukumannya di Mesir. Apakah perlu diulangi lagi?” kata Abdurrahman bin Auf.

Umar pun tidak mau menghiraukan perkataan Abdurrahman bin Auf. Dia meminta Algojo segera melaksanakan penghukuman itu.

Kemudian, Umar mengingatkan kepada seluruh kaum muslim akan hadis Rasulullah tentang kewajiban menegakkan hukum, “Sesungguhnya umat sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah karena apabila di antara mereka ada orang besar bersalah, dibiarkannya, tetapi jika orang kecil yang bersalah, dia dijatuhi hukuman seberat-beratnya.”

Abdurrahman lalu dicambuk berkali-kali di hadapan Umar. Dia pun meronta-ronta meminta tolong agar ayahnya mengurangi hukuman itu, tetapi Umar sama sekali tidak menghiraukan.

Bahkan, teriakan Abdurrahman semakin menjadi, dan mengatakan, “Ayah membunuh saya.” Sekali lagi, Umar tidak menghiraukan perkataan anaknya.

Hukuman itu terus dijalankan sampai Abdurrahman dalam kondisi sangat kritis. Melihat hal itu, Umar hanya berkata, “Jika kau bertemu Rasulullah SAW, beritahukan bahwa ayahmu melaksanakan hukuman.”

Akhirnya, Abdurrahman pun meninggal dalam hukuman. Umar sama sekali tidak menunjukkan kesedihan.

Usai hukuman terhadap Abdurrahman dijalankan, Umar melakukan pelacakan terhadap siapa saja penyebar khamr. Tidak hanya peminum, bahkan sampai penjual khamr pun mendapat hukuman yang berat.

(Disarikan dari buku ‘Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam’ Nasiruddin)

 

sumber: Merdeka.com