Utang dalam Pandangan Nabi Muhammad SAW

Islam sangat memperhatikan masalah utang-piutang. Bahkan Rasulullah dalam setiap sembahyangnya sering memohon kepada Allah SWT supaya terhindar dari masalah utang, “Allahumma inni a’uudzu bika min al-ma’tsami wa al-maghram, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan lilitan utang.”  

Karena kebiasaan Nabi SAW berdoa dengan kalimat tersebut, seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Mengapa Engkau banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah?”

Jawab Nabi tegas, “Sesungguhnya seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering mengingkarinya,” (HR Bukhori).

Siapa saja, di antara kita pasti pernah memiliki utang. Utang bisa membuat orang bersedih dan pikiran tidak tenang. Kepada para sahabatnya, Nabi menegaskan, bahwa utang-piutang adalah perkara yang harus disegerakan. Karena pentingnya melunasi utang, Rasulullah pernah mengajarkan doa kepada sahabatnya. 

Abu Umamah, sorang sahabat Nabi SAW pernah merasakan kegelisahan dan kebingungan karena memiliki utang yang tidak bisa dibayar. Suatu ketika ia sedang termenung di Masjid memikirkan utang-utangnya. Melihat sahabatnya gelisah, Rasulullah SAW langsung bersabda dan memberikan doa kepada Abu Umamah untuk diamalkan setiap pagi dan sore.

Doanya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan pemaksaan dari orang lain.” (HR Abu Dawud).

Islam mengajarkan untuk tidak menganggap sepele masalah utang. Jika ada keluarga yang meninggal dunia, para ahli waris berkewajiban membereskan terlebih dahulu masalah utang-piutang, sebelum dikebumikan. Karena sensitifnya masalah utang, sampai Nabi sendiri tidak segera mensholatkan mayit sebelum utang-puitangnya dilunasi. 

Suatu ketika satu jenazah dihadirkan kepada Nabi SAW untuk dishalatkan. Nabi bertanya dulu kepada sahabatnya, apakah mayit tersebut punya utang atau tidak. Setelah ada kepastian, bahwa mayit tersebut tidak memiliki utang, Rasulullah SAW langsung menshalatkannya. 

Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali, “Apakah orang ini punya utang?” Para sahabat menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda: “Shalatilah saudaramu ini”. Berkata, sahabat Abu Qatadah: “Biar nanti aku yang menanggung utangnya”. Maka Beliau SAW mensolatkan jenazah itu. (HR Bukhori).

Utang  adalah penghalang untuk mendapatkan ridha Allah dan masuk ke dalam surga-Nya. Utang juga yang akan menggerogoti segala amal kebajikan yang dilakukan di dunia. Pahala jihad di jalan Allah adalah sebaik-sebaik pahala dan bekal di akhirat nanti. Dalam Islam, pahala jihad dapat menghapus segala macam dosa, tapi bisa terhalang jika punya utang. Sabda Nabi dalam riwayat Imam Muslim, “Seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali utang.”

Jika utang dapat menjadi beban di sisi Allah, bagaimana dengan koruptor yang merampok uang rakyat miliaran rupiah? Pastinya, bahwa korupsi akan menjadi utang di akhirat kelak, yang membuat pelakunya bangkrut.

Hadis Nabi SAW dalam shahih Muslim, menyebut koruptor sebagai manusia bangkrut.  Kelak pada hari kiamat, semua pahala shalat, puasa dan zakat akan diambil Allah SWT hingga tak tersisa, dan diberikan untuk orang lain. Tidak hanya itu, koruptor juga akan membebani dosa setiap orang, yang hartanya saat di dunia, ia curi.  

Oleh: E Kusnandar 

(Alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya)

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa agar Mudah Melunasi Utang Sepenuh Gunung

اللَّهُمَّ اكْفِنِى 

ALLAHUMAK-FINII
“Ya Allah cukupkanlah aku

بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ

BI HALAALIKA ‘AN HAROOMIK
dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram

وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

WA AGH-NINIY BI FADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK
dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu”

artinya:

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram,
dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu”

(HR. Tirmidzi no. 3563, hasan menurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al Albani)

YUFIDIA

5 Bahaya Bermudah-Mudahan Dalam Berhutang

Perkara hutang piutang bukanlah perkara ringan, namun, sayangnya belakangan ini banyak dari kita sangat bermudah-mudahan dalam berhutang hanya untuk memenuhi gaya hidup, beli mobil mewah, rumah megah semuanya dibeli dengan cara menyicil. Maka, pada kesempatan kali ini kami ingin menjelaskan betapa bahayanya perkara hutang dalam kehidupan kita di dunia maupun di akhirat.

1. Ruh Seorang Mukmin Terkatung-Katung Disebabkan Hutang.

Dalam sebuah hadits rasulullah ﷺ bersabda:

نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه

“Ruh seorang mukmin tergantung (terkatung-katung) disebabkan hutangnya sampai dilunasi”.
(HR. Tirmidzi : 1078, dan Ibnu Majah : 2413).

Imam Suyuthi berkata menjelaskan makna jiwa seorang mukmin tergantung: “tertahan dari tempat kemuliaan yang disiapkan untuknya”, dan Imam Iraqy berkata: “Urusannya terhenti, tidak dikatakan selamat dan tidak juga dikatakan celaka sampai dilihat terlebih dahulu apakah hutangnya sudah lunas atau belum.”
(Tuhfatul Ahwadzy).

2. Keutamaan Mati Syahid Tidak Bisa Menggugurkan Dosa Disebabkan Hutang.

Kita tahu betapa besar keutamaan dan balasan yang Allah siapkan untuk orang-orang yang siap terbunuh dalam memperjuangkan agama Allah ﷻ. Kendati demikian, keutamaan yang banyak tersebut tidak bisa menggugurkan dosa kezhaliman yang disebabkan penundaan membayar hutang.

Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada rasulullah ﷺ:

يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ، يُكَفِّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟

“Duhai rasulullah ﷺ, bagaimana menurutmu apabila aku terbunuh di jalan Allah ﷻ, apakah dosa–dosaku dihapuskan?

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

نَعَمْ، إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ

“iya, jika dirimu terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala dan tidak kabur dari peperangan”

Lalu, rasulullah ﷺ meminta sahabat tadi mengulang pertanyaannya, dan beliau ﷺ pun kembali bersabda:

نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ، إِلاَّ الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ قَالَ لِي ذَلِكَ

“Ya (mati syahid bisa menggugurkan dosa-dosa) jika kamu dalam keadaan bersabar, mengharapkan pahala dan tidak kabur dari peperangan, kecuali hutang, dan Jibril lah yang mengatkan hal tersebut kepadaku.”
(HR. Tirmidzi : 1712).

Dalam hadits yang lain rasulullah ﷺ bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Diampuni semua dosa orang yang mati syahid kecuali hutang”.
(HR. Muslim : 1886).

3. Jatuh Dalam Kezhaliman.

Orang yang bermudah-mudahan dalam berhutang akan berat baginya untuk membayar hutang tersebut, apalagi jika hutangnya menumpuk. Sampai-sampai kita melihat orang yang berhutang lebih galak daripada orang yang menghutangi, ketika ditagih malah marah kepada orang yang menghutangi. Ini jelas kezhaliman yang nyata, dan rasulullah ﷺ bersabda:

“Penundaan membayar hutang bagi orang yang mampu membayar adalah kezhaliman”.
(HR. Muslim : 1564).

Hendaknya orang yang berhutang takut kepada Allah ﷻ, dan mengingat bahwasanya kelak dirinya akan berdiri dihadapan Allah ﷻ, rasulullah ﷺ bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ. فَإِنّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat.”
(HR. Muslim).

4. Allah Mencapnya Sebagai Pencuri.

Orang-orang yang bermudah-mudahan dalam berhutang, kemudian tidak berusaha untuk membayar hutang tersebut, maka dia akan mengahdap Allah ﷻ dengan status pencuri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا، وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ، لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

“Siapapun yang berhutang dan berniat tidak akan membayar hutang tersebut, maka dia akan bertemu Allah ﷻ dengan status sebagai seorang pencuri.”
(HR. Ibnu Majah: 2410).

5. Banyak Hutang Bisa Membuat Seseorang Memiliki Sifat Kemunafikan.

Ketika seseorang bermudahan dalam berhutang, bisa saja dia akan sering mengumbar janji palsu, berbohong, dan mengkhianati amanah yang diberikan, dan ini banyak terjadi ditengah-tengah masyarakat. Ketika ditagih, dia berbohong tidak punya uang, padahal dia sanggup untuk membayar. Dan jelas ini adalah sifat-sifat orang munafik. Rasulullah ﷺ bersabda:

آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان

“Tanda-tanda orang munafik ada 3, jika berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah ia mengkhianatinya”
(HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).

Itulah diantara bahaya hutang dalam kehidupan seorang muslim, yang seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dan berpikir terlebih dahulu sebelum berhutang. Berhutanglah jika memang harus dan untuk kebutuhan mendesak.

اللهم اكفنا بحلالك عن حرامك وأغننا بفضلك عمن سواك

“Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rezeki yang halal, sehingga kami tidak memerlukan yang haram, dan berilah kami kekayaan dengan karuniamu, sehingga kami tidak memerlukan bantuan orang lain, selain diri-Mu”.

Ditulis oleh:
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
(Kontributor bimbinganislam.com)

BIMBINGAN ISLAM

Alasan di Balik Anjuran Mencatat Utang Piutang Menurut Islam

Islam menganjurkan mencatat utang piutang antarkedua belah pihak.

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah perkara mengenai utang-piutang.

secara tunai untuk waktu yang ditentukan (utang-piutang), hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” 

Prof Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah menjelaskan, perintah ayat tersebut secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman. Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang.

Kata dainun dalam ayat tersebut memiliki banyak arti, namun huruf-huruf di kata dain (yakni dal, ya, nun) selalu menggambarkan hubungan antardua pihak. Salah satunya adalah kedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama.

Kemudian, sang penulis utang-piutang juga diperintahkan menuliskannya secara adil. Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah SWT dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil di antara kami.

KHAZANAH REPUBLIKA

Jangan Mudah Berhutang!

Sebagian kita ada yang senang dengan perilaku hutang, walaupun terkadang dia mampu. Adapula yang memang menjadikan hutang itu sebagai gaya hidupnya.

Padahal yang demikian itu tidak baik, karena hutang termasuk pwrilaku buruk, yang akan membuat orang berakhlak tidak baik. Maksudnya dapat menimbulkan perilaku yang buruk bagi orang yang suka (hobi) berhutang, seperti suka berdusta dan ingkar janji.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari” (HR. Al-Bukhari).

Lebih dari itu, hutang akan menyebabkan kesedihan di malam hari, dan kehinaan di siang hari.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menolak untuk menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.

Dan dosa orang yang memiliki hutang tidak terhapuskan walaupun dia mati syahid, dijelaskan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallah ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يغفر للشهيد كل ذنب إلا الدَّين

Akan diampuni seluruh dosa orang Чαπƍ mati syahid kecuali hutang” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, hindari hutang kalo tidak kepepet!

***

Penulis: Ust. Fuad Hamzah Baraba, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29545-jangan-mudah-berhutang.html

Mendahulukan Melunasi Hutang daripada Menunaikan Haji

Pertanyaan:
Apa pendapatmu mengenai orang yang belum berhaji dan punya keinginan untuk berhaji, padahal dia memiliki banyak jalan untuk melaksanakannya. Akan tetapi orang ini memiliki hutang. Apakah seharusnya orang ini membulatkan tekadnya untuk haji ataukah dia membatalkannya?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa melunasi hutang tentu saja lebih penting daripada menunaikan haji. Uang yang seseorang gunakan untuk melunasi hutangnya tentu saja lebih baik dari 10 riyal yang dia gunakan untuk naik haji.
Akan tetapi apabila orang yang memiliki hutang tadi dihajikan oleh orang lain secara cuma-cuma, misalnya dia naik haji karena diberi tugas untuk melayani jama’ah haji lainnya, atau mungkin ada sahabatnya yang ingin memberi dia sedekah untuk naik haji; maka seperti ini tidaklah mengapa, karena haji pada saat itu tidak membawa dampak yang membahayakan dirinya.

SumberLiqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset pertama, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2613-mendahulukan-melunasi-hutang-daripada-menunaikan-haji-2.html

Wabah Menyadarkan Bahwa Hutang Itu Darurat, Bukan Untuk Gaya Hidup

[Rubrik: Sekedar Sharing]

Tidak sedikit orang yang sulit membayar cicilan utang karena dampak wabah korona, hal ini menyadarkan kita bahwa berhutang itu apabila keadaannya DARURAT. Jangan sampai kita berhutang karena gaya hidup. Jika ada uang, silahkan beli, apabila tidak ada, maka jangan beli dengan cicilan hutang, apalagi hutang riba, hidup qana’ah apa adanya

Jauhkan gengsi dan jangan terlalu banyak bergaul dengan orang-orang yang mendahulukan gengsi dan gaya hidup. Inilah penyebab terbesar orang berhutang yaitu teman-temannya yang semisal dan saling adu gengsi

Umar bin Abdul Aziz berkata,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan,

ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ

karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari,”

[Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71]

Saudaraku, semoga  anda dimudahkan melunasi cicilan, giat bekerja & menabung serta diberikan rasa qana’ah

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Membantu Orang yang Sulit dalam Utang

Membantu orang yang sulit dalam utang termasuk juga dalam amalan yang berpahala besar. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara yaitu memberikan tempo tambahan, atau tidak dengan memutihkan utangnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ

Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari, no. 2078)

Rib’iy bin Hirasy berkata bahwa ia pernah duduk dengan Hudzaifah Ibnul Yaman dan Abu Mas’ud Al-Anshari, lantas salah satunya berkata pada yang lainnya tentang hadits,

يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ

Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berfirman, ‘Lihatlah amalannya.’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Wahai Rabbku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.’ Lantas Allah pun berfirman, ‘Aku lebih berhak memberi kemudahan.’ Orang ini pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad, 5:407. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ

Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, ‘Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?’ Kemudian dia mengatakan, ‘Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.’ Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari, no. 2077)

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Referensi:

Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir. Cetakan pertama, Tahun 1415 H. Muhammad Khair Ramadhan Yusuf. Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22316-membantu-orang-yang-sulit-dalam-utang.html

Membebaskan Utang dengan Niat Menjadi Zakat

Ada orang yang punya piutang pada orang lain. Setiap kali menagih, si pengutang begitu sulit dihubungi maupun ditemui. Karena kesulitan tersebut, pemberi pinjaman (kreditur) memutuskan untuk membebaskan pihak debitur (yang memiliki pinjaman). Si pemberi pinjaman (utang) meniatkan hal itu sebagai pembayaran zakat.

Apakah dibolehkan seperti ini?

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (6:210) berkata, “Jika seseorang memiliki piutang pada seseorang yang susah dalam melunasi utang, lantas ia ingin jadikan piutang tersebut lunas dari zakat yang harus ia keluarkan, ada dua pendapat dalam hal ini:

  • Tidak sah, demikian menjadi pendapat madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Karena zakat masih ada dalam genggaman si pemberi pinjaman. Zakat tersebut barulah dianggap dikeluarkan jika ada qabdh (mengambil dan menyerahkan kembali).
  • Sah, ini adalah pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha’.”

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii (2:115), “Jika seseorang memiiki piutang pada orang yang susah melunasinya, ia ingin jadikan zakatnya untuk membebaskannya, ia mengatakan, utangmu sudah bebas dengan zakatku, seperti itu tidaklah sah. Karena orang yang punya kewajiban mengeluarkan zakat masih memegang zakat tersebut. Zakat itu dianggap ditunaikan jika ada qabdh (pengambilan dan penyerahan). Akan tetapi, boleh saja pihak yang berutang (debitur) mengatakan pada pemberi pinjaman (kreditur), “Serahkan zakatmu, biar saya bisa melunasi utang padamu.” Jika seperti itu, penunaian zakatnya sah karena sudah ada qabdh. Dalam hal ini, orang yang berutang (debitur) tidak bisa memaksa penyerahan zakat tadi padanya agar ia bisa melunasi utang (pada kreditur). Jika pihak kreditur akhirnya menyerahkan zakatnya, dianggap sah. Seandainya pemilik harta mengatakan kepada yang berutang, “Lunasi utangmu, biar aku bisa membayar zakatku padamu.” Lantas pihak debitur melunasi utangnya, utang itu dianggap lunas. Namun, hal ini bukan jadi paksaan.”

Dalil dari ulama yang menyatakan tidak sah “membebaskan utang dengan niat menjadi zakat” adalah ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (QS. Al-Baqarah: 267).

Tentang ayat di atas, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menganggap lunas piutang yang ada pada orang yang susah sebagai zakat berarti mengeluarkan sesuatu yang rendah dari yang dimiliki, itu sama dengan mengeluarkan sesuatu yang khabits (buruk), sehingga hukumnya tidaklah boleh.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:84)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau menasihatinya di antaranya,

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Jika mereka telah menaati dalam hal itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dari harta mereka, yakni diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan disalurkan pada orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa zakat itu diambil dan diserahkan. Kita simpulkan berarti tidak boleh membebaskan utang yang ia wajib bayarkan dengan niat menjadi zakat. Karena membebaskan utang tidak ada di situ mengambil dan menyerahkan. Demikian Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan hadits ini dalam Islamqa dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 13901. (https://islamqa.info/ar/answers/13901/لا-يجوز-اسقاط-الدين-واعتباره-من-الزكاة)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid memberikan kalimat penutup dengan mengatakan, “Jika engkau memberikan zakatmu pada orang yang membutuhkan dan engkau penuhi hajatnya, insya Allah utang yang ada padanya akan segera selesai setelah itu.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 13901)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24375-membebaskan-utang-dengan-niat-menjadi-zakat.html

Rela Berutang Asal Bisa Akikah Anak, Bolehkah?

SEORANG muslim dituntut untuk menghidupkan sunnah-sunah nabi shallallahu alaihi wa sallam. Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat, dan hendaknya orang yang memiliki kemampuan melaksanakan sunnah ini.

Adapun orang yang belum mampu saat itu maka jika dia memiliki sumber penghasilan yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya di kemudian hari maka tidak mengapa dia berhutang.

Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Kalau dia tidak memiliki harta untuk aqiqah kemudian berhutang maka aku berharap Allah menggantinya karena dia telah menghidupkan sunnah.” (Al-Mughny, Ibnu Qudamah 13/395)

Namun kalau tidak memiliki penghasilan tetap maka jangan dia berhutang karena nanti akan memudharati dia dan orang yang menghutanginya. (Lihat Kasysyaf Al-Qina an Matnil Iqna, Manshur bin Yunus Al-Bahuti 2/353)

Allah taala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.”

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu: “Dan adapun meminjam uang untuk keperluan aqiqah maka dilihat, kalau dia berharap bisa mengembalikan seperti seorang pegawai misalnya, akan tetapi ketika waktu aqiqah dia tidak memiliki uang, kemudian dia meminjam uang sampai datang gaji maka ini tidak mengapa, adapun orang yang tidak punya sumber penghasilan tetap yang dia berharap bisa membayar hutang dengannya maka tidak selayaknya dia berhutang.” (Liqa Al-Babil Maftuh, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Wallahu taala alam. [Ustadz Abdullah Roy, Lc]

INILAH MOZAIK