Polemik Penceramah Pasang Tarif

Ada dua hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersinggungan dengan masalah ini:

Pertama, hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa saja yang mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang harus dipelajari karena Allah ‘azza wajalla (seperti ilmu syar’i, pent.), tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi, maka dia tidak akan bisa mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

إنَّ أحقَّ ما أخذتُم عليه أجرًا كتابُ اللهِ

“Sesungguhnya upah yang paling berhak Anda dapatkan adalah upah dari mengajarkan Al-Qur’an.” (HR. Az-Zarqani, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al-Jami’)

Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir (ulama senior Saudi Arabia) hafizhahullah menerangkan makna hadis ini,

فإذا جاز هذا في القرآن ففي غيره من باب أولى.

“Jika mengambil upah dari mengajar Al Qur’an dibolehkan, maka mengambil upah dari mengajar ilmu yang lain, itu lebih dibolehkan.” Sumber ada di sini.

Dua hadis di atas tampak berbeda, karena yang satu tampak melarang mendapatkan upah dari mengajar ilmu agama atau berdakwah. Sedangkan hadis yang satunya tampak membolehkan. Bagaimana cara memahami kedua hadis ini?

Selama bisa dikompromikan (al-jam’u), maka itulah solusi pertama dalam memahami hadits-hadits atau dalil yang tampak bertentangan. Karena medote mengkompromikan (al-jam’u) hadis-hadis, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, adalah metode pertama yang harus ditempuh ketika mendapati hadis yang tampak bertentangan. Disebutkan di dalam kaidah,

الجمع أولى من الترجيح

“Mengkompromikan dalil itu lebih utama daripada memilih salah satunya.”

Cara mengkompromikan kedua hadis tersebut adalah:

Hadis yang menerangkan larangan (dari riwayat Abu Hurairah), berlaku pada dai yang menjadikan uang atau imbalan duniawi sebagai niat utama. Adapun hadis yang membolehkan mengambil upah (dari riwayat Abdullah bin Abbas) berlaku pada dai yang tidak menjadikan dunia (upah) sebagai niat utama. Niat pokoknya tetap karena berharap pahala atau surga Allah Ta’ala, namun ia tetap diberi upah.

Kesimpulan ini sebagaimana keterangan dari Al-Mubarokfuri rahimahullah di dalam Syarah Mirqotul Mafatih saat menerangkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Beliau rahimahullah mengatakan,

أي لا يتعلمه لغرض من الأغراض إلا ليصيب به شيئا من متمتعات الدنيا، وفيه دلالة على أن الوعيد المذكور لمن لا يقصد بالعلم إلا الدنيا، وأما من طلب بعلمه رضا المولى ومع ذلك له ميل ما إلى عرض الدنيا فخارج عن هذا الوعيد، فابتغاء وجه الله يأبى إلا أن يكون متبوعا ويكون العرض تابعا.

Tidak akan bisa mencium bau surga pada hari kiamat“, maksudnya untuk orang-orang yang belajar agama hanya untuk mencari kenikmatan dunia. Hadis ini menunjukkan bahwa ancaman tersebut berlaku pada orang yang tidak menjadikan tujuan ilmunya kecuali fasilitas duniawi saja. Adapun seorang yang mencari ilmu untuk mendapatkan ridha Allah, namun disertai niat mencari dunia, orang seperti ini tidak terkena ancaman pada hadis tersebut. Sehingga mencari ridha Allah adalah niat utama dan mencari dunia (hanya) sebagai niat pengikut.” (Mirqotul Mafaatih Syarah Miftah Al Mashobih, 1: 326)

Apakah Mungkin Bisa Ikhlas Jika Tetap Menerima Amplop?

Antara menerima amplop dengan tidak, sebenarnya tidak berkaitan dengan ikhlas dan tidak ikhlas. Karena ikhlas ini soal niat di dalam hati. Selama niat dakwahnya adalah karena Allah Ta’ala, maka itulah ikhlas. Baik ia menerima amplop ataupun tidak. Seseorang memang bisa saja tidak ikhlas melalui menerima amplop, yaitu dengan menjadikan amplop itu sebagai tujuan utama. Namun seseorang juga bisa saja tidak ikhlas meskipun tidak menerima amplop, yaitu karena riya’ kepada orang-orang, dengan mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang ikhlas.

Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir hafizhahullah pernah menjawab pertanyaan di atas. Beliau hafizhahullah menjelaskan,

أي نعم، يمكن الإخلاص مع أخذ الأجرة، وهذا لا ينافي هذا، نعم ترك الأجرة أدعى إلى الإخلاص وأقرب، ومع ذلك قد يكون أشد في عدم الإخلاص من أخذ الأجرة لا سيما إذا كان يظهر للناس أنه يُعلم الناس مجانًا حسبة لله -جل وعلا- يتحدث بذلك في المجالس، فالذي يأخذ الأجرة أفضل منه وأقرب إلى الإخلاص منه، فأخذ الأجرة لا ينافي الإخلاص.

“Oh iya, mungkin saja untuk ikhlas meskipun ia menerima amplop. Hal ini tidak serta merta menyebabkan tidak ikhlas dalam berdakwah. Iya benar, tidak menerima amplop itu lebih memudahkan seseorang untuk ikhlas, atau lebih dekat kepada ikhlas. Namun terkadang, tidak menerima amplop bisa menyebabkan seorang tidak ikhlas. Terlebih jika ia tampakkan kepada jamaah supaya orang-orang tahu bahwa dia tidak mau diberi amplop. Dia ceritakan itu di pengajian-pengajian. Pada kondisi seperti itu, orang yang menerima amplop lebih afdhal dan lebih dekat kepada ikhlas daripada dia. Jadi intinya, menerima amplop tidak serta merta merusak keikhlasan.” Sumber ada di sini.

Memasang Tarif Dakwah

Memasang tarif ketika berdakwah (ceramah) dengan sekedar menerima amplop adalah dua hal yang berbeda, karena:

– Menerima amplop tidak menafikan keikhlasan, sebagaimana penjelasan di atas. Karena bisa jadi seorang dai telah mentekadkan niat dakwahnya karena mengharap pahala dari Allah Ta’ala. Namun ternyata dia tetap menerima amplop dengan tanpa diminta.

–  Adapun memasang tarif dakwah, ini jelas bertentangan dengan keikhlasan. Karena dia sejak awal, bahkan sebelum mulai berdakwah, sudah meminta bayaran. Hal ini menunjukkan bahwa uang adalah tujuan utama di dalam dakwah. Seorang dai yang mematok tarif ceramah sekian jam, maka tarifnya sekian juta; atau tidak mau datang kecuali setelah negosiasi harga ceramah per jam; seperti ini ada indikasi kuat membisniskan dakwah atau menjadikan dunia sebagai tujuan utama dalam dakwah. Dan ini sangat rendah dan memalukan jika dilakukan oleh seorang dai. Semoga Allah Ta’ala melindungi kami dan pembaca sekalian dari sikap seperti ini.

Allah Ta’ala menyingung di dalam Al Qur’an,

ٱتَّبِعُواْ مَن لَّا يَسۡـَٔلُكُمۡ أَجۡرٗا وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yaa Sin: 21)

Seorang pernah melapor kepada Imam Ahmad rahimahullah tentang oknum dai di zaman beliau,

إن إمامًا يقول: أصلي بكم رمضان بكذا وكذا درهما

“Ada imam shalat menyampaikan demikian, “Saya mau jadi imam shalat bulan Ramadhan kalian, asal tarifnya sekian dirham.”

Jawaban Imam Ahmad rahimahullah,

أسأل الله العافية! من يصل خلف هذا؟

“Aku berlindung kepada Allah dari watak seperti itu! Siapa yang mau shalat di belakang orang yang seperti itu?!” (Syahrul Kabir, 2: 418)

Demikian …

Semoga Allah Ta’ala memberikan pertolongan kepada kita untuk ikhlas di dalam berdakwah, baik melalui lisan, tulisan, atau keteladanan.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/69592-polemik-penceramah-pasang-tarif.html

MUI Imbau Ustadz dan Ustadzah Patuh Protokol Kesehatan

Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengimbau ustadz dan ustadzah mematuhi protokol kesehatan. Sebab, virus Covid-19 dapat menyerang siapa pun tanpa mengenal status.

“Karena kondisi pandemi masih rawan, acara-acara keagamaan, acara sosial, dan bisnis kalau bisa menghindari berkerumun. Hindari kontak fisik. Jangan lupa memakai masker dan cuci tangan,” kata Cholil saat dikonfirmasi, Kamis (19/11).

Walaupun pemerintah menerapkan jaga jarak, bukan berarti aktivitas menjadi terhambat. Masyarakat tetap beraktivitas diiringi dengan penerapan protokol kesehatan.

“Kita tetap beraktivitas dengan menjaga protokol kesehatan. Saya atas nama Sekretaris Satgas Covid-19 MUI mengimbau kepada para asatidz mawas diri,” ujar dia.

Dia mencontohkan ada beberapa temannya yang enggan datang dalam acara keagamaan jika melanggar prosedur kesehatan, termasuk menghindari kontak fisik. Baru-baru ini, Ustadzah Mama Dedeh dikabarkan positif Covid-19. Kabar itu juga sempat menjadi trending di Twitter. Menanggapinya, Cholil memberikan doa dan harapan kepada Mama Dedeh.

“Kepada Mamah Dedeh, saya nggak tahu bagaimana bisa terpapar. Tapi saya berharap sabar dan tawakal kepada Allah, berdoa mudah-mudahan Mama Dedeh diberi kesembuhan dan kesehatan karena ilmu dan perjuangan kepada umat dibutuhkan. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah,” kata dia.

Cholil juga menekankan para ustadz dan ustadzah harus bertindak tegas. Pengajian dan sejumlah acara keagamaan memang tidak dilarang, namun sebaiknya mematuhi protokol kesehatan.

“Peraturan pemerintah wajib ditaati. Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan. Menerima undangan pun harus tau acaranya seperti apa, nggak setiap undangan diterima,” kata dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

MUI Usulkan 200 Mubalig Rekomendasi Kemenag Jadi Acuan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar daftar 200 mubalig yang direkomendasikan Kementerian Agama menjadi acuan masjid, lembaga pemerintah dan kantor pemerintah daerah. Dengan demikian, umat bisa mendapat ilmu dari mubalig yang kompenten.

“Saya mengusulkan agar nama-nama yang direkomendasikan Kemenag itu harus jadi acuan masjid di kementerian, lembaga pemerintah dan kantor pemerintah daerah,” ujar Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholafiil Nafis saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (18/5).

Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini yakin ratusan mubalig tersebut sudah diverifikasi oleh Kemenag. “Saya yakin nama-nama itu sudah diverifikasi oleh Kemenag sehingga ada manfaatnya kepada masyarakat untuk mendapat penceramah yang kompeten,” ucapnya.

Belum lama ini, KH Cholil Nafis juga telah berkunjung ke negara-negara di Asia Tenggara dalam rangka membumikan Islam Wasathiyah bersama dai-dai negara serumpun. Hasilnya, menurut dia, kualifikasi seorang dai memang penting untuk meluruskan pemahaman tentang Islam.

“Hasil telaah saya sementara dalam lawatan ke negara-negara ASEAN menyimpulkan tentang pentingnya kualifikasi dai, khothib dan penceramah agar maayarakat mendapat ilmu dari orang yang kompeten,” katanya.

Seperti diketahui, di Bulan Ramadhan ini Kementerian Agama (Kemenag) merekomendasikan 200 mubaligh. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa pihaknya telah menerima banyak pertanyaan dari masyarakat terkait nama muballigh yang bisa mengisi kegiatan keagamaan mereka.

Selama ini, Kementerian Agama sering dimintai rekomendasi muballigh oleh masyarakat. Belakangan, permintaan itu semakin meningkat, sehingga kami merasa perlu untuk merilis daftar nama muballigh, ujar Lukman di Jakarta, Jumat (18/05).

Lukman berharap rilis daftar nama muballigh ini bisa memudahkan masyarakat dalam mengakses para penceramah yang mereka butuhkan. Langkah ini diharapkan akan memperkuat upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama sesuai misi Kementerian Agama. Daftar 200 mubaligh ini bisa dilihat langsung di laman resmi Kemenag kemenag.go.id.

 

REPUBLIKA

Jangan Bertanya Fee kepada Ustadz

“Ustadz, maaf. Fee-nya berapa?”

Kalimat tersebut dikatakan oleh praktisi pendidikan keluarga Ustadz Bendri Jaisyurrahman dalam seminar guru “Menjadi Guru Inspiratif” di Pondok Pesantren Darul Falah, Temanggung, Jawa Tengah pada Jumat (14/7/2017). Ia menirukan kalimat pengundang kajian yang menanyakan tarif dirinya.

Ustadz Bendri menilai kalimat tersebut mencederai adab para pencari maupun penyampai ilmu. “Saya bayar fee Anda sebagai panitia deh,” lanjutnya.

“Saya tidak biasa ditanya fee,” ujarnya lagi. Bagi dirinya, fee salah satunya berlaku untuk selebritis atau artis, “Saya bukan artis,” ungkapnya.

Suatu kali Ustadz Bendri juga pernah ditanya oleh sebuah stasiun televisi nasional. “Maaf, Ustadz. Honor ustadz berapa?” Menanggapi hal tersebut, Ustadz mengatakan, “Kamu maunya honor saya berapa?” Tak lama kemudian ia mengatakan, “Honor saya tidak terbayar. Saya bayar honor kamu saja!” Pihak stasiun televisi nasional itu pun meminta maaf.

Sementara itu, penulis buku dan dai muda Felix Siauw juga merasakan kesedihan ketika ada yang bertanya fee atau tarif kepada dirinya.

“Yang paling bikin saya sedih itu ya itu, panitia ngundang kajian, pertanyaan pertamanya “bayarannya berapa’,” kata Ustadz Felix melalui akun Twitternya pada 20 Maret 2017.

Ustadz Munzir Situmorang pernah bertanya kepada ustadz selebriti tentang fee. Ustadz Munzir kaget ketika ia mendapati jawaban bahwa tarif ustadz selebriti itu puluhan juta rupiah.

Seharusnya Bersikap dan Tidak Gebyah Uyah

Jangan pernah memosisikan ustadz seperti layaknya seorang artis. Jika memosisikan sebagai “orang yang dibayar” artinya jamaah atau pengundang kajian akan ‘mengatur’ ustadz sedemikian rupa. Jika guru diatur oleh murid maka itu sangat berbahaya.

Jika ingin memuliakan ustadz tidak dengan cara menanyakan tarif. Apabila ingin memberikan hadiah atau bingkisan tangan berikan semampu dan seoptimalnya. Namun jangan membawa-bawa fee di awal karena itu akan membuat siapapun ustadz atau guru akan tersinggung.

Ustadz yang mematok fee memang ada. Bahkan ada yang harus “melangkahi mayat” manajer terlebih dahulu Namun fenomena tentang “ustadz fee” tentu saja tidak bisa digebyah uyah atau digeneralisir. Masih banyak para ustadz lain yang hidupnya sederhana, rizkinya berkecukupan, kemana-mana naik ojek online (juga ada yang naik mobil pribadi), namun kapasitas keilmuan yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustadz yang bertarif konglomerasi. Yang tak kalah penting ikhlas menyampaikan ilmunya.

Sebagai jamaah yang mengundang kita harus tahu diri untuk memberikan hadiah kepada ustadz. Tahu dengan kemampuan uang jamaah dan tahu kondisi ustadz tersebut atau minimal mengira-ngira agar hadiah yang kita berikan manusiawi. Jangan bicara angka-angka kepada ustadz.

Orang yang waktunya didekasikan penuh untuk berjihad dan berdakwah sementara tugas itu memang mutlak harus dikerjakan, maka orang itu berhak mendapatkan dana zakat dari asnaf ‘fi sabilillah’. Kelompok ‘fi sabililah’ menurut para ahli fiqih (fuqoha) tak berhenti pada mereka yang berperang di daerah konflik, namun bagi mereka yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dengan ikhlas dan benar pun bisa dikategorikan berjuang fi sabilillah.

Yang Tarif (Mahal) Tak Usah Diundang

Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis pernah menyarankan agar umat Islam untuk tidak mengundang jika ustadz yang dipanggil memasang tarif tinggi untuk memberikan tausiyah. Karena sesungguhnya seorang ustadz menurutnya tidak akan mengambil keuntungan dari orang lain.

“Kalau mahal nggak usah diundang, karena kalaupun ustadz yang bener-bener ustadz, tidak mungkin dia menjual ilmunya, tidak mungkin pakai tarif-tarif. Nggak mungkin, karena semangatnya itu semangat menyampaikan ilmu, bukan mengambil profit dari kebutuhan orang. Oleh karena itu masyarakat yang cerdas hendaklah menyadari, orang yang masang seperti itu pasti bukan ustaz,” kata Cholil.

Mari berhenti menanyakan fee kepada ustadz, agar ilmu yang kita dapatkan berkah dan manfaat. Wallahua’lam. [ @paramuda / BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Ketika Mubaligh tak Lagi Pancarkan Aura Sakral

SAAT televisi menjadi semacam tuhan baru, tak terelakkan jika budaya yang muncul adalah budaya massa, budaya pop.

Dalam kendali budaya pop, tak ayal media massa turut mengemas dakwah dan mubalighnya. Dalam budaya pop yang instan, kualifikasi mubaligh bukan pada keluasan ilmu, melainkan selera pasar. Bukan kefaqihan, tapi justru rating.

Karena itu jangan heran bila para mubaligh pun tak lagi memancarkan aura sakral. Yang ada hanya sinar lampu sorot, dan kilat kamera. Bukan min asyari sujud, melainkan polesan make up juru rias.

Pada saat seperti ini, kian terasa kita perlu para mubaligh yang istiqamah, para pewaris Nabi yang tekun menjalani jalan sunyi. Mereka yang senantiasa mengadukan setiap derita umatnya kepada Tuhan, dalam sepi dini hari. Dalam hening yang khusu’, jauh dari tepuk tangan dan sorot lampu.

 

MOZAIK