Mengerikan, Dosa Utang tak Terampuni

DARI Abdillah bin Amr bin Al Ash, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang,” (HR. Muslim no. 1886).

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi utang tersebut dan mendesakkah saya berutang?” Karena ingatlah utang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Bukhari membawakan dalam kitab sahihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari utang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadis dari Urwah, dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa di akhir salat (sebelum salam): Allahumma inni audzu bika minal matsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”

Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah utang?” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari,” (HR. Bukhari no. 2397).

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berlindung dari utang dan utang sendiri dapat mengantarkan pada dusta,” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37). [Rumaysho]

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berlindung dari utang dan utang sendiri dapat mengantarkan pada dusta,” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37). [Rumaysho]

INILAH MOZAIK

Mengenal Suftajah – Utang Berpindah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kami tidak menemukan kata dasar dari kata Suftajah [السفتجة]. Hanya saja, beberapa referensi mendefinisikan dengan,

معاملة مالية يقرض فيها شخص قرضا لآخر في بلد , ليوفيه المقترض أو نائبه أو مدينه إلى المقرض نفسه أو نائبه أو دائنه في بلد آخر معين

Transaksi memberikan utang kepada orang lain di kota A, agar nanti utang itu bisa ditunaikan di kota B di waktu yang lain dengan nilai yang sama.

Barangkali definisi ini agak membingungkan.. karena itu, kita perlu ilustrasi,

Bayangkan kejadian ini ada di masa silam, ketika belum ada Bank.

Ahmad orang Jogja. Suatu ketika Ahmad mau ke Surabaya untuk belanja dengan membawa uang 10jt. Setelah dipertimbangkan ancaman di perjalanan darat, ini sangat beresiko. Akhirnya Ahmad mencari orang jogja yang punya keluarga di Surabaya. Ketemulah Rudi, pedagang asli surabaya.

Lalu Ahmad menyerahkan uang 10jt ke Rudi, dengan kesepakatan, setelah Ahmad tiba di Surabaya, dia akan menagih uang itu ke Sufyan kakaknya Rudi dengan membawa surat bukti yang diberikan oleh Rudi.

Setibanya di Surabaya, Ahmad menemui Sufyan untuk menagih uang 10jt dengan surat bukti dari Rudi.

Manfaat dari adanya akad suftajah adalah masalah keamanan ketika seseorang ingin memindahkan uang dari satu kota ke kota lainnya. Sehingga dari ilustrasi di atas, Ahmad bisa melakukan perjalanan darat ke Surabaya dengan tanpa kekhawatiran terhadap keselamatan uangnya.

Takyif Fiqh

Ulama berbeda pendapat mengenai takyif fiqh (pendekatan fiqhiyah) untuk kasus Suftajah. Dengan melihat ilustrasi di atas, ada 2 pendekatan untuk Suftajah,

[1] Akad yang terjadi adalah utang piutang murni.

Ahmad meng-utangkan uang 10jt kepada Rudi, dan Ahmad akan menagihnya di Surabaya ke Sufyan sebagai wakil dari Rudi.

[2] Akad yang terjadi adalah hawalah (memindahkan utang)

Rudi utang ke Ahmad 10jt, dan nantinya bisa ditagih ke Sufyan.

Hukum Suftajah

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum Suftajah.

[1] Suftajah hukumnya dilarang, karena termasuk mengambil keuntungan dari akad utang

Dalam Suftajah dipersyaratkan pelunasan itu akan dilakukan di daerah yang lain.

Kecuali jika tidak ada ketentuan utang itu akan diambil di kota lain, sehingga hukumnya dibolehkan. Karena manfaat dari pihak yang menerima utang kepada pihak kreditor hukumnya boleh, dan termasuk menjaga adab dalam melunasi utang. Ini adalah pendapat Syafiiyah, Hanafiyah, dan Dzahiriyah.

[2] Suftajah dilarang kecuali jika dharurat

Dalam arti, si Ahmad hanya akan menghadapi 2 pilihan: lakukan akad Suftajah atau uangnya kemungkinan besar akan beresiko hilang. Dalam hal ini Suftajah dibolehkan. Dalam hal ini, pertimbangan untuk maslahat terjaganya harta, lebih didahulukan dari pada ketentuan utang yang mendatangkan manfaat. Ini merupakan pendapat Malikiyah.

[3] Suftajah dilarang jika disyaratkan pembayarannya harus di daerah lain, sementara harus ada biaya yang dikeluarkan untuk memindahkan harta tersebut.

Namun jika tidak disyaratkan harus dibayar di daerah yang lain, atau ketika memindahkan harta itu tidak harus mengeluarkan biaya, suftajah dibolehkan. Ini pendapat Hambali.

[4] Suftajah hukumnya sah dan dibolehkan secara syariat. Meskipun disyaratkan pembayarannya di daerah yang lain. Karena di sana tidak ada penambahan kuantitas maupun kualitas untuk objek suftajah, sementara di sana ada kemaslahatan bagi kedua pelaku akad, sehingga hukumnya dibolehkan sebagaimana adanya syarat gadai.

Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, dan dinilai shahih oleh Ibnu Qudamah, Abu Ya’la, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Abdil Hakam dari Malikiyah.

(Fiqh al-Muamalat, Majmu’ah al-Muallifin, 2/62)

Dalil yang melarang Suftajah

Ulama yang melarang suftajah mendasari pendapatnya dengan 2 alasan,

[1] Hadis dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السُّفتَجَات حَرَامٌ

Suftajah itu haram. (HR. Ibnu Adi dalam al-Kamil fi ad-Dhu’afa’, 5/11 – Dalam al-Fawaid al-Majmu’ah, as-Syaukani menyatakan dalam sanadnya terdapat perawi bernama Umar bin Musa dan dia tukang pemalsu hadis).

Para ulama hadis menyatakan hadis ini dhaif, bahkan ada yang mengatakan maudhu’ (palsu). Hadis ini dimasukkan Ibnul Jauzi dalam kitabnya daftar hadis palsu (al-Maudhu’at, 2/249).

[2] Dalam suftajah, hakekat transaksinya adalah utang, dimana pihak yang memberi utang mendapatkan manfaat dalam bentuk tidak menanggung resiko bahaya di perjalanan. Dan ini termasuk manfaat yang didapatkan karena utang. Dan semua utang yang menghasilkan manfaat adalah riba. (al-Mabsuth as-Sarkhasi, 14/37)

Dalil yang Membolehkan Suftajah

Ulama yang membolehkan Suftajah mendasari pendapatnya dengan beberapa alasan, diantaranya,

[1] Terdapat riwayat dari beberapa sahabat yang melakukan praktek suftajah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib bahwa mereka melakukan Suftajah.

[2] Bahwa suftajah bermanfaat bagi yang utang dan yang memberi utang, dan tidak merugikan salah satu pihak. Yang memberi utang mendapat manfaat keamaan dananya, sementara yang menerima utang mendapat manfaat dari dana utangan yang dia dapatkan.

Selama itu bermanfaat bagi semua dan tidak ada yang dirugikan, tidak dilarang dalam islam.

Syaikhul Islam ketika mengomentari Suftajah, beliau mengatakan,

والصحيح (في السفتجة) الجواز؛ لأن المقرض رأى النفع بأمن خطر الطريق في نقل دراهمه إلى ذلك البلد وقد انتفع المقترض أيضا بالوفاء في ذلك البلد وأمن خطر الطريق، فكلاهما منتفع بهذا الاقتراض والشارع لا ينهى عما ينفعهم ويصلحهم وإنما ينهى عما يضرهم

Yang benar terkait suftajah hukumnya boleh. Karena yang menyerahkan uang melihat adanya manfaat berupa keamanan dari bahaya di jalan ketika dia memindahkan uangnya ke daerah lain. Sementara yang menerima uang juga mendapatkan manfaat dalam bentuk pelunasan utang di daerah itu dan keamanaan dari resiko di jalan. Sehingga keduanya mendapatkan manfaat dengan transaksi utang piutang ini. Sementara syariat tidak melarang sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan mendatangkan maslahat bagi mereka, namun yang dilarang adalah yang membahayakan mereka. (Majmu’ al-Fatawa, 29/531).

[3] Tidak ada dalil yang melarang suftajah, sehingga kembali kepada hukum asal muamalah, yaitu mubah. Terlebih jika di sana ada kebutuhan yang mendesak.

Demikian, Allahu a’lam.

Read more https://pengusahamuslim.com/6161-mengenal-suftajah-utang-berpindah.html

Melunasi Utang

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan utang-piutang untuk waktu waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar (QS al-Baqarah [2] :282).

Ayat di atas menjelaskan tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi utang-piutang.Selain harus dalam perjanjian tertulis, hal penting diperhatikan adalah waktu yang ditentukan untuk pelunasan utang.

Utang diperbolehkan untuk suatu keperluan yang penting dan sangat mendesak, tetapi kondisi keuangan tidak mencukupi sehingga harus berutang kepada orang lain yang mempunyai kelebihan.Orang yang akan berutang harus mempertimbangkan kemampuan diri untuk mengembalikan utang dalam jangka waktu tertentu.

Rasululullah SAW bersabda, “Siapa saja yang berutang, sedangkan ia berniat tidak melunasi utangnya, ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri.” (HR Ibnu Majah).Hadis ini menerangkan tentang ancaman yang berat bagi seseorang yang sejak awal sudah berniat tidak melunasi utang, yaitu sebagai pencuri.

Sejatinya dalam transaksi utang-piutang, ada tiga hal yang mendasari.Pertama, pihak yang memberi utang tidak melakukannya kecuali dengan niat berbuat kebaikan untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan.

Kedua, pihak yang berutang mempergunakan utang yang diperoleh sesuai manfaat dan tujuan yang telah direncanakan serta berkomitmen kuat melunasi sesuai yang telah disepakati dengan pemberi utang. Ketiga, saling mempercayai.

Jika sudah memperoleh utang, jangan lalai untuk melunasi utang dengan menundanya.Namun, masih ada orang yang belum bisa menjalankan amanat utang-piutang dengan benar, yaitu membayar utang tepat waktu.

Menunda pembayaran utang saat lapang dan bisa membayarnya adalah tanda ketidakjujuran.Jangan sampai juga mengalami beban utang berkepanjangan dengan berutang lagi pada orang lain untuk melunasi utang sebelumnya.

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS al-Baqarah [2] : 280).

Sesuai ayat di atas, jika seseorang berutang mengalami kesulitan melunasi utang sesuai perjanjian yang dibuat dan meminta penangguhan pelunasannya, pihak yang memberi utang harus dengan penuh kerelaan memenuhinya.

Kesepakatan baru antara kedua pihak dibuat dengan berbagai pertimbangan untuk kebaikan bersama. Bahkan, menyedekahkan sebagian atau semua utang adalah hal yang mulia.

Jika orang yang berutang wafat sebelum utangnya lunas, menjadi kewajiban ahli waris untuk melunasinya, sesuai firman Allah SWT, …,setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).Demikian ketentuan Allah.Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun (QS an- Nisa’ [4] :12).

”Sesungguhnya ruh seorang mukmin terkatung- katung ditangguhkan (dari hisabnya) sampai utangnya dibayar” (HR Ahmad dan Tirmidzi).Dengan memperhatikan hadis ini, orang yang mempunyai utang- piutang dengan orang wafat harus menghubungi ahli warisnya.Dengan demikian, bisa segera diselesaikan urusan utang-piutang tersebut dengan baik.Wallahu a’lam.

Oleh: Sigit Indrijono

Adab Pinjam-meminjam dalam Islam, Seperti Apa?

Berhutang atau meminjam terkadang menjadi kebiasaan atau kebutuhan. Sehingga, seseorang terlilit dalam hutang dan tidak jarang hutang menjerat peminjam.

Di dalam Islam, hutang pada dasarnya diperbolehkan. Namun, Islam juga mengatur adab dalam meminjam dan berhutang.

Pakar ekonomi syariah, Dr. Oni Sahroni, MA, mengatakan berhutang diperkenankan dalam Islam. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. Bukhari).

Bagi peminjam (kreditor), hendaklah ia membantu saudaranya tatkala ia membutuhkan pinjaman. Karena membantu orang lain yang membutuhkan termasuk tolong menolong dalam kebaikan.
Sebagaimana firman Allah QS. Al-Maida ayat 2, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Di sini, kata Oni, kreditor tidak boleh mengambil imbalan bersyarat atas jasa pinjamannya. Misalnya, Oni mencontohkan, A meminjam uang Rp 10 juta kepada B yang mempersyaratkan pengembaliannya melebihi pokok pinjaman.
Maka, ia mengatakan kelebihan tersebut adalah riba jahiliah yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah, bahwa setiap manfaat bersyarat yang diterima kreditor itu riba. Kecuali jika atas inisiatif debitur (tanpa diperjanjikan), maka dibolehkan.
Sedangkan bagi debitur (peminjam), Ketua Dewan Pengawas Syariah Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) ini mengatakan yang bersangkutan boleh meminjam, tetapi dengan itikad ia mampu menunaikan utangnya pada masa yang disepakati. Oleh karena itu, menurutnya, tidak diperkenankan meminjam dalam kondisi tidak mampu menunaikan pinjaman tersebut.
“Semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan finansial dan fasilitas dalam batas standar (sederhana atau tidak berlebihan), agar tidak menyebabkan defisit dan berutang,” kata Oni melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Rabu (12/12).
Bagaimanapun, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI ini mengatakan, hendaklah hidup sederhana sebagaimana pesan dan keteladanan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sehingga, ia tidak sampai harus berhutang untuk memenuhi hajatnya.
Di antara maknanya, kata dia, adalah memenuhi hajat hidupnya sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Ia mengatakan, hendaknya berbelanja karena kebutuhan dan bukan sebaliknya. Karena memiliki sesuatu yang tidak dibutuhkan itu bukan dari adab Islam.
Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah gaya hidup mewah. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-mewahan.” Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hidup sederhana termasuk bagian dari iman.”
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan.”(QA. Al-Isra’: 26-27)
Doktor pertama Indonesia di bidang Fiqh Muqarin Universitas Al-Azhar ini mengatakan, Islam melarang untuk berbuat boros (tabdzir). Imam an-Nawawi menerangkan alasan larangan penghamburan tersebut.
Beliau berkata, “Sesunguhnya pemborosan harta akan menyebabkan orang meminta-minta kepada orang lain. Sedangkan penyediaan harta memberikan maslahat akan hajat dunianya. Jika kemampuan keuangannya stabil, maka hal itu akan berpengaruh terhadap agamanya. Karena jika keuangannya stabil, seseorang bisa fokus dengan urusan-urusan akhiratnya.”

Konsultasi Syariah: Adab Berutang

Assalamualaikum wr. wb.

Ustaz, berutang kadang menjadi kebiasaan atau kebutuhan sehingga terlilit utang dalam beberapa kesempatan. Mohon penjelasan dari Ustaz terkait adab dalam meminjam dan berutang.

(Maryam, Depok)

 

 

Waalaikumussalam wr. wb.

Berutang diperkenankan dalam Islam, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, “Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Bukhari).

Tetapi, kebolehan tersebut dengan memenuhi adab dan akhlak berikut. Pertama, kreditur (pihak yang meminjamkan dana) yang menemukan saudaranya membutuhkan pinjaman, maka segera membantunya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah: 2). Membantu orang lain yang membutuhkan termasuk tolong-menolong dalam kebaikan.

Kedua, kreditur tidak boleh mengambil imbalan bersyarat atas jasa pinjamannya. Misalnya, A meminjam uang Rp 10 juta kepada B yang mempersyaratkan pengembaliannya melebihi pokok pinjaman, maka kelebihan tersebut adalah riba jahiliyah yang diharamkan. Hal itu sesuai dengan kaidah “setiap manfaat bersyarat yang diterima kreditur itu riba”. Kecuali, jika atas inisiatif debitur (tanpa diperjanjikan) maka dibolehkan.

Ketiga, debitur (peminjam) boleh meminjam, tetapi dengan iktikad yang bersangkutan mampu menunaikan utangnya pada masa yang disepakati. Oleh karena itu, tidak diperkenankan meminjam dalam kondisi tidak mampu menunaikan pinjaman tersebut.

Keempat, semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan finansial dan fasilitas dalam batas standar (sederhana atau tidak berlebihan) agar tidak menyebabkan defisit dan berutang.

Adab-adab tersebut di atas sebagaimana pesan dan keteladanan Rasulullah, para sahabat, dan ulama salaf, karena hidup sederhana adalah keteladanan Rasulullah SAW dan para sahabat. Di antara maknanya adalah memenuhi hajat hidupnya sesuai kebutuhan tanpa berlebihan. Berbelanja karena kebutuhan, memiliki sesuatu karena kebutuhan. Sebaliknya, berbelanja tanpa kebutuhan, memiliki sesuatu yang tidak dibutuhkan, itu bukan dari adab Islam.

Hal itu ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam banyak hadisnya, di antaranya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah gaya hidup mewah. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-mewahan.” (HR. Ahmad). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hidup sederhana termasuk bagian dari iman.” (HR Jamaah).

Jika kesederhanaan menjadi tuntunan, sebaliknya menghambur-hamburkan harta adalah perbuatan tercela. Banyak sekali ayat dan hadis menegaskan larangan itu, di antaranya sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS al-Isra’ : 26-27). Firman Allah SWT, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS al-A’raf: 31).

Juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan murka dengan tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan (Allah ridha) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan kalian saling menasihati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Sebaliknya, Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna, serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim).

Imam Qatadah berkata, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru, dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”

Begitu pula Imam an-Nawawi menerangkan alasan larangan penghamburan tersebut. Beliau berkata, “Sesungguhnya pemborosan harta akan menyebabkan orang meminta-minta kepada orang lain. Sedangkan, penyediaan harta memberikan maslahat akan hajat dunianya. Jika kemampuan keuangannya stabil maka akan berpengaruh terhadap agamanya. Sebab, jika keuangannya stabil, seseorang bisa berfokus pada urusan-urusan akhiratnya.” Wallahualam.

Diasuh Oleh:  DR ONI SAHRONI MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

REPUBLIKA

 

Doa Melunasi Utang Dibaca Sebelum Tidur

Doa ini adalah di antara doa yang bisa diamalkan untuk melunasi utang dan dibaca sebelum tidur.

Telah diceritakan dari Zuhair bin Harb, telah diceritakan dari Jarir, dari Suhail, ia berkata, “Abu Shalih telah memerintahkan kepada kami bila salah seorang di antara kami hendak tidur, hendaklah berbaring di sisi kanan kemudian mengucapkan,

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

Allahumma robbas-samaawaatis sab’i wa robbal ‘arsyil ‘azhiim, robbanaa wa robba kulli syai-in, faaliqol habbi wan-nawaa wa munzilat-tawrooti wal injiil wal furqoon. A’udzu bika min syarri kulli syai-in anta aakhidzum binaa-shiyatih. Allahumma antal awwalu falaysa qoblaka syai-un wa antal aakhiru falaysa ba’daka syai-un, wa antazh zhoohiru fa laysa fawqoka syai-un, wa antal baathinu falaysa duunaka syai-un, iqdhi ‘annad-dainaa wa aghninaa minal faqri.

Artinya:

“Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu. Rabb yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Rabb yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah). Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang lahir, tidak ada sesuatu di atasMu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang luput dari-Mu. Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran.” (HR. Muslim no. 2713)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa maksud utang dalam hadits tersebut adalah kewajiban pada Allah Ta’ala dan kewajiban terhadap hamba seluruhnya, intinya mencakup segala macam kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 33).

Juga dalam hadits di atas diajarkan adab sebelum tidur yaitu berbaring pada sisi kanan.

Semoga bisa diamalkan dan Allah memudahkan segala urusan kita dan mengangkat kesulitan yang ada.

Sumber : RUMAYSHO

Apakah Rakyat Menanggung Utang Negara? Ini Kata Ustaz Somad

Utang Indonesia berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Dengan capaian tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 29,1 persen. Lantas, jika negara yang berutang apakah rakyat Indonesia juga turut ikut menanggung utang tersebut?

Dalam sebuah tanya jawab usai tausyiah, Ustaz Abdul Somad mendapatkan satu pertanyaan terkait utang negara dari salah satu jamaahnya. “Ustaz, Allah tidak akan memasukan orang ke surga orang yang masih punya tanggungan utang. Bagaimana dengan utang Indonesia yang sangat banyak, yang dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Apakah nanti di yaumul akhir akan diminta pertanggungjawaban kepada rakyat Indonesia?” tanya seorang jamaah.

“Iya juga ya. Ngeri-ngeri sedap juga kita ini,” jawab Ustaz Somad.

Ustaz berusia 40 tahun itu melanjutkan, “Nanti pas di akhirat, Ustaz Somad status pending. Mudah-mudahan kita diselamatkan Allah subhanahu wa ta’ala. Karena yang dimaksud utang itu adalah utang personal, pribadi. Dalam surah al-Baqarah ayat 282. Satu halaman full (menjelaskan soal utang). “Wahai orang-orang yang beriman! Kalau kalian menjalin transaksi utang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah.”

Jika sudah sampai waktunya orang yang berutang untuk membayar, kita bisa menagihnya. “Sampai harinya, tagih! Bayar! Mengapa tak bayar?”

Namun, jika orang yang berutang belum mampu membayar, sebaiknya diberikan keringanan. Bisa berupa waktu. Yang paling bagus, menurut Ustaz Somad, jika orang yang meminjami mensedekahkan uangnya kepada orang berutang. “Kalau kau sedekahkan lebih baik,” ucap Ustaz Somad.

 

REPUBLIKA

Berilah Kelonggaran Orang Miskin yang Berutang (2)

DIRIWAYATKAN oleh Imam Ahmad -dengan sanadnya- bahwa Abu Qatadah suatu ketika mempunyai piutang kepada seorang lelaki. Dia mendatanginya dan menanyakan piutangnya. Yang berutang pun bersembunyi. Namun, suatu hari ia datang lagi. Kali ini seorang anak kecil keluar dari rumah dan segera ditanyainya. Jawab anak itu, “Ya, dia ada di dalam rumah.”

Dia memanggilnya, “Wahai Fulan, keluarlah, aku mendapat informasi bahwa engkau ada di dalam rumah ini!” Yang punya utang itu segera keluar dari rumah. Dia menanyainya, “Kenapa engkau tak menemuiku?” Sahutnya, “Aku sungguh sedang dalam kesulitan. Aku tak punya suatu apa pun.”

“Benarkah engkau dalam kesulitan?”

“Ya,” jawab lelaki itu.

Tiba-tiba Abu Qatadah menangis, lalu mengatakan, “Aku pernah mendengar bahwa, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallampernah bersabda,

“Barangsiapa yang meringankan utang pada orang gharim (orang yang terlilit utang), atau membebaskannya, maka pada hari kiamat nanti, akan mendapat perlindungan singgasana (‘arsy).” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya).

Sesungguhnya ramah dan penuh kasih sayang, merupakan tanda pribadi Muslim yang baik. Dia melihat kepada saudara-saudaranya sesama Muslim dengan pandangan yang penuh persahabatan dan kasih sayang. Selain itu, ia pun berinteraksi dengan mereka dengan lemah lembut.

Kasih sayang adalah esensi agama yang mulia ini. Dengan kasih sayang itu pula Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam diutus oleh Allah untuk menyebarkannya, seperti diterangkan-Nya,

“Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.”

Rasulullah pun telah mendorong kepada umatnya untuk bersikap lembut, penuh kelonggaran terhadap orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Bersumber dari sahabat Abu Hurairah ra., Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda:

“Ada seorang pedagang yang banyak mengutangi umat manusia. Apabila ia melihat orang yang berutang dalam kesulitan, ia pun berkata kepada karyawannya, ‘Bebaskan (utang) itu atas dia, semoga Allah membebaskan bagi kita (dari siksa).”

Dari penjelasan di atas jelas sekali bahwa Rasulullah memiliki perhatian besar terhadap penjagaan harta, serta hak-hak kepemilikannya. Sementara itu, orang kaya yang tak memberikan keringanan kepada orang miskin, merupakan bentuk kezhaliman.

Islam telah menyerukan kepada orang kaya untuk bersikap pemurah dan memberi kelonggaran kepada orang miskin yang terbelit kesulitan.

 

HDAYATULLAH

Lupa Nilai Utang,Kreditor Tak Percaya pada Debitur

KETIKA lupa jumlah nominal utang. Sebagai ilustrasi: Rudi berutang ke Wawan, dan pernah dicicil sekian ratus ribu. Suatu ketika. Keduanya lupa, berapa nominal nilai utang dan berapa kekurangan cicilannya. Sementara keduanya tidak memiliki bukti.

Pertama, Bagaimana jika kreditor tidak menerima pengakuan debitor? Rudi menyatakan bahwa utangnya ke Wawan antara 1jt 1,5jt. Sementara Wawan tidak menerima pengakuan ini, dan mengklaim bahwa nilai utangnya lebih dari 2jt. Jika Wawan tidak menerima pengakuan Rudi, maka Wawan harus mendatangkan bukti atau saksi. Karena hukum asalnya, Rudi terbebas dari tanggungan.

Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan, “Ketika terjadi perbedaan antara kreditor dan debitor mengenai nominal utang, maka yang dikuatkan adalah keterangan debitor. Karena hukum asalnya seseorang terbebas dari beban tambahan utang.” (al-Mantsur fi al-Qawaid, 1/150).

Ketika Rudi menyatakan, utangnya tidak lebih dari 1,5jt, jika dia diminta untuk membayar lebih dari itu, harus mendatangkan bukti.

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Orang yang berutang tidak diwajibkan untuk membayar lebih dari pengakuannya. Karena lebih dari pengakuannya adalah klaim yang butuh bukti.” (as-Syarh al-Mumthi, 8/353).

Hanya saja, Rudi diminta untuk bersikap terbaik, mengambil posisi yakin bahwa tidak ada hak orang lain pada dirinya. Sehingga, ketika dia ragu nominal utangnya antara 1 jt sampai 1,5 jt, lebih baik ia membayar 1,5 jt, agar dia semakin yakin, tidak ada hak orang lain yang belum dia kembalikan.

 

INILAH MOZAIK

Aku Lupa Berapa Jumlah Utangku

SEBELUMNYA kita akan mempelajari bagaimana cara yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam menyelesaikan sengketa. Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahuanhuma, Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukti itu menjadi tanggung jawab penuntut (muddai) dan sumpah menjadi pembela bagi yang dituntut (muddaa alaih).” (HR. Turmudzi 1391, Daruquthni 4358 dan dishahihkan al-Albani).

Pelajaran dari hadis:

Dalam sebuah sengketa, di sana ada 2 pihak,
[1] Pihak yang menuntut. Dialah yang mengajukan klaim. Dalam hadis di atas, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyebutnya dengan muddai.
[2] Pihak yang dituntut. Dia yang diminta untuk memenuhi klaim. Dalam hadits di atas, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyebutnya dengan muddaa alaih.

Kewajiban dan tanggung jawab masing-masing berbeda,
[1] Untuk pihak penuntut (muddai), dia diminta mendatangkan bukti atau saksi.
[2] Untuk pihak yang dituntut (muddaa alaih), ada 2 kemungkinan posisi;

(a) Jika muddai bisa mendatangkan bukti yang bisa diterima, maka dia bertanggung jawab memenuhi tuntutannya.
(b) Sebaliknya, Jika muddai tidak bisa mendatangkan bukti yang dapat diterima, maka muddaa alaih diminta untuk bersumpah dalam rangka membebaskan dirinya dari tuntutan. Jika dia bersumpah maka dia bebas tuntutan.

Kita akan melihat kasus di atas lebih dekat, ketika lupa jumlah nominal utang. Sebagai ilustrasi: Rudi berutang ke Wawan, dan pernah dicicil sekian ratus ribu. Suatu ketika. Keduanya lupa, berapa nominal nilai utang dan berapa kekurangan cicilannya. Sementara keduanya tidak memiliki bukti.

Penyelesaian Kasus: Baik Rudi maupun Wawan, mereka yakin bahwa Rudi pernah berutang ke Wawan. Hanya saja mereka lupa berapa nominal utangnya. Dalam kasus ini, yang dijadikan acuan adalah keterangan debitur (Rudi). Karena uang itu terakhir dibawa Rudi. Terdapat kaidah yang mengatakan, “Hukum asal, untuk semua kejadian, diasumsikan terjadi pada waktu yang lebih dekat.” (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 187).

Karena itulah, para ulama mengambil pengakuan Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan, “Apabila terjadi perbedaan pendapat antara yang memberi utang dan orang yang berutang, sementara keduanya tidak memiliki bukti, maka dimenangkan keterangan pihak yang menerima utang (debitor) terkait kriteria dan kuantitas (barang yang diutang) disertai sumpah.” (al-Mausuah al-Fiqhiyah, 3/269).

Simak soal utang lainnya!

 

INILAH MOZAIK