Pertemuan Terakhir Adi Hidayat Kecil dengan Ayahnya

Berbakti kepada orangtua adalah kewajiban setiap muslim. Letaknya langsung setelah ibadah kepada Allah SWT. Selagi mereka masih ada, kita harus mengoptimalkan bakti kepadanya.

Mubaligh muda Ustadz Adi Hidayat Lc. MA, menyimpan kisah yang mendalam tentang kedua orangtuanya. Terutama tentang ayahnya yang begitu mencintainya.

Ustadz Adi berusaha menghadirkan bakti kepada keduanya. Tapi satu sudah tidak didapati. Ia adalah lima bersaudara. Ayahnya ketika itu mengajar di mushola (sekarang menjadi masjid).

Adi Hidayat kecil sering diajak ke taklim ayahnya. Ia ingat betul, kalau ayahnya mengajar, ia sering tertidur.

“Sekarang tertukar, saya mengajar beliau ‘tertidur’,” ungkapnya dalam sebuah kajian beberapa waktu lalu.

Tapi yang paling menarik, tuturnya, dalam keadaan selesai mengajar pun, kalau pulang, Adi kecil tidak dibangunkan. Digendong sampai ke kamar tidur dan di situlah dipastikan dirinya tidur nyaman. Kalau bangun kadang digoda, dari mana tahunya? “Karena saya pernah pura-pura tidur untuk tahu apa yang beliau lakukan. Ternyata dijaga betul sampai ke rumah,” katanya.

Sampai tiba-tiba masanya, ketika Adi Hidayat kecil mau masuk pesantren, apa yang terjadi? Ayahnya diberikan ujian sakit oleh Allah SWT. Dengan sakit itu kemudian keluarga menjenguk ke rumah sakit.

Sang Ayah hanya memeluk dan membisikkan sesuatu kepada Adi kecil, “Maafkan. Saya tidak bisa mengantar (ke pesantren). Maafkan, ayah tidak bisa mengantar.”

Adi Hidayat kecil memeluk erat ayahnya, kemudian ia berangkat ke pesantren. Dan ternyata itu adalah akhir pertemuan dengan Sang Ayah.

“Saya pun pulang. Sampai rumah sudah tidak memiliki kesempatan menatapnya. Sudah dikuburkan. Saya peluk ibunda saya,” katanya.

Ia masih memiliki ‘kesempatan’ melihat ayahnya. “Saya melihat ayah hanya dalam mimpi mengenakan kemeja biru muda dan memberikan isyarat senyuman. Itu terakhir yang saya lihat dalam mimpi,” ungkapnya.

Ustadz Adi merasakan sebuah kebahagiaan waktu membawa ibunda pergi haji. Ia menggenggam tangan ibunya dengan tangan kanannya. Dalam sa’i ia berdoa kepada Allah, “Ya Allah mohon ganti kasih sayang ibu saya. Ampunilah dosa saya, ampuni dosa ibu saya Ya Allah. Berikan saya kesempatan untuk membahagiakannya. Berikan kesempatan…”

Ia menyadari satu hal: tangan kanannya menggenggam tangan ibunya. Tapi yang kiri sudah tidak ada yang dipegang….

“Jika masih ada orang tua, jangan sia-siakan. Kalau sudah nggak ada, antum akan sulit menemukan. Itu anugerah.”

 

[@paramuda/BersamaDakwah]